SESAL # 8 Surat-surat dari Kegelisahaan


Surat-surat dari Kegelisahaan

Surat-surat dari Muzdalifah...

Ah, diri ini pun tidak memberikan ruang bagi seorang perempuan dan memang saat itu pula saya tidak mau bersusah payah berpikir panjang untuk hal itu. Bukankah untuk satu perawan pun diri ini telah menyakiti kalbunya. Tidaklah untuk perawan yang lain saya melakukan hal yang sama, cukup sejarah ini yang harus saya pendam. Beberapa jeda dari waktu itu, Muzdalifah pun berkirim surat, saat itu perkuliahan hendak melaksanakan ujian akhir semester.

Hari itu terlalu pagi untuk saya menerima surat dari Muzdalifah. Salim yang menerima surat dari tukang pos dengan segera memberikan terhadapku, tangan ini pun bergetar saat kertas putih bersampul abu-abu itu ada ditelapak tangan. Seakan tiada mengerti apa yang harus saya lakukan. Salim hanya mampu memberikan senyuman getir saat tanpa sengaja air mata ini menitik. Surat kubuka dan kubaca;

Bukit Tinggi, 02 Mei ‘90
Kepada Abang Husein yang sering saya rindukan
Di  rantau

Salam sejahtera
Semoga Abang selalu ada dalam lindungan-Nya. Dengan tanpa maksud untuk mengganggu aktivitas Abang di sana, saya kirimkan surat ini. Sebab semenjak kepergian Abang, terus terang hati ini menjadi was-was, akankah Abang di sana baik-baik saja? Bila malam tiba kegelisahan akan hati ini pun tak bisa terbendung, rasa rindu, semuanya bercampur dengan kekacauan akan rasa cinta pada Abang. Sungguh dalam hati kecil, saya merasa curiga dan cemburu bilamana Abang mengabaikan serta tidak memperhatikan akan diri ini. Pasti di sana banyak gadis-gadis cantik yang lebih menarik hati Abang daripada saya. Sungguh malang hati ini sebagai gadis kampung yang tidak memberikan kesan bangga pada Abang, saya akui saya hanya orang bodoh, orang yang tak mengenal kemegahan kota, atau seorang perempuan yang tidak mampu mengikuti jaman modern. Tapi, dengan semua itu saya yakin Abang bukanlah lelaki kebanyakan, yang sering gonta-ganti gadis bila telah merampas kehangatan tubuhnya.
Abang Husein yang selalu saya rindukan, tidakkah Abang merasa rindu barang sekejap pada gadis kampung ini? Memang kita bukan lahir dalam keadaan modern, bukan dalam keadaan Siti Nurbaya, tapi kita lahir dalam keadaan pemasungan adat dalam aliran turun-temurun yang dibangun oleh rantai kuat yaitu adat. Adat Abang! Akankah Abang akan menentang kehendak orangtua kita? Perjodohan kita? Sebenarnya atas nama cinta saya kurang setuju dengan adanya perjodohan, tapi kita telah terikat perasaan cinta sebelum pertalian jodoh itu menggaung di telinga.
Abang, rasa sayang ini tak bisa dihapus dengan hadirnya perjodohan itu, saya rasa cinta bukanlah sebuah tumbal yang mana ketika kita menjadi sebuah martir, itu harus kita perhitungkan. Bukankah cinta itu lahir dalam lubuk hati bukan dalam bisikan? Abang, saya akan tetap sayang walau perjodohan itu tetap saja masih ada.
Saya harap sedikit banyaknya, Abang mampu memberikan kehangatan dalam ruang hampaku ini. Sebab sejelek-jeleknya saya adalah kekasih Abang, tunangan Abang.
Semoga Abang dalam keadaan baik-baik saja, tanpa kurang rasa hormat adinda undur diri, untuk kembali dalam perenungan yang nyata
Kekasihmu Muzdalifah

Terpejam mata ini setelah selesai membaca semuanya, kulipatkan kertas itu dengan segera dan kubirkan. Pikiran kacaupun saat itu mengancamku, serasa menyempit dunia ini kurasakan, tanah membelah, langit runtuh, petir menggelegar dahsyat. Kutarik nafas dalam-dalam memperluas daya kekuatan untuk tetap tegar dibalik semuanya. Namun tetap aliran nafas ini seakan sempit sesempit jalan buntuku yang sekarang saya hadapi. Kubiarkan pikiran ini mengalir melewati derasnya arus badai yang berkecamuk ke alam yang selama ini kuselami dengan sendirinya tanpa harus ada penyekat yang kuat.

