SESAL # 11 Bencana Atau Kutukan

Kurang lebih dari setengah tahun itulah saya mengarungi asmara bersama Nisa dan datanglah sebuah bencana. Entah karunia? Ah, rasanya tak ingin saya ceritakan kejadian itu. Mungkin yang sangat dikhawatirkan oleh Salim, sudah jelas menghadang dipelupuk mata, dan sangat kurasakan yaitu suatu bujukan yang akan menjerumuskan jasad dalam lebah kenistaan dalam golongan yang sangat hina di hadapan Allah. Ya, kejadian itu suatu bukti kepicikan iblis memperangkap anak cucu Adam. O, ingin rasanya saya menjerit saat itu, menandakan suatu bukti bahwa diri ini adalah tidaklah yang dimaksudkan oleh Salim sebagaimana dia berucap yang menyakitkan itu.

Kira-kira seperti ini ceritanya;

Di sore itu langit sangat mendung. Sebenarnya sudah kukatakan pada Nisa tidak usah repot-repot untuk mengunjungi diri ini sebab langit sangat gelap, tetapi rindulah yang mengalahkan semuanya. Rinai hujan pun mulai turun, dan makin lama semakin lebat, mungkin dari awal itu bencana mulai datang. Sungguh saya tidak terpikirkan akan melakukan sesuatu yang membuatnya terguncang. Ah, semoga Allah mengampuni jasad ini.

Saat beliau berkunjung dengan rindunya, di tengah jalan hujan pun turun lebat, hingga pakaian yang melilit tubuhnya yang mungil itu terkuyup oleh rinai hujan kala itu. Tiba di kamarku, beliau pun terdiam menggigil. Bibirnya bergetar, wajahnya yang putih semakin putih bagai seonggok mayat. Pucat, tak berwarna. Walau demikian kemanisan dalam aura wajahnya masih terlihat, dan nampak sempurna.

“Abang, saya kedinginan,” spontan saya tergugup. Kusodorkan handuk kering untuk mengusap jasadnya yang kuyup itu.

“Engkau terlalu nekat Nisa,” dan kerudung yang dikenakannya pun ia lepas dengan tak sadar.

“Pakailah baju ini, semoga engkau tidak teralalu menggigil, dan sesudah itu beristirahatlah, berbaringlah di atas kasur itu, agar engkau tidak payah,” dia menurut perkataanku, mengenakan pakaian. Sesuadah itu ia berbaring dengan sangat payahnya. Sampai malam tiba pun hujan tak henti-henti, Nisa masih tergolek lemah di atas kasur itu, dan sampailah ditengah malam. Nisa terbangun dan bibirnya bergetar mengatakan sesuatu;

“Abang Nisa kedinginan,” dengan sepontan saya bergegas mengambil teh hangat, kemudian saya tenggakkan dimulutnya. Hasilnya lumayan. Wajahnya yang pucat menatapku dengan sayu.

“Apakah Abang akan meninggalkan Nisa?”

“Sudahlah engkau istirahat saja jangan memikirkan sesuatu apapun.”

“Tidak Abang, Nisa sudah terlalu dalam merasakan getaran jiwa ini. Nisa terlalu jatuh hati terhadapmu.”

“Ya, Abang tahu. Tapi sekarang engkau istirahat saja, biar nanti pagi badanmu pulih kembali.”

“Seberapa besar cinta Abang terhadap Nisa?” saya menatap penuh hangat, dan bibir ini pun tersenyum memberikan keyakinan pada perawan itu.

“Dekaplah Abang tubuh ini,” bergetarlah jantung ini, sungguh diluar dugaanku perawan yang kuanggap sangat alim ternyata mengharapakan dekapan hangatku. Ah, tidak mungkin beliau mengatakan itu hanya pada seorang ia cintai. Ya, hanya yang orang ia cintai adalah diri ini.

Apa yang harus saya lakukan? Memeluknyakah? Mendekap erat sesuai dengan perintahnya? Ah, tidak saya bukan muhrimnya. Ataukah saya akan membiarkan ia menggigil? sampai dia menemukan ajalnya? Ini juga tidak, saya yakin Tuhan pun mengijinkan bila umatnya terdesak untuk melakukan hal yang terbaik apapun risikonya itu. Kuhempas dosa, kusingkirkan laknat dari Tuhan. Saat itu juga saya pun memeluknya, mendekap erat tubuh yang ringkih itu dengan segenap rasa cintaku. Hal yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Sungguh ini adalah peristiwa yang tak pernah saya lakukan. O, semoga ini adalah anugera bukan sebuah laknat dari Tuhan, sebab memetik buah huldy penuh dengan pengorbanan. Biarlah saya akan mempertanggungjawabkan segala hal yang kuperbuat ini kelak di akherat nanti.

