Sebagian besar pekerjaan penduduk kami adalah penyadap karet, sebab
kampung kami di kelilingi oleh hutan karet. Sebenarnya bukan hutan, andai hutan
artinya tidak ada aturan pada tumbuhan, ini bisa dikatakan perkebunan sebab ada
yang mengelola yaitu pemerintah atau bisa disebut dengan dinas perhutanan,
walaupun dari sebagian selatannya bukan lahan karet. Hanya ladang ilalang yang
banyak terdapat rumput, biasa di pakai untuk pengembala sapi perah. Namun ada
juga para pemudanya mencari nafkah di kota, sebagai perantau. Ada juga hanya
sebagai penjual susu sapi atau pun pemerah.
Rumahnya pun bisa dikira-kira, mana yang kaya dan mana yang miskin,
dalam artian kita bisa melihat bahwa rumah tersebut adalah rumah orang berada
atau tidak. Sebab sebagian rumahnya pun ada yang hanya berdinding gedek,
berlantai tanah, beratap daun kelapa. Rumah itu digolongkan keluarga paling
sederhana atau bisa dikatakan kasarnya adalah buruh penyadap karet. Ada yang
setengah bata, dalam artian dari bawah bata dan sebagian atasnya adalah bilik
dari bambu, biasanya adalah orang peternak yang mempunyai sapi perah. Ada juga
keseluruhan rumahnya berdindinng tembok, itu tentunya adalah orang yang berada.
Biasanya rumah seperti ini adalah rumah orang yang mempunyai uang lebih yaitu
penadah karet, atau bahasa kerennya adalah tengkulak, atau bandar, toke. Bos.
Walaupun di antara rumah kami dengan rumah yang lainya saling
berjauhan, namun keintiman dalam kekeluargaan kampung kami lebih diutamakan.
Maka jangan heran bila Tuan datang ke kampung kami. Dari terminal Tuan naik
angkot jurusan pasar Kliwon, kemudian sesudah sampai di sana, Tuan naik ojek
itu lebih baik atau pun jalan kaki tentunya agak jauh. Kemudian Tuan turun di
balai desa, dan tanyakan kepada orang yang melintas. Andai Tuan menyebut nama
dan siapa orangtuanyapun, dipastikan semua orang di sana akan senang hati hanya
untuk mengantar ke rumah yang Tuan tuju, tanpa imbalan satu persenpun. Sungguh
perbuatan terpuji yang jarang terjadi dilakukan orang-orang kota.
Di kampung kami sebagian besar penduduknya adalah Muslim. Menganut
agama Islam, maka jangan heran bila magrib tiba, banyak anak-anak yang berjalan
kaki hanya untuk mencari ilmu agama. Mengaji pada ustadz di kampung itu, ada
yang berjalan satu setengah kilo, satu kilo, itu tergantung dari siapa yang
akan di jadikan guru oleh setiap anak. Biasanya setiap anak yang baru menginjak
iqro pertama sampai iqro enam ke Haji Kohar. Sementara yang sudah menginjak
Al-Quran ke Haji Samsul. Rumah Haji Kohar dari balai desa kira-kira sampai satu
kilo. Sedangkan rumah Haji Samsul hanya satu setengah kilo. Mereka lakukan
perbuatan itu dari magrib sampai kira-kira jam setengah delapan. Biasanya baik
berangkat maupun pulang, bersama-sama mereka jalan kaki.
Rumah kami saling berjauhan walaupun tidak bisa dikatakan terlalu jauh.
Ada yang di atas bukit, ada yang di bawah bukit, ada pula di ujung bukit.
Tetapi bagi kami itu adalah bukan suatu hambatan untuk tidak melakukan yang
terbaik bagi yang empunya alam ini. Yang jelas bila sore tiba dan bulan purnama
anak-anak kecil berkumpul di lapangan hanya untuk bermain bulan padang, atau
ular-ularan, tentunya itu sehabis mengaji. Sungguh sangat senang, seakan tiada
masalah dalam diri anak-anak itu
Penduduk kami adalah pekerja keras. Mereka rata-rata bangun sebelum
subuh, sesudah pergi ke surau lalu mereka melakukan kegiatan menyadapnya. Sebab
bila menyadap karet terlalu siang, maka getah yang dihasilkan di pohonnya itu
tidak ada.
