Kuingin bersamamu, berdendang
lewat lagu
Di pangkuanmu, didekatmu tanpa
ada yang cemburu
Kau, cinta aura dalam wujudku
O, Muzdalifah ......
Luluhkanlah hatiku
Sentuhlah hatiku, untukmu
......
Rasa bersalah penuh tercurahkan pada Muzdalifah. Ada semacam penyesalan
yang harus kubayar jauh dalam lubuk hatinya. Mungkin dari kejadian itu
Muzdalifah hanya ingin menjadi seorang diri dari lamunan pajangnya? Pengharapan
diri ini kepadanya pun ingin rasanya
bermula kembali seperti langkah awal. Tapi, semuanya tidak mungkin terjadi
tonggak sejarah yang kubangun sekian lama telah daku sia-siakan pula bersama
hilangnya perasaan itu, dan kembali pada posisi yang sangat mengkhawatirkan.
Akan kubangun kembali noktah merah pertunanganku bersama Muzdalifah, dan
biarlah kenangan bersama Nisa hilang bersama hilangnya perasaan dia pada
diriku. Tapi diri ini tidak punya niatan untuk hendak meninggalkan Nisa, hanya
waktu yang memang harus menjaga jarak dari semua kenangan itu.
Nisa, ikhlaskan bayangan wajahmu bersama anganku, bersama kenangan
kelam....
Dalam kejenuhan tanpa asmara, saya berniat untuk pulang ke kampung
halaman, pulang kesemula. Apakah ini adalah sutau langkah pasti untuk
menunjukan diri ini masih berharga di hadapan Muzdalifah? Tentunya rasa malu
dihadapannya sangatlah melekat, itu sangat kuperhitungkan. O, betapa hati ini
sangatlah melekat pada Muzdalifah, rasa merindu saat masa kanak-kanak, rasa
haru. Ah, rasanya tak dapat kubayangkan betapa perasaan ini muncul saat jasad
dalam keadaan terpuruk di hadapan Muzdalifah? Apakah rasa itu telah hilang saat
bersama Nisa? Mengapa keputusanku begitu mendadak untuk melangkah mewujudkan
kepada Muzdalifah sesungguh beliau akan baik-baik saja.
Saya pergi bersama langkah yang sangat payah, kuaraungi lautan itu
dengan niatan yang tulus untuk tetap bersama Muzdalifah, tentunya dengan niatan
yang tulus dan tiada mengada-ngada. Saya yakin Muzdalifah pun akan mengerti
dengan apa yang terjadi dan kuperbuat saat itu. Ah, tapi ini sangatlah tidak
yakin, bahwa manusia sesungguhnya adalah mahluk yang sangat pasti berubah
dengan ketentuan masing-masing, kuharap Muzdalifah seperti yang daku harapkan.
Semua itu saya lakukan tanpa memberitahu kepada Nisa. Biarlah saya pulang
dengan hati kosong dan pengharapan yang mungkin tiada arti lagi bagi seseorang
yang telah saya sia-siakan. Saya hanya berharap Muzdalifah mampu memberikan
yang terbaik bagi kelangsungan diri ini sebagai seorang yang dipandang hina
oleh seseorang di mata Allah.
Kukabarkan kehancuran hati ini pada hati nurani yang selama ini terus
membeku tanpa ada sentuhan ataupun percikan cinta kasih dari yang empunya alam
jagad ini. Hancur berkeping-keping sudah harapan, cita dan cinta yang mulia
yang semula kuagungkan hilang bersama sekejap ditelan keangkuhan dan keegoan
sebagai manusia biasa. Mau diapa dengan keadaanku sekarang? Bunuh dirikah?
Minum racun seranggakah? Agar kekecewaan dan kehancuran diri ini pun hilang
bersama lepasnya ruh dalam ragaku ini. Tidak, itu bukan suatu solusi yang
terbaik bagi diri yang hina ini, melainkan hanya tanggungjawab yang harus
kuperbuat terhadap ciptaan-Nya alam ini dan terhadap orang yang telah daku
kecewakan. Seorang pecundang pulang ke kandang sendiri, pulang bersama
keabadian hinaan.
* * *
Sesampai di rumah, terlihat orangtuaku yang sangat tua renta menatap
dengan pandangan seolah membenci diriku. Sudah terlalu lama jasad ini tidak
singgah dalam gubuk rumahku. Keadaan masih seprti semula, sama seperti diri ini
masih kecil. Tatapan tajam ayahku menusuk mata ini, seolah ada amarah yang
harus beliau lepaskan. Langkahku saya pendekan saat di hadapan ayah dan
bertekuk....
“Ini Husein......ayah,” suaraku terpatah-patah, langsung kubersujud di
bawah telapak kaki ayahanda. Air mataku tak kuat kubendung dengan segala
kekuatan namun dengan sendirinya pun melunak.