Saya mendekap erat tubuh mungil Nisa. O, Tuhan betapa hebatnya getaran ini. Inikah yang dirasakan Adam saat memeluk Hawa? Dan apakah ini yang dinamakan oleh pria normal dewasa? Kuhempaskan bisikan malaikat saat itu, dan kudengar sabda iblis saat berbisik pelan terdengar sayup di dadaku bergemuruh dengan detak jantungku yang berdebar. Saya runtuh, pun halnya Nisa....... (maaf sahabat, saya tak mampu untuk menceritakan sejelas mungkin, dan tak bisa saya salin cerita ini, sebab semua ini terjadi hanya pada seseorang yang lemah iman. Sesungguhnya Allah mengutuk apapun bentuk dan alasan perbuatan seperti itu. Semoga kita tersingkirkan dari fitnah api neraka).

Saat itulah perasaan bersalah pun hinggap dalam diri ini.....

Nisa menangis saat setelah menikmati pergumulan yang laknat itu. Pun halnya saya....

“Kita telah melakukan hal yang dilarang oleh Allah, kita penzina Abang,” saya diam terpaku tanpa ada kata-kata. Dia menangis, pondasi yang dia bangun selama hidupnya runtuh dalam sekejap.

“Mungkinkah dosa kita akan diampuni? Sedangkan dosa zina adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah,” saya kembali hanya diam. Langit mendung tersaput awan kelabu, rintik hujan pun datang kembali.

“Tak perlu engkau risaukan, ini adalah sebuah sejarah yang harus kita lalui sesuai dengan ketentuan Allah.”

“Saya takut dengan ketentuan itu, Abang” jasad ini masih mendekap tubuhnya.

“Apakah engkau akan menyia-nyiakan diri ini, Abang?”

“Tidak Nisa, semoga laknatlah yang menimpa diri ini bila menyia-nyiakanmu,” perbincangan itu tak henti hingga tubuh ini tergolek dengan lemahnya, sampai subuh tiba. Kemudian kami mandi besar berdua, setelah itu kami berdua pun melaksanakan sholat subuh, memunajat memohon agar diri ini tidaklah menjadi bara api neraka kelak diakherat nanti.

* * *

Selang beberapa minggu setelah itu.....

Detak jantungku makin mengencang, rasa bersalah pun makin melebar dalam sayap pikiran. Namun kembali keinginan untuk melakukan kala tengah malam itu kembali mencekam. Mungkin inikah yang dinamakan perjuangan sebagai yang dikatakan Rasulallah pada saat perang Badar, bahwa sesungguhnya perang yang sangat besar itu bukanlah perang yang telah dialaminya, melainkan perang yang berkecamuk dalam hawa nafsu kita. Bisikan setan yang berbisik dalam dada kita untuk menjerumuskan suatu laknat pada diri manusia yang menjadi musuhnya.

Sebuah keinginan yang sangat dahsyat, membisik dalam kesyahwatanku. Sebuah perang Badar yang dilakoni oleh sang revolusioner Rasulallah, yang pada saat itu adalah perang yang terbesar, ternyata dalam pandangan Rasulallah tidak demikian perang yang sangat dahsyat itu adalah perang melawan hawa nafsu. Perang yang sekarang saya hadapi. O, betapa hebatnya bisikan iblis dalam dadaku. Saya berlindung pada-Mu ya Allah. Semoga kejadian tengah malam itu cukuplah menjadi bukti sejarah yang kotor dan tak akan terulang kembali. Lagi-lagi bisikan itu terlalu hebat untuku, semoga ini hanya bisik iblis belaka yang hanya akan meruntuhkan keimananku untuk yang kedua kalinya.

Namun, lagi-lagi iblis pun menang. Ya, Allah imanku runtuh, taqwaku luntur, saya melakukan kembali dosa yang Kau kutuk. Saya menangis, pun halnya Nisa. Rasa berdosa menyelimuti setelah melakukan hal itu. O, inikah perangkap iblis yang Kau maksud? Seakan diri ini sangatlah tidak berguna untuk melakoni perrgolakan hidup yang mungkin akan berlumur dosa.