* * *
Diantara bukit dan perkebunan, rumah kami berada di tengah-tengahnya.
Kami adalah keluarga sederhana, bisa dikatakan seperti itu sebab keluarga kami
saat itu telah melakukan perencanaan pemerintah, yaitu Keluarga Berencana.
Cukup dua anak. Sebab saat itu pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan
program keluarga sejahtera. Entah apa yang pemerintah pikirkan, hubungan antara
anak dua dan kesejahteraan? Bukankah banyak anak banyak rezeki?
Orangtuaku adalah orang yang taat agama, dia sangat saleh. Tak pernah
telat beribadah walau dalam keadaan apa pun jua. Itu artinya watak dari kedua
orangtuaku sebagian besar menurun pada diriku juga pada keseharian dalam
keluarga. Namun begitu, bukan berarti pemikiran dan tingkah laku keluarga kami
dapat lolos dari kejaran Tuhan, sekiranya kami dapat mempertanggungjawabkan
perbuatan kami kelak diakherat nanti.
Keluarga kami pemikiranya sangat kolot istilahnya adat dan tradisi
sangat ia junjung tinggi, walau dalam agama sangatlah saleh tetapi adat adalah
satu-satunya yang harus dijunjung dalam aturan keluarga. Misalnya, tentang
siapa yang menjadi pendamping hidup saya. Keluargalah yang menjadi peran
penting, yang harus memilih terutama kedua orangtua kami.
Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya perempuan, ia cantik
walaupun masih belum dikatakan dewasa. Ia sangat rajin membantu ibu memasak,
mencuci, bersih-bersih rumah. Nama adik saya itu adalah Aisyah. Sebenarnya nama
panjangnya Siti Aisyah, tetapi di kelaurga kami memanggilnya cukup dengan
Aisyah. Ia kemana-mana tak lepas dengan kerudung, ke pasar, ke sekolah, ataupun
bermain sekalipun. Tetapi adikku yang satu ini tak suka bermain, ia habiskan
waktunya hanya untuk membantu ibu di dapur atau belajar, yang ia sangat gemari
adalah membaca buku, terutama buku sastra, buku cerita tentang legenda-legenda.
Saya senang bila melihat dia sedang membaca, kadang buku yang ia baca membawa
dirinya larut dalam hayalan, dia sering menangis bila tokoh dalam cerita itu
menampakan kesedihan.
Saya sangat sayang padanya melebihi apa pun termasuk orangtuaku. Adikku
mempunyai sifat penurut, andai saya menasehatinya tak perlulah untuk berbicara
kedua kali. Dan bila diberi nasehat beliau sering tertunduk. Ah, adikku abang
terlalu sayang terhadapmu.
Aisyah sebenarnya anak manja, sebagaimana remaja seumurannya. Namun
kedua orangtua kami tidaklah senang untuk memanjakannya, apalagi untuk sekedar
memberikan suatu berlebihan padanya. Tetapi berbeda dengan saya, sikap Aisyah
adalah perilaku yang wajar bila menginginkan sesuatu yang lebih. Jadi Aisyah
hanyalah mampu bermanja ria dihadapan saya saja, saya pun ikut senang bila
melihat adikku yang satu-satunya itu tersenyum lebar bila dibelikan seseuatu
yang mebuatnya bahagia.
Bapakaku seorang keturunan yang biasa-biasa saja, tetapi orang
sekeliling sangat menghormati, sebab bapak seorang yang berbudi luhur, sangat
menghormati penduduk di sana. Dan orang-orang di sana pun menaruh hormat pula
pada keluarga kami, termasuk saya. Pengawakannya pun seperti halnya diri ini,
tinggi kurus, kekar, rambutnya lurus hampir semua tertimbun uban ketuaannya
* * *
Saya mempunyai saudara dekat perempuan, anak dari adik nenek ibunya
bapak. Namanya Muzdalifah, wajahnya cantik. Semenjak kecil saya sangat dekat
dengannya, bahkan sedekat adik kakak. Orangtuanya dan orangtuaku sangat bahagia
bila melihat saya dengan Muzdalifah bermain dengan akurnya. Biasanya permainan
yang sering kami lakukan adalah permainan adu biji asem, kami sangat senang
sebab biji asem banyak terdapat di belakang rumah, bukan hanya itu saja banyak
permainan yang sering kami lakukan, seperti permainan galah, petak umpet, ular
naga, dan banyak lagi permaianan anak kampung.