Namun rasa bimbang dan terharu mengemas dalam buaian imajinasi yang kubangun utuh untuk selamanya. Serasa berat penderitaan yang dialami gadis alami itu, saya merasakannya. Kukembalikan lipatan surat dalam bentuk semula dengan tanpa maksud menghilangkan jejak kenangan yang sudah ada. Bayangan Muzdalifah pun membayang dalam pelupuk ingatan, semua pikiran tak tega untuk menghempaskanya dan kubiarkan dengan segenap keindahan bersamanya. Lama saya melakukan hal seperti itu, rasanya tak tahan dengan semuanya. Rasa berdosa pun bergelut, menyia-nyiakan dengan tidak memberikan kabar. “Maafkan Abang Muzdalifah” tanpa sadar lirih saya mengucapkannya. Dan hati ini pun mengenang dimana masa kecil bersama Muzdalifah, bermain bersama di tepi danau, dengan riuk lambaian pohon kelapa, serta manik kerling beningnya air danau seakan menjadi saksi antara dua insan. Ah, Muzdalifah mungkin abangmu ini akan menyia-nyiakanmu dengan tidak memperdulikan, tapi semuanya bukan tanpa maksud untuk ke hal semacam itu, abang menginginkan cita dan cinta sebagaimana kita dalam sebuah perbincangan sore itu. Sekiranya engkau bukan jodohku, saya harap engkau mendapatkan yang terbaik sebagaimana engkau mengatakan tatkala kita bersama duduk di tepi sungai itu. Semuanya abang ingat, semuanya tetap abang mengenangnya, namun kenangan itu tak mungkin mengubah niatan abang sebagai mana kita bicarakan saat itu pula. Abang tetap sayang engkau Muzdalifah, dan abang yakin engkau jua pun demikian. Sedemikian yang abang rasakan sekarang.

* * *

Saya menarik nafas dalam-dalam, menginginkan ada sesuatu yang membuat diri ini tenang kembali. Kuasapu mukaku yang kusut ini dengan kedua telapak tangan, dengan harapan menghilangkan kepenatan yang hampir menyelimuti sekujur jasad yang sangatlah rapuh ini. Dari ketermenungan itulah Salim datang, dan duduk di sampingku lalu tangannya mengagetkanku dengan tepukan kecilnya

“Gerangan apa yang membuat engkau seperti ini, Husein?” ucapnya saat pantatnya terjatuh tepat dipinggirku. Saya menatapnya

“Mukamu begitu pucat pasi Husein. Adakah sesuatu isi surat itu menyakiti engkau?”

“Tidak Salim.”

“Terus apa yang membuat engkau seperti orang yang kehilangan akal?”

“Tak ada.”

“Daku tahu pasti isi surat itu?”

“Sudah kubilang semuanya tak ada?”

“Husein jangan seperti itu, daku mengetahui. Pertama, engkau menerima surat itu wajahmu begitu berseri namun setelah engkau membacanya hilanglah keceriaan mukamu itu.”

“Ya, tapi isi surat tidaklah menyakiti kalbuku.”

“Lantas yang membuat mukamu begitu pucat siapa? Jangan-jangan engkau sakit Husein?”

“Tidak, saya aku baik-baik saja.”

“Ya mudah-mudahan seperti itu Husein.”

“Saya hanya teriris hati saja, merasa tersayat mengenang perawan itu.”

“Tentunya engkau harus mempunyai perasaan seperti itu dan perasaan itu tak perlu engkau buang jauh-jauh sebab semua itu adalah sebaik-baik niatanmu.”

“Maksudmu?”

“Ya, saya sangat bahagia engkau sudah mempunyai keinginan dalam kalbumu itu.”

“Saya tak paham apa yang engkau ucapkan Salim.”

