SESAL # 7 Masa Di Rantau

Saat ini, seminggu sudah saya meninggalkan kenangan bersama Muzdalifah walau hanya sebuah kata sabar yang melontar dari mulut ini untuk ketegaranya. Namun tak bisa dipungkiri bahwa sesungguhnya Muzdalifah hanyalah seorang perempuan yang tak akan sanggup menjadi martir yang harus terluka berlumur darah demi memuja cinta yang dianutnya. Sebenarnya yang harus saya bayar mahal adalah sesuatu dari pengharapan muzdalifah untuk masa depannya, orangtuanya yang berharap besar terhadapku bukankah sebuah pengharapan seperti itu adalah beban bagi pemikiran ini? Beban jikalau suatu saat diri ini tidak menjadi seorang yang terbaik untuknya, dan diri ini mengecewakan harapan kedua orangtuaku maupun kedua orangtua Muzdalifah, termasuk Muzdalifah sendiri. Ah, mungkinkah saya mampu memberikan pedoman pada jiwa kosong ini bahwa diri ini mampu menepis sesutu yang menjadi beban hati ini. Bisa mungkin, bisa juga tidak mungkin, sebab hati orang siapa tahu. Manusia hanyalah sebagian dari mahluk yang mempunyai naluri hewani dan malaikat, andai semuanya lebih condong dari salah satunya mungkin akan melebihi dari yang saya dimaksud. Pun halnya diri ini hanya seorang yang memiliki nafsu sebagaimana sifat manusia lumrahnya, namun sangat yakin bila berdalih hanya sebagai itu diri ini hanyalah seorang yang sangat hina.

Sehari setelah mengijak di tanah rantau, saya masuk dipemukiman asrama. Hari pertama kalbu ini sangatlah kacau, merasa tidak karuan pun menyergap dalam lamunan kosongku, saya menjadi orang asing di kota itu. Beberapa malam pun kulalui dengan sangat lambat, entah apa gejolak itu muncul? Apa ada pertanda bahwa ada seseorang yang sangat merindu terhadapku? Ah, tidak sepertinya ini adalah sebuah perjuangan yang harus saya lalui dengan tidak mengindahkan sesuatu dari rencana terdahulu. Sepertinya kekuatan perasaan asmara sangatlah kuat ikatannya, terbukti diri ini lemah dalam beberapa hari, semua ini menunjukan betapa kuasa Sang Ilahi.

Seminggu, sebulan dan seterusnya, saya mulai melupakan kebersamaan Muzdalifah. Mungkin ini akan lebih baik daripada akan menjadi beban dalam konsentrasiku. Saya yakin ini adalah bukan suatu keputusan yang harganya mati terhadapku untuknya, tapi hanya sekedar melupakan untuk memberikan peluang keinginan mencapai cita dan cinta, menggapai masa depan yang diharapkan. Semoga Muzdalifah mengerti dengan keputusan yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh pikiran. Saya yakin semua itu akan memberikan pikiran yang lapang terhadap perjalanan mengarungi keindahan dalam hidup ini.

Hari makin sore....

Badan ini saya rebahkan di atas tikar, bantal pun mengganjal kepala yang amat letih dengan pikiran yang sungguh sangat mengecamuk alam pikiran yang tidak nyata. Tanpa maksud untuk berkhayal saya pun menatap ke arah atap yang tak berinternit. Menerawang merobek atap rumah agar semuanya memberikan kesan bangga terhadapku. Seorang lelaki gagah berani meninggalkan kampung halaman, gagah dari kelemahan yang ada, mencoba menjadi seorang munafik yang terselubung dari ketentuan Allah, yang sangat yakin suatu kelak saat diri ini mempertanggungjawabkan di akherat maupun di dunia. Tega, meninggalkan seorang yang sangat lemah yang sangat membutuhkan hangatnya tubuh, meninggalkan sang perawan yang lemah dari kekecewaan yang menginginkan suatu pengharapan yang absurd. Kadang rasa penyesalan meninggalkan semuanya, menyelusup. Jasad ini pun berkecamuk, ini sering saya rasakan setelah magrib tiba dan tengah malam menjelang tidur. Mungkin Muzdalifah pun akan mengalami seperti yang kurasakan, bahkan ia sangat parah dalam berkhayal merindukan jasad ini. Haruskah diri ini menyesal apa yang sudah menjadi takdir?

* * *

Setelah melewati beberapa kejenuhan dalam mengurus adminitrasi, rasanya saya pun lega. Akhirnya jadilah saya seorang yang berstatus terpelajar. Bangga. Mahasiswa.

