SESAL # 4 Orang Asing

Bulan ini saya yakin akan Tuan nanti-nantikan, dimana pahala dilipat gandakan dan setiap gerak yang kita lakukan akan menjadi sebuah pahala yang berlipat ganda, bila kita melaksanakan ibadah di bulan itu, dan harapan itu bukan tanpa sebab tuan mempunyai niatan. Bila Tuan menginginkan Surga atau takut pada Neraka, saya yakin Tuan akan kecewa dengan semuanya. Namun, bila Tuan melainkan niatan menginginkan keikhlasan akan keridhaan Yang Mahasempurna, saya yakin Tuan akan mendapat kepuasan. Demi Allah, tuan tidak akan kecewa dengan janji Allah yang akan mengangkat derajat setiap insan bilamana memuja diri-Nya di bulan itu.

Seperti umat Muslim yang lainnya sore hari dimana satu hari sebelum bulan puasa terlebih dahulu saya membersihkan seluruh badan ini dengan mengguyur air ke seluruh tubuh untuk menyempurnakan besok yang hendak berpuasa. Dan saya pun mempersiapkan baik jiwa raga untuk menyongsong bulan yang dinanti-nantikan. Sungguh saya termasuk orang beruntung yang bisa dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan. Ya Allah, sungguh karena engkaulah saya bisa berhadapan kembali dengan pintu taubat yang saya idamkan. Dan bertemulah saya dengan hari suci itu. Alhamdulillah.

Juli, bulan itu hampir mendekati lima belas tahun setelah kemerdekaan Indonesia, merdeka dari kaum penjajah. Dan saat itu tepat satu hari disaat bulan Ramadhan tiba. Sungguh bahagia raga ini dipertemukan kembali dengan bulan suci itu, walaupun waktu itu bangsa ini sedang menghadapi krisis. Istilah bahasa kampungnya adalah musim paceklik, dimana harga barang-barang naik, sulit mencari pekerjaan yang layak, serta langkanya minyak tanah. Tetapi, kami sekeluarga alhamdulillah bisa dikatakan cukup untuk sekedar makan. Ah, sudahlah saya tidak akan membahas soal negara ataupun bangsa saat itu, biarkanlah mereka yang mempunyai jabatan tinggi saja.

Ramadhan adalah bulan yang saya harapkan, bulan dimana seluruh umat manusia merasakan bahwa semuanya suci, pahala dilipat gandakan dan pintu taubat terbuka lebar bagi mereka yang hendak memerlukan semuanya, termasuk saya sendiri yang tidak bisa memberikan yang terbaik bagi almarhum ayahanda. Semoga dengan datangnya bulan yang suci ini adalah langkah awal untuk terbukanya hati yang keras ini.

Kebiasaan di kampung kami bila tiba bulan Ramadhan, saya rasa sama seperti di kampung-kampung yang lainya, hanya saja kampung kami lebih mengutamakan ibadah ketimbang pekerjaan. Walaupun hanya sekedar sebagai topeng saja, biar bisa dikatakan orang Muslim yang taat beribadah. Semoga saya tidak termasuk golongan yang munafik.

Di hari pertama bulan suci, alhamdulillah surau tua itu banyak dikunjungi oleh masyarakat yang hendak melaksankan shalat tarawih, begitu pun saya. Anak kecil, orang dewasa, tak terkecuali para orang tua yang sudah sepuh pun ikut andil pada hari pertama itu. Tetapi istri saya tidak bisa, disebabkan beliau sedang hamil tua pertama.

* * *

Awal jumpa dengan Husein.....

Lama saya perhatikan anak muda itu. Setelah shalat tarawih, semua orang yang ada di dalam surau berduyun-duyun hendak pulang ke rumah masing-masing. Namun ada sebagian orang yang membaca Alquran di dalam surau. Itu hanya dilakukan beberapa saat saja, termasuk saya. Istilahnya dalam agama Islam adalah tadarus, namun itu kembali pada diri kita sendiri. Setelah membaca Alquran saya bermalasan di serambi surau. Satu persatu orang yang di dalam surau pun pergi dan semuanya pun hilang, hanya tinggal satu pemuda yang tahan dengan lamanya. Sungguh pemuda yang sangat khusu’ dalam beribadah, saya memperhatikannya dengan seksama. Pemuda itu duduk bersila menghadap ke kiblat dengan kepala di selungkupkan dengan tangan memegang tasbih dan tak henti-henti bibirnya pun berkomat-kamit. Entah apa yang sedang dia lakukan? Yang jelas sudah beberapa hari ini semenjak bulan Ramadhan tiba, orang asing itu sungguh membuat hati ingin mengetahui sebetulnya. Dan saya kira orang yang sedang saya perhatikan itu adalah bukan orang sahabat dekat dari sini. Sungguh saya tertarik dengan perangai budi pekertinya yang luhur, walaupun anak muda itu bukanlah anak muda yang sedang tidak menimba ilmu.

