SESAL # 5 Keluarga Sederhana


Di dusun yang hening dan sepi, di daerah perbukitan dimana hutan masih belantara, terdapatlah sebuah perkampungan yang penduduknya kurang lebih lima puluh kepala keluarga. Semua penduduknya rata-rata adalah keluarga miskin, namun ada juga sebagian yang mempunyai kecukupan dalam hal ekonominya. Itulah perkampungan kami. Namun, walaupun begitu sungguh kami bersyukur pada empunya alam ini sebab kemiskinan itulah kami dijauhkan dari penyakit stress yang konon katanya adalah penyakit yang melanda setiap insan yang ada di kota. Ini adalah satu karunia yang tiada kira yang tak bisa dibalas walaupun dengan uang berlimpah sekalipun. Tuhan Mahabesar atas segala Rahmatnya.

Sebagian besar pekerjaan penduduk kami adalah penyadap karet, sebab kampung kami di kelilingi oleh hutan karet. Sebenarnya bukan hutan, andai hutan artinya tidak ada aturan pada tumbuhan, ini bisa dikatakan perkebunan sebab ada yang mengelola yaitu pemerintah atau bisa disebut dengan dinas perhutanan, walaupun dari sebagian selatannya bukan lahan karet. Hanya ladang ilalang yang banyak terdapat rumput, biasa di pakai untuk pengembala sapi perah. Namun ada juga para pemudanya mencari nafkah di kota, sebagai perantau. Ada juga hanya sebagai penjual susu sapi atau pun pemerah.

Rumahnya pun bisa dikira-kira, mana yang kaya dan mana yang miskin, dalam artian kita bisa melihat bahwa rumah tersebut adalah rumah orang berada atau tidak. Sebab sebagian rumahnya pun ada yang hanya berdinding gedek, berlantai tanah, beratap daun kelapa. Rumah itu digolongkan keluarga paling sederhana atau bisa dikatakan kasarnya adalah buruh penyadap karet. Ada yang setengah bata, dalam artian dari bawah bata dan sebagian atasnya adalah bilik dari bambu, biasanya adalah orang peternak yang mempunyai sapi perah. Ada juga keseluruhan rumahnya berdindinng tembok, itu tentunya adalah orang yang berada. Biasanya rumah seperti ini adalah rumah orang yang mempunyai uang lebih yaitu penadah karet, atau bahasa kerennya adalah tengkulak, atau bandar, toke. Bos.

Walaupun di antara rumah kami dengan rumah yang lainya saling berjauhan, namun keintiman dalam kekeluargaan kampung kami lebih diutamakan. Maka jangan heran bila Tuan datang ke kampung kami. Dari terminal Tuan naik angkot jurusan pasar Kliwon, kemudian sesudah sampai di sana, Tuan naik ojek itu lebih baik atau pun jalan kaki tentunya agak jauh. Kemudian Tuan turun di balai desa, dan tanyakan kepada orang yang melintas. Andai Tuan menyebut nama dan siapa orangtuanyapun, dipastikan semua orang di sana akan senang hati hanya untuk mengantar ke rumah yang Tuan tuju, tanpa imbalan satu persenpun. Sungguh perbuatan terpuji yang jarang terjadi dilakukan orang-orang kota.

Di kampung kami sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Menganut agama Islam, maka jangan heran bila magrib tiba, banyak anak-anak yang berjalan kaki hanya untuk mencari ilmu agama. Mengaji pada ustadz di kampung itu, ada yang berjalan satu setengah kilo, satu kilo, itu tergantung dari siapa yang akan di jadikan guru oleh setiap anak. Biasanya setiap anak yang baru menginjak iqro pertama sampai iqro enam ke Haji Kohar. Sementara yang sudah menginjak Al-Quran ke Haji Samsul. Rumah Haji Kohar dari balai desa kira-kira sampai satu kilo. Sedangkan rumah Haji Samsul hanya satu setengah kilo. Mereka lakukan perbuatan itu dari magrib sampai kira-kira jam setengah delapan. Biasanya baik berangkat maupun pulang, bersama-sama mereka jalan kaki.

