Kurang lebih dari setengah tahun itulah saya mengarungi asmara bersama
Nisa dan datanglah sebuah bencana. Entah karunia? Ah, rasanya tak ingin saya
ceritakan kejadian itu. Mungkin yang sangat dikhawatirkan oleh Salim, sudah
jelas menghadang dipelupuk mata, dan sangat kurasakan yaitu suatu bujukan yang
akan menjerumuskan jasad dalam lebah kenistaan dalam golongan yang sangat hina
di hadapan Allah. Ya, kejadian itu suatu bukti kepicikan iblis memperangkap
anak cucu Adam. O, ingin rasanya saya menjerit saat itu, menandakan suatu bukti
bahwa diri ini adalah tidaklah yang dimaksudkan oleh Salim sebagaimana dia
berucap yang menyakitkan itu.
Kira-kira seperti ini
ceritanya;
Di sore itu langit sangat mendung. Sebenarnya sudah kukatakan pada Nisa
tidak usah repot-repot untuk mengunjungi diri ini sebab langit sangat gelap,
tetapi rindulah yang mengalahkan semuanya. Rinai hujan pun mulai turun, dan
makin lama semakin lebat, mungkin dari awal itu bencana mulai datang. Sungguh
saya tidak terpikirkan akan melakukan sesuatu yang membuatnya terguncang. Ah,
semoga Allah mengampuni jasad ini.
Saat beliau berkunjung dengan rindunya, di tengah jalan hujan pun turun
lebat, hingga pakaian yang melilit tubuhnya yang mungil itu terkuyup oleh rinai
hujan kala itu. Tiba di kamarku, beliau pun terdiam menggigil. Bibirnya
bergetar, wajahnya yang putih semakin putih bagai seonggok mayat. Pucat, tak
berwarna. Walau demikian kemanisan dalam aura wajahnya masih terlihat, dan
nampak sempurna.
“Abang, saya kedinginan,” spontan saya tergugup. Kusodorkan handuk kering
untuk mengusap jasadnya yang kuyup itu.
“Engkau terlalu nekat Nisa,” dan kerudung yang dikenakannya pun ia
lepas dengan tak sadar.
“Pakailah baju ini, semoga engkau tidak teralalu menggigil, dan sesudah
itu beristirahatlah, berbaringlah di atas kasur itu, agar engkau tidak payah,”
dia menurut perkataanku, mengenakan pakaian. Sesuadah itu ia berbaring dengan
sangat payahnya. Sampai malam tiba pun hujan tak henti-henti, Nisa masih
tergolek lemah di atas kasur itu, dan sampailah ditengah malam. Nisa terbangun
dan bibirnya bergetar mengatakan sesuatu;
“Abang Nisa kedinginan,” dengan sepontan saya bergegas mengambil teh
hangat, kemudian saya tenggakkan dimulutnya. Hasilnya lumayan. Wajahnya yang
pucat menatapku dengan sayu.
“Apakah Abang akan meninggalkan Nisa?”
“Sudahlah engkau istirahat saja jangan memikirkan sesuatu apapun.”
“Tidak Abang, Nisa sudah terlalu dalam merasakan getaran jiwa ini. Nisa
terlalu jatuh hati terhadapmu.”
“Ya, Abang tahu. Tapi sekarang engkau istirahat saja, biar nanti pagi
badanmu pulih kembali.”
“Seberapa besar cinta Abang terhadap Nisa?” saya menatap penuh hangat,
dan bibir ini pun tersenyum memberikan keyakinan pada perawan itu.
“Dekaplah Abang tubuh ini,” bergetarlah jantung ini, sungguh diluar
dugaanku perawan yang kuanggap sangat alim ternyata mengharapakan dekapan
hangatku. Ah, tidak mungkin beliau mengatakan itu hanya pada seorang ia cintai.
Ya, hanya yang orang ia cintai adalah diri ini.
Apa yang harus saya lakukan? Memeluknyakah? Mendekap erat sesuai dengan
perintahnya? Ah, tidak saya bukan muhrimnya. Ataukah saya akan membiarkan ia
menggigil? sampai dia menemukan ajalnya? Ini juga tidak, saya yakin Tuhan pun
mengijinkan bila umatnya terdesak untuk melakukan hal yang terbaik apapun
risikonya itu. Kuhempas dosa, kusingkirkan laknat dari Tuhan. Saat itu juga
saya pun memeluknya, mendekap erat tubuh yang ringkih itu dengan segenap rasa
cintaku. Hal yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Sungguh ini adalah
peristiwa yang tak pernah saya lakukan. O, semoga ini adalah anugera bukan
sebuah laknat dari Tuhan, sebab memetik buah huldy penuh dengan pengorbanan.
