SESAL # 13 Hidup di Bui

Di pagi hari yang cerah, kunikmati diri ini duduk termenung mengenang akan jasad ini menjadi seorang yang selalu dipuja oleh seorang perawan, diharapkan oleh seorang yang sangat menyayangi, tapi semua itu dulu. Dulu yang tak mungkin kembali kesemula. Hanya bila keajaiban itu hadir. Kini mereka telah meninggalkan semuanya bersama keindahan yang luntur. Ah, rasanya kebahagiaan tak akan saya ecap dalam waktu yang dekat ini, sebab saya yakin bahwa kutukan lebih memilih untuk tetap berada dalam posisiku. Terkenanglah jasad Nisa yang sekarang telah mengandung anakku dari hasil sebuah kutukan dari Tuhan.

Kemanakah Nisa sekarang? Abang begitu merindu terhadapmu, seandainya diri ini mengetahui keberadaan engkau akan Abang kejar walau engkau berada jauh di Kutub sana. O, Nisa begitu gampangkah sebuah tali ikatan yang telah kita rajut bersama-sama lenyap dengan kilatan hadirnya benih yang kutanam padamu.

Kurasakan cerah pagi itu sangat menyentuh rasaku, namun cerahnya pagi itu pun tidaklah melapangkan pikiran ini yang mulai menyempit. Tidak ada satu alasanpun pikiran ini mampu melapangkan barang sedetik atau sekilas dalam pergumulan asmara yang merindu.

Dari ketermenungan itu, pihak berwajib datang menangkapku dan diri ini pun tak berbuat banyak saat tangan ini diborgol dengan paksa. Saya pun berontak, tapi semua itu sia-sia.

“Nanti akan saya jelaskan dikantor,” ucap petugas

Saya diangkut ke atas bak mobil, para tetangga melihatku penuh dengan keheranann, penuh dengan nada sinis. Kuacuhkan semuanya bersama melajunya mobil yang mengangkutku. Mungkin inilah akhir dari kehinaanku dari sebuah ego yang tak beralasan untuk tetap mempertahankan sebuah idealisme dalam diri.

Saya divonis lima tahun penjara, dipotong masa tahanan dua bulan atas keputusan jaksa. Semua itu atas permintaan keluarga Salim yang tidak menerima dengan kepergiannya. Saya dijebloskan dalam penjara yang paling menakutkan di suatu pulau di tengah-tengah laut. Konon seorang manusia yang dijebloskan di penjara itu tidaklah ada yang mampu dalam mempertahankan jasadnya. Hendak kaburpun di sekeliling dihadang kawat listrik, badai laut yang siap menghantam dan ikan hiu yang siap menyantap. Pendek kata tempat itu jauh dari peradaban orang banyak dan hanya penghuni rutan saja.

Sungguh suatu keputusan yang sangat memojokan pikiranku, serasa diri ini menjadi seonggok daging yang tak bertulang, lemah, tak akan mampu berjalan bila tiada ada yang memapah. O, Tuhan saya tahu inilah azab ringan engkau berikan terhadapku, dan yang akan engkau berikan yang sesungguhnya adalah azab kekal di akherat nanti, bara api akan segera menjemputku dalam suatu keabadian yang nyata.

* * *

Setengah tahun di dalam bui...

Dan kini diri ini mendekam di balik terali besi hampir setengah tahun, kini kamar yang hanya berukuran tiga kali dua meter, berlampu lima watt, serta dipan tanpa kasur yang sangat keras menjadi huniku. Menjadi tempat tinggalku bersama dua orang yang nasibnya hampir sama dengan diriku. Kamar itu menjadi saksi hidupku yang hina, sehina Nisa yang pergi meninggalkan aib bagi keluarganya atas tertanamnya benih dalam rahimnya.

Sore hari, rinai hujan rintik mulai turun. Langit di sana seakan mendung tak bertepi, kutatap dan kupandangi seolah ingin mengetahui celah dibalik kelemahanku. Kupegangi terali besi yang sudah hampir karatan itu dengan lemahnya, kutekan raut muka keteralinya. Dengan tiba-tiba diri ini mengenang akan seseorang yang telah kunodai yang telah daku sia-siakan kepada orangtuaku. Semua ini harus kubayar dengan mahal, pantaslah jika sekiranya diri ini mendekam di dalam bui ini.