Selang beberapa hari pun kami melakukan kembali, tiga, empat dan selanjutnya. O, ya Allah kenapa saya merasa berdosa setelah melakukan hal itu? Namun ketika keinginan datang merasuk dalam hawa nafsuku, rasa itu adalah yang paling menonjol dan paling kuat, dan pada saat itu sebuah dosa hanyalah sebagai buaian penakut bagi anak kecil yang tak tahu menahu atas kenikmatan. Mungkinkah saya termasuk orang yang ingkar atas kenikmatan yang Engkau berikan wahai Allah?

Apa artinya dosa yang digunjingkan orang, bukankan sebuah dosa itu diperlukan dalam hidup manusia? Kalau ingin tak berdosa jangan jadi manusia, jadi saja malaikat. Semoga dosa ini menjadikan agar diri ini menjadi seorang yang utuh, sebagai manusia yang telah jatuh seperti Adam dan Hawa . Jika sekiranya Allah menciptakan (kebaikan dan keburukan) sebagai ketentuan-Nya, mengapa manusia yang harus mempertanggungjawabkan semuanya? O, ya Allah ampunilah hambamu ini yang telah mencoba menjadi pemberontak yang picik, yang dungu, yang tolol, yang bodoh dengan keilmuan luhur-Mu. Sebagai ibarat ilmu-Mu adalah air dalam lautan, dan saya hanyalah setetesnya. O, betapa kecilnya hamba-Mu ini di hadapan-Mu.

* * *

Pertemuan kembali dengan Muzdalifah...

Entah maksud apa Salim melakukan hal yang sangat diluar dugaanku? Ia mengirim Muzdalifah, membawakannya dihadapku. O, betapa hancur hatinya. Sungguh sangat picik pemuda pendek itu.

Sampai pada suatu hari kehancuran datang hinggap dalam pergumuluan zinaku. Bersama Salim, Muzdalifah dikirim untuk melihat kelakuanku, gadis desa yang lugu itu datang saat kami melakukan hal yang terkutuk. O, sangat perihnya hati ini saat melihat wajah gadis lugu itu. Salim tersenyum menang.

Pandangan mata Muzdalifah sangat datar penuh dengan deraian air mata. Ia terpaku, ia membisu seakan yang sedang melakukan hal itu adalah bukan diriku sebenarnya. Kupandangi dengan tatapan terpaku, terlihat lelehan air mata membasahi pipinya. Sejenak diri ini hanyalah mampu berdiam seakan orang yang tolol.

Ia tidak marah, tidak mencaci maki saya. Ia tidak membunuh saya, hanya pandangan datar yang beliau mampu untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya beliau sangat prihatin melihat kejadian semua itu. Ya Allah inikah akhir dari semua kenikmatan selama beberapa bulan saja? Muzdalifah tersenyum manis, ia pun berlalu dan pergi. Pergi meninggalkan sejuta kepedihan, dan kehancuaran dalan jiwa raganya. Ternyata orang yang sedang ia rindukan adalah lelaki yang kebanyakan. Saya mencoba menahan Muzdalifah dari kepergiannya

“Muzdalifah, mohon Abang beri kesempatan untuk menjelaskan semua ini padamu.”

“Tidak Abang, saya memang pantas mendapatkan semuanya. Saya terlalu berharap dan terlalu yakin padamu, seolah keyakinan Allah bukanlah yang sebenarnya. Saya tidak akan berharap pada siapa dan apa pun kecuali pada Tuhanku yaitu Allah.”

“Muzdalifah maafkan Abang.”

“Tidak Abang, seharusnya saya yang meminta maaf, telah mengganggu kenikmatan Abang. Terima kasih Abang telah membukakan mataku untuk tidak tertutup hati pada pria lain,” kulirik pemuda itu, Salim.

“Engkau bukan lagi sebagai sahabatku Salim. Engkau sekarang puas?” kerah bajunya yang belel kutarik dengan segala kekuatanku.

“Engkau sudah puas, Salim?”

“Bukan, itu Huesin. Saya hanya perihatin melihat semuanya,” Salim bergetar, dan dengan tidak sadar tangan ini pun memukul rahangnya yang rapuh itu hingga ia tergolek di tanah.

“Cukup Abang!” lerai Muzdalifah

“Bukan dia yang salah, Abang. Tapi Muzdalifahlah yang memohon kepadanya agar diri ini menemui Abang. Semula saya tidaklah percaya dengan apa yang diucapkan Abang Salim itu. Tetapi mata dan kepala ini adalah sebagai saksi, tak perlu engkau membalas kepadanya,” deraian air mata Muzdalifah sungguh sangat dahsyat. Terlihat Nisa pun keluar dengan warna raut muka yang pucat, Muzdalifah menghampirinya.