“Anak terkutuk,” bentak ayahku. Plak..... tangannya yang penuh dengan
keriput pun mendarat di pipiku. Sungguh diluar dugaanku ayah akan melakukan
semuanya. Ibuku menjerit, pun halnya Aisyah..
“Cukup Abang. Ingat...!!! Husein adalah anak kita,” isak ibu, perempuan
tua itu dengan susah payah menahan ayahanda.
“Kau telah mencoreng keluarga ini, kau telah mencemari adat.
Penzina...... adalah suatu bukti bahwa kau seorang yang dianggap hina dan tak
pantas untuk singgah di rumah ini,” bentak ayahku penuh amarah.
“Ibu, cobalah untuk menasehati ayah, ini Husein anakmu, ibu” mata ini
menatap ibuku juga Asiyah adikku. Tubuhku didekapkan di tubuhnya
“Aisyah, Abang rindu terhadapmu”
“Ibu, ayah maafkan Husein. Sungguh mati Husein tobat menjadi seorang
tak patuh terhadap orangtua,” tubuh ini pun merangkul perempuan yang sudah
renta tak berdaya itu, pun tubuh adikku yang mulai dewasa kupeluk dengan
kehangatan rindu yang mencekam. Suasana dalam rumah menjadi penuh dengan isak
tangis anak manusia. Saya tertunduk dengan lemahnya. Saya menatap sekeliling
keadaan. Ibu, ayah juga Aisyah.
“Husein, apakah engkau tak malu kehadiranmu kesini?” ucap ayah yang
masih menyimpan amarah.
“Kukira engkau sudah bersenang-senang dengan perawan kota itu?” ucapnya
kembali dengan nada nyinyir.
“Engkau tak perlu menemui Muzdalifah untuk meminta maaf,” air mata ayahku
meleleh dengan sendirinya, seakan ada sesuatu yang membuatnya sangat berat
untuk berucap.
“Beliau telah menjadi seorang yang asing setelah melihat dengan kepala
sendiri, engkau sedang melakukan yang dikutuk oleh Allah.”
“Kenapa Muzdalifah ayah?”
“Akibat perbuatanmu....” ayahku tidak melanjutkan ucapannya
“Ada apa gerangan pada Muzdalifah ayah, biarlah diri ini mendengarkan
semuanya.”
“Dia telah dinodai, setelah pulang dari sewaanmu.” hati ini pun sangat
penuh curiga bahwa sesungguhnya yang menodai Muzdalifah adalah pemuda lapuk
itu.
“Siapa yang telah melakukanya ayah?”
“Sahabatmu...”
“Salim...” benar pula dugaanku itu, lelaki culas, tak berperasaan.
“Dia berpura-pura menjadi seorang pahlawan, menjadi seorang dewa
penolong. Ternyata, dengan keadaan lemah Muzdalifah diraih kehormatannya dengan
biadab, dan dicampakan dengan sia-sia, seperti engkau menyia-nyiakannya.”
“Bangsat,” amarah pun memuncak saat mendengar nama Salim diucapkan.
Niatanku pun hilang setelah mendengar Muzdalifah seperti itu. Tubuhku makin
lemas, dan saya pun mencoba untuk memohon pada ayahandaku.
“Sekarang dimana Muzdalifah, ayah?”
“Beliau sekarang menjadi bulanan para tetangganya. Ia dibawa
kesaudaranya yang ada di desa. Entah di mana desa itu,” tertunduk sangat lemah
jasad ini.
“Engkau tak perlu kesana,” ucap ayahku tegas.
“Dan sekarang lebih baik enyahlah engkau dari pandanganku, diri ini
sangatlah muak dengan tingkahlakumu. Engkau telah daku anggap bukan sebagai
anakku,” Aisyah menangis, ibuku menjerit kudekap perempuan itu, mendengar
pengakuan ayahku itu. Dengan hati yang tenang saya mencoba mendekati ayah
“Ampuni saya ayah...... Kumohon beri ampun anakmu ini ayah,” derai air
mata pun berlangsung beberapa saat itu. Dengan segera ayahku menamparkan
tangannya yang keriput itu kearah mukaku. Ibuku, Aisyah adikku menahan dengan
kuat tangan ayah seakan hendak memukulku kembali.
“Ampunilah Abang anakmu itu. Sejelek-sejeleknya ia adalah anak
kandungmu sendiri.”
“Tidak, daku tidak ingin dia singgah dalam ruangan ini. Daku ingin
pemuda yang telah mencoreng keluarga ini pergi jauh dari kampung halaman ini.”
“Janganlah begitu Abang, Husein juga manusia yang tak luput dari dosa
dan noda. Ingat Abang, Husein bukanlah malaikat.”