“Husein, Husein.... engkau akan membalas surat itu kan?” ucap Salim, saya diam. Sebenarnya saya sudahlah tidak menginginkan ada sebuah alasan mengapa saya tidak melakukan untuk menjadi daya tarik sebgai seorang pejantan untuk memenuhi keinginan sang perawan yang merintih. Dan pastilah alasan itu harus saya kuak dengan pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut lelaki yang hampir membuat diri ini muak.

“Astagfirullah,” saya berucap dalam hati. Bairlah Salim berucap sesuai dengan kehendaknya.

“Engkau tega,” kuacuhkan ocehan pemuda yang betubuh pendek itu

“Manusia yang saya kenal akan keras hatinya bagai batu, engkaulah satu-satunya orang tersebut Husein,” saya menatap tajam

“Sungguh engkau sangat terkutuk, membiarkan perawan yang sesungguhnya adalah telah menjadi milikmu,” lanjutnya, saya hanya mampu memilih terdiam

“Engkau pengecut Husein,” sangat menusuk kata-kata terakhir itu

“Ya Allah benarkah diri ini sebagai yang disebut pemuda itu? sebagai seorang yang pengecut,” kembali saya menatatap pemuda yang makin detik semakin menyakitkan ucapannya itu.

“Ingat, Husein. Engkau adalah tunangannya. Andai engkau menolak adat tapi jangan engkau sakiti perawan itu, beliau hanya tumbal diantara idealismu itu?”

“Justru itu, saya tidak ingin beliau sakit hati.”

“Apa?” Salim mendesakku

“Tidak sakit hati?”

“Dengarkan dulu sahabat. Dengan tidak saya berkirim surat terhadapnya, berharap Muzdalifah tidak berharap-harap untuk kedatangan jasad ini.”

“Husein, Husein. Pastilah sabagai seorang perawan sangatlah mengharapkan buah hatinya memperhatikan, bagai obat yang akan ia minum dan sembuhlah,” Salim geleng-geleng kepala seperti biasa.

“Engkau terlalu, sungguh sangat terlalu. Saya yakin setelah surat ini pasti akan datang lagi surat berikutnya. Sebab dia yakin bahwa engkau telah membacanya. Naluri perempuan tidak akan melenceng, engkau harus paham atas semua itu.”

“Engkau terlalu mendramatisir keadaan sahabat.”

“Justru engkau yang sedang mendramatisir keadaan, Husein. Berharap sesuatu yang akan terjadi tidak akan terjadi. Husein, hidupmu tidak akan tenang jika seandainya sikapmu seperti itu, membohongi keadaan hatimu,” kulihat Salim pun bergegas pergi meninggalkan diri ini dengan rasa jengkel.

Sebenarnya saya menginginkan apa yang diucapkan oleh sahabatku itu, tapi apakah saya harus menjilat ludahku sendiri yang sudah kubuang? Sedangkan, memang diri ini tidak menginginkan sesuatu perjodohan itu terjadi pada diri ini. O, pergolakan jiwa semakin parah bila semuanya terlalu semangat kupikirkan

Sebuah perasaan yang tak menginginkan hati Muzdalifah bersedih hati, saya pun tidak berkenan membalas suratnya. Melakukan semacam itu sama halnya dengan makan empedu. Pahit, tapi memang itu yang harus saya lakukan.

* * *

Benar apa yang dikatan oleh Salim, tak lama itu kemudian surat keduapun melayang dalam kamar sewaanku dua bulan sesudah surat pertama, begini bunyinya;

