Di pagi hari yang cerah, kunikmati diri ini duduk termenung mengenang
akan jasad ini menjadi seorang yang selalu dipuja oleh seorang perawan,
diharapkan oleh seorang yang sangat menyayangi, tapi semua itu dulu. Dulu yang
tak mungkin kembali kesemula. Hanya bila keajaiban itu hadir. Kini mereka telah
meninggalkan semuanya bersama keindahan yang luntur. Ah, rasanya kebahagiaan
tak akan saya ecap dalam waktu yang dekat ini, sebab saya yakin bahwa kutukan
lebih memilih untuk tetap berada dalam posisiku. Terkenanglah jasad Nisa yang
sekarang telah mengandung anakku dari hasil sebuah kutukan dari Tuhan.
Kemanakah Nisa sekarang? Abang begitu merindu terhadapmu, seandainya
diri ini mengetahui keberadaan engkau akan Abang kejar walau engkau berada jauh
di Kutub sana. O, Nisa begitu gampangkah sebuah tali ikatan yang telah kita
rajut bersama-sama lenyap dengan kilatan hadirnya benih yang kutanam padamu.
Kurasakan cerah pagi itu sangat menyentuh rasaku, namun cerahnya pagi
itu pun tidaklah melapangkan pikiran ini yang mulai menyempit. Tidak ada satu
alasanpun pikiran ini mampu melapangkan barang sedetik atau sekilas dalam
pergumulan asmara yang merindu.
Dari ketermenungan itu, pihak berwajib datang menangkapku dan diri ini
pun tak berbuat banyak saat tangan ini diborgol dengan paksa. Saya pun berontak,
tapi semua itu sia-sia.
“Nanti akan saya jelaskan dikantor,” ucap petugas
Saya diangkut ke atas bak mobil, para tetangga melihatku penuh dengan
keheranann, penuh dengan nada sinis. Kuacuhkan semuanya bersama melajunya mobil
yang mengangkutku. Mungkin inilah akhir dari kehinaanku dari sebuah ego yang
tak beralasan untuk tetap mempertahankan sebuah idealisme dalam diri.
Saya divonis lima tahun penjara, dipotong masa tahanan dua bulan atas
keputusan jaksa. Semua itu atas permintaan keluarga Salim yang tidak menerima
dengan kepergiannya. Saya dijebloskan dalam penjara yang paling menakutkan di
suatu pulau di tengah-tengah laut. Konon seorang manusia yang dijebloskan di
penjara itu tidaklah ada yang mampu dalam mempertahankan jasadnya. Hendak
kaburpun di sekeliling dihadang kawat listrik, badai laut yang siap menghantam
dan ikan hiu yang siap menyantap. Pendek kata tempat itu jauh dari peradaban
orang banyak dan hanya penghuni rutan saja.
Sungguh suatu keputusan yang sangat memojokan pikiranku, serasa diri
ini menjadi seonggok daging yang tak bertulang, lemah, tak akan mampu berjalan
bila tiada ada yang memapah. O, Tuhan saya tahu inilah azab ringan engkau
berikan terhadapku, dan yang akan engkau berikan yang sesungguhnya adalah azab
kekal di akherat nanti, bara api akan segera menjemputku dalam suatu keabadian
yang nyata.
* * *
Setengah tahun di dalam bui...
Dan kini diri ini mendekam di balik terali besi hampir setengah tahun,
kini kamar yang hanya berukuran tiga kali dua meter, berlampu lima watt, serta
dipan tanpa kasur yang sangat keras menjadi huniku. Menjadi tempat tinggalku
bersama dua orang yang nasibnya hampir sama dengan diriku. Kamar itu menjadi
saksi hidupku yang hina, sehina Nisa yang pergi meninggalkan aib bagi
keluarganya atas tertanamnya benih dalam rahimnya.
Sore hari, rinai hujan rintik mulai turun. Langit di sana seakan
mendung tak bertepi, kutatap dan kupandangi seolah ingin mengetahui celah
dibalik kelemahanku. Kupegangi terali besi yang sudah hampir karatan itu dengan
lemahnya, kutekan raut muka keteralinya. Dengan tiba-tiba diri ini mengenang
akan seseorang yang telah kunodai yang telah daku sia-siakan kepada orangtuaku.