Awal memasuki kegiatan perkuliahan rasa semangat begitu membludak, tak henti saya melakukannya. Beberapa ilmu saya serap dengan baik, filsafat, politik, psikologi, dan beberapa ilmu keagamaan. Terus terang, diri ini pun merasa menjadi orang berintelektual, tumbuhlah idealisme dalam dada anak muda yang sungguh ini di luar dugaan yang kelak akan menjadi pondasi masa depan. Lelah, jenuh, tak saya risaukan sekedar mengenag semuanya hanya bayangan masa depan cerahlah yang akan saya raih dengan penuh kebanggaan. Bangga dalam kekecewaan asmara, bangga melukai seorang perawan yang sangat mencintainya.

Dalam beberapa bulan kulalui, diri ini sangatlah haus dengan ilmu pengetahuan. Merasa ilmu yang saya capai di bangku perkuliahan tidak cukup, akhirnya saya putuskan untuk mengikuti kegiatan ekstra. Saya tak langsung membidik organisasi pergerakan, sebab saat itu saya berpikir pragmatis. Saya pun masuk organisasi kesenian. Di sana saya digojlok dengan arahan sistematis yang benar-benar membuat diri ini percaya diri akan melangkah. Lama saya bergulat di dalamnya hampir dua tahun. Dari dua tahun itulah proses yang sangat menjenuhkan mulai muncul, kehangatan dari belaian seorang perempuan saya rasakan dari lamunan yang sering kulalui dari menjelang tidur. Beberapa persoalan yang menyangkut pribadi akhirnya saya menjadi tumbal dari keangkuhan seorang yang berintelektual kesenian.

Dan saya pun beralih pada organisasi lain, yaitu pergerakan. Langkah awal yang menurut pandangan diri ini sangatlah lambat, menggiringku menjadi seorang yang picik dari persoalan hidup yang makin membebani perasaan. Sebenarnya kalbu ini sangatlah tidak mungkin berpaling dari kejadian yang sangat tak urung dua tahun itu, saya menjadi bebal dari pergolakan asmara.

Saya belajar konsentrasi dari apa yang menjadi pembidikanku, sebab darah mahasiswa saya masih terbakar. Di sanalah tumbuh pemikiran nakal sebagimana pemikiran diplomat, untuk membuktikan bahwa inilah saya. Cukup lama saya berkicimpung dalam dunia pergerakan, lebih lama dari dunia kesenian. Namun, kejenuhan pun hinggap juga dalam diri ini, jenuh dengan rekreasi pengetahuan yang hanya membabi buta akan ambisi yang terlampau daku curahkan sepenuhnya. Akhirnya kesendirianlah yang saat itu daku harapkan, saya hanya mampu berproses dalam kesendirian dalam keskosongan waktu yang sangatlah lambat dan cenderung mentertawakan keegoanku, mempertontonkan ketololanku kala itu....

* * *

Menjelang tidur, mata ini pun sangat sulit untuk mememjamkannya. Sudah beberapa hari ini andai malam tiba diri ini menjadi seorang pengkhayal berat dari apa yang tidak terjadi. Dari lamunan itu terbesitlah wajah Muzdalifah dari pelupuk mata, lama saya melakukan hal seperti itu dan saya tidak sadar bahwa Salim sahabat sekamar sedang memperhatikan;

“Dalam beberapa terakhir ini, saya melihat engkau sering melamun Husein,” saya tergugup. Salim ini adalah sahabatku sekamar dari mengemban ilmu, mungkin sebagai pendatang dari ranah jauh sangatlah wajar bila dirinya menganggap diri ini sebagai saudarannya, saya pun cukup terkesan andai semua itu benar-benar terjadi. Tetap saja diri ini haruslah kita berpedoman bahwa sesungguhnya teman sejati sangatlah sulit untuk kita raih, bukan berarti kita mempersulit apa yang telah ada, berhati-hati haruslah kita tanamkan sebab manusia adalah sipat lupa dan ucapannya terpakai pagi sore tidak. Ini juga saya terapkan pada sahabatku itu, Salim. Namun kadang-kadang pemuda yang perfostur tubuh tidak tinggi itu sering membuat hati ini menjadi geram atas alasan dan pendapat yang ia lontarankan padaku. Tapi tidaklah apa-apa semoga ini adalah langkah sebagai bahan pertimbangan untuk menuju dari yang terbaik.

Terlihatlah Salim dengan nada seakan dirinyalah yang mempunyai perasaan sangat halus bagi perempuan.

“Ah, tidak sahabat,” kilahku. Sahabatku itu duduk dengan tanpa kikuk tepat dipembaringanku. Saya mengela nafas dan sedikit membenahi keadaan wajah yang suram.

“Apa yang sedang engkau pikirkan Husein?” saya tersenyum

“Soal perempuan?”

“Bukan.”