Saya perhatikan dari mulai Subuh, anak muda itu sudah ada di dalam surau dengan tekunnya. Melapadzkan dzikir, menjadi muazin , setelah matahari di ufuk timur datang menghampiri kebiasaan dia menghapal Alquran dengan segenap di depan serambi surau. Itu saya ketahui saat saya hendak berangkat dari kerja. Sore harinya setelah saya pulang dari pekerjaan, seperti biasanya anak muda itu membaca buku tentang agama yang bagi saya tidak dimengerti apa yang dia sedang tela’ah. Bagi saya, buku itu sangat asing dan saya sangatlah tertarik dengan kebiasaan anak muda yang asing itu.

Ketertarikan itu pun saya utarakan kepada istri saya saat buka puasa tiba. Dengan segenap rasa penasaran saya pun langsung mengutarakan maksud saya;

“Wahai istriku..” sahutku

“Iya abang.”

“Apakah engkau paham dengan anak muda yang sering berada di surau itu?” istri saya keheranan dengan perkataan saya yang berada diluar dugaan

“Apakah yang hendak engkau maksud kakanda?” istriku mengernyitkan alisnya yang tebal.

 “Saya tak paham dengan semuanya, kakanda” ucap istriku, dengan dahi mengkerut kembali. Harus dari mana saya hendak mengutarakan maksud hati ini agar tak bermaksud hatinya berprasangka

“Istriku, sungguh hati ini sangat iba dan sungguh tertarik terhadap budi pekerti anak muda itu.”

“Anak muda?”

“Ya, anak muda di surau itu. Dia sungguh membuat hati ini ingin mengenalnya,” saya mendekati istriku

“Bolehkah bila suamimu ini hendak berkenalan dengan dirinya?”

“Sungguh mulut ini tak bermaksud untuk menyinggung perasaan hati kakanda, andai boleh tahu apa yang membuat hati kakanda menjadi berkeinginan, bersemangat untuk mengenal lebih jauh pemuda asing yang ada di surau itu?”

“Tidak istriku, hanya satu yang suamimu ini inginkan, agar hal wacana agama suamimu ini tidaklah kosong dengan semuanya. Saya lihat anak muda yang asing itu sungguh mempunyai bekal keagamaan yang cukup buat suamimu ini belajar darinya walaupun umur beliau lebih muda ketimbang saya”

“Alhamdulillah..” saya tersenyum

“Ternyata engkau telah dibukakan hatimu Abang oleh Allah,” saya tersipu malu

“Mungkin daku terlalu lama istriku, tidak belajar menimba ilmu tentang keagamaan semenjak lulus dari Kairo.”

“Ya inilah keagungan Allah.”

“Semoga daku bukanlah seorang yang termasuk yang sombong.”

“Kalau pun demikian hendak maksud kakanda ingin berkenalan dengannya, silahkan”

“Benar..?”

“Ya, tapi setidaknya, alangkah baiknya bila beliau diundang hendak buka puasa bersama dengan kita, bila kakanda mengijinkan semua itu,” kepala saya manggut-manggut

“Ide yang bagus,” istriku tersipu malu

“Engkau sungguh istri yang sangat pengertian dalam hal keinginan suamimu ini, saya tak salah meminangmu. Dengan segenap harapan suamimu ini mengucapkan terima kasih.”

“Ah, abang bisa saja akan keinginan istrimu ini.”

“Keinginan apa?”

“Pujian darimu?”

“Apa, pujian?” saya tertawa renyah

“Ya, sudah lama daku tidak engkau sanjung abang.”

“Ya ampun begitu merindukah engkau terhadap daku, istriku?” istriku tersipu malu

“Mungkin engkau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Daku mengerti dengan semuanya abang.”

“Sungguh keterlaluan jasad ini, bila menyia-nyiakan akan keindahan budi pekertimu,” dia tertunduk malu-malu

“Mari kemari istriku.”

“Apa abang?”

“Kemari,”  beliapun menurut atas ucapanku

“Daku ingin mengecupmu, bolehkah wahai istriku yang paling cantik sedunia?”

“Gombal...” saya pun mengecup keningnya, bibir istri saya tersenyum simpul, ada raut keikhlasan dalam wajah yang bersinar itu. Dia pun merangkul jasadku yang masih berpeluh ditubuhku. O, betapa nikmat keagungan Allah

“Masyaallah.”

“Ada apa abang?”

“Inikan bulan Ramadhan.”

“Tapi ini sudah magrib abang.”