Semua ini harus kubayar dengan mahal, pantaslah jika sekiranya diri ini
mendekam di dalam bui ini.
“Ayah, ibu, Aisyah, Muzdalifah, Nisa maafkan Abang. Kelak jika
sekiranya jasad ini bebas dari kungkungan tembok yang berdinding tinggi ini
akan daku niatkan untuk menjadi seorang yang selalu berada di jalan Allah. Daku
ingin bersembah sujud dihadapan kedua orangtuaku, memohon ampun dalam setiap
kesalahanku. Kuingin mendekap erat tubuh Aisyah adikikku. Ah, semoga niatku ini
benar-benar jauh dalam lubuk hatiku,” dan menitiklah air mata ini.
“Apa yang sedang engkau pikirkan sahabat?” teman satu sel
mengagetkanku, kutengok ia tersenyum.
“Ah tidak, Imron”
“Saya perhatikan engkau terlalu banyak merenung. Janganlah engkau
seperti itu. Sehebat apapun engkau menangis, dan tangis air mata itu yang
keluar darah sekalipun tidak akan mungkin rasa iba tertanam terhadap petugas
itu.”
“Tidak, saya hanya terkenang saja kepada kedua orangtuaku. Tidak
menyangka bahwa diri ini akan menghabiskan waktu yang cukup lama bersama aib
yang harus kutanggung.”
“Engkau menyesal masuk sini?”
“Pastilah, setiap orang akan merasakan seperti itu. Apakah engkau tidak
menyesal atas jasadmu berada disini?”
“Sama seperti yang engkau pikirkan Husein, saya juga hampir memikirkan
saat awal berada disini. Tapi bila sudah setahun engkau akan merasakan terbiasa
dengan keadaan ini.”
“Ya, tapi rasa rindu yang telah lama saya pendam ini rasanya ingin daku
luapkan pada seorang yang jauh disana.”
“Siapa?”
“Kedua orangtuaku.”
“Orangtuamu masih ada?” tanya Imron, mendekatiku dan diri ini pun hanya
menggangguk.
“Sepatutnya engkau wajib bersyukur, engkau masih beruntung Husein.
Kedua orangtuamu masih ada, sedangkan daku? Semuanya telah meninggalkan.
Sebenarnya petuah yang diberikan orangtua seharusnyalah ditaati. Saya
mengecewakan mereka, saya terlampau memperkosa gadis desa yang menjadi
impianku, hingga daku tertangkap basah oleh orang sekampung, dan kedua
orangtuaku tertekan jiwanya, sampai meninggal.”
“Engkau menyesal Imron?”
“Sangat, sangat sekali menyesal,” kulihat raut muka Imron yang kusut
jelas nampak tak mungkin ia buat-buat untuk melakukan hal semacam itu. Matanya
menatap tajam seolah ada suatu penyesalan yang tak mungkin ia kembalikan dalam
sekejap, manik bola matanya ada pengharapan akan ia raih dalam waktu yang
dekat.
“Apa yang harus engkau lakukan setelah keluar dari bui ini, Imron?”
“Membahagiakan mereka yang masih ada.”
“Maksudmu? Adikmu?”
“Ya, adikku,” saya menatap bola matanya.
“Daku juga ingin segera berumahtangga.”
“Menikah?” saya tertawa dengan renyah.
“Bagus, ternyata penghuni ruatan juga ingin berumahtangga,” saya
tertawa kembali, ia diam.
“Ah, engkau bisa saja Husein,” kami berdua tersenyum dan saling ketawa,
terbangunlah sahabatku yang senasib.
“Ada apa, rasa engkau berdua renyah betul tertawanya ceritalah padaku,
sahabat” kami berdua saling pandang.
“Engkau terlalu sibuk, Yasin” Yasin mendekati dalam perbincangan itu,
dan dia pun nimbrung. Kami pun saling saling cerita setelah melenyapkan
kelelahan.