“Saudari tentunya sudah tahu, bahwa sesungguhnya Abang Husein telah bertunangan?” Nisa hanya geleng kepala.

“Abang, sekiranya Abang mempunyai rasa, nikailah perempuan ini. Cukup hanya jasad yang lemah ini yang engkau sia-siakan, tidak untuk perempuan ini.”

“Engkaukah perempun yang menjadi tunangan Abang Husein?” tanya Nisa

“Ya, saya Muzdalifah tunangannya beliau. Seorang perawan desa yang sangat patuh pada buaian asmara. Semoga engkau tidak terpedaya dengan telah yang kualami.”

“Engkau tega Abang. Engkau mengatakan hanya diri inilah yang ada dalam hati engkau. Ternyata engkau sama saja lelaki kebanyakan,” Nisa pergi ke dalam dan bergegas pulang dengan sejuta pedih yang ia tanggung. Muzdalifah pun melangkah, memapah Salim yang payah, dan diri ini hanyalah menatap dan membisu.

“Muzdalifah....” air mataku menetes.

Dia pergi. Terlihat Mudalifah hanya mampu menatap, tatapan kosong dengan menopang sajad lemah itu. Semuanya pergi bersama kekecewaan, dan tinggallah seorang diri jasad ini dalam kungkungan rasa berdosa. Ingin rasanya diri ini menjerit sekuat tenaga, seakan yang kualami sekarang itu bukanlah benar belaka hanya sebuah mimpi yang menjadi bunga tidur, tapi tidak semuanya adalah kenyataan pahit yang harus kutelan. Nisa..... Muzdalifah.....

* * *

Dalam beberapa hari pun Nisa tidak menemui saya atas kejadian itu. Terpaksa saya pun berkunjung pada sewaannya, ketakutan akan terjadi sesuatu padanya. Saat tiba di sewaannya, Nisa pun menyekak saya. Beberapa pertanyaan memberondong, seolah saya adalah terdakwa yang akan divonis hukuman. Dan saya pun menjelaskan secara rinci, apa dan siapa gerangan Muzdalifah dalam posisi saya? Ternyata Nisa pun tidak menerima penjelasanku itu, seolah dirinya merasa tertipu akan hadirnya asmara dariku.

“Sudahlah, mungkin ini sudah nasib diri ini yang harus menjadi tumbal dari keganasan dan keangkuahan engkau.”

“Abang akan menikahi engkau Nisa.”

“Terima kasih, kuucapkan Abang. Apakah engkau tidak mengerti dengan perempuan yang menjadi tunanganmu itu Abang? Dia merintih, dia tersayat. Andai dulu diri ini mengetahui bahwa sesungguhnya engaku telah bertunangan dengan perempuan itu, tak akan rela kalbu ini untukmu sepenuhnya.”

“Nisa, Abang telah menanam benih padamu. Abang harus menikahimu.”

“Engkau terlalu pandai dalam berurai asmara. Benar apa yang diucapkan sahabatmu itu tempo dulu. Engkau tak usah repot-repot biarlah aib ini saya yang akan menaggung sendiri.”

“Nisa, cobalah berpikir jernih. Abang ingin engkau menjadi teman hidupku seia sekata.”

“Saya sangat menghargai permohonanmu itu, tapi simpan dulu ucapanmu itu sebelum engkau menjadi seorang lelaki yang bertanggungjawab. Kuharap hanya saya dan Muzdalifahlah yang menjadi korban dari keangkuhan ambisimu itu.”

Terpaksa dari semua itu akhirnya saya pun bersama Nisa bercerai berai dalam asmara. Terasa sangat pahit yang harus kuhadapi, tapi semuanya haruslah saya telan walau pahit dalam keheningan kalbu ini.

Suasana hening mencekam, langit mulai tertutup mega, saya pergi dengan langkah tak beraturan. Dan terbayanglah wajah Muzdalifah, betapa sakitnya dia, betapa hancurnya dia melihat semuanya. O, ya Allah kutukan-Mu mulai Engkau perlihatkan.

Sehari kemudian saya pun kembali dengan harapan ucapan Nisa hanyalah sebuah hiasan sebagai asmara belaka. Sungguh betapa kerasnya hati dia, seolah keputusan yang dia ucapkan adalah sebuah harga mati tak bisa ditawar-tawar. Akhirnya saya kembali sendiri. Tanpa Nisa tanpa Muzdalifah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 11 Bencana Atau Kutukan"

Post a Comment