SESAL # 6 Pertunangan


Tujuh tahun kemudian.....

Kami pun masih satu sekolah. Namun sekolah yang saya enyam sekarang bukanlah sekolah anak-anak melainkan sekolah menengah atas. Saya semakin dewasa, umur semakin bertambah dan tubuh pun sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Begitupun Muzdalifah, sekarang sudah dewasa dan nampak kecantikan dari aura perempuannya. Wajar bila banyak pria sekolahnya banyak yang mengejarnya, sebab Muzdalifah bisa dikatakan perempuan cantik di antara gadis-gadis di sekolah itu.

Hubungan kami berdua tetap akrab bersatu seperti dahulu, kekanak-kanakan. Tetapi setelah mengenyam sekolah menengah atas perasaaan dekat ini pun berubah dengan perasaan kasih sayang. Perasaan ini sering bergulat, saat-saat saya hendak tidur, wajah Muzdalifah sering muncul dalam lamunan. Mungkinkah ini namannya suatu kasih sayang atau perasaan seseorang mencintai, seperti layaknya pemuda yang merindukan pemudinya? Hal ini saya tak berani utarakan kepada kedua orangtuaku, apalagi kepada Muzdalifah. Ada semacam ketakutan dan suatu kehinaan seorang yang sangat muda seperti saya ini untuk mengetahui hal semcam itu, yaitu perasaan merindu, perasaan selalu ingin bertemu, bertatap muka, selalu ingin berdua. Hal ini saya berani utarakan kepada adikku saja, Aisyah.

“Aisyah, pernahkah engkau mempunyai rasa merindu terhadap seseorang?” adikku hanya mengerutkan keningnya, saya tersenyum.

“Pernah.”

“Kapan? Lalu bagaimana perasaanmu? Setelah mengetahui seperti itu apa yang engkau lakukan?” tidak sabar saya ingin mengetahui semuanya

“Sudah lama, saat ibu dan bapak pergi untuk berhaji,” saya hanya diam

“Bukan itu.”

“Lantas?”

“Engkau pernah merindu kepada seorang pemuda yang engaku idamkan?”

“Ah, Abang Husein bercanda. Mana saya berani untuk bermain perasaan seperti itu. Memang siapa yang sedang merindu sekarang ini? Abang Husein sekarang sedang merindukan seseorang, ya?”

“Bukan, bukan, bukan,” saya tergugup

“Ayo, kepada perempuan siapa Abang merindu. Pasti pada Muzdalifah ya?”

“Sssttttttt.......... jangan keras-keras nanti Ibu dengar,” saya sedikit mendekap Aisyah

“Iya kan, abang sekarang sedang merindu pada Muzdalifah?”

“Bukan,” saya mencoba menegaskan keteguhan bahwa bukan perempuan itu yang sedang saya rindu

“Jangan munafik, ngaku saja. Nanti kualat.”

“Iya, tapi  engkau tak usah beri tahu pada bapak dan ibu, apalagi Muzdalifah.”

“Beres.”

“Abang hendak kemana?”

“Main.”

“Aisyah minta belikan jajan,” saya berhenti dari langkah dan berpalingkan muka pada gadis kecil itu.

“Jajan apa?”

“Cokelat kalau tidak ada permen juga boleh.”

“Dasar...”

“Eh, awas kalau Abang hendak berhianat, akan Aisyah adukan pada Muzdalifah atau kepada ibu dan bapak bahwa Abang sekarang ini sedang merindukan Muzdalifah.”

“Iya nanti Abang belikan, berapa? Satu karung? Segudang?”

“Satu aja Abang, tapi yang enak dan yang mahal.”

“Iya nanti abang belikan, sekalian sama orang yang dagangnya.”

“Heheheheehe....” Aisyah tertawa renyah serasa menang dalam kelabuku

Rahasia perasaan ini hanya saya dan adikku saja yang mengetahuinya. Saya tak ijinkah kedua orangtuaku untuk mengetahuinya, apalagi Muzdalifah. O, sungguh perbuatan yang sangat melelahkan, saya harus memberikan sesuatu pada adikku hanya untuk sebagai penutup mulutnya. Tapi, tak apalah hanya untuk menjaga rahasia perasaan ini.

Sebenarnya apa yang saya kuatirkan Muzdalifah sudah mengetahuinya, bahwa sekarang bukanlah sekedar saudara ataupun teman saya dengannya, melainkan ada sesuatu yang aneh dalam diri masing-masing antara saya dan ia. Saya ketahui semua itu ketika saya dengannya duduk bersender di pinggiran sungai setelah pulang dari sekolah.

“Abang, apakah Abang tidak merasakan betapa hati ini sering merindu terhadapmu bila malam tiba?” semula saya terkejut mendengar pengakuan Muzdalifah seperti itu. Seberani itukah seorang Muzdalifah yang lugu dan anggun dibandingkan dengan perempuan-perempuan di kelasnya? Saