Jingga merah itu terlalu menyerap pandanganku, membuat mata ini silau seakan sesuatu terjadi berubah dengan sangat dahsyat padaku. Dari kesilauanku itu datanglah seorang lelaki tua renta menghampiri saya dengan amat hati-hati.
“Engkau sudah sadar anak muda?” saya tersenyum kaku, seolah ada
penyekat
“Sudah tiga hari tiga malam engkau tertidur. Syukurlah bila engkau
sudah siuman.”
“Saya dimana? Abah ini siapa?”
“Engkau berada di tempat terpencil di daerah pesisir, Abah menemukan engkau
sedang tergolek dengan lemahnya di tepian bibir pantai. Abah hanya seorang
nelayan,” saya bangun dari baringku, orang tua itu memapahku dengan sangat
hati-hati.
“Terima kasih atas semuanya Abah.”
“Tak usah engkau berkata seperti itu, hanya kepada Allah-lah engkau
patut berterima kasih, saya hanya sebagai perantara. Saya paham ketentuan Allah
tidaklah ada yang dapat menahannya,” saya mengerti dengan semuanya, dalam diri
orang tua itu tertanam budi yang sangat luhur yang patut saya tiru sebagai amal
yang akan daku petik kelak di akherat nanti.
“Engkau masih merasa pening kepalamu?”
“Sedikit,” ucapku dengan meringis.
“Syukurlah. Sepanjang engkau tertidur tak pernah absen tubuhmu bergetar
seakan-akan engkau ada sesuatu yang menekan jiwamu itu. Jasadmu sangatlah panas
keringat bercucuran,” orang tua itu memberikan segelas air teh hangat.
“Engkau sering berucap dalam tidurmu. Yasin dan Imron nama itu yang
sementara Abah dengar dari igauanmu itu, selebihnya istrikulah yang mengerti,”
saya terdiam mengingat beberapa waktu yang terbelakang.
“Siapakah kedua orang tersebut?” saya sebentar terdiam dan menarik
nafas sangat panjang.
“Yasin, Imron..”
“Ya, nama itu anak muda.”
“Beliau berdua adalah sahabat saya yang entah kemana sekarang rimbanya.
Dia tertelan ganasnya ombak di tengah laut saat tengah malam itu. Semoga Allah
melindunginya, jika sekiranya telah tiada semoga amal dan ibadahnya diterima
disisi-Nya.”
“Amie...n,” orang tua itu manggut-manggut.
“Saya turut prihatin. Memang hari-hari ini laut penuh dengan badai yang
tak diduga-duga, sekarang angin sering berhembus dengan kecangnya mungkin Allah
sudah mulai menampakakn kegagahan-Nya dan sudah sepatutnya kita memanjatkan doa
agar semuanya baik-baik sesuai dengan keridoan-Nya,” dia mendekatinya.
“Engkau seorang pengembara atau seorang nelayan anak muda?”
“Nelayan!” saya tergugup dengan pertanyaan orangtua itu.
“Saya seorang nelayan yang tersesat dan tergulung ombak,” terdengarlah
dari luar sura perempuan berucap.
“Nah, itu istri saya.”
“Eh, sudah sembuhkah engkau anak muda?” ucap perempuan tua yang sebaya
dengan lakinya itu.
“Alhamdulillah, berkat doa dan pertolongan Abah dan Emak,” saya kembali
tersenyum meringis. Seolah ada semacam ikatan batin yang sangat erat
keberadaanku bersama kedua orang tua itu. Semoga ini adalah pertanda yang bagi
diriku.
“Engkau terlalu pandai anak muda, menyanjung orang tua ini,” orang tua
itu terkekeh-kekeh, saya pun tertawa sepertinya.
“Jangan terlalu banyak bergerak sekiranya engkau masih payah,
berbaringlah.”
“Tidak Emak saya sudah baikan.”
“Benarkah?” saya tersenyum kembali.
“Saya ucapkan berjuta terima kasih kepada Abah dan Emak yang telah rela
menyelamatkan saya dari marabahaya.”
“Sebagai manusia biasa, kita patut berbuat dan membantu sesama saudara,
walau engkau tidak saudara dengan Abah dan Emak tapi ikatan naluri seorang
manusia sangatlah berbeda dengan hewan sudah sepatutnyalah kita saling tolong
menolong,” ucap abah
“Bersyukurlah pada Allah, sebab hanya pada Beliau-Lah kita patut
berserah diri,” emak menimpali.
“Ya, kita hanya manusia lemah yang tak mempunyai daya dan upaya
melainkan karena Allah semata,” lirih perempuan tua itu berucap sambil
melepaskan lelahnya duduk disampingku dan tangannya yang keriput membelai
keningku.
“Sering-seringlah engkau beristighfar pada yang empunya alam ini,
Allah”
“Semoga hanya Allahlah yang akan membalas kebaikan Abah dan Emak, andai
sekrainya saya yang membalas bisa apa saya untuk berbuat itu”
“Tak usahlah engkau bersusah payah seperti itu anak muda, engkau sembuh
dari mautpun Abah sudah bersyukur.”
“Ini Emak bawa ikan tongkol, cocok untuk kesehatanmu. Makan ya?”
“Boleh...”
“Ayo kita makan bersama, menikmati rezeki pemberian dari Allah,” kami
pun makan bersama dengan nikmatnya.
Dua bulan lebih saya hidup bersama kedua orang tua itu, dua bulan itu
juga saya mulai melupakan kehidupan di dalam bui. Termasuk kenangan bersama
Nisa, Muzdalifah dan kedua orangtuaku. Kadang saya sering membantu kedua orang
tua itu berlayar mencari ikan. Sebenarnya abah melarang saya untuk berlayar
tapi saya tidaklah enak menumpang hidup andai tidak membantu dengan kerasnya
niatku akhirnya abah dan emak mengijinkan saya berlayar dan hasilnya pun cukup
lumayan. Kulakukan berlayar hanya beberapa minggu saja, sebab tubuhku makin
payah, kurus kering dan sering terserang penyakit, akhirnya saya lebih memilih
beristirahat hanya sekedar memulihkan tenaga kembali.
“Apa emak bilang,jangan ikut berlayar. Tubuhmu sekarang makin payah”
betapa sayang kedua orang tua itu terhadapku
* * *
Langit itu sedikit mendung. Niatan saya untuk pergi dari rumah itu
sudah saya niatkan, bukan berarti saya tidak kerasan tinggal di gubuk itu
melainkan diri ini memilih lebih tidak menjadi benalu bagi kedua orang tua
tersebut walaupun saya sangat yakin orang yang dimaksud tidaklah mempunyai
niatan seperti itu. Saya berharap agar diri ini untuk mengasingkan diri
berbakti hanya kepada Allah, sesuai dengan janji pada diri ini sebelum dalam
bui. Maksud diri ini pun saya utarakan pada abah dan emak, kira-kira seperti
ini;
“Abah, Emak. Sekiranya saya menumpang hidup bersamamu hanya cukup
sampai disini, sebab diri ini ada sebuah nazar pada diri sendiri untuk
melakukan hal yang terbaik bagi Allah.”
“Maksudmu mengasingkan diri dari peradaban keramai orang?”
“Kira-kira seperti itu Abah.”
“Apa engkau sudah siap melakukan hal semacam itu?”
“Insyaallah niat dalam hati adalah sebaik-sebaiknya niat.”
“Sebenarnya Abah dan Emak tidaklah keberatan untuk engkau pergi, tapi
tidak sebaiknya engkau tinggal saja di sini? Engkau masih sakit Husein.”
“Terima kasih Abah dan Emak, semoga dalam perenungan yang diniatkan
dalam hati ini adalah ladang ibadah Emak dan Abah yang akan kita petik
bersama-sama kelak diakherat nanti.”
“Semoga Husein. Abah dan Emak tidak akan luput berdoa untuk ketabahanmu.”
“Maafkan jika sekiranya dalam saya berhubungan dengan Abah dan Emak ada
salah kata dan ucap yang menggores kalbu, saya mohon dimaafkan.”
“Tidak Husein, engkau adalah anak muda yang sepatutnya perlu dukungan.
Abah juga Emak mengerti dengan kondisimu seperti itu,” ucap abah
“Jika sekiranya engkau ada waktu luang sempatkanlah jasadmu itu singgah
ke gubuk ini,” emak menimpali.
“Insyaallah, bila umur masih melekat pada diri ini. Saya tidak akan
melupakan kebaikan Abah dan Emak. Semoga Abah dan Emak selalu ada dalam
lindungan Allah semata.”
“Sama-sama Husein,” kami pun saling berpelukan seakan jasad ini tidak
akan kembali pada gubuk kedua orang tua itu. Menitiklah air mata ini dengan
lemahnya, pun halnya kedua orang tua itu. Erat pelukan yang dilakukan oleh
emak, kurasakan pelukan itu seakan ibu sendiri. O, Ya Allah lindungilah kedua
orang tua ini dari segala kemungkinan yang tak terduga.
“Saya pergi dulu Abah, Emak. Jaga diri baik-baik...”
“Engkau juga Husein...” kulambaikan tangan dalam mengiringi langkah
pendekku, sempat bola manik perempuan renta itu menghentikan langkahku, beliau
seperti perempuan yang tak asing bagiku yaitu ibuku.
* * *
Dalam perjalan itu tak hentinya saya meneteskan air mata, ternyata
perpisahan sangatlah menyakitkan. Bila seseorang mengalami kebahgiaan dalam
perjumpaan, dipastikan mereka akam menangis akan terjadinya perpisahan.
Perpisahan terhadap orang yang kita sayangi, perpisahan pada orang yang pernah
kita sakiti, tertegunlah diri ini memikirkan nasib seorang diri sepertinya
hanya sebuah perjalanan yang mengecewakan dari rentetan sejarah silam yang tak
akan mungkin kuulangi kembali dalam lembaran baru ini. Lama saya melakukan
perjalanan itu hampir dua hari dua malam. Entah akan kemana langkah ini
berhenti?
Bila ingin beristirahaat saya hanya berteduh di surau, dan malam tiba
pun saya tidur di surau pula. Hanya rutinitas yang seperti itulah, kala saat
itu saya lakukan untuk menemukan suatu kenyataan yang abadi. Saya kira hanya
kesunyian yang melekat pada diri untuk menyucikan kejernihan hati dari
keangkuhan dunia semakin hari makin menyelusup dalam jasad kotor ini.
Pertemuan dengan surau itu....
Sungguh kampung itu sangat sunyi dari pergumulan orang. Saya
melintasinya dan saat mata ini memandang bangunan tua itu sungguh terenyuh
kalbu yang lemah ini dengan sendirinya. Bangunan itu adalah sebuah surau yang
tidak terpakai, sangat mengkhawatirkan. Saya membersihkannya dengan seorang
diri, tak sampai sehari pun surau itu bersih dari sampah-sampah yang
berserakan.
Namun, hampir semua orang yang melintasi surau itu melihat saya seperti
orang yang asing, kadang mereka dengan angkuhnya membuang ludah dihadapan saya,
serasa teriris kalbu ini oleh tingkahlaku orang yang melintas itu. Namun sudah
beberapa hari saja mereka segera berpaling dari menaruh curiga menjadi
mendekati saya. Sungguh senang hati ini melihat perubahan orang-orang itu
memandang saya bukan sebagai orang lagi.
Dan saya pun bersama orang sekampung itu mulai membenah keadaan surau
tua itu dan cukuplah banyak orang yang hadir dari perbuatan itu dan berdirilah
kembali surau yang dianggap rumah kosong itu.
Dari semua itu bertemulah saya dengan Mansyur, saat beliau sedang
merantau ke kampung itu.
“Husein...” ucapnya saat setelah shalat duhur.
“Ini Mansyur,” saya menengok.
“Masyaallah, rupanya Allah telah mentaqdirkan kita disini.”
“Ya, Husein”
“Sudah berapa lamakah engkau dalam perantauan Husein?”
“Entah tak terhitung. Engkau?”
“Semenjak diri ini menginginkan kehadiran ketenangan kalbu.”
“Semoga engkau akan mendapatkan yang engkau inginkan Masyur.”
“Insyaallah, Husein”
Kami pun saling tukar cerita dan setelah itu Mansyur kubujuk untuk
sekedar tinggal bersama daku di surau itu, beliupun tidalah keberatan dan
bahkan merasa senang.
Begitulah kira-kira perjalanan yang sangat menyayat kalbu ini, semoga
dari sedikitnya cerita ini banyak yang dapat dipertik hikmah tauladanya.
Amie...n.
0 Response to "SESAL # 14 Abah dan Emak"
Post a Comment