“Masa?”

“Iya...”

“O, kukira ini masih siang hari..”

“Ah, abang bisa saja. Dasar gombal,” saya tertawa

“Abang jahat,” istriku merengek manja, kupeluk erat tubuh yang makin membuncit itu. Ah, sungguh betapa nikmatnya. Malaikatpun akan segera menyingkir bila saya berada di dekat istriku, pun halnya Allah sekalipun.

(maaf... sebenarnya cerita rayuan Bisri buat istrnya itu sangatlah panjang dan tak mungkin saya bercerita tentang semuanya. Terpaksa ini harus saya potong sebab keindahan yang sudah beristri sangatlah tidak terkira kebahagiaannya. Jadi saya harap pembacalah yang menyimpulkan kebahagiaan bagi mereka yang beriman. Bagi mereka yang mempunyai rasa syukur pada Allah SWT)

* * *

Setelah tarawih seperti biasa anak muda itu bersila menghadap ke kiblat seperti pertama saya melihatnya, dan saya pun untuk sekedar mengenalnya harus bersabar menunggunya. Dan itu saya lakukan demi untuk berkenalan. Saat dia melakukan hal seperti itu, saya berada di depan serambi surau. Lama saya menunggunya, dan rasanya hati ini pun merasa tak sabar untuk segera menegur anak muda yang asing itu. Setelah sekian jam saya tunggu datanglah waktu yang tepat untuk menyapanya. Dia berdiri dari duduknya, saya tersenyum saat pandangan raut mukanya menghadap ke arah saya, dan dia pun melakukan hal yang sama seperti yang saya perbuat.

“Assalamua’alaikum,” salamku tanpa ragu, dengan mengulurkan tangan. Saya bersalaman dan dia pun tak menamfik untuk sekadar berjabat tangan. Seperti sahabat yang lama saya pun mengajak beliau untuk sekedar ngobrol-ngobrol di depan serambi surau itu, dan dia pun tidak menamfikan. Hanya senyuman yang menyejukan hati.

Saat itulah saya ketahui anak muda asing itu bernama Husein. Nama yang cukup bagus, semoga sebagus dengan hatinya. Perawakannya sungguh tidak layak seorang pemuda pada saat itu yang gagah. Karena badannya kurus tinggi, matanya cekung dan orangnya cenderung pendiam serta keningnya hitam. Itu menandakan bahwa beliau sering melakukan shalat. Dari cara bicaranya sungguh beliau seorang yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Setiap ucapan yang dia keluarkan tidaklah ada yang sia-sia penuh dengan makna. Saya pun merasakan gendang telinga ini sejuk dengan kata-katanya. Sungguh pemuda yang sangat jarang saya temukan.

Cara pakaiannya pun sangat sederhana. Hanya mengenakan pakaian orang tua ‘pakaian koko’, mengesankan orang yang tidak mempunyai apa-apa. Sungguh membuat hati ini pun menjadi iba terhadapnya. Tetapi orang yang diibakan itu tetap tegar dengan mempunyai apa yang dikenakannya, dan sangat menikmatinya.

“Saya sudah terbiasa dengan mengenakan pakaian seperti ini,” ucapnya, dengan menyunggingkan sedikit bibirnya pertanda senyum. Saya mengerti dengan ungkapannya, saya pun memberikan respon dengan tidak maksud untuk menyinggung perasaannya.

“Sungguh saya sangat senang bisa berkenalan dengan sahabat Husein,” dia kembali senyum

“Saya pun demikian, semoga Tuan menjadi penjembatan ladang ibadah saya, yang kelak akan saya petik di akherat nanti,” Masyaallah, perkataannya penuh dengan pengharapan ridha Ilahi. Apakah pemuda ini adalah seorang malaikat yang Engkau utus ke hadapanku, ya Allah?

Kami pun saling tukar cerita, sekedar memperkenalkan dan mempererat ikatan emosional diantara kami berdua. Terutama latar belakang surau itu sewaktu diurus oleh ayahanda. Umur anak muda itu tujuh tahun lebih muda dari saya. Sekarang beliau berusia dua puluh tiga tahun. Sungguh umur yang bisa dikatakan sangat muda untuk ukuran orang pandai dalam agama.

“Saya bukan Kyai, ataupun orang yang pandai dalam berbicara hal agama. Maka dari itu cukup Tuan tidak menyebut saya seperti itu,” ucapnya penuh dengan kerendahan hati

Dari semenjak itulah saya menjadi akrab dengannya, dan dia pun sudah merasakan ada seorang sahabat yang hendak menjadi lawan bicaranya. Saya sering berdebat soal agama, dan saya ketahui dengan segala pengetahuan agama kebanyakan dari beliau. Pendek kata saya banyak belajar dari beliau. Pemuda cerdas. Walaupun umurnya lebih muda dari saya, saya telah memvonis bahwa dia adalah guru saya. Tetapi tidak bagi beliau

“Rasanya saya tak pantas untuk dijadikan guru,” ucapnya. Beliau berharap hanya sekedar tukar cerita atau pendapat tentang hal agama..