Bukit Tinggi, 06 Juli ‘90
Kepada abang Husein sayangku
Di rantau
            Salam perhatian
            Abang.....?! tidakkah Abang merasa teriris hati melihat adikmu ini meraung dengan kegelisahan akan rindu menanti jawaban surat dari Abang? Sudah dua bulan lebih adinda menunggu jawaban, seperti orang pemudik yang menunggu kereta tiba, hingga jenuh menunggu harapan akan hadirnya yang mengantarkan ke kampung halaman, mereka bisa, mereka dapat tiket dan mampu berkumpul bersama keluarga. Tapi saya, sebuah penantian yang absurd, yang tak mungkin seperti mereka membeli tiket ke loket, lalu menunggu beberapa jam saja datanglah yang memberangkatkannya dan kemudian mereka berkumpul, semua ini adalah sebuah perasaan. Ya, sebuah perasaan yang hadir dalam lubuk hati paling dalam, di dalam ke dalaman inilah hasrat yang akan mendangkalkan sebuah perasaan itu adalah seorang lelaki yang kini merantau tak kunjung memberikan kabar barang sepucuk suratpun, kalau Abang ingin mengetahui siapakah orang yang mampu membuat adinda seperti anak ayam kehilangan induknya? Orang itu tak lain adalah Abang sendiri.
            Andai semua perasan rindu ini adalah kebohongan belaka dan hanya keluar dari mulut manisku saja, semoga Allah mengutukku dan memberikan azab yang pedih bila diri yang hina ini berani menjadi orang yang munafik. Saya yakin bahwa Abang adalah seorang lelaki yang tidak kebanyakan, saya mencoba menjadi martir walau semua itu adalah kepahitan yang hingga ke ujung tenggorokan, kutelan dan akan kusenduh sampai menjadi daging dalam tubuhku yang lemah, hingga menyatu dan akan abadi seperti rinduku saat ini terhadap Abang. Rasanya saya seperti orang yang kehilangan akal, juga sekelilingku mengira bahwa saya akan menjadi orang seperti itu dan bahkan ocehan para tetangga.
Balaslah surat barang sebait, hanya untuk melipur lara hati ini. Kumohon balaslah, Abang!
Adindamu Muzdalifah

Sama seperti pertama saya membuka surat, wajahku pucat. Ingat terhadapnya, tapi hati ini pun lagi-lagi tak mampu berbuat apa-apa. Saya rasa hati Muzdalifah akan tersayat dengan teriris hatinya akan ketidaksediaannya saya hanya untuk sekedar membalas.

“Apakah engkau pungkiri semua ini terjadi terhadap perawan itu? Dia merintih akan kemesraan asmaramu, Husein” saya hanya diam dan menitikkan air mata. Salim mendekatiku, dan menepuk bahu yang kecilku.

“Perhatikanlah perawan itu, sahabat. Bukankah itu adalah sebaik-baiknya amal untuk engkau petik kelak diakherat nanti?” pelan dan pasti Salim berucap dengan lemah lembut.

“Tidak sahabat, saya tidak akan melakukan hal semacam itu.”

“Maksudmu?”

“Saya sudah bulat, tidak akan membalas surat itu.”

“Saya merasa aneh dengan jalan pikiranmu sahabat. Engkau terlalu pintar atau engkau terlalu picik atas semua yang menimpamu.”

“Ah, kuharap tidaklah semuanya. Itu hanya dugaanmu saja.”

“Terserah engkau Husein, sebaik-baiknya nasehat adalah dari sahabat sendiri. Jika sekiranya teguh pikiranmu seperti itu, saya pahami. Semoga kelak bara api tidak menghanguskan jasadmu di akherat nanti.”

“Kuharap engkau juga tidak tertelan dengan ucapan manismu itu, sebab lidah tak bertulang enak untuk sekedar bicara tak enak. Bara api neraka akan menganga, engkau harus tahu semua itu.”

“Ucapanmu terlalu indah Husein terdengar ditelingaku. Ya akan daku pertimbangkan semuanya. Engkau juga hati-hati dengan perkataanmu itu.”

“Terima kasih sahabat,” seperti waktu kemarin Salim pergi meninggalkan kekecewaan, saya memperhatikan sampai dia tertelan pintu bambu itu. Serasa lapang pikiran ini seusai dia pergi, namun semua ini adalah hal yang sementara untuk beberapa saat saja mungkin beberapa menit lagi pemuda itu akan mengoceh kembali dengan dalihnya yang akan merendahkan diri ini.

* * *

Siang itu Salim bergegas masuk kamarku, seperti biasa dari lamunan saya terkaget dengan kedatangan Salim. Saya terbangun dari lamunan itu

“Ada apakah engkau gerangan tergesa-gesa kemari, Salim?”

“Bila saat ini engkau tidak merasa iba terhadap perawan itu, engkau bukan manusia Husein,” sebenarnya daku sudahlah paham dengan perkataan dia, bahwa sesungguhnya dia membawa sepucuk surat buatku dari Muzdalifah yang diterimanya dari tukang pos walaupun daku tidak melihat jasad surat

“Ada Apa, Salim?”

