SESAL # 12 Sesal



Kuingin bersamamu, berdendang lewat lagu
Di pangkuanmu, didekatmu tanpa ada yang cemburu
Kau, cinta aura dalam wujudku
O,  Muzdalifah ......
Luluhkanlah hatiku
Sentuhlah hatiku, untukmu ......

Rasa bersalah penuh tercurahkan pada Muzdalifah. Ada semacam penyesalan yang harus kubayar jauh dalam lubuk hatinya. Mungkin dari kejadian itu Muzdalifah hanya ingin menjadi seorang diri dari lamunan pajangnya? Pengharapan diri ini kepadanya pun ingin  rasanya bermula kembali seperti langkah awal. Tapi, semuanya tidak mungkin terjadi tonggak sejarah yang kubangun sekian lama telah daku sia-siakan pula bersama hilangnya perasaan itu, dan kembali pada posisi yang sangat mengkhawatirkan. Akan kubangun kembali noktah merah pertunanganku bersama Muzdalifah, dan biarlah kenangan bersama Nisa hilang bersama hilangnya perasaan dia pada diriku. Tapi diri ini tidak punya niatan untuk hendak meninggalkan Nisa, hanya waktu yang memang harus menjaga jarak dari semua kenangan itu.

Nisa, ikhlaskan bayangan wajahmu bersama anganku, bersama kenangan kelam....

Dalam kejenuhan tanpa asmara, saya berniat untuk pulang ke kampung halaman, pulang kesemula. Apakah ini adalah sutau langkah pasti untuk menunjukan diri ini masih berharga di hadapan Muzdalifah? Tentunya rasa malu dihadapannya sangatlah melekat, itu sangat kuperhitungkan. O, betapa hati ini sangatlah melekat pada Muzdalifah, rasa merindu saat masa kanak-kanak, rasa haru. Ah, rasanya tak dapat kubayangkan betapa perasaan ini muncul saat jasad dalam keadaan terpuruk di hadapan Muzdalifah? Apakah rasa itu telah hilang saat bersama Nisa? Mengapa keputusanku begitu mendadak untuk melangkah mewujudkan kepada Muzdalifah sesungguh beliau akan baik-baik saja.

Saya pergi bersama langkah yang sangat payah, kuaraungi lautan itu dengan niatan yang tulus untuk tetap bersama Muzdalifah, tentunya dengan niatan yang tulus dan tiada mengada-ngada. Saya yakin Muzdalifah pun akan mengerti dengan apa yang terjadi dan kuperbuat saat itu. Ah, tapi ini sangatlah tidak yakin, bahwa manusia sesungguhnya adalah mahluk yang sangat pasti berubah dengan ketentuan masing-masing, kuharap Muzdalifah seperti yang daku harapkan. Semua itu saya lakukan tanpa memberitahu kepada Nisa. Biarlah saya pulang dengan hati kosong dan pengharapan yang mungkin tiada arti lagi bagi seseorang yang telah saya sia-siakan. Saya hanya berharap Muzdalifah mampu memberikan yang terbaik bagi kelangsungan diri ini sebagai seorang yang dipandang hina oleh seseorang di mata Allah.

Kukabarkan kehancuran hati ini pada hati nurani yang selama ini terus membeku tanpa ada sentuhan ataupun percikan cinta kasih dari yang empunya alam jagad ini. Hancur berkeping-keping sudah harapan, cita dan cinta yang mulia yang semula kuagungkan hilang bersama sekejap ditelan keangkuhan dan keegoan sebagai manusia biasa. Mau diapa dengan keadaanku sekarang? Bunuh dirikah? Minum racun seranggakah? Agar kekecewaan dan kehancuran diri ini pun hilang bersama lepasnya ruh dalam ragaku ini. Tidak, itu bukan suatu solusi yang terbaik bagi diri yang hina ini, melainkan hanya tanggungjawab yang harus kuperbuat terhadap ciptaan-Nya alam ini dan terhadap orang yang telah daku kecewakan. Seorang pecundang pulang ke kandang sendiri, pulang bersama keabadian hinaan.

* * *

Sesampai di rumah, terlihat orangtuaku yang sangat tua renta menatap dengan pandangan seolah membenci diriku. Sudah terlalu lama jasad ini tidak singgah dalam gubuk rumahku. Keadaan masih seprti semula, sama seperti diri ini masih kecil. Tatapan tajam ayahku menusuk mata ini, seolah ada amarah yang harus beliau lepaskan. Langkahku saya pendekan saat di hadapan ayah dan bertekuk....

“Ini Husein......ayah,” suaraku terpatah-patah, langsung kubersujud di bawah telapak kaki ayahanda. Air mataku tak kuat kubendung dengan segala kekuatan namun dengan sendirinya pun melunak.