“Ayah, ibu, Aisyah, Muzdalifah, Nisa maafkan Abang. Kelak jika sekiranya jasad ini bebas dari kungkungan tembok yang berdinding tinggi ini akan daku niatkan untuk menjadi seorang yang selalu berada di jalan Allah. Daku ingin bersembah sujud dihadapan kedua orangtuaku, memohon ampun dalam setiap kesalahanku. Kuingin mendekap erat tubuh Aisyah adikikku. Ah, semoga niatku ini benar-benar jauh dalam lubuk hatiku,” dan menitiklah air mata ini.

“Apa yang sedang engkau pikirkan sahabat?” teman satu sel mengagetkanku, kutengok ia tersenyum.

“Ah tidak, Imron”

“Saya perhatikan engkau terlalu banyak merenung. Janganlah engkau seperti itu. Sehebat apapun engkau menangis, dan tangis air mata itu yang keluar darah sekalipun tidak akan mungkin rasa iba tertanam terhadap petugas itu.”

“Tidak, saya hanya terkenang saja kepada kedua orangtuaku. Tidak menyangka bahwa diri ini akan menghabiskan waktu yang cukup lama bersama aib yang harus kutanggung.”

“Engkau menyesal masuk sini?”

“Pastilah, setiap orang akan merasakan seperti itu. Apakah engkau tidak menyesal atas jasadmu berada disini?”

“Sama seperti yang engkau pikirkan Husein, saya juga hampir memikirkan saat awal berada disini. Tapi bila sudah setahun engkau akan merasakan terbiasa dengan keadaan ini.”

“Ya, tapi rasa rindu yang telah lama saya pendam ini rasanya ingin daku luapkan pada seorang yang jauh disana.”

“Siapa?”

“Kedua orangtuaku.”

“Orangtuamu masih ada?” tanya Imron, mendekatiku dan diri ini pun hanya menggangguk.

“Sepatutnya engkau wajib bersyukur, engkau masih beruntung Husein. Kedua orangtuamu masih ada, sedangkan daku? Semuanya telah meninggalkan. Sebenarnya petuah yang diberikan orangtua seharusnyalah ditaati. Saya mengecewakan mereka, saya terlampau memperkosa gadis desa yang menjadi impianku, hingga daku tertangkap basah oleh orang sekampung, dan kedua orangtuaku tertekan jiwanya, sampai meninggal.”

“Engkau menyesal Imron?”

“Sangat, sangat sekali menyesal,” kulihat raut muka Imron yang kusut jelas nampak tak mungkin ia buat-buat untuk melakukan hal semacam itu. Matanya menatap tajam seolah ada suatu penyesalan yang tak mungkin ia kembalikan dalam sekejap, manik bola matanya ada pengharapan akan ia raih dalam waktu yang dekat.

“Apa yang harus engkau lakukan setelah keluar dari bui ini, Imron?”

“Membahagiakan mereka yang masih ada.”

“Maksudmu? Adikmu?”

“Ya, adikku,” saya menatap bola matanya.

“Daku juga ingin segera berumahtangga.”

“Menikah?” saya tertawa dengan renyah.

“Bagus, ternyata penghuni ruatan juga ingin berumahtangga,” saya tertawa kembali, ia diam.

“Ah, engkau bisa saja Husein,” kami berdua tersenyum dan saling ketawa, terbangunlah sahabatku yang senasib.

“Ada apa, rasa engkau berdua renyah betul tertawanya ceritalah padaku, sahabat” kami berdua saling pandang.

“Engkau terlalu sibuk, Yasin” Yasin mendekati dalam perbincangan itu, dan dia pun nimbrung. Kami pun saling saling cerita setelah melenyapkan kelelahan.

