Saat ini, seminggu sudah saya meninggalkan kenangan bersama Muzdalifah
walau hanya sebuah kata sabar yang melontar dari mulut ini untuk ketegaranya.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa sesungguhnya Muzdalifah hanyalah seorang
perempuan yang tak akan sanggup menjadi martir yang harus terluka berlumur
darah demi memuja cinta yang dianutnya. Sebenarnya yang harus saya bayar mahal
adalah sesuatu dari pengharapan muzdalifah untuk masa depannya, orangtuanya
yang berharap besar terhadapku bukankah sebuah pengharapan seperti itu adalah
beban bagi pemikiran ini? Beban jikalau suatu saat diri ini tidak menjadi
seorang yang terbaik untuknya, dan diri ini mengecewakan harapan kedua
orangtuaku maupun kedua orangtua Muzdalifah, termasuk Muzdalifah sendiri. Ah,
mungkinkah saya mampu memberikan pedoman pada jiwa kosong ini bahwa diri ini
mampu menepis sesutu yang menjadi beban hati ini. Bisa mungkin, bisa juga tidak
mungkin, sebab hati orang siapa tahu. Manusia hanyalah sebagian dari mahluk
yang mempunyai naluri hewani dan malaikat, andai semuanya lebih condong dari
salah satunya mungkin akan melebihi dari yang saya dimaksud. Pun halnya diri
ini hanya seorang yang memiliki nafsu sebagaimana sifat manusia lumrahnya, namun
sangat yakin bila berdalih hanya sebagai itu diri ini hanyalah seorang yang
sangat hina.
Sehari setelah mengijak di tanah rantau, saya masuk dipemukiman asrama.
Hari pertama kalbu ini sangatlah kacau, merasa tidak karuan pun menyergap dalam
lamunan kosongku, saya menjadi orang asing di kota itu. Beberapa malam pun
kulalui dengan sangat lambat, entah apa gejolak itu muncul? Apa ada pertanda
bahwa ada seseorang yang sangat merindu terhadapku? Ah, tidak sepertinya ini
adalah sebuah perjuangan yang harus saya lalui dengan tidak mengindahkan
sesuatu dari rencana terdahulu. Sepertinya kekuatan perasaan asmara sangatlah
kuat ikatannya, terbukti diri ini lemah dalam beberapa hari, semua ini
menunjukan betapa kuasa Sang Ilahi.
Seminggu, sebulan dan seterusnya, saya mulai melupakan kebersamaan
Muzdalifah. Mungkin ini akan lebih baik daripada akan menjadi beban dalam
konsentrasiku. Saya yakin ini adalah bukan suatu keputusan yang harganya mati
terhadapku untuknya, tapi hanya sekedar melupakan untuk memberikan peluang
keinginan mencapai cita dan cinta, menggapai masa depan yang diharapkan. Semoga
Muzdalifah mengerti dengan keputusan yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh
pikiran. Saya yakin semua itu akan memberikan pikiran yang lapang terhadap
perjalanan mengarungi keindahan dalam hidup ini.
Hari makin sore....
Badan ini saya rebahkan di atas tikar, bantal pun mengganjal kepala
yang amat letih dengan pikiran yang sungguh sangat mengecamuk alam pikiran yang
tidak nyata. Tanpa maksud untuk berkhayal saya pun menatap ke arah atap yang
tak berinternit. Menerawang merobek atap rumah agar semuanya memberikan kesan
bangga terhadapku. Seorang lelaki gagah berani meninggalkan kampung halaman,
gagah dari kelemahan yang ada, mencoba menjadi seorang munafik yang terselubung
dari ketentuan Allah, yang sangat yakin suatu kelak saat diri ini
mempertanggungjawabkan di akherat maupun di dunia. Tega, meninggalkan seorang
yang sangat lemah yang sangat membutuhkan hangatnya tubuh, meninggalkan sang
perawan yang lemah dari kekecewaan yang menginginkan suatu pengharapan yang
absurd. Kadang rasa penyesalan meninggalkan semuanya, menyelusup. Jasad ini pun
berkecamuk, ini sering saya rasakan setelah magrib tiba dan tengah malam
menjelang tidur. Mungkin Muzdalifah pun akan mengalami seperti yang kurasakan,
bahkan ia sangat parah dalam berkhayal merindukan jasad ini. Haruskah diri ini
menyesal apa yang sudah menjadi takdir?
* * *
Setelah melewati beberapa kejenuhan dalam mengurus adminitrasi, rasanya
saya pun lega. Akhirnya jadilah saya seorang yang berstatus terpelajar. Bangga.
Mahasiswa.
Awal memasuki kegiatan perkuliahan rasa semangat begitu membludak, tak
henti saya melakukannya. Beberapa ilmu saya serap dengan baik, filsafat,
politik, psikologi, dan beberapa ilmu keagamaan. Terus terang, diri ini pun
merasa menjadi orang berintelektual, tumbuhlah idealisme dalam dada anak muda
yang sungguh ini di luar dugaan yang kelak akan menjadi pondasi masa depan.