“Anak terkutuk,” bentak ayahku. Plak..... tangannya yang penuh dengan keriput pun mendarat di pipiku. Sungguh diluar dugaanku ayah akan melakukan semuanya. Ibuku menjerit, pun halnya Aisyah..

“Cukup Abang. Ingat...!!! Husein adalah anak kita,” isak ibu, perempuan tua itu dengan susah payah menahan ayahanda.

“Kau telah mencoreng keluarga ini, kau telah mencemari adat. Penzina...... adalah suatu bukti bahwa kau seorang yang dianggap hina dan tak pantas untuk singgah di rumah ini,” bentak ayahku penuh amarah.

“Ibu, cobalah untuk menasehati ayah, ini Husein anakmu, ibu” mata ini menatap ibuku juga Asiyah adikku. Tubuhku didekapkan di tubuhnya

“Aisyah, Abang rindu terhadapmu”

“Ibu, ayah maafkan Husein. Sungguh mati Husein tobat menjadi seorang tak patuh terhadap orangtua,” tubuh ini pun merangkul perempuan yang sudah renta tak berdaya itu, pun tubuh adikku yang mulai dewasa kupeluk dengan kehangatan rindu yang mencekam. Suasana dalam rumah menjadi penuh dengan isak tangis anak manusia. Saya tertunduk dengan lemahnya. Saya menatap sekeliling keadaan. Ibu, ayah juga Aisyah.

“Husein, apakah engkau tak malu kehadiranmu kesini?” ucap ayah yang masih menyimpan amarah.

“Kukira engkau sudah bersenang-senang dengan perawan kota itu?” ucapnya kembali dengan nada nyinyir.

“Engkau tak perlu menemui Muzdalifah untuk meminta maaf,” air mata ayahku meleleh dengan sendirinya, seakan ada sesuatu yang membuatnya sangat berat untuk berucap.

“Beliau telah menjadi seorang yang asing setelah melihat dengan kepala sendiri, engkau sedang melakukan yang dikutuk oleh Allah.”

“Kenapa Muzdalifah ayah?”

“Akibat perbuatanmu....” ayahku tidak melanjutkan ucapannya

“Ada apa gerangan pada Muzdalifah ayah, biarlah diri ini mendengarkan semuanya.”

“Dia telah dinodai, setelah pulang dari sewaanmu.” hati ini pun sangat penuh curiga bahwa sesungguhnya yang menodai Muzdalifah adalah pemuda lapuk itu.

“Siapa yang telah melakukanya ayah?”

“Sahabatmu...”

“Salim...” benar pula dugaanku itu, lelaki culas, tak berperasaan.

“Dia berpura-pura menjadi seorang pahlawan, menjadi seorang dewa penolong. Ternyata, dengan keadaan lemah Muzdalifah diraih kehormatannya dengan biadab, dan dicampakan dengan sia-sia, seperti engkau menyia-nyiakannya.”

“Bangsat,” amarah pun memuncak saat mendengar nama Salim diucapkan. Niatanku pun hilang setelah mendengar Muzdalifah seperti itu. Tubuhku makin lemas, dan saya pun mencoba untuk memohon pada ayahandaku.

“Sekarang dimana Muzdalifah, ayah?”

“Beliau sekarang menjadi bulanan para tetangganya. Ia dibawa kesaudaranya yang ada di desa. Entah di mana desa itu,” tertunduk sangat lemah jasad ini.

“Engkau tak perlu kesana,” ucap ayahku tegas.

“Dan sekarang lebih baik enyahlah engkau dari pandanganku, diri ini sangatlah muak dengan tingkahlakumu. Engkau telah daku anggap bukan sebagai anakku,” Aisyah menangis, ibuku menjerit kudekap perempuan itu, mendengar pengakuan ayahku itu. Dengan hati yang tenang saya mencoba mendekati ayah

“Ampuni saya ayah...... Kumohon beri ampun anakmu ini ayah,” derai air mata pun berlangsung beberapa saat itu. Dengan segera ayahku menamparkan tangannya yang keriput itu kearah mukaku. Ibuku, Aisyah adikku menahan dengan kuat tangan ayah seakan hendak memukulku kembali.

“Ampunilah Abang anakmu itu. Sejelek-sejeleknya ia adalah anak kandungmu sendiri.”

“Tidak, daku tidak ingin dia singgah dalam ruangan ini. Daku ingin pemuda yang telah mencoreng keluarga ini pergi jauh dari kampung halaman ini.”

“Janganlah begitu Abang, Husein juga manusia yang tak luput dari dosa dan noda. Ingat Abang, Husein bukanlah malaikat.”