Untunglah di dalam satu sel itu, kami hanya bertiga dan orang-orangnya
pun bisa dikatakan sangat ramah-ramah. Ya, mungkin mereka telah mengecap
belajar dalam ruang bangku pesantren serta didikan orangtua yang sangat
mencerdaskan mereka dalam mengarungi bahtera hidup yang penuh dengan kemelut.
Semua itu kuketahui dari cerita pengalaman-pengalaman pribadinya.
Semua sahabatku itu adalah dari golongan orang yang sangat berwibawa
dari keluarganya. Misalnya Yasin dari kalangan pesantren, bapaknya pengasuh
pondok pesantren. Ceritanya;
Ayahnya difitnah oleh segolongan yang sangat iri terhadap kesuksesan
ayahnya. Penggusuran tanah milik rakyat, mampu diatasi oleh orangtuanya. Namun
dari keberhasilannya itu tragedipun datang. Suatu saat ayahnya ditangkap oleh
segolongan orang yang tak dikenal dan dibunuh dengan cara keji. Kemudian Yasin
mengusut kasus terbunuhnya ayahandanya. Ternyata orang yang membunuhnya adalah
orang yang mempunyai persengketaan dalam proyek penggusuran tanah milik rakyat.
Tanpa panjang lebar ia pun langsung melesatkan silatnya dan tumbanglah
sekelompok itu. Yasin membunuh dengan singkat dan kemudian Yasin dijerumuskan
dalam bui ini. Mungkin Yasin lebih memilih untuk tetap yang terbaik dalam
kehidupannya.
Berbeda dengan Imron, beliau adalah seorang pemerkosa, namun itu
bukanlah kehendaknya. Ceritanya;
Sebenarnya pertunangannya hampir dilaksanakan bahkan sudah akan
menempuh jalan pernikahan dengan kekesaihnya itu, ada seorang bujang dari orang
kaya yang menginginkan kekasihnya itu sebagai pinangannya. Namun Imron tidak
menerima, pun halnya kekasinya itu, tetapi berbeda sekali dengan orangtua
kekasihnya itu dan kedua orangtua kekasihnya itu menginginkan Imron berpisah
dengan anaknya. Sebagai jalan satu-satunya agar orangtua kekasihnya menerima
dengan lapang, bergumullah dia dengan kekasihnya disebuah rumah kosong.
Sebenarnya ini adalah perbuatan dari hasil rekayasa orang kaya itu, dan
kemudian terkumpullah orang sekampung mengepung Imron yang sedang berada di
dalam rumah itu, dan Imron pun dipukul dengan hinanya.
Kemudian selang beberapa minggu Imron pun dengan amarah yang tak mampu
ia bendung ia pun membunuh orang kaya itu, dan Imron dijebloskan dipenjara di
daerahnya. Namun keluarga yang dibunuhnya tidak menerima dengan seperti itu,
haruslah Imron dihukum dengan seadil-adilnya dan dijebloskanlah Imron diruatan
yang mengerikan itu. Mendengar semuanya orangtunya pun meninggal tertekan
jiwanya.
Mereka saling bertukar cerita begitupun diri ini. Hal-hal yang membuat
jenuh diantara kami, merasa terselesaikan dengan cerita singkat yang cukup
menarik itu. Begitulah jika sekiranya rasa penat muncul dalam ruangan itu, rasa
gaduh pun terkekeh-kekeh daku ecap bersama mereka, dan terlewatlah kelelahan
dan tidak terasa jika diri ini mendekam berada di sana masih terasa jauh dari
hitungan jari.
* * *
Keadaan saya sangat payah ditinggalkan oleh orang-orang yang sebelumnya
menjadi sebuah keharuan. Tak lama dari sebulan pun badan ini sangat rapuh,
batuk-batuk, dan berpenyakitan. Ah, rasanya saat itu diri ini sangatlah pasrah
bila seandainya jasad ini terpisah dari ruh.
Sebenarnya cobaan dan gangguan dari pihak dalam yang sangat bengis
terhadapku. Saya menjalani hukuman itu penuh dengan kekerasan. Tiap malam saya
disiksa oleh sekelompok kawanan yang haus akan amarah. Tubuh ini sangatlah
biasa terkena hantaman ataupun pukulan tangan yang kekar atau sekalipun
pentungan yang sangat keras. Setiap hari secara bergilir kami dipaksa kerja di
tengah hutan, berangkat pagi buta dan pulang dini hari. Andai makan pun tak
selalayaknya manusia, kami diibaratkan sebagai hewan. Diri ini hanyalah pasrah,
seolah hanya siksaan Allah yang akan sangat pedih menimpaku, dan ini tidaklah
ada apa-apa bila dibandingkan dengan siksaan Allah kelak diakherat nanti.