Untunglah di dalam satu sel itu, kami hanya bertiga dan orang-orangnya pun bisa dikatakan sangat ramah-ramah. Ya, mungkin mereka telah mengecap belajar dalam ruang bangku pesantren serta didikan orangtua yang sangat mencerdaskan mereka dalam mengarungi bahtera hidup yang penuh dengan kemelut. Semua itu kuketahui dari cerita pengalaman-pengalaman pribadinya.

Semua sahabatku itu adalah dari golongan orang yang sangat berwibawa dari keluarganya. Misalnya Yasin dari kalangan pesantren, bapaknya pengasuh pondok pesantren. Ceritanya;

Ayahnya difitnah oleh segolongan yang sangat iri terhadap kesuksesan ayahnya. Penggusuran tanah milik rakyat, mampu diatasi oleh orangtuanya. Namun dari keberhasilannya itu tragedipun datang. Suatu saat ayahnya ditangkap oleh segolongan orang yang tak dikenal dan dibunuh dengan cara keji. Kemudian Yasin mengusut kasus terbunuhnya ayahandanya. Ternyata orang yang membunuhnya adalah orang yang mempunyai persengketaan dalam proyek penggusuran tanah milik rakyat. Tanpa panjang lebar ia pun langsung melesatkan silatnya dan tumbanglah sekelompok itu. Yasin membunuh dengan singkat dan kemudian Yasin dijerumuskan dalam bui ini. Mungkin Yasin lebih memilih untuk tetap yang terbaik dalam kehidupannya.

Berbeda dengan Imron, beliau adalah seorang pemerkosa, namun itu bukanlah kehendaknya. Ceritanya;

Sebenarnya pertunangannya hampir dilaksanakan bahkan sudah akan menempuh jalan pernikahan dengan kekesaihnya itu, ada seorang bujang dari orang kaya yang menginginkan kekasihnya itu sebagai pinangannya. Namun Imron tidak menerima, pun halnya kekasinya itu, tetapi berbeda sekali dengan orangtua kekasihnya itu dan kedua orangtua kekasihnya itu menginginkan Imron berpisah dengan anaknya. Sebagai jalan satu-satunya agar orangtua kekasihnya menerima dengan lapang, bergumullah dia dengan kekasihnya disebuah rumah kosong. Sebenarnya ini adalah perbuatan dari hasil rekayasa orang kaya itu, dan kemudian terkumpullah orang sekampung mengepung Imron yang sedang berada di dalam rumah itu, dan Imron pun dipukul dengan hinanya.

Kemudian selang beberapa minggu Imron pun dengan amarah yang tak mampu ia bendung ia pun membunuh orang kaya itu, dan Imron dijebloskan dipenjara di daerahnya. Namun keluarga yang dibunuhnya tidak menerima dengan seperti itu, haruslah Imron dihukum dengan seadil-adilnya dan dijebloskanlah Imron diruatan yang mengerikan itu. Mendengar semuanya orangtunya pun meninggal tertekan jiwanya.

Mereka saling bertukar cerita begitupun diri ini. Hal-hal yang membuat jenuh diantara kami, merasa terselesaikan dengan cerita singkat yang cukup menarik itu. Begitulah jika sekiranya rasa penat muncul dalam ruangan itu, rasa gaduh pun terkekeh-kekeh daku ecap bersama mereka, dan terlewatlah kelelahan dan tidak terasa jika diri ini mendekam berada di sana masih terasa jauh dari hitungan jari.

* * *

Keadaan saya sangat payah ditinggalkan oleh orang-orang yang sebelumnya menjadi sebuah keharuan. Tak lama dari sebulan pun badan ini sangat rapuh, batuk-batuk, dan berpenyakitan. Ah, rasanya saat itu diri ini sangatlah pasrah bila seandainya jasad ini terpisah dari ruh.