Andai malam tiba, Muzdalifah atau saya sendiri saling mengunjungi untuk
sekedar berangkat mengaji bersama-sama, begitu pula pulangnya. Saya dan beliau
mengajinya sama ke rumah haji Kohar sebab kami berdua mengajinya sudah sampai
Alquran, sungguh saat itu suatu perbuatan yang sangat terpuji. Kami berdua
sangat bahagia, walau kadang kami pun tak jarang sering marahan, atau pun
bertengkar. Tapi cukup sampai disitu kami marahannya.
Muzdalifah tidak punya saudara, beliau anak tunggal, anak semata
wayang. Tetapi kedua orangtuanya tak segampang itu untuk memanjakannya. Kadang
saya sangat iri terhadap Muzdalifah, sebab beliau sangat disayang oleh kedua
orangtuanya, walau bisa dikatakan itu bukanlah kemanjaan. Bapaknya baik, maupun
ibunya, dan keluarga kami pun sangat dekat.
Umur kami hanya terpaut dua tahun, saya lebih tua daripada Muzdalifah.
Maka tak heran bila saya terlebih dahulu untuk masuk sekolah dasar ketimbang
Muzdalifah, sebab beliau terlalu muda untuk mengikuti pelajaran. Semenjak
Muzdalifah ditinggal sekolah olehku, ia pun sering menangis menginginkan ikut
bersamaku untuk masuk sekolah. Mau tak mau sehabis sekolah pun saya terpaksa
main ke rumahnya, sebab jika tidak demikian ia pun pastilah marah, karena saya
telah berjanji untuk tetap menemuinya. O, sungguh perbuatan yang sangat
membosankan, tetapi walau demikian hati ini pun senang melihat Muzdalifah
bahagia. Dia selalu tersenyum bila dari kejauhan saya datang dengan lelahnya,
dan dengan ikhlas beliau pun menyodorkan segelas air putih, kelakuan kami
seperti itu sering dipergoki oleh kedua orangtuanya. Orangtuanya memberikan kepercayaan
terhadap saya. Sebab setelah sekiranya saya naik kelas, Muzdalifah pun akan
dimasukan kesekolah.
Baru setelah saya menginjak kelas dua, Muzdalifah pun masuk sekolah
kami satu sekolah dengannya, sungguh sangat bahagia terlihat pancaran dari raut
wajah Muzdalifah.
“Abang Husein..” dia menatapku dengan sayu
“Ada apa Muzdalifah?”
“Sungguh bahagia hati Muzdalifah sekarang ini bisa bertemu kembali
denganmu. Tidakkah abang bahagia pula seperti yang sekarang saya rasakan?” saya
hanya mampu tersenyum dan sedikit menganggukan kepala saat melihat perempuan
kecil dengan pakai seragamnya.
“Abang sangat senang melihat Muzdalifah seperti ini, dan kita pasti
akan bermain sampai bosan.”
“Benar Abang?”
“Ya.”
“Terima kasih Abang.”
“Kamu mengehendaki permainan apa?”
“Apa ya?”
“Adu biji asem? Petak umpet? Maen galah?”
“Ah, tidak semua Abang. Muzdalifah menginginkan Abang selalu ada di
dekat Muzdalifah.”
“Maksudmu?”
“Ya, walaupun Abang tidak bermain denganku asal Abang selalu ada untuk
Muzdalifah,” saya mengerti dengan apa yang diucapkan gadis kecil itu
“Seharusnya Abang berjanji akan selalu menemani Muzdalifah.”
“Apa perlu Abang berjanji?”
“Muzdalifah takut Abang meninggalkanku seorang diri.”
“Meninggalkan apa?”
“Sekarang Abang berjanji untuk Muzdalifah, bahwa Abang tidaklah akan
meninggalakan Muzdalifah walau dalam keadaan apa pun jua,” saya terdiam
“Ayolah Abang berjanji untuk Muzdalifah,” lama saya berpikir apakah
semua ini hanyalah main-main belaka
“Abang berjanji tidak akan meninggalkan Muzdalifah.”
“Terima kasih Abang.”
0 Response to "SESAL # 5 Keluarga Sederhana"
Post a Comment