“Sudah, engkau tidaklah membela anak jahanam ini,” bentak ayahku

“Biarlah jasad ini yang pergi, bila anak ini tidaklah pergi, bila engkau menghendaki seperti itu.”

“Biarlah ibu, Husein saja yang pergi dari rumah ini.”

“Tidak anakku.”

“Biarlah ibu, memang sewajarnya bila ayah berucap seperti itu. Husein tak pantas untuk singgah di rumah ini.”

“Husein...” ibuku mendekapku, kurasakan dekapan ibuku itu dengan kehangatan.

“Aisyah....” mataku memandang satu-satunya adikku itu.

“Ia Abang.”

“Jagalah ayah dalam ketuaannya, juga ibu. Jangan engkau sia-siakan mereka, kuharap engkau jadilah anak yang berbakti. Abang menyesal dengan semuanya. Nanti Abang pasti kembali lagi untuk menjenguk ibu, juga kamu.”

“Tidak usah,” serobot ayah.

“Aisyah, jika berkenan suatu saat nanti Abang berkeinginan engkau ikut dengan Abang ke rantau,” bisikku saat kupeluk adikku itu.

“Iya Abang...”

“Jaga diri baik-baik, jauhkan dirimu dari api neraka. Maafkan Abang bila ada salah padamu. Abang pergi dulu ya....”

“Abang juga jaga diri baik-baik. Hati-hati Bang.....”

“Ibu, maafkan Husein,” kupeluk cium ibuku, deraian air mata menggenang membasahi pundakku.

“Tak usah kau risaukan ayahmu. Bila berkenan kemarilah, dan jangan lupakan ibumu ini.”

“Iya ibu. Husein pergi dulu, Aisyah.....” Kulangkahkan kaki dengan sangat pendek, tatapan orang yang dahulu menyanyangi seakan tiada rela daku untuk pergi. Mereka mengantarkanku sampai di halaman rumah dan sampai jasad ini ditelan kelokan gang kecil. Ah, semoga apa yang kuperbuat menguatkan keteguhan kalbunya, juga kalbuku. Kutinggalakan lagai kampung halamanku, keluargaku, tempat kelahiranku, juga orang yang terkasih.

Kuhanya pasrah dengan kelemahan ini. Inilah sebuah risiko yang harus saya terima dengan ikhlas bagi seorang pezina, bagi seorang yang membangkang kedua orangtua. Daku juga sadar dengan apa yang diperbuat oleh ayahanda pada diriku adalah sebuah sanksi yang harus kutanggung. Ayahku sangat keras dengan pedomannya. Ah, biarlah memang harus seperti itu, hukum tidak mengenal siapa orang dan siapa pula miskin dan yang kaya, tiada sanak saudara dalam hukum andai salah tetaplah dihukum sesuai dengan aturan yang dipakai dalam norma yang masih berlaku.

Saat itulah saya diusir oleh keluarga terutama ayahku sendiri, ibuku menangis, pun halnya Aisyah adikku. Rasa rindu yang sekian lama terpendam, akhirnya terjerembab dengan badai yang sangat ganas. Dan kuakui semuanya adalah kesaksian yang harus kupertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Maafkan semuanya...

* * *

Dan saya pun kembali ke perantauan.....

Dalam niatku orang yang pertama saya temui adalah Salim, pemuda yang menurutku paling busuk, harus kubunuh pemuda itu dengan tanganku sendiri. Harus kuceraikan antara jasad dan ruhnya, biar hati ini puas dengan apa yang kuperbuat, dan biar semua yang menimpa Muzdalifah tenang saat mendengar Salim meninggal dengan tanganku sendiri. Tapi, biarlah naluri hati kecilku mengatakan jangan terlebih dahulu Salim dibunuh tapi dia haruslah memepertanggungjawabkan perbuatannya.

Sesaat tiba di sewaannya, seakan tiada bersalah dia menyalamiku. Nafas ini naik turun saat melihat wajah culas lelaki itu.

“Engkau hendak bertanggung jawab atau tidak terhadap Muzdalifah?”

“Sabar sahabat,” kerah bajunya kutarik dengan segenap kekuatanku.

“Ada apa dengan semuanya ini?”

“Engaku jangan berlagak bodoh, Salim. Muzdalifah kini semakin payah saat engkau nodai.”

“Bukankah dia mengalami seperti itu akibat dari perbuatan engkau, Husein?”

“Ya, tapi kesempatan itu engkau manpaatkan.”

“Kesempatan apa? Daku tak maksud ucapanmu?”