Sebenarnya cobaan dan gangguan dari pihak dalam yang sangat bengis terhadapku. Saya menjalani hukuman itu penuh dengan kekerasan. Tiap malam saya disiksa oleh sekelompok kawanan yang haus akan amarah. Tubuh ini sangatlah biasa terkena hantaman ataupun pukulan tangan yang kekar atau sekalipun pentungan yang sangat keras. Setiap hari secara bergilir kami dipaksa kerja di tengah hutan, berangkat pagi buta dan pulang dini hari. Andai makan pun tak selalayaknya manusia, kami diibaratkan sebagai hewan. Diri ini hanyalah pasrah, seolah hanya siksaan Allah yang akan sangat pedih menimpaku, dan ini tidaklah ada apa-apa bila dibandingkan dengan siksaan Allah kelak diakherat nanti. Namun, hari-hari pun kulalui dengan ketabahan hati dan ketakwaan. Rasa jenuh dan rasa ingin keluar dari gonggongan petugas pun merumuskan dalam otak-otak sahabat dalam bui kami.

Rencana kabur...

Kami bertiga pun berniat untuk kabur dari bui itu dan rencana itu kami mufakatkan sore itu;

Kami bersila membuat lingkaran dalam ruangan sempit itu, tentunya tanpa sepengetahuan algojo para petugas.

“Sahabat, kita yakin kita pasti mampu untuk keluar dari tempat yang laknat ini,” ucap Yasin dengan penuh semangat.

“Ya, kita pasti mampu,” Imron menimpali, rasa heroikpun tumbuh dalam jiwa ini.

“Kita pasti dalam lindungan Allah,” ucap Yasin berkobar-kobar dengan mata merah penuh dengan rasa semangat.

“Allah akan bersama kita sobat,” ucapku, serasa bergetar bibir ini.

“Engkau siap Husein?” tanya Yasin kepadaku

“Insyaallah,” ucapku dengan menganggukkan kepala dengan tegas

“Bagus.”

“Engkau Imron?”

“Seperti niat engkau sahabat.”

“Ingat..!!! Perbuatan yang akan kita lakukan adalah sebuah maut yang akan kita temui andai kita tertimpah timah panas dalam gengaman algojo itu.”

“Sahabat, andai kita terpisah kelak berjuang dari maut. Jangan lupakan akan keberadaan kita,” kami manggut-manggut.

“Bagaimana, rakit yang sudah engkau siapkan itu?” tanya Yasin, Imron mengangguk.

“Alat-alat yang hendak mematikan listrik sudah siap?”

“Semuanya sudah siap.”

“Kita beroperasinya tengah malam, kira-kira jam satuan. Setelah algojo itu terlelap dengan dengkurannya.”

Dan kami bertiga pun bersiap-siap dalam beberapa jam yang ditunggu itu. Jam pun sudah menunjukan pukul satu kurang lima belas menit. Suasana sangat hening dan tak satu pun suara terdengar, hanya suara binatang malam yang masih angkuh.

“Husein....” bisik Yasin dengan nada sangat kecil, saya menganggukan kepala pertanda siap, Imron pun dengan  sendirinya terbangun.

“Ssttsssttttssssssss......” kami terbangun dengan segera

“Sebelum kita melakukan semuanya, mari niat kita satukan terlebih dahulu,” ucap Yasin

“Ya, engkau benar Yasin kita berdoa terlebih dahulu,” dan kami pun berdoa dengan khusuknya, hampir tiga menit kami melakukan hal semacam itu.

Kami bertiga pun membobol atap, lama kami melakukan hal semacam itu. Kami bertiga bergegas naik keatas atap secara bertahap. Kemudian kami lolos dari lingkungan penjara itu. Untuk melalui kawat listrik itu Yasin memotong alirannya. Setelah kami keluar dengan tak sadar satu penjaga melihat gelakat kami, lalu berbunyilah alarm. Dikerahkan petugas-petugas yang menjadi algojo yang bagai robot itu.

“Ada yang kabur,” teriak petugas.

Kami bertiga kacau dalam hal itu, kami lari sekuat tenaga dan hampirlah kami di tepi pantai, dengan bergegas kami mengampiri rakit yang sudah disediakan sesuai dengan rencana.

Para petugas pun dengan segera melesatkan tembakan peringatan namun kami tak menggubriskan, niat sudah bulat di dada kami. Namun Yasin setelah mengayuh, terjungkallah dia dengan tembakan timah panas, dia terseret ombak.

“Yasin...” spontan Imron berteriak.