“Engkau harus janji terhadapku dahulu.”

“Ada apa?” saya mengulangi pertanyaan

“Ini,” saya menghela nafas sebuah sampul berwarna merah jambu Salim sodorkan dihadapanku. Benar apa yang menjadi dugaanku saat itu, surat itulah yang membuatnya begitu semangat untuk melihatkan padaku

“Husein, periksalah dengan seksama dalamnya,” saya diam, dengan lesu membuka surat itu dan membaca

“Semoga dengan hadirnya surat ini, engkau akan merasa iba,” saya tak menghiraukan.

Kemudian surat ketiga pun sudah berada ditanganku, kusobek dan kubaca dengan seksama;


Penantian yang tak henti-hentinya, akhir bulan Sepetember ‘90
Teruntuk abangku yang selalu menjadi kenangan
Di penantian jua
            Rindu......
Tak akan hilang rasa rindu ini walau Abang tak kunjung untuk membalasnya
Abang, saya mencoba di sini menjadi seorang yang dungu, yang tolol, yang diibaratkan seperti pungguk merindukan bulan. O, sungguh tidak akan mungkin dan tak akan terjadi, walau dunia ini hancur dan akan hadirnya kiamat. Tapi, perasaan ini tentunya Abang akan mengerti, betapa hancur dan sedihnya hati ini termasuk keluargaku yang tak henti menghibur dengan berbagai cara. Bukan itu yang saya inginkan melainkan kehadiranmu, kehadiran sepucuk surat, walaupun sebait ataupun sekata. Itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi obat dalam batin ini.
Rasanya diri ini ingin menyusul dirimu, walau apapun risikonya. Tapi, mungkinkah Abang akan menerima kehadiranku di sana? Sedangkan surat-suratku yang selama ini saya layangkan kepadamu, tak pernah engkau balas, atau engkau tidaklah sudi untuk sekedar membacanya? Bila ini terjadi sungguh Abang sangat keterlaluan, menyia-meyiakan rasa merindu ini terhadapmu. Tapi perasaan itu saya buang jauh-jauh, sebab Abang bukanlah tipe lelaki yang gampangan yang saya pikirkan. Dalam ruang pikirku Abang adalah seorang dewa yang pantas saya tunggu kehadirannya, dan bilamana saya tidak bersabar hanya untuk sekedar menungggumu hilanglah sebuah perasaan itu. O, saya tidak ingin rasa merindu ini hilang ditelan, hanya sebab perkara yang sepele. Abang sayang, sungguh dalam surat ini tiada perkataan yang membuat saya hilang perkataannya, saya kehabisan untuk kata-kata apalagi untuk Abang menjadi iba terhadap diri ini.
Kenyataan yang harus saya telan adalah kehadiran Abang yang tak akan mungkin kembali walau dalam sekejap, tapi semua itu tak akan menyurutkan keinginanku untuk bertemu denganmu, walau hanya beberapa detik saja. Saya mengerti dengan kesibukan Abang di rantau.
Abang, saya akan menunggu kehadiranmu, dua, tiga, atau lima tahun sekalipun akan saya tunggu kehadiranmu di kampung halaman ini yang membesarkan kita berdua. O, abang saya sangat teringat akan masa-masa kecil kita terhadapmu. Dimana diri ini selalu berada dan selalu berdua sungguh tiada orang yang berani untuk sekedar memisahkan kita berdua, walau kedua orangtua kita sekalipun. Masih ingatkah semua itu Abang? Kuharap masa-masa dimana kita banyak kenangan engkau tidak akan melupakannya. Mungkin seperti inikah rasanya seorang yang sangat merindu, kuharap Abang sangat mengerti dengan perasaanku saat ini.
Abang, rasa cinta akan selalu ada padamu. Semoga engkau akan mengerti dengan semuanya.
Adindamu Muzdalifah

“Engkau tidak akan membalas surat ini, Husein?” saya diam kemudian menengadahkan kepala di hadapan Salim

“Tidak,” sepertinya Salim yang mendengar pengakuanku yang mendadak itu, terkejut dengan sangat, bak dia tidak percaya dengan pengakuanku seperti itu.

