Bulan ini saya yakin akan Tuan nanti-nantikan, dimana pahala dilipat
gandakan dan setiap gerak yang kita lakukan akan menjadi sebuah pahala yang
berlipat ganda, bila kita melaksanakan ibadah di bulan itu, dan harapan itu
bukan tanpa sebab tuan mempunyai niatan. Bila Tuan menginginkan Surga atau
takut pada Neraka, saya yakin Tuan akan kecewa dengan semuanya. Namun, bila
Tuan melainkan niatan menginginkan keikhlasan akan keridhaan Yang Mahasempurna,
saya yakin Tuan akan mendapat kepuasan. Demi Allah, tuan tidak akan kecewa
dengan janji Allah yang akan mengangkat derajat setiap insan bilamana memuja
diri-Nya di bulan itu.
Seperti umat Muslim yang lainnya sore hari dimana satu hari sebelum
bulan puasa terlebih dahulu saya membersihkan seluruh badan ini dengan mengguyur
air ke seluruh tubuh untuk menyempurnakan besok yang hendak berpuasa. Dan saya
pun mempersiapkan baik jiwa raga untuk menyongsong bulan yang dinanti-nantikan.
Sungguh saya termasuk orang beruntung yang bisa dipertemukan kembali dengan
bulan Ramadhan. Ya Allah, sungguh karena engkaulah saya bisa berhadapan kembali
dengan pintu taubat yang saya idamkan. Dan bertemulah saya dengan hari suci
itu. Alhamdulillah.
Juli, bulan itu hampir mendekati lima belas tahun setelah kemerdekaan
Indonesia, merdeka dari kaum penjajah. Dan saat itu tepat satu hari disaat
bulan Ramadhan tiba. Sungguh bahagia raga ini dipertemukan kembali dengan bulan
suci itu, walaupun waktu itu bangsa ini sedang menghadapi krisis. Istilah
bahasa kampungnya adalah musim paceklik, dimana harga barang-barang naik, sulit
mencari pekerjaan yang layak, serta langkanya minyak tanah. Tetapi, kami
sekeluarga alhamdulillah bisa dikatakan cukup untuk sekedar makan. Ah, sudahlah
saya tidak akan membahas soal negara ataupun bangsa saat itu, biarkanlah mereka
yang mempunyai jabatan tinggi saja.
Ramadhan adalah bulan yang saya harapkan, bulan dimana seluruh umat
manusia merasakan bahwa semuanya suci, pahala dilipat gandakan dan pintu taubat
terbuka lebar bagi mereka yang hendak memerlukan semuanya, termasuk saya
sendiri yang tidak bisa memberikan yang terbaik bagi almarhum ayahanda. Semoga
dengan datangnya bulan yang suci ini adalah langkah awal untuk terbukanya hati
yang keras ini.
Kebiasaan di kampung kami bila tiba bulan Ramadhan, saya rasa sama
seperti di kampung-kampung yang lainya, hanya saja kampung kami lebih
mengutamakan ibadah ketimbang pekerjaan. Walaupun hanya sekedar sebagai topeng
saja, biar bisa dikatakan orang Muslim yang taat beribadah. Semoga saya tidak
termasuk golongan yang munafik.
Di hari pertama bulan suci, alhamdulillah surau tua itu banyak
dikunjungi oleh masyarakat yang hendak melaksankan shalat tarawih, begitu pun
saya. Anak kecil, orang dewasa, tak terkecuali para orang tua yang sudah sepuh
pun ikut andil pada hari pertama itu. Tetapi istri saya tidak bisa, disebabkan
beliau sedang hamil tua pertama.
* * *
Awal jumpa dengan Husein.....
Lama saya perhatikan anak muda itu. Setelah shalat tarawih, semua orang
yang ada di dalam surau berduyun-duyun hendak pulang ke rumah masing-masing.
Namun ada sebagian orang yang membaca Alquran di dalam surau. Itu hanya
dilakukan beberapa saat saja, termasuk saya. Istilahnya dalam agama Islam
adalah tadarus, namun itu kembali pada diri kita sendiri. Setelah membaca
Alquran saya bermalasan di serambi surau. Satu persatu orang yang di dalam
surau pun pergi dan semuanya pun hilang, hanya tinggal satu pemuda yang tahan
dengan lamanya. Sungguh pemuda yang sangat khusu’ dalam beribadah, saya
memperhatikannya dengan seksama. Pemuda itu duduk bersila menghadap ke kiblat
dengan kepala di selungkupkan dengan tangan memegang tasbih dan tak henti-henti
bibirnya pun berkomat-kamit. Entah apa yang sedang dia lakukan? Yang jelas
sudah beberapa hari ini semenjak bulan Ramadhan tiba, orang asing itu sungguh
membuat hati ingin mengetahui sebetulnya. Dan saya kira orang yang sedang saya
perhatikan itu adalah bukan orang sahabat dekat dari sini. Sungguh saya
tertarik dengan perangai budi pekertinya yang luhur, walaupun anak muda itu
bukanlah anak muda yang sedang tidak menimba ilmu.