“Janganlah engkau berkilah, saya sudah paham seperti apa engkau sebenarnya,” saya diam

“Benarkah apa yang tadi saya ucapkan Husein?” saya diam kembali

“Pastilah perawan dari sekampungmu,” saya terkaget dengan semuanya

“Bukankah engkau merasa senang melakukan hal seperti itu, melupakan gadis yang sebenarnya engkau puja?” ucap sahabatku

“Saya yakin engkau gelisah lagi.”

“Janganlah engkau sok pintar sahabat.”

“Engkau tidak akan mampu memberikan ruang kalbumu hanya untuk menghindar dari kegelisahaan. Andai sekiranya engkau bermunafik untuk mengatakan ‘Tidak’ tetapi semua itu adalah kilahan sesungguhnya engkau adalah sangat mencintai Muzdalifah. Saya yakin rasa kegelisahanmu akan hilang dengan segera, bila semua itu engkau luapkan dalam rinduan kepada kekasihmu itu.”

“Tidak Salim, bukan itu yang saya pikirkan.”

“Terus apa yang  sedang engkau pikirkan andai bukan perawan itu?” saya diam

“Engkau jangan munafik, saya pikir engkau terlalu payah. Rasa penyesalan yang engkau anggap sebagai persoalan sepele, saya yakin suatu saat itu akan membludak bagai badai tsunami. Engkau akan kecewa Husein, bila pola pikirmu seperti itu,” lanjutnya

“Cukup Salim, saya tidak berkeinginan mendengar semua itu.”

“Husein, cobalah berpikir jernih. Basuhlah keangkuhan hatimu itu dengan perasaan belas kasihmu untuk seseorang yang sedang merintih.”

“Engkau sangat pandai berwacana Salim.”

“Bukan itu, daku hanyalah sebagai sahabatmu.”

“Lantas apa yang harus saya lakukan untuk tidak memberikan ruang kosong ini, menjadi sebuah tragedi?”

“Berkacalah pada diri sendiri, sobat. Engkau akan mengerti apa arti dari sebuah merindu.”

“Saya ingin memberikan sebuah kemanjaan pada diri ini sebagai hadiah dari kejenuhan selama ini.”

“Ide yang cukup bagus,” ia melirikku dengan sikap yang tak wajar saat kutangkap daya pesan yang ia ekspresikan melalui gaya tubuhnya itu padaku

“Tapi jika sekiranya kemanjaan itu adalah membohongi diri sendiri dari hati kecilmu. Saya rasa engkau termasuk orang munafik,” mata ini pun menerawang atap yang tak berinternit itu. Dengan perlahan mata in pun menatap sahabatku itu

“Bebaskanlah pikiranmu sahabat. Engkau nampak lebih sebelumnya.”

“Sudah malam Salim, tidurlah”

“Husein, Husein, seperti itukah seorang pemuda yang bertanggungjawab?” saya diam kembali merenung apa yang diucapkan sahabatku itu.

Apakah benar apa yang dikatakan Salim, bahwa diri ini adalah seorang yang munafik, membohongi hati kecilku? Untuk mengatakan ‘Ya’ rasanya diri ini haruslah memberikan kepastian bahwa sesungguhnya adat adalah bukan suatu belenggu, bukan suatu pemasungan yang harus ditolak, namun memberikan ruang yang bijak untuk mengulurkan satu keputusan melebihi dari yang daku inginkan.

Akankah Muzdalifah memandangku sebagai seorang yang tak bertanggungjawab? Hanya sebatas adat dari leluhur, saya rela memberikan racun yang sangat pedih untuknya. Saya-kah manusia paling kejam? diantara perasaan yang kupunya untuk perawan yang menungguku? O, Muzdalifah bukan ini yang seharusnya engkau rasakan dari pedihnya asmara, tetapi engkau terlalu setia terhadaku sedangkan diri ini hanya sebagai seorang srigala yang berbulu domba. Maafkan Abang Muzdalifah

“Teruslah merenung sahabat.”

“Sudahlah, Salim. Malam sudah larut, istirahatlah engkau.”

“Saya hanya kasihan saja padamu Husein.”

“Kasihan seperti apa Salim?”

“Ya kasihan saja.”

“Ah, pemikiranmu yang terlalu mengguri saya saja.”

“Kurasa sebentar lagi engkau akan merasakan sebagai seorang yang kehilangan akal.”

“Ingat Salim sebaik-baik ucapan adalah sebuah doa.”

“Engkau mengerti juga dengan doa Husein?” dia tertawa renyah, kuacuhkan semuanya

“Sudah, sudalah, sana engkau pergi istirahan Salim.”

Kupaksakan mata ini untuk terpejam hanya bermaksud melupakan sejanak kenangan. Terlihatlah Salim mukanya sangat masam kala kuacuhkan ucapannya itu. Kemudian Salim pun berebah di sampingku dan tak lama dari beberap menitpun ia mendengkur...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 7 Masa Di Rantau"

Post a Comment