“Sepertinya hanya azablah yang akan membuatmu jera, atas kerasnya hatimu itu. Husein cobalah menjadi orang yang bijak sebelum engkau terlambat.”

“Maksudmu?”

“Cobalah berpikir jernih.”

“Engkau tidak akan mengerti sahabat, atas perangnya perasaan ini. Saya yakin bila engkau dalam posisiku, pastilah engkau akan melakukan hal yang serupa denganku, andai sekiranya tidak mungkin engkau terlampau berambisi untuk menguasai sesuatu yang tidak engkau pikirkan,” saya menyunggingkan senyum atas kelakuan sahabatku itu, terlihat Salim hanya geleng kepala. Mungkin beliau merasa jera atas kelakuan yang menurutnya hanyalah sebuah ketololan yang kupunya. Biarlah dia mencap diri ini seorang yang tak mempunyai hati nurani. Yang jelas sejelek-jelek hati ini adalah masih mempunyai kalbu yang halus, semoga Salim melihatku bukan dari jasadku.

Seperti halnya yang biasa Salim lakukan setelah saya bersih keras untuk tidak melakukan hal yang menurutnya baik, beliau pergi dengan langkah yang pendek, terlihat kepalanya dia ditepekurkan olehnya.

* * *

Dua bulan kemudian surat keempat pun melayang, dan setelah dua bulan kemudian juga surat kelima pun melayang ke kamar sewaanku, hampir delapan kali Muzdalifah melayangkan surat dengan tidak tanpa mengeluh sedikitpun, bunyinya hampir sama. Intinya Muzdalifah menginginkan kabar tentang diriku, dia merasa khawatir akan keadaan jasadku. Yang paling penting dari surat yang melayang adalah sesuatu perasaan pecinta yang dimabuk oleh asmara, dan semua itu Muzdalifah seperti orang yang bingung, bahkan bisa dikatakan orang yang linglung berharap tanpa memikirkan dirinya sendiri, suatu ambisi yang tak beralasan. Diakui atau tidak perasaan ini masih menyimpan rindu terhadapnya, jujur saya masih sayang, tapi ini tak mungkin terjadi dan tak akan mencair dengan adanya adat.

Salim pun makin beringas untuk segera diri ini membalas semua surat itu, entah alasan apa dia melakukan hal semacam itu bersih keras untuk sesuatu yang menurutku tidaklah wajah, tetapi saya pun berpegang teguh pada kenyataan yang ada pada diri ini.

Sebenarnya tidaklah salah bila Salim melakukan nasehat padaku, sesuatu hal yang sangat wajar seorang sahabat memperlakukan sahabatnya untuk kebaikan. Namun, tidak wajar juga bila sesuatu itu terlalu berlebihan Seakan menjengkelkan nasehat Salim, dia seenaknya mengutukku sebagaimana pertama ia mengutukku. Dan diri ini pun memberanikan diri membalik dengan emosi yang kupunya

“Sudahlah, pikirkan saja hidup engkau sendiri,” bentakku, dia mendekatiku

“Saya sahabatmu Husein. Perlu engkau ingat, engkau telah saya anggap sebagai seorang saudara sendiri,” pelan ia berucap

“Terserah engkau Salim.”

“Husein, Muzdalifah itu adalah perempuan dan ibumu adalah juga perempuan, dan adikmu adalah perempuan. Apakah engkau tidaklah sadar dengan semua itu?” saya hanya diam mendengarkan ocehan itu

“Andai sekiranya adikmu mengiba pada seorang bujang, dan tidak disambut oleh pemuda itu, adikmu itu merintih mengharapkan semuanya. Cobalah bayangkan Muzdalifah itu adalah adikmu!” serasa panas telinga ini mendengarkannya

“Cukup Salim,” saya memandang tajam lelaki bertubuh pendek itu

“Engkau tak perlu ikut campur atas keadaan diri ini,” pandanganku makin tajam, Salim sedikit mundur.

“Engkau tak perlu repot-repot, saya paham akan sesuatu yang menimpaku,” Salim membungkam.