Saya perhatikan dari mulai Subuh, anak muda itu sudah ada di dalam
surau dengan tekunnya. Melapadzkan dzikir, menjadi muazin , setelah matahari di
ufuk timur datang menghampiri kebiasaan dia menghapal Alquran dengan segenap di
depan serambi surau. Itu saya ketahui saat saya hendak berangkat dari kerja.
Sore harinya setelah saya pulang dari pekerjaan, seperti biasanya anak muda itu
membaca buku tentang agama yang bagi saya tidak dimengerti apa yang dia sedang
tela’ah. Bagi saya, buku itu sangat asing dan saya sangatlah tertarik dengan
kebiasaan anak muda yang asing itu.
Ketertarikan itu pun saya utarakan kepada istri saya saat buka puasa
tiba. Dengan segenap rasa penasaran saya pun langsung mengutarakan maksud saya;
“Wahai istriku..” sahutku
“Iya abang.”
“Apakah engkau paham dengan anak muda yang sering berada di surau itu?”
istri saya keheranan dengan perkataan saya yang berada diluar dugaan
“Apakah yang hendak engkau maksud kakanda?” istriku mengernyitkan
alisnya yang tebal.
“Saya tak paham dengan semuanya,
kakanda” ucap istriku, dengan dahi mengkerut kembali. Harus dari mana saya
hendak mengutarakan maksud hati ini agar tak bermaksud hatinya berprasangka
“Istriku, sungguh hati ini sangat iba dan sungguh tertarik terhadap
budi pekerti anak muda itu.”
“Anak muda?”
“Ya, anak muda di surau itu. Dia sungguh membuat hati ini ingin
mengenalnya,” saya mendekati istriku
“Bolehkah bila suamimu ini hendak berkenalan dengan dirinya?”
“Sungguh mulut ini tak bermaksud untuk menyinggung perasaan hati
kakanda, andai boleh tahu apa yang membuat hati kakanda menjadi berkeinginan,
bersemangat untuk mengenal lebih jauh pemuda asing yang ada di surau itu?”
“Tidak istriku, hanya satu yang suamimu ini inginkan, agar hal wacana
agama suamimu ini tidaklah kosong dengan semuanya. Saya lihat anak muda yang
asing itu sungguh mempunyai bekal keagamaan yang cukup buat suamimu ini belajar
darinya walaupun umur beliau lebih muda ketimbang saya”
“Alhamdulillah..” saya tersenyum
“Ternyata engkau telah dibukakan hatimu Abang oleh Allah,” saya tersipu
malu
“Mungkin daku terlalu lama istriku, tidak belajar menimba ilmu tentang
keagamaan semenjak lulus dari Kairo.”
“Ya inilah keagungan Allah.”
“Semoga daku bukanlah seorang yang termasuk yang sombong.”
“Kalau pun demikian hendak maksud kakanda ingin berkenalan dengannya,
silahkan”
“Benar..?”
“Ya, tapi setidaknya, alangkah baiknya bila beliau diundang hendak buka
puasa bersama dengan kita, bila kakanda mengijinkan semua itu,” kepala saya
manggut-manggut
“Ide yang bagus,” istriku tersipu malu
“Engkau sungguh istri yang sangat pengertian dalam hal keinginan
suamimu ini, saya tak salah meminangmu. Dengan segenap harapan suamimu ini
mengucapkan terima kasih.”
“Ah, abang bisa saja akan keinginan istrimu ini.”
“Keinginan apa?”
“Pujian darimu?”
“Apa, pujian?” saya tertawa renyah
“Ya, sudah lama daku tidak engkau sanjung abang.”
“Ya ampun begitu merindukah engkau terhadap daku, istriku?” istriku
tersipu malu
“Mungkin engkau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Daku mengerti dengan
semuanya abang.”
“Sungguh keterlaluan jasad ini, bila menyia-nyiakan akan keindahan budi
pekertimu,” dia tertunduk malu-malu
“Mari kemari istriku.”
“Apa abang?”
“Kemari,” beliapun menurut atas
ucapanku
“Daku ingin mengecupmu, bolehkah wahai istriku yang paling cantik
sedunia?”
“Gombal...” saya pun mengecup keningnya, bibir istri saya tersenyum
simpul, ada raut keikhlasan dalam wajah yang bersinar itu. Dia pun merangkul
jasadku yang masih berpeluh ditubuhku. O, betapa nikmat keagungan Allah
“Masyaallah.”
“Ada apa abang?”
“Inikan bulan Ramadhan.”
“Tapi ini sudah magrib abang.”
“Masa?”