“Disaat dia sedang mengalami goncangan jiwa, engkau tega menodainya. Engkau tega Salim, engkau sangat jahat, perawan itu terlalu baik untuk kau nodai. Daku pun tak tega untuk sekedar berjabat tangannya,” dia tersontak diam

“Kini perawan yang engkau nodai itu telah berubah menjadi seorang yang asing, jiwanya tertekan, trauma yang engkau bangun melekat dalam ruang lamunannya. Jika sekiranya engkau tidak mempunyai niatan untuk menikahinya, jangan harap hari ini ruhmu melekat dengan jasadmu.”

“Tidak, semua ini bukan salahku, daku melakukan semua itu dengan suka sama suka bersama dia. Dan juga ia terlalu bodoh untuk engkau dustai, Husein”

“Cukup. Sekarang engkau akan menikahinya atau tidak?” ucapku tegas

“Tidak...” dia geleng kepala dengan tegasnya pula.

“Apa alasanmu untuk tidak menikahi perawan itu?”

“Sebab saya melakukanya dengan suka sama suka, tanpa ada paksa dari mana pun jua.”

“Dengan dalih itu, engkau akan lari dari semuanya? Tidak akan daku biarkan Salim,” Dengan tiada tanpa menunggu aba-aba kulayangkan tinju.

“Sabar Husein!” dia terjungkal, kuhantamkan kembali tendanganku kearah perutnya.

“Daku mohon tenangkanlah engkau,” bibirnya berdarah, dia tersungkur setengah terbanting.

“Jangan berlagak bodoh iblis, lelaki culas,” Salim yang sungguh tida menyana akan kulakukan hal semacam itu tiadalah membalas, sebab sangatlah payah pemuda itu, tubuhnya terlalu ringking untuk ukuran jasadku.

“Seakan Tuhan-pun akan menghalalkan diri ini jika sekiranya jasadmu berpisah dengan ruahanimu, Salim”

“Jangan Husein, kumohon jangan,” seakan tiada puas jasad ini, kuambil kayu yang kokoh di halaman rumah itu, kuhantamkan kekepalanya dia terjungkal, kuhantamkan kembali kepunggungnya, dia sangat payah, kuhantam kembali kebadannya, dan terakhir kekepalanya kembali, hingga ia terjungkal dan berdarah. Ia tak mampu berbuat banyak. Dan diri ini pun sangat lemas memandang sahabat duluku itu tergolek tiada berdaya dengan bercucuran darah dari sekujur jasadnya. Tak ada detakan lagi keadaan nadi Salim, itu berarti pemuda lapuk itu jasadnya telah berpisah dengan ruhaninya.

Merasa puas dengan semuanya, diri ini pun melangkah dengan sangat lemasnya. Tanpa merasa berdosa sedikitpun kulakukan semuanya, hanya sebuah rasa puas dalam diri ini.

* * *

Sehari setelah menghilangkan jasad Salim dengan ruhnya, diri ini pun mulai kehilangan keseimbangan, seakan bingung apa yang harus kulakukan setelah itu.

Diri ini pun berniat untuk menengok kembali keadaan Nisa, dan ingin sekali menceritakan suatu kejadian itu terhadapnya, mungkin bebanku akan sedikit ringan, walaupun Nisa tidak akan sepenuhnya menerimaku.

Dan sesampai di sewaannya, ternyata Nisa tiada, sudah meninggalkan sewaannya dan barang-barangnya pun sudah tiada pula. Ia telah pergi meninggalkanku, meninggalkan semua kenagan bersamaku, entah kemana dia? O, Tuhan mungkin ini kutukan-Mu yang makin hari makin saya rasakan walau tak sebanding dengan hinaanku pada-Mu.

Namun, beberapa langkah kaki ini meninggalkan sewaan Nisa, selembar kertas pun mencuri perhatian mata ini. Seolah kertas itu ingin berbagi cerita tentang keluh kesah hati, bahwa kabar Nisa berada di dirinya. Kuambil kertas hampir kumal itu, saat itu pun saya dikejutkan, kertas itu tertera surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa Nisa sedang mengandung empat minggu. Seakan mendung langit sekan hendak runtuh dunia dengan gonjangan itu, tubuh ini sangat lemas dengan kabar dari surat itu. O, Tuhan kutukan apa lagi yang akan kau berikan, hingga orang yang selama ini mendampingiku sedikit demi sedikit hilang seperti hilangnya iman dan taqwaku. Saat itulah kekacauan yang dahsyat pun menyelusup dalam ruh ini, entah apa yang harus saya lakukan untuk menenangkan jiwa yang rapuh ini? Entah kesiapa lagi yang menjadi peganganku untuk beradu kesengsaraan ini?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " SESAL # 12 Sesal"

Post a Comment