Biarlah saya akan mempertanggungjawabkan segala hal yang kuperbuat ini kelak di
akherat nanti.
Saya mendekap erat tubuh mungil Nisa. O, Tuhan betapa hebatnya getaran
ini. Inikah yang dirasakan Adam saat memeluk Hawa? Dan apakah ini yang
dinamakan oleh pria normal dewasa? Kuhempaskan bisikan malaikat saat itu, dan
kudengar sabda iblis saat berbisik pelan terdengar sayup di dadaku bergemuruh
dengan detak jantungku yang berdebar. Saya runtuh, pun halnya Nisa....... (maaf
sahabat, saya tak mampu untuk menceritakan sejelas mungkin, dan tak bisa saya
salin cerita ini, sebab semua ini terjadi hanya pada seseorang yang lemah iman.
Sesungguhnya Allah mengutuk apapun bentuk dan alasan perbuatan seperti itu.
Semoga kita tersingkirkan dari fitnah api neraka).
Saat itulah perasaan bersalah pun hinggap dalam diri ini.....
Nisa menangis saat setelah menikmati pergumulan yang laknat itu. Pun
halnya saya....
“Kita telah melakukan hal yang dilarang oleh Allah, kita penzina
Abang,” saya diam terpaku tanpa ada kata-kata. Dia menangis, pondasi yang dia
bangun selama hidupnya runtuh dalam sekejap.
“Mungkinkah dosa kita akan diampuni? Sedangkan dosa zina adalah sesuatu
yang dibenci oleh Allah,” saya kembali hanya diam. Langit mendung tersaput awan
kelabu, rintik hujan pun datang kembali.
“Tak perlu engkau risaukan, ini adalah sebuah sejarah yang harus kita
lalui sesuai dengan ketentuan Allah.”
“Saya takut dengan ketentuan itu, Abang” jasad ini masih mendekap
tubuhnya.
“Apakah engkau akan menyia-nyiakan diri ini, Abang?”
“Tidak Nisa, semoga laknatlah yang menimpa diri ini bila
menyia-nyiakanmu,” perbincangan itu tak henti hingga tubuh ini tergolek dengan
lemahnya, sampai subuh tiba. Kemudian kami mandi besar berdua, setelah itu kami
berdua pun melaksanakan sholat subuh, memunajat memohon agar diri ini tidaklah
menjadi bara api neraka kelak diakherat nanti.
* * *
Selang beberapa minggu setelah
itu.....
Detak jantungku makin mengencang, rasa bersalah pun makin melebar dalam
sayap pikiran. Namun kembali keinginan untuk melakukan kala tengah malam itu
kembali mencekam. Mungkin inikah yang dinamakan perjuangan sebagai yang
dikatakan Rasulallah pada saat perang Badar, bahwa sesungguhnya perang yang
sangat besar itu bukanlah perang yang telah dialaminya, melainkan perang yang
berkecamuk dalam hawa nafsu kita. Bisikan setan yang berbisik dalam dada kita
untuk menjerumuskan suatu laknat pada diri manusia yang menjadi musuhnya.
Sebuah keinginan yang sangat dahsyat, membisik dalam kesyahwatanku.
Sebuah perang Badar yang dilakoni oleh sang revolusioner Rasulallah, yang pada
saat itu adalah perang yang terbesar, ternyata dalam pandangan Rasulallah tidak
demikian perang yang sangat dahsyat itu adalah perang melawan hawa nafsu.
Perang yang sekarang saya hadapi. O, betapa hebatnya bisikan iblis dalam
dadaku. Saya berlindung pada-Mu ya Allah. Semoga kejadian tengah malam itu
cukuplah menjadi bukti sejarah yang kotor dan tak akan terulang kembali.
Lagi-lagi bisikan itu terlalu hebat untuku, semoga ini hanya bisik iblis belaka
yang hanya akan meruntuhkan keimananku untuk yang kedua kalinya.
Namun, lagi-lagi iblis pun menang. Ya, Allah imanku runtuh, taqwaku
luntur, saya melakukan kembali dosa yang Kau kutuk. Saya menangis, pun halnya
Nisa. Rasa berdosa menyelimuti setelah melakukan hal itu. O, inikah perangkap
iblis yang Kau maksud? Seakan diri ini sangatlah tidak berguna untuk melakoni
perrgolakan hidup yang mungkin akan berlumur dosa.
Selang beberapa hari pun kami melakukan kembali, tiga, empat dan
selanjutnya. O, ya Allah kenapa saya merasa berdosa setelah melakukan hal itu?