Anak muda itu sering saya ajak untuk sekedar buka puasa bersama keluarga saya, dan akrablah keluarga kami dengannya. Beliau layaknya seorang keluarga dalam keluarga kami.

* * *

Sepucuk surat, membuat galau hati Husein.....

Satu hari anak muda itu tidak seperti biasanya. Dari sebelum saya mengenalnya, dia menjadi pendiam dan cenderung menghindar dari saya. Itu saya ketahui setelah shalat maghrib. Beliau mendapatkan sepucuk surat, yang diberikan oleh seorang sahabatnya dari kampung. Beliau juga sama bertempat tinggal di surau itu, nama sahabat itu adalah Mansyur. Si Mansyur ini adalah sahabat Husein dari kerabat pamannya. Saya tidak mengetahui kabar apa yang Mansur berikan kepada Husein sehingga dia tidak begitu seperti biasanya. Saya pun kuatir dengan apa yang menjadi perubahan darinya. Ketakutan apa yang ada dalam benak saya adalah perkataan saya, bilamana menyinggung perasaan hatinya dan membuatnya tidak lagi untuk menjadi sahabat saya. Ah tidak, dia bukanlah orang seperti itu. Tetapi ketakutan itu tetap ada dan membuat saya tidak enak hati.

“Husein, adakah perkataanku yang menyinggung perasaanmu? Hingga engkau menjadi termenung-menung dan tak seperti biasanya,” ucapku setelah shalat tarawih. Husein tersenyum

“Tidak Tuan, apa yang menjadi Tuan risaukan itu adalah semuanya salah. Saya tidak seperti yang tuan duga. Kekacauan hati sekarang ini adalah bukan disebabkan Tuan, tetapi ada sesuatu yang saya tidak mampu untuk saya bendung. Hanya seperti inilah yang saya bisa lakukan bila kekacauan pikiran ini mulai merasuk ke alam pikiran saya,” lirih dia berucap seakan sesak

“Bila engkau seperti itu, adakah dihatimu untuk bisa melontarkan kegalauan hatimu untuk sekedar meringankan bebanmu. Siapa tahu, mungkin bila engkau bercerita terhadapku bebanmu itu bisa berkurang dan Insyaallah saya mampu memberikan solusi atau pendapat agar engkau tidak termenung-menung seperti itu.”

“Tidak Tuan, ini adalah sebuah rahasia. Tak mungkin saya ceritakan pada setiap orang. Jika sekiranya saya bercerita terhadap tuan, ketakutan saya nanti cerita ini akan menyebar kepada orang yang saya khawatirkan mendengarkannya.”

“Husein, engkau telah saya anggap sebagai saudaraku sendiri. Kuharap janganlah engkau ragu, dan percayalah bila saya mengetahui rahasiamu akan saya kunci rapat-rapat mulut dan hati ini. Bilamana saya mengingkarinya, biar hanya Allah-lah yang akan menghukum sajad ini, dimana saya akan menjadi bara api Neraka. Semua itu demi memperkuat tali persaudaraan kita,” terlihat tarikan napasnya begitu lambat seolah ada beban yang sangat berat, matanya yang cekung menatapku tajam, saya menempuk bahunya dan tersenyum menyakinkan

“Tidak Tuan,” air matanya menitik saya memeluknya. Suasana hening, malam makin larut.

“Tak usahlah engkau seperti itu. Ingatlah Allah bersama kita.”

“Saya teringat akan kampung halaman saya.”

“Engkau tak usah kuatir, saya adalah saudaramu, Husein. Anggap saja saya adalah kakakmu atau saudaramu, atau siapa sajalah, biar kalbumu itu tersejuk dengan semuanya.”

“Terima kasih tuan, semoga surgalah yang akan engkau terima.”

“Tenangkanlah dahulu hatimu, baru engkau bercerita.”

“Baiklah,” saya memperhatikan raut wajahnya, dia diam beberapa saat seolah mengumpulkan ingatan di masa lalu. Ada semacam lega hati ini Husein memberikan kepercayaan padaku.

“Tetapi sebelum saya bercerita, saya harap Tuan tidak pergi meninggalkan saya sebelum cerita ini selesai. Sebab saya tidak kuat menanggung apa yang akan saya ceritakan,” dia diam lagi, matanya mendadak berkaca, saya terharu.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 4 Orang Asing"

Post a Comment