“Bila nasehatmu itu benar, saya ucapkan banyak terima kasih. Dan saya harap cukup sampai disini nasehatmu itu, saya sudah terlalu jenuh mendengarkannya,” Salim diam seribu bahasa, terpaku dengan perkataanku yang sungguh diluar dugaannya.

“Perlu engkau ingat sahabat, daku bukanlah seorang yang kejam, tidak seperti yang engkau pikirkan. Engkau dengar, daku tidaklah sekotor apa yang engkau pikirkan,” mataku merah

“Sabar Husein, daku tidak bermaksud untuk semua itu.”

“Engkau sudah keterlaluan, menganggap diri ini seorang yang kejam, seorang yang tak mempunyai perasaan. Itukah yang membuat engkau menganggap diri seperti yang engkau campakan.”

“Tidak Husein, engkau salah paham. Daku hanya memberikan nasehat padamu, cuma itu”

“Diam kau.”

“Demi Allah Husein cuma itu, daku hanya merasa iba terhadap perawan itu.”

“Cukup, jangan kau sebut nama Allah. Allah terlalu mulia untuk engkau sebutkan oleh mulutmu yang jijik itu.”

“Husein, andai perkataanku merasa tidak mengenakan hatimu mohon pintu maafmu terbuka untukku,” pelan dan halus Salim berucap

“Saya tidak mengerti, bila engkau terluka oleh ucapanku,” saya diam

“Saya minta maaf Husein,” Salim menatapku dan mendekatiku. Kemudian tangannya menyodorkan padaku, nafasku masih terengah-engah.

“Sudahlah Husein lupakan saja. Ucapanku yang tadi terlonta kuharap hanya engkau anggap sebagai angin lalu saja,” saya pun menjabat tangannya, dan berpelukanlah daku bersamanya

* * *

Persahabatan saya dengan Salim mulai merenggang semenjak kejadian surat itu dan diri ini pun tidak memperdulikan semuanya. Dan demi kelangsungan konsentrasi belajarku dan tidak mau bersua kembali dengan sahabatku itu, saya pun pindah sewaan, hampir jauh. Dengan berat hati Salim meminta maaf.

“Maafkan saya Husein,” saat diri dalam detik untuk keluar dalam ruangan itu

“Cukup, disini tidak ada yang salah atau pun benar. Hanya saja saya selalu merasa bersalah bila berhadapan dengan engkau. Engkau terlalu pandai dalam menasehati seseorang,” dia manggut-manggut.

“Semoga engkaulah yang tidak menajdi bara api neraka kelak diakherat nanti, Salim”

“Yang kuharapkan semoga kita berdua berada dalam lindungan-Nya.”

Semula hati ini pun tidak mengijinkan untuk pindah sewaan, mungkin Muzdalifah akan mengirim surat kesembilan mungkin sampai keduapuluh.

“Maafkan abangmu Muzdalifah,” hanya itu yang mampu saya ucapkan setiap mengenang wajah lugu gadis alami itu. Tekat bulat pun saya tanamamkan untuk meningalkan rumah sewaaan itu, dan mencari kembali sewaan yang baru dengan harapan kejenuhan yang menimpaku atas nasehat yang menurut pandanganku hanyalah sebuah ancaman yang mengganggu beban pikiranku saja. Sahabatku itu, hanya mampu menatap dengan datar saat diri ini melangkah dengan lesunya. Saya sempatkan tangan ini berjabat untuk yang terakhir kalinya. Dan kaki ini pun melangkah sampai ditelan belokan.

Kabar dari Muzdalifah pun sampai disurat yang kedelapan, sebab saya tidak menginginkan untuk mengetahui dan tidak ingin merindukannya. Hanyalah hati yang tetap tegar untuk mmepertahankan, mungkin keegoanku, mungkin juga ambisiku, bahkan mungkin juga keangkuhanku, tapi apakah saya salah bila diri ini menentang? Bahwa sesungguhnya adat itu adalah tak akan ada seorang yang menaatinya, tidak akan terjadi sesuatu apa-apa, bila mereka beranggapan itu adalah puncak dari ibadah, atupun sekedar kemusyrikan. Maafkan...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 8 Surat-surat dari Kegelisahaan"

Post a Comment