Namun ketika keinginan datang merasuk dalam hawa nafsuku, rasa itu adalah yang
paling menonjol dan paling kuat, dan pada saat itu sebuah dosa hanyalah sebagai
buaian penakut bagi anak kecil yang tak tahu menahu atas kenikmatan. Mungkinkah
saya termasuk orang yang ingkar atas kenikmatan yang Engkau berikan wahai
Allah?
Apa artinya dosa yang digunjingkan orang, bukankan sebuah dosa itu
diperlukan dalam hidup manusia? Kalau ingin tak berdosa jangan jadi manusia,
jadi saja malaikat. Semoga dosa ini menjadikan agar diri ini menjadi seorang
yang utuh, sebagai manusia yang telah jatuh seperti Adam dan Hawa . Jika
sekiranya Allah menciptakan (kebaikan dan keburukan) sebagai ketentuan-Nya,
mengapa manusia yang harus mempertanggungjawabkan semuanya? O, ya Allah
ampunilah hambamu ini yang telah mencoba menjadi pemberontak yang picik, yang
dungu, yang tolol, yang bodoh dengan keilmuan luhur-Mu. Sebagai ibarat ilmu-Mu
adalah air dalam lautan, dan saya hanyalah setetesnya. O, betapa kecilnya
hamba-Mu ini di hadapan-Mu.
* * *
Pertemuan kembali dengan
Muzdalifah...
Entah maksud apa Salim melakukan hal yang sangat diluar dugaanku? Ia
mengirim Muzdalifah, membawakannya dihadapku. O, betapa hancur hatinya. Sungguh
sangat picik pemuda pendek itu.
Sampai pada suatu hari kehancuran datang hinggap dalam pergumuluan
zinaku. Bersama Salim, Muzdalifah dikirim untuk melihat kelakuanku, gadis desa
yang lugu itu datang saat kami melakukan hal yang terkutuk. O, sangat perihnya
hati ini saat melihat wajah gadis lugu itu. Salim tersenyum menang.
Pandangan mata Muzdalifah sangat datar penuh dengan deraian air mata.
Ia terpaku, ia membisu seakan yang sedang melakukan hal itu adalah bukan diriku
sebenarnya. Kupandangi dengan tatapan terpaku, terlihat lelehan air mata
membasahi pipinya. Sejenak diri ini hanyalah mampu berdiam seakan orang yang
tolol.
Ia tidak marah, tidak mencaci maki saya. Ia tidak membunuh saya, hanya
pandangan datar yang beliau mampu untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya
beliau sangat prihatin melihat kejadian semua itu. Ya Allah inikah akhir dari
semua kenikmatan selama beberapa bulan saja? Muzdalifah tersenyum manis, ia pun
berlalu dan pergi. Pergi meninggalkan sejuta kepedihan, dan kehancuaran dalan
jiwa raganya. Ternyata orang yang sedang ia rindukan adalah lelaki yang
kebanyakan. Saya mencoba menahan Muzdalifah dari kepergiannya
“Muzdalifah, mohon Abang beri kesempatan untuk menjelaskan semua ini
padamu.”
“Tidak Abang, saya memang pantas mendapatkan semuanya. Saya terlalu
berharap dan terlalu yakin padamu, seolah keyakinan Allah bukanlah yang
sebenarnya. Saya tidak akan berharap pada siapa dan apa pun kecuali pada
Tuhanku yaitu Allah.”
“Muzdalifah maafkan Abang.”
“Tidak Abang, seharusnya saya yang meminta maaf, telah mengganggu
kenikmatan Abang. Terima kasih Abang telah membukakan mataku untuk tidak
tertutup hati pada pria lain,” kulirik pemuda itu, Salim.
“Engkau bukan lagi sebagai sahabatku Salim. Engkau sekarang puas?”
kerah bajunya yang belel kutarik dengan segala kekuatanku.
“Engkau sudah puas, Salim?”
“Bukan, itu Huesin. Saya hanya perihatin melihat semuanya,” Salim
bergetar, dan dengan tidak sadar tangan ini pun memukul rahangnya yang rapuh
itu hingga ia tergolek di tanah.
“Cukup Abang!” lerai Muzdalifah
“Bukan dia yang salah, Abang. Tapi Muzdalifahlah yang memohon kepadanya
agar diri ini menemui Abang. Semula saya tidaklah percaya dengan apa yang
diucapkan Abang Salim itu. Tetapi mata dan kepala ini adalah sebagai saksi, tak
perlu engkau membalas kepadanya,” deraian air mata Muzdalifah sungguh sangat
dahsyat. Terlihat Nisa pun keluar dengan warna raut muka yang pucat, Muzdalifah
menghampirinya.