Namun, hari-hari pun kulalui dengan ketabahan hati dan ketakwaan. Rasa jenuh
dan rasa ingin keluar dari gonggongan petugas pun merumuskan dalam otak-otak
sahabat dalam bui kami.
Rencana kabur...
Kami bertiga pun berniat untuk kabur dari bui itu dan rencana itu kami
mufakatkan sore itu;
Kami bersila membuat lingkaran dalam ruangan sempit itu, tentunya tanpa
sepengetahuan algojo para petugas.
“Sahabat, kita yakin kita pasti mampu untuk keluar dari tempat yang
laknat ini,” ucap Yasin dengan penuh semangat.
“Ya, kita pasti mampu,” Imron menimpali, rasa heroikpun tumbuh dalam
jiwa ini.
“Kita pasti dalam lindungan Allah,” ucap Yasin berkobar-kobar dengan mata
merah penuh dengan rasa semangat.
“Allah akan bersama kita sobat,” ucapku, serasa bergetar bibir ini.
“Engkau siap Husein?” tanya Yasin kepadaku
“Insyaallah,” ucapku dengan menganggukkan kepala dengan tegas
“Bagus.”
“Engkau Imron?”
“Seperti niat engkau sahabat.”
“Ingat..!!! Perbuatan yang akan kita lakukan adalah sebuah maut yang
akan kita temui andai kita tertimpah timah panas dalam gengaman algojo itu.”
“Sahabat, andai kita terpisah kelak berjuang dari maut. Jangan lupakan
akan keberadaan kita,” kami manggut-manggut.
“Bagaimana, rakit yang sudah engkau siapkan itu?” tanya Yasin, Imron
mengangguk.
“Alat-alat yang hendak mematikan listrik sudah siap?”
“Semuanya sudah siap.”
“Kita beroperasinya tengah malam, kira-kira jam satuan. Setelah algojo
itu terlelap dengan dengkurannya.”
Dan kami bertiga pun bersiap-siap dalam beberapa jam yang ditunggu itu.
Jam pun sudah menunjukan pukul satu kurang lima belas menit. Suasana sangat
hening dan tak satu pun suara terdengar, hanya suara binatang malam yang masih
angkuh.
“Husein....” bisik Yasin dengan nada sangat kecil, saya menganggukan
kepala pertanda siap, Imron pun dengan
sendirinya terbangun.
“Ssttsssttttssssssss......” kami terbangun dengan segera
“Sebelum kita melakukan semuanya, mari niat kita satukan terlebih
dahulu,” ucap Yasin
“Ya, engkau benar Yasin kita berdoa terlebih dahulu,” dan kami pun
berdoa dengan khusuknya, hampir tiga menit kami melakukan hal semacam itu.
Kami bertiga pun membobol atap, lama kami melakukan hal semacam itu.
Kami bertiga bergegas naik keatas atap secara bertahap. Kemudian kami lolos
dari lingkungan penjara itu. Untuk melalui kawat listrik itu Yasin memotong
alirannya. Setelah kami keluar dengan tak sadar satu penjaga melihat gelakat
kami, lalu berbunyilah alarm. Dikerahkan petugas-petugas yang menjadi algojo
yang bagai robot itu.
“Ada yang kabur,” teriak petugas.
Kami bertiga kacau dalam hal itu, kami lari sekuat tenaga dan hampirlah
kami di tepi pantai, dengan bergegas kami mengampiri rakit yang sudah
disediakan sesuai dengan rencana.
Para petugas pun dengan segera melesatkan tembakan peringatan namun
kami tak menggubriskan, niat sudah bulat di dada kami. Namun Yasin setelah
mengayuh, terjungkallah dia dengan tembakan timah panas, dia terseret ombak.
“Yasin...” spontan Imron berteriak.