Lelah, jenuh, tak saya risaukan sekedar mengenag semuanya hanya bayangan masa
depan cerahlah yang akan saya raih dengan penuh kebanggaan. Bangga dalam
kekecewaan asmara, bangga melukai seorang perawan yang sangat mencintainya.
Dalam beberapa bulan kulalui, diri ini sangatlah haus dengan ilmu
pengetahuan. Merasa ilmu yang saya capai di bangku perkuliahan tidak cukup,
akhirnya saya putuskan untuk mengikuti kegiatan ekstra. Saya tak langsung
membidik organisasi pergerakan, sebab saat itu saya berpikir pragmatis. Saya
pun masuk organisasi kesenian. Di sana saya digojlok dengan arahan sistematis
yang benar-benar membuat diri ini percaya diri akan melangkah. Lama saya
bergulat di dalamnya hampir dua tahun. Dari dua tahun itulah proses yang sangat
menjenuhkan mulai muncul, kehangatan dari belaian seorang perempuan saya
rasakan dari lamunan yang sering kulalui dari menjelang tidur. Beberapa
persoalan yang menyangkut pribadi akhirnya saya menjadi tumbal dari keangkuhan
seorang yang berintelektual kesenian.
Dan saya pun beralih pada organisasi lain, yaitu pergerakan. Langkah
awal yang menurut pandangan diri ini sangatlah lambat, menggiringku menjadi seorang
yang picik dari persoalan hidup yang makin membebani perasaan. Sebenarnya kalbu
ini sangatlah tidak mungkin berpaling dari kejadian yang sangat tak urung dua
tahun itu, saya menjadi bebal dari pergolakan asmara.
Saya belajar konsentrasi dari apa yang menjadi pembidikanku, sebab
darah mahasiswa saya masih terbakar. Di sanalah tumbuh pemikiran nakal
sebagimana pemikiran diplomat, untuk membuktikan bahwa inilah saya. Cukup lama
saya berkicimpung dalam dunia pergerakan, lebih lama dari dunia kesenian. Namun,
kejenuhan pun hinggap juga dalam diri ini, jenuh dengan rekreasi pengetahuan
yang hanya membabi buta akan ambisi yang terlampau daku curahkan sepenuhnya.
Akhirnya kesendirianlah yang saat itu daku harapkan, saya hanya mampu berproses
dalam kesendirian dalam keskosongan waktu yang sangatlah lambat dan cenderung
mentertawakan keegoanku, mempertontonkan ketololanku kala itu....
* * *
Menjelang tidur, mata ini pun sangat sulit untuk mememjamkannya. Sudah
beberapa hari ini andai malam tiba diri ini menjadi seorang pengkhayal berat
dari apa yang tidak terjadi. Dari lamunan itu terbesitlah wajah Muzdalifah dari
pelupuk mata, lama saya melakukan hal seperti itu dan saya tidak sadar bahwa
Salim sahabat sekamar sedang memperhatikan;
“Dalam beberapa terakhir ini, saya melihat engkau sering melamun
Husein,” saya tergugup. Salim ini adalah sahabatku sekamar dari mengemban ilmu,
mungkin sebagai pendatang dari ranah jauh sangatlah wajar bila dirinya
menganggap diri ini sebagai saudarannya, saya pun cukup terkesan andai semua
itu benar-benar terjadi. Tetap saja diri ini haruslah kita berpedoman bahwa
sesungguhnya teman sejati sangatlah sulit untuk kita raih, bukan berarti kita
mempersulit apa yang telah ada, berhati-hati haruslah kita tanamkan sebab
manusia adalah sipat lupa dan ucapannya terpakai pagi sore tidak. Ini juga saya
terapkan pada sahabatku itu, Salim. Namun kadang-kadang pemuda yang perfostur
tubuh tidak tinggi itu sering membuat hati ini menjadi geram atas alasan dan
pendapat yang ia lontarankan padaku. Tapi tidaklah apa-apa semoga ini adalah
langkah sebagai bahan pertimbangan untuk menuju dari yang terbaik.
Terlihatlah Salim dengan nada seakan dirinyalah yang mempunyai perasaan
sangat halus bagi perempuan.
“Ah, tidak sahabat,” kilahku. Sahabatku itu duduk dengan tanpa kikuk
tepat dipembaringanku. Saya mengela nafas dan sedikit membenahi keadaan wajah
yang suram.
“Apa yang sedang engkau pikirkan Husein?” saya tersenyum
“Soal perempuan?”
“Bukan.”