“Saudari tentunya sudah tahu, bahwa sesungguhnya Abang Husein telah
bertunangan?” Nisa hanya geleng kepala.
“Abang, sekiranya Abang mempunyai rasa, nikailah perempuan ini. Cukup
hanya jasad yang lemah ini yang engkau sia-siakan, tidak untuk perempuan ini.”
“Engkaukah perempun yang menjadi tunangan Abang Husein?” tanya Nisa
“Ya, saya Muzdalifah tunangannya beliau. Seorang perawan desa yang
sangat patuh pada buaian asmara. Semoga engkau tidak terpedaya dengan telah
yang kualami.”
“Engkau tega Abang. Engkau mengatakan hanya diri inilah yang ada dalam
hati engkau. Ternyata engkau sama saja lelaki kebanyakan,” Nisa pergi ke dalam
dan bergegas pulang dengan sejuta pedih yang ia tanggung. Muzdalifah pun
melangkah, memapah Salim yang payah, dan diri ini hanyalah menatap dan membisu.
“Muzdalifah....” air mataku menetes.
Dia pergi. Terlihat Mudalifah hanya mampu menatap, tatapan kosong
dengan menopang sajad lemah itu. Semuanya pergi bersama kekecewaan, dan
tinggallah seorang diri jasad ini dalam kungkungan rasa berdosa. Ingin rasanya
diri ini menjerit sekuat tenaga, seakan yang kualami sekarang itu bukanlah
benar belaka hanya sebuah mimpi yang menjadi bunga tidur, tapi tidak semuanya
adalah kenyataan pahit yang harus kutelan. Nisa..... Muzdalifah.....
* * *
Dalam beberapa hari pun Nisa tidak menemui saya atas kejadian itu. Terpaksa
saya pun berkunjung pada sewaannya, ketakutan akan terjadi sesuatu padanya.
Saat tiba di sewaannya, Nisa pun menyekak saya. Beberapa pertanyaan
memberondong, seolah saya adalah terdakwa yang akan divonis hukuman. Dan saya
pun menjelaskan secara rinci, apa dan siapa gerangan Muzdalifah dalam posisi
saya? Ternyata Nisa pun tidak menerima penjelasanku itu, seolah dirinya merasa
tertipu akan hadirnya asmara dariku.
“Sudahlah, mungkin ini sudah nasib diri ini yang harus menjadi tumbal
dari keganasan dan keangkuahan engkau.”
“Abang akan menikahi engkau Nisa.”
“Terima kasih, kuucapkan Abang. Apakah engkau tidak mengerti dengan
perempuan yang menjadi tunanganmu itu Abang? Dia merintih, dia tersayat. Andai
dulu diri ini mengetahui bahwa sesungguhnya engaku telah bertunangan dengan
perempuan itu, tak akan rela kalbu ini untukmu sepenuhnya.”
“Nisa, Abang telah menanam benih padamu. Abang harus menikahimu.”
“Engkau terlalu pandai dalam berurai asmara. Benar apa yang diucapkan
sahabatmu itu tempo dulu. Engkau tak usah repot-repot biarlah aib ini saya yang
akan menaggung sendiri.”
“Nisa, cobalah berpikir jernih. Abang ingin engkau menjadi teman
hidupku seia sekata.”
“Saya sangat menghargai permohonanmu itu, tapi simpan dulu ucapanmu itu
sebelum engkau menjadi seorang lelaki yang bertanggungjawab. Kuharap hanya saya
dan Muzdalifahlah yang menjadi korban dari keangkuhan ambisimu itu.”
Terpaksa dari semua itu akhirnya saya pun bersama Nisa bercerai berai
dalam asmara. Terasa sangat pahit yang harus kuhadapi, tapi semuanya haruslah
saya telan walau pahit dalam keheningan kalbu ini.
Suasana hening mencekam, langit mulai tertutup mega, saya pergi dengan
langkah tak beraturan. Dan terbayanglah wajah Muzdalifah, betapa sakitnya dia,
betapa hancurnya dia melihat semuanya. O, ya Allah kutukan-Mu mulai Engkau
perlihatkan.
Sehari kemudian saya pun kembali dengan harapan ucapan Nisa hanyalah
sebuah hiasan sebagai asmara belaka. Sungguh betapa kerasnya hati dia, seolah
keputusan yang dia ucapkan adalah sebuah harga mati tak bisa ditawar-tawar.
Akhirnya saya kembali sendiri. Tanpa Nisa tanpa Muzdalifah.
0 Response to "SESAL # 11 Bencana Atau Kutukan"
Post a Comment