“Iya...”
“O, kukira ini masih siang hari..”
“Ah, abang bisa saja. Dasar gombal,” saya tertawa
“Abang jahat,” istriku merengek manja, kupeluk erat tubuh yang makin
membuncit itu. Ah, sungguh betapa nikmatnya. Malaikatpun akan segera menyingkir
bila saya berada di dekat istriku, pun halnya Allah sekalipun.
(maaf... sebenarnya cerita rayuan Bisri buat istrnya itu sangatlah
panjang dan tak mungkin saya bercerita tentang semuanya. Terpaksa ini harus
saya potong sebab keindahan yang sudah beristri sangatlah tidak terkira
kebahagiaannya. Jadi saya harap pembacalah yang menyimpulkan kebahagiaan bagi
mereka yang beriman. Bagi mereka yang mempunyai rasa syukur pada Allah SWT)
* * *
Setelah tarawih seperti biasa anak muda itu bersila menghadap ke kiblat
seperti pertama saya melihatnya, dan saya pun untuk sekedar mengenalnya harus
bersabar menunggunya. Dan itu saya lakukan demi untuk berkenalan. Saat dia
melakukan hal seperti itu, saya berada di depan serambi surau. Lama saya
menunggunya, dan rasanya hati ini pun merasa tak sabar untuk segera menegur
anak muda yang asing itu. Setelah sekian jam saya tunggu datanglah waktu yang
tepat untuk menyapanya. Dia berdiri dari duduknya, saya tersenyum saat
pandangan raut mukanya menghadap ke arah saya, dan dia pun melakukan hal yang
sama seperti yang saya perbuat.
“Assalamua’alaikum,” salamku tanpa ragu, dengan mengulurkan tangan.
Saya bersalaman dan dia pun tak menamfik untuk sekadar berjabat tangan. Seperti
sahabat yang lama saya pun mengajak beliau untuk sekedar ngobrol-ngobrol di
depan serambi surau itu, dan dia pun tidak menamfikan. Hanya senyuman yang
menyejukan hati.
Saat itulah saya ketahui anak muda asing itu bernama Husein. Nama yang
cukup bagus, semoga sebagus dengan hatinya. Perawakannya sungguh tidak layak
seorang pemuda pada saat itu yang gagah. Karena badannya kurus tinggi, matanya
cekung dan orangnya cenderung pendiam serta keningnya hitam. Itu menandakan
bahwa beliau sering melakukan shalat. Dari cara bicaranya sungguh beliau
seorang yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Setiap ucapan yang dia keluarkan
tidaklah ada yang sia-sia penuh dengan makna. Saya pun merasakan gendang
telinga ini sejuk dengan kata-katanya. Sungguh pemuda yang sangat jarang saya
temukan.
Cara pakaiannya pun sangat sederhana. Hanya mengenakan pakaian orang
tua ‘pakaian koko’, mengesankan orang yang tidak mempunyai apa-apa. Sungguh
membuat hati ini pun menjadi iba terhadapnya. Tetapi orang yang diibakan itu
tetap tegar dengan mempunyai apa yang dikenakannya, dan sangat menikmatinya.
“Saya sudah terbiasa dengan mengenakan pakaian seperti ini,” ucapnya,
dengan menyunggingkan sedikit bibirnya pertanda senyum. Saya mengerti dengan
ungkapannya, saya pun memberikan respon dengan tidak maksud untuk menyinggung
perasaannya.
“Sungguh saya sangat senang bisa berkenalan dengan sahabat Husein,” dia
kembali senyum
“Saya pun demikian, semoga Tuan menjadi penjembatan ladang ibadah saya,
yang kelak akan saya petik di akherat nanti,” Masyaallah, perkataannya penuh
dengan pengharapan ridha Ilahi. Apakah pemuda ini adalah seorang malaikat yang
Engkau utus ke hadapanku, ya Allah?
Kami pun saling tukar cerita, sekedar memperkenalkan dan mempererat
ikatan emosional diantara kami berdua. Terutama latar belakang surau itu
sewaktu diurus oleh ayahanda. Umur anak muda itu tujuh tahun lebih muda dari
saya. Sekarang beliau berusia dua puluh tiga tahun. Sungguh umur yang bisa
dikatakan sangat muda untuk ukuran orang pandai dalam agama.
“Saya bukan Kyai, ataupun orang yang pandai dalam berbicara hal agama.
Maka dari itu cukup Tuan tidak menyebut saya seperti itu,” ucapnya penuh dengan
kerendahan hati
Dari semenjak itulah saya menjadi akrab dengannya, dan dia pun sudah
merasakan ada seorang sahabat yang hendak menjadi lawan bicaranya. Saya sering
berdebat soal agama, dan saya ketahui dengan segala pengetahuan agama
kebanyakan dari beliau. Pendek kata saya banyak belajar dari beliau. Pemuda
cerdas. Walaupun umurnya lebih muda dari saya, saya telah memvonis bahwa dia
adalah guru saya. Tetapi tidak bagi beliau
“Rasanya saya tak pantas untuk dijadikan guru,” ucapnya. Beliau
berharap hanya sekedar tukar cerita atau pendapat tentang hal agama..