“Pergilah kawan semoga engkau selamat ditujuan,” teriak Yasin.
“Imron jangan,” teriakku pula saat Imron akan melakuan hal yang
membahayakan. Sebenarnya perbuatan Imron sangatlah wajar akan menolong Yasin
namun perbuatan itu memberantas nyawanya pula dengan timah panas yang akan
menusuk dari pelatuk pistol algojo itu. Tanganku sekuat tenaga menariknya agar
ketengah rakit yang kami tunggangi.
Sebelum Imron dan saya akan menggeret Yasin ke tengah rakit tak
sempatlah kami menolongnya sebab petugas lebih cekatan dalam memainkan
pistolnya. Kami berdua pun kacau saat itu, sekuat tenaga pun dikayuh rakit
hingga sampai tengah laut, dan tak kelihatan pulau yang berpenghuni orang-orang
jahanam itu.
“Kita selamat Husein,” Imron merangkul tubuhku
“Ya, Imron”
“Tapi kita gagal sahabat kita,” kami berdua pun saling termenung dan
saling diam dari gemuruh ombak.
“Mari Husein kita berdoa untuk sahabat kita, Yasin. Semoga berpulangnya
beliau dengan tenang, semoga amal dan ibadahnya diterima disisi-Nya,” dan kami
berdua berdoa di tengah genangan air laut.
Lelah, tubuh ini pun serasa tak karuan merasakan pedih luka yang
tersiram air laut. Kami pun saling senyum.
“Selamat tinggal pulau yang telah menjadi hunianku, selamat tinggal
penderitaan,” saya hanya tersenyum melihat Imron seperti itu.
Kami berdua melepaskan lelah dengan berbaring di atas rakit dengan
goyangan gelombang laut yang tenang.
“Engkau bahagia Imron dengan bebasnya jasad ini dari cengkraman algojo
itu?”
“Engkau lucu Husein. Pastilah, setiap orang akan merasakan seperti
saya.”
“Berapa lamakah kita akan berada dirakit ini?”
“Entahlah.”
“Lihatlah Husein, bintang di langit begitu bertaburan. Kuasa Allah akan
menampakan kegagahannya.”
“Ya, begitu agung ke-Esaan Allah. Tiada banding dan tiada tanding.”
Sangat lama kami berbaring dalam ombang ambing air lautan yang tenang
itu. Namun beberapa saat pun kulihat samar langit laut kelabu seolah akan ada
sesuatu yang akan terjadi.
“Imron lihatlah, langit begitu mendungnya,” kami berdua terbangun dari
pembaringan.
“Ya, apakah itu pertanda akan ada sebuah badai?”
“Semoga tidak Imron, berdoalah pada Allah,” berhembuslah angin semula
kecil dan semakin kini semakin besar dan menabrak rakit yang sudah rapuh itu
“Pegang yang kuat Imron,” kami saling teriak menasehati.
“Engkau juga Husein.”
“Astagfirullah....” kami berdua ecap melakukan hal seperti itu.
Angin makin kencang dan hujan lebat pun turun dikencani dengan hembusan
gelombang badai yang sangat dahsyat kami berdua terhempas dari rakit.
“Husein....”
“Imron...” teriakku dari suara gemuruh ombak yang dahsyat dan rakit pun
bercerai berai hingga saya berpisah dengan Imron. Dan sempat kulihat jasad
Imron terhempas ombak dengan deburan yang sangat besar, dia tertelan dalam
gelombang itu. Mata ini pun seakan hitam pekat tak tahu menahu apa yang terjadi
selanjutnya setelah itu.
Hitam...
Kelabu...
Kelam....
Dan saat mata ini terbuka terlihat olehku orang yang tak dikenal,
serasa pening kepala dan lemah tubuh ini, remuk redam bak seorang yang banyak
patah-patah tulang...
“Dimana saya sekarang?” teriakku, peluhku sangat banyak menyusuri
sekujur tubuh
“Sudahlah istirahat dulu, tak perlu engkau cemaskan akan jasadmu itu,”
dan kemudian daku lenyap lagi dari ingatan.
0 Response to " SESAL # 13 Hidup di Bui"
Post a Comment