“Janganlah engkau berkilah, saya sudah paham seperti apa engkau sebenarnya,”
saya diam
“Benarkah apa yang tadi saya ucapkan Husein?” saya diam kembali
“Pastilah perawan dari sekampungmu,” saya terkaget dengan semuanya
“Bukankah engkau merasa senang melakukan hal seperti itu, melupakan
gadis yang sebenarnya engkau puja?” ucap sahabatku
“Saya yakin engkau gelisah lagi.”
“Janganlah engkau sok pintar sahabat.”
“Engkau tidak akan mampu memberikan ruang kalbumu hanya untuk
menghindar dari kegelisahaan. Andai sekiranya engkau bermunafik untuk
mengatakan ‘Tidak’ tetapi semua itu adalah kilahan sesungguhnya engkau adalah
sangat mencintai Muzdalifah. Saya yakin rasa kegelisahanmu akan hilang dengan
segera, bila semua itu engkau luapkan dalam rinduan kepada kekasihmu itu.”
“Tidak Salim, bukan itu yang saya pikirkan.”
“Terus apa yang sedang engkau
pikirkan andai bukan perawan itu?” saya diam
“Engkau jangan munafik, saya pikir engkau terlalu payah. Rasa
penyesalan yang engkau anggap sebagai persoalan sepele, saya yakin suatu saat
itu akan membludak bagai badai tsunami. Engkau akan kecewa Husein, bila pola
pikirmu seperti itu,” lanjutnya
“Cukup Salim, saya tidak berkeinginan mendengar semua itu.”
“Husein, cobalah berpikir jernih. Basuhlah keangkuhan hatimu itu dengan
perasaan belas kasihmu untuk seseorang yang sedang merintih.”
“Engkau sangat pandai berwacana Salim.”
“Bukan itu, daku hanyalah sebagai sahabatmu.”
“Lantas apa yang harus saya lakukan untuk tidak memberikan ruang kosong
ini, menjadi sebuah tragedi?”
“Berkacalah pada diri sendiri, sobat. Engkau akan mengerti apa arti
dari sebuah merindu.”
“Saya ingin memberikan sebuah kemanjaan pada diri ini sebagai hadiah
dari kejenuhan selama ini.”
“Ide yang cukup bagus,” ia melirikku dengan sikap yang tak wajar saat
kutangkap daya pesan yang ia ekspresikan melalui gaya tubuhnya itu padaku
“Tapi jika sekiranya kemanjaan itu adalah membohongi diri sendiri dari
hati kecilmu. Saya rasa engkau termasuk orang munafik,” mata ini pun menerawang
atap yang tak berinternit itu. Dengan perlahan mata in pun menatap sahabatku
itu
“Bebaskanlah pikiranmu sahabat. Engkau nampak lebih sebelumnya.”
“Sudah malam Salim, tidurlah”
“Husein, Husein, seperti itukah seorang pemuda yang bertanggungjawab?”
saya diam kembali merenung apa yang diucapkan sahabatku itu.
Apakah benar apa yang dikatakan Salim, bahwa diri ini adalah seorang
yang munafik, membohongi hati kecilku? Untuk mengatakan ‘Ya’ rasanya diri ini
haruslah memberikan kepastian bahwa sesungguhnya adat adalah bukan suatu
belenggu, bukan suatu pemasungan yang harus ditolak, namun memberikan ruang
yang bijak untuk mengulurkan satu keputusan melebihi dari yang daku inginkan.
Akankah Muzdalifah memandangku sebagai seorang yang tak
bertanggungjawab? Hanya sebatas adat dari leluhur, saya rela memberikan racun
yang sangat pedih untuknya. Saya-kah manusia paling kejam? diantara perasaan
yang kupunya untuk perawan yang menungguku? O, Muzdalifah bukan ini yang
seharusnya engkau rasakan dari pedihnya asmara, tetapi engkau terlalu setia
terhadaku sedangkan diri ini hanya sebagai seorang srigala yang berbulu domba.
Maafkan Abang Muzdalifah
“Teruslah merenung sahabat.”
“Sudahlah, Salim. Malam sudah larut, istirahatlah engkau.”
“Saya hanya kasihan saja padamu Husein.”
“Kasihan seperti apa Salim?”
“Ya kasihan saja.”
“Ah, pemikiranmu yang terlalu mengguri saya saja.”
“Kurasa sebentar lagi engkau akan merasakan sebagai seorang yang
kehilangan akal.”
“Ingat Salim sebaik-baik ucapan adalah sebuah doa.”
“Engkau mengerti juga dengan doa Husein?” dia tertawa renyah, kuacuhkan
semuanya
“Sudah, sudalah, sana engkau pergi istirahan Salim.”
Kupaksakan mata ini untuk terpejam hanya bermaksud melupakan sejanak
kenangan. Terlihatlah Salim mukanya sangat masam kala kuacuhkan ucapannya itu.
Kemudian Salim pun berebah di sampingku dan tak lama dari beberap menitpun ia
mendengkur...
0 Response to "SESAL # 7 Masa Di Rantau"
Post a Comment