Rumah kami saling berjauhan walaupun tidak bisa dikatakan terlalu jauh. Ada yang di atas bukit, ada yang di bawah bukit, ada pula di ujung bukit. Tetapi bagi kami itu adalah bukan suatu hambatan untuk tidak melakukan yang terbaik bagi yang empunya alam ini. Yang jelas bila sore tiba dan bulan purnama anak-anak kecil berkumpul di lapangan hanya untuk bermain bulan padang, atau ular-ularan, tentunya itu sehabis mengaji. Sungguh sangat senang, seakan tiada masalah dalam diri anak-anak itu

Penduduk kami adalah pekerja keras. Mereka rata-rata bangun sebelum subuh, sesudah pergi ke surau lalu mereka melakukan kegiatan menyadapnya. Sebab bila menyadap karet terlalu siang, maka getah yang dihasilkan di pohonnya itu tidak ada.

* * *

Diantara bukit dan perkebunan, rumah kami berada di tengah-tengahnya. Kami adalah keluarga sederhana, bisa dikatakan seperti itu sebab keluarga kami saat itu telah melakukan perencanaan pemerintah, yaitu Keluarga Berencana. Cukup dua anak. Sebab saat itu pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan program keluarga sejahtera. Entah apa yang pemerintah pikirkan, hubungan antara anak dua dan kesejahteraan? Bukankah banyak anak banyak rezeki?

Orangtuaku adalah orang yang taat agama, dia sangat saleh. Tak pernah telat beribadah walau dalam keadaan apa pun jua. Itu artinya watak dari kedua orangtuaku sebagian besar menurun pada diriku juga pada keseharian dalam keluarga. Namun begitu, bukan berarti pemikiran dan tingkah laku keluarga kami dapat lolos dari kejaran Tuhan, sekiranya kami dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kami kelak diakherat nanti.

Keluarga kami pemikiranya sangat kolot istilahnya adat dan tradisi sangat ia junjung tinggi, walau dalam agama sangatlah saleh tetapi adat adalah satu-satunya yang harus dijunjung dalam aturan keluarga. Misalnya, tentang siapa yang menjadi pendamping hidup saya. Keluargalah yang menjadi peran penting, yang harus memilih terutama kedua orangtua kami.

Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya perempuan, ia cantik walaupun masih belum dikatakan dewasa. Ia sangat rajin membantu ibu memasak, mencuci, bersih-bersih rumah. Nama adik saya itu adalah Aisyah. Sebenarnya nama panjangnya Siti Aisyah, tetapi di kelaurga kami memanggilnya cukup dengan Aisyah. Ia kemana-mana tak lepas dengan kerudung, ke pasar, ke sekolah, ataupun bermain sekalipun. Tetapi adikku yang satu ini tak suka bermain, ia habiskan waktunya hanya untuk membantu ibu di dapur atau belajar, yang ia sangat gemari adalah membaca buku, terutama buku sastra, buku cerita tentang legenda-legenda. Saya senang bila melihat dia sedang membaca, kadang buku yang ia baca membawa dirinya larut dalam hayalan, dia sering menangis bila tokoh dalam cerita itu menampakan kesedihan.

Saya sangat sayang padanya melebihi apa pun termasuk orangtuaku. Adikku mempunyai sifat penurut, andai saya menasehatinya tak perlulah untuk berbicara kedua kali. Dan bila diberi nasehat beliau sering tertunduk. Ah, adikku abang terlalu sayang terhadapmu.

Aisyah sebenarnya anak manja, sebagaimana remaja seumurannya. Namun kedua orangtua kami tidaklah senang untuk memanjakannya, apalagi untuk sekedar memberikan suatu berlebihan padanya. Tetapi berbeda dengan saya, sikap Aisyah adalah perilaku yang wajar bila menginginkan sesuatu yang lebih. Jadi Aisyah hanyalah mampu bermanja ria dihadapan saya saja, saya pun ikut senang bila melihat adikku yang satu-satunya itu tersenyum lebar bila dibelikan seseuatu yang mebuatnya bahagia.

Bapakaku seorang keturunan yang biasa-biasa saja, tetapi orang sekeliling sangat menghormati, sebab bapak seorang yang berbudi luhur, sangat menghormati penduduk di sana. Dan orang-orang di sana pun menaruh hormat pula pada keluarga kami, termasuk saya. Pengawakannya pun seperti halnya diri ini, tinggi kurus, kekar, rambutnya lurus hampir semua tertimbun uban ketuaannya

* * *

Saya mempunyai saudara dekat perempuan, anak dari adik nenek ibunya bapak. Namanya Muzdalifah, wajahnya cantik. Semenjak kecil saya sangat dekat dengannya, bahkan sedekat adik kakak. Orangtuanya dan orangtuaku sangat bahagia bila melihat saya dengan Muzdalifah bermain dengan akurnya. Biasanya permainan yang sering kami lakukan adalah permainan adu biji asem, kami sangat senang sebab biji asem banyak terdapat di belakang rumah, bukan hanya itu saja banyak permainan yang sering kami lakukan, seperti permainan galah, petak umpet, ular naga, dan banyak lagi permaianan anak kampung.