“Pergilah kawan semoga engkau selamat ditujuan,” teriak Yasin.

“Imron jangan,” teriakku pula saat Imron akan melakuan hal yang membahayakan. Sebenarnya perbuatan Imron sangatlah wajar akan menolong Yasin namun perbuatan itu memberantas nyawanya pula dengan timah panas yang akan menusuk dari pelatuk pistol algojo itu. Tanganku sekuat tenaga menariknya agar ketengah rakit yang kami tunggangi.

Sebelum Imron dan saya akan menggeret Yasin ke tengah rakit tak sempatlah kami menolongnya sebab petugas lebih cekatan dalam memainkan pistolnya. Kami berdua pun kacau saat itu, sekuat tenaga pun dikayuh rakit hingga sampai tengah laut, dan tak kelihatan pulau yang berpenghuni orang-orang jahanam itu.

“Kita selamat Husein,” Imron merangkul tubuhku

“Ya, Imron”

“Tapi kita gagal sahabat kita,” kami berdua pun saling termenung dan saling diam dari gemuruh ombak.

“Mari Husein kita berdoa untuk sahabat kita, Yasin. Semoga berpulangnya beliau dengan tenang, semoga amal dan ibadahnya diterima disisi-Nya,” dan kami berdua berdoa di tengah genangan air laut.

Lelah, tubuh ini pun serasa tak karuan merasakan pedih luka yang tersiram air laut. Kami pun saling senyum.

“Selamat tinggal pulau yang telah menjadi hunianku, selamat tinggal penderitaan,” saya hanya tersenyum melihat Imron seperti itu.

Kami berdua melepaskan lelah dengan berbaring di atas rakit dengan goyangan gelombang laut yang tenang.

“Engkau bahagia Imron dengan bebasnya jasad ini dari cengkraman algojo itu?”

“Engkau lucu Husein. Pastilah, setiap orang akan merasakan seperti saya.”

“Berapa lamakah kita akan berada dirakit ini?”

“Entahlah.”

“Lihatlah Husein, bintang di langit begitu bertaburan. Kuasa Allah akan menampakan kegagahannya.”

“Ya, begitu agung ke-Esaan Allah. Tiada banding dan tiada tanding.”

Sangat lama kami berbaring dalam ombang ambing air lautan yang tenang itu. Namun beberapa saat pun kulihat samar langit laut kelabu seolah akan ada sesuatu yang akan terjadi.

“Imron lihatlah, langit begitu mendungnya,” kami berdua terbangun dari pembaringan.

“Ya, apakah itu pertanda akan ada sebuah badai?”

“Semoga tidak Imron, berdoalah pada Allah,” berhembuslah angin semula kecil dan semakin kini semakin besar dan menabrak rakit yang sudah rapuh itu

“Pegang yang kuat Imron,” kami saling teriak menasehati.

“Engkau juga Husein.”

“Astagfirullah....” kami berdua ecap melakukan hal seperti itu.

Angin makin kencang dan hujan lebat pun turun dikencani dengan hembusan gelombang badai yang sangat dahsyat kami berdua terhempas dari rakit.

“Husein....”

“Imron...” teriakku dari suara gemuruh ombak yang dahsyat dan rakit pun bercerai berai hingga saya berpisah dengan Imron. Dan sempat kulihat jasad Imron terhempas ombak dengan deburan yang sangat besar, dia tertelan dalam gelombang itu. Mata ini pun seakan hitam pekat tak tahu menahu apa yang terjadi selanjutnya setelah itu.

Hitam...
Kelabu...
Kelam....

Dan saat mata ini terbuka terlihat olehku orang yang tak dikenal, serasa pening kepala dan lemah tubuh ini, remuk redam bak seorang yang banyak patah-patah tulang...

“Dimana saya sekarang?” teriakku, peluhku sangat banyak menyusuri sekujur tubuh
“Sudahlah istirahat dulu, tak perlu engkau cemaskan akan jasadmu itu,” dan kemudian daku lenyap lagi dari ingatan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " SESAL # 13 Hidup di Bui"

Post a Comment