“Sudah, engkau tidaklah membela anak jahanam ini,” bentak ayahku
“Biarlah jasad ini yang pergi, bila anak ini tidaklah pergi, bila
engkau menghendaki seperti itu.”
“Biarlah ibu, Husein saja yang pergi dari rumah ini.”
“Tidak anakku.”
“Biarlah ibu, memang sewajarnya bila ayah berucap seperti itu. Husein
tak pantas untuk singgah di rumah ini.”
“Husein...” ibuku mendekapku, kurasakan dekapan ibuku itu dengan
kehangatan.
“Aisyah....” mataku memandang satu-satunya adikku itu.
“Ia Abang.”
“Jagalah ayah dalam ketuaannya, juga ibu. Jangan engkau sia-siakan
mereka, kuharap engkau jadilah anak yang berbakti. Abang menyesal dengan
semuanya. Nanti Abang pasti kembali lagi untuk menjenguk ibu, juga kamu.”
“Tidak usah,” serobot ayah.
“Aisyah, jika berkenan suatu saat nanti Abang berkeinginan engkau ikut
dengan Abang ke rantau,” bisikku saat kupeluk adikku itu.
“Iya Abang...”
“Jaga diri baik-baik, jauhkan dirimu dari api neraka. Maafkan Abang
bila ada salah padamu. Abang pergi dulu ya....”
“Abang juga jaga diri baik-baik. Hati-hati Bang.....”
“Ibu, maafkan Husein,” kupeluk cium ibuku, deraian air mata menggenang
membasahi pundakku.
“Tak usah kau risaukan ayahmu. Bila berkenan kemarilah, dan jangan
lupakan ibumu ini.”
“Iya ibu. Husein pergi dulu, Aisyah.....” Kulangkahkan kaki dengan
sangat pendek, tatapan orang yang dahulu menyanyangi seakan tiada rela daku
untuk pergi. Mereka mengantarkanku sampai di halaman rumah dan sampai jasad ini
ditelan kelokan gang kecil. Ah, semoga apa yang kuperbuat menguatkan keteguhan
kalbunya, juga kalbuku. Kutinggalakan lagai kampung halamanku, keluargaku, tempat
kelahiranku, juga orang yang terkasih.
Kuhanya pasrah dengan kelemahan ini. Inilah sebuah risiko yang harus
saya terima dengan ikhlas bagi seorang pezina, bagi seorang yang membangkang
kedua orangtua. Daku juga sadar dengan apa yang diperbuat oleh ayahanda pada
diriku adalah sebuah sanksi yang harus kutanggung. Ayahku sangat keras dengan
pedomannya. Ah, biarlah memang harus seperti itu, hukum tidak mengenal siapa
orang dan siapa pula miskin dan yang kaya, tiada sanak saudara dalam hukum
andai salah tetaplah dihukum sesuai dengan aturan yang dipakai dalam norma yang
masih berlaku.
Saat itulah saya diusir oleh keluarga terutama ayahku sendiri, ibuku
menangis, pun halnya Aisyah adikku. Rasa rindu yang sekian lama terpendam,
akhirnya terjerembab dengan badai yang sangat ganas. Dan kuakui semuanya adalah
kesaksian yang harus kupertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Maafkan semuanya...
* * *
Dan saya pun kembali ke perantauan.....
Dalam niatku orang yang pertama saya temui adalah Salim, pemuda yang
menurutku paling busuk, harus kubunuh pemuda itu dengan tanganku sendiri. Harus
kuceraikan antara jasad dan ruhnya, biar hati ini puas dengan apa yang
kuperbuat, dan biar semua yang menimpa Muzdalifah tenang saat mendengar Salim
meninggal dengan tanganku sendiri. Tapi, biarlah naluri hati kecilku mengatakan
jangan terlebih dahulu Salim dibunuh tapi dia haruslah memepertanggungjawabkan
perbuatannya.
Sesaat tiba di sewaannya, seakan tiada bersalah dia menyalamiku. Nafas
ini naik turun saat melihat wajah culas lelaki itu.
“Engkau hendak bertanggung jawab atau tidak terhadap Muzdalifah?”
“Sabar sahabat,” kerah bajunya kutarik dengan segenap kekuatanku.
“Ada apa dengan semuanya ini?”
“Engaku jangan berlagak bodoh, Salim. Muzdalifah kini semakin payah
saat engkau nodai.”
“Bukankah dia mengalami seperti itu akibat dari perbuatan engkau,
Husein?”
“Ya, tapi kesempatan itu engkau manpaatkan.”
“Kesempatan apa? Daku tak maksud ucapanmu?”
“Disaat dia sedang mengalami goncangan jiwa, engkau tega menodainya.