Andai malam tiba, Muzdalifah atau saya sendiri saling mengunjungi untuk sekedar berangkat mengaji bersama-sama, begitu pula pulangnya. Saya dan beliau mengajinya sama ke rumah haji Kohar sebab kami berdua mengajinya sudah sampai Alquran, sungguh saat itu suatu perbuatan yang sangat terpuji. Kami berdua sangat bahagia, walau kadang kami pun tak jarang sering marahan, atau pun bertengkar. Tapi cukup sampai disitu kami marahannya.

Muzdalifah tidak punya saudara, beliau anak tunggal, anak semata wayang. Tetapi kedua orangtuanya tak segampang itu untuk memanjakannya. Kadang saya sangat iri terhadap Muzdalifah, sebab beliau sangat disayang oleh kedua orangtuanya, walau bisa dikatakan itu bukanlah kemanjaan. Bapaknya baik, maupun ibunya, dan keluarga kami pun sangat dekat.

Umur kami hanya terpaut dua tahun, saya lebih tua daripada Muzdalifah. Maka tak heran bila saya terlebih dahulu untuk masuk sekolah dasar ketimbang Muzdalifah, sebab beliau terlalu muda untuk mengikuti pelajaran. Semenjak Muzdalifah ditinggal sekolah olehku, ia pun sering menangis menginginkan ikut bersamaku untuk masuk sekolah. Mau tak mau sehabis sekolah pun saya terpaksa main ke rumahnya, sebab jika tidak demikian ia pun pastilah marah, karena saya telah berjanji untuk tetap menemuinya. O, sungguh perbuatan yang sangat membosankan, tetapi walau demikian hati ini pun senang melihat Muzdalifah bahagia. Dia selalu tersenyum bila dari kejauhan saya datang dengan lelahnya, dan dengan ikhlas beliau pun menyodorkan segelas air putih, kelakuan kami seperti itu sering dipergoki oleh kedua orangtuanya. Orangtuanya memberikan kepercayaan terhadap saya. Sebab setelah sekiranya saya naik kelas, Muzdalifah pun akan dimasukan kesekolah.

Baru setelah saya menginjak kelas dua, Muzdalifah pun masuk sekolah kami satu sekolah dengannya, sungguh sangat bahagia terlihat pancaran dari raut wajah Muzdalifah.

“Abang Husein..” dia menatapku dengan sayu

“Ada apa Muzdalifah?”

“Sungguh bahagia hati Muzdalifah sekarang ini bisa bertemu kembali denganmu. Tidakkah abang bahagia pula seperti yang sekarang saya rasakan?” saya hanya mampu tersenyum dan sedikit menganggukan kepala saat melihat perempuan kecil dengan pakai seragamnya.

“Abang sangat senang melihat Muzdalifah seperti ini, dan kita pasti akan bermain sampai bosan.”

“Benar Abang?”

“Ya.”

“Terima kasih Abang.”

“Kamu mengehendaki permainan apa?”

“Apa ya?”

“Adu biji asem? Petak umpet? Maen galah?”

“Ah, tidak semua Abang. Muzdalifah menginginkan Abang selalu ada di dekat Muzdalifah.”

“Maksudmu?”

“Ya, walaupun Abang tidak bermain denganku asal Abang selalu ada untuk Muzdalifah,” saya mengerti dengan apa yang diucapkan gadis kecil itu

“Seharusnya Abang berjanji akan selalu menemani Muzdalifah.”

“Apa perlu Abang berjanji?”

“Muzdalifah takut Abang meninggalkanku seorang diri.”

“Meninggalkan apa?”

“Sekarang Abang berjanji untuk Muzdalifah, bahwa Abang tidaklah akan meninggalakan Muzdalifah walau dalam keadaan apa pun jua,” saya terdiam

“Ayolah Abang berjanji untuk Muzdalifah,” lama saya berpikir apakah semua ini hanyalah main-main belaka

“Abang berjanji tidak akan meninggalkan Muzdalifah.”

“Terima kasih Abang.”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 5 Keluarga Sederhana"

Post a Comment