Anak muda itu sering saya ajak untuk sekedar buka puasa bersama
keluarga saya, dan akrablah keluarga kami dengannya. Beliau layaknya seorang
keluarga dalam keluarga kami.
* * *
Sepucuk surat, membuat galau
hati Husein.....
Satu hari anak muda itu tidak seperti biasanya. Dari sebelum saya
mengenalnya, dia menjadi pendiam dan cenderung menghindar dari saya. Itu saya
ketahui setelah shalat maghrib. Beliau mendapatkan sepucuk surat, yang
diberikan oleh seorang sahabatnya dari kampung. Beliau juga sama bertempat
tinggal di surau itu, nama sahabat itu adalah Mansyur. Si Mansyur ini adalah
sahabat Husein dari kerabat pamannya. Saya tidak mengetahui kabar apa yang
Mansur berikan kepada Husein sehingga dia tidak begitu seperti biasanya. Saya
pun kuatir dengan apa yang menjadi perubahan darinya. Ketakutan apa yang ada
dalam benak saya adalah perkataan saya, bilamana menyinggung perasaan hatinya
dan membuatnya tidak lagi untuk menjadi sahabat saya. Ah tidak, dia bukanlah
orang seperti itu. Tetapi ketakutan itu tetap ada dan membuat saya tidak enak
hati.
“Husein, adakah perkataanku yang menyinggung perasaanmu? Hingga engkau
menjadi termenung-menung dan tak seperti biasanya,” ucapku setelah shalat
tarawih. Husein tersenyum
“Tidak Tuan, apa yang menjadi Tuan risaukan itu adalah semuanya salah.
Saya tidak seperti yang tuan duga. Kekacauan hati sekarang ini adalah bukan
disebabkan Tuan, tetapi ada sesuatu yang saya tidak mampu untuk saya bendung.
Hanya seperti inilah yang saya bisa lakukan bila kekacauan pikiran ini mulai
merasuk ke alam pikiran saya,” lirih dia berucap seakan sesak
“Bila engkau seperti itu, adakah dihatimu untuk bisa melontarkan
kegalauan hatimu untuk sekedar meringankan bebanmu. Siapa tahu, mungkin bila
engkau bercerita terhadapku bebanmu itu bisa berkurang dan Insyaallah saya
mampu memberikan solusi atau pendapat agar engkau tidak termenung-menung
seperti itu.”
“Tidak Tuan, ini adalah sebuah rahasia. Tak mungkin saya ceritakan pada
setiap orang. Jika sekiranya saya bercerita terhadap tuan, ketakutan saya nanti
cerita ini akan menyebar kepada orang yang saya khawatirkan mendengarkannya.”
“Husein, engkau telah saya anggap sebagai saudaraku sendiri. Kuharap
janganlah engkau ragu, dan percayalah bila saya mengetahui rahasiamu akan saya
kunci rapat-rapat mulut dan hati ini. Bilamana saya mengingkarinya, biar hanya
Allah-lah yang akan menghukum sajad ini, dimana saya akan menjadi bara api
Neraka. Semua itu demi memperkuat tali persaudaraan kita,” terlihat tarikan
napasnya begitu lambat seolah ada beban yang sangat berat, matanya yang cekung
menatapku tajam, saya menempuk bahunya dan tersenyum menyakinkan
“Tidak Tuan,” air matanya menitik saya memeluknya. Suasana hening,
malam makin larut.
“Tak usahlah engkau seperti itu. Ingatlah Allah bersama kita.”
“Saya teringat akan kampung halaman saya.”
“Engkau tak usah kuatir, saya adalah saudaramu, Husein. Anggap saja
saya adalah kakakmu atau saudaramu, atau siapa sajalah, biar kalbumu itu
tersejuk dengan semuanya.”
“Terima kasih tuan, semoga surgalah yang akan engkau terima.”
“Tenangkanlah dahulu hatimu, baru engkau bercerita.”
“Baiklah,” saya memperhatikan raut wajahnya, dia diam beberapa saat
seolah mengumpulkan ingatan di masa lalu. Ada semacam lega hati ini Husein
memberikan kepercayaan padaku.
“Tetapi sebelum saya bercerita, saya harap Tuan tidak pergi
meninggalkan saya sebelum cerita ini selesai. Sebab saya tidak kuat menanggung
apa yang akan saya ceritakan,” dia diam lagi, matanya mendadak berkaca, saya
terharu.
0 Response to "SESAL # 4 Orang Asing"
Post a Comment