Engkau tega Salim, engkau sangat jahat, perawan itu terlalu baik untuk kau
nodai. Daku pun tak tega untuk sekedar berjabat tangannya,” dia tersontak diam
“Kini perawan yang engkau nodai itu telah berubah menjadi seorang yang
asing, jiwanya tertekan, trauma yang engkau bangun melekat dalam ruang
lamunannya. Jika sekiranya engkau tidak mempunyai niatan untuk menikahinya,
jangan harap hari ini ruhmu melekat dengan jasadmu.”
“Tidak, semua ini bukan salahku, daku melakukan semua itu dengan suka
sama suka bersama dia. Dan juga ia terlalu bodoh untuk engkau dustai, Husein”
“Cukup. Sekarang engkau akan menikahinya atau tidak?” ucapku tegas
“Tidak...” dia geleng kepala dengan tegasnya pula.
“Apa alasanmu untuk tidak menikahi perawan itu?”
“Sebab saya melakukanya dengan suka sama suka, tanpa ada paksa dari
mana pun jua.”
“Dengan dalih itu, engkau akan lari dari semuanya? Tidak akan daku
biarkan Salim,” Dengan tiada tanpa menunggu aba-aba kulayangkan tinju.
“Sabar Husein!” dia terjungkal, kuhantamkan kembali tendanganku kearah
perutnya.
“Daku mohon tenangkanlah engkau,” bibirnya berdarah, dia tersungkur
setengah terbanting.
“Jangan berlagak bodoh iblis, lelaki culas,” Salim yang sungguh tida
menyana akan kulakukan hal semacam itu tiadalah membalas, sebab sangatlah payah
pemuda itu, tubuhnya terlalu ringking untuk ukuran jasadku.
“Seakan Tuhan-pun akan menghalalkan diri ini jika sekiranya jasadmu
berpisah dengan ruahanimu, Salim”
“Jangan Husein, kumohon jangan,” seakan tiada puas jasad ini, kuambil
kayu yang kokoh di halaman rumah itu, kuhantamkan kekepalanya dia terjungkal,
kuhantamkan kembali kepunggungnya, dia sangat payah, kuhantam kembali
kebadannya, dan terakhir kekepalanya kembali, hingga ia terjungkal dan
berdarah. Ia tak mampu berbuat banyak. Dan diri ini pun sangat lemas memandang
sahabat duluku itu tergolek tiada berdaya dengan bercucuran darah dari sekujur
jasadnya. Tak ada detakan lagi keadaan nadi Salim, itu berarti pemuda lapuk itu
jasadnya telah berpisah dengan ruhaninya.
Merasa puas dengan semuanya, diri ini pun melangkah dengan sangat
lemasnya. Tanpa merasa berdosa sedikitpun kulakukan semuanya, hanya sebuah rasa
puas dalam diri ini.
* * *
Sehari setelah menghilangkan jasad Salim dengan ruhnya, diri ini pun
mulai kehilangan keseimbangan, seakan bingung apa yang harus kulakukan setelah
itu.
Diri ini pun berniat untuk menengok kembali keadaan Nisa, dan ingin
sekali menceritakan suatu kejadian itu terhadapnya, mungkin bebanku akan
sedikit ringan, walaupun Nisa tidak akan sepenuhnya menerimaku.
Dan sesampai di sewaannya, ternyata Nisa tiada, sudah meninggalkan
sewaannya dan barang-barangnya pun sudah tiada pula. Ia telah pergi
meninggalkanku, meninggalkan semua kenagan bersamaku, entah kemana dia? O,
Tuhan mungkin ini kutukan-Mu yang makin hari makin saya rasakan walau tak
sebanding dengan hinaanku pada-Mu.
Namun, beberapa langkah kaki ini meninggalkan sewaan Nisa, selembar
kertas pun mencuri perhatian mata ini. Seolah kertas itu ingin berbagi cerita
tentang keluh kesah hati, bahwa kabar Nisa berada di dirinya. Kuambil kertas
hampir kumal itu, saat itu pun saya dikejutkan, kertas itu tertera surat
keterangan dokter yang menyatakan bahwa Nisa sedang mengandung empat minggu.
Seakan mendung langit sekan hendak runtuh dunia dengan gonjangan itu, tubuh ini
sangat lemas dengan kabar dari surat itu. O, Tuhan kutukan apa lagi yang akan
kau berikan, hingga orang yang selama ini mendampingiku sedikit demi sedikit
hilang seperti hilangnya iman dan taqwaku. Saat itulah kekacauan yang dahsyat
pun menyelusup dalam ruh ini, entah apa yang harus saya lakukan untuk
menenangkan jiwa yang rapuh ini? Entah kesiapa lagi yang menjadi peganganku
untuk beradu kesengsaraan ini?
0 Response to " SESAL # 12 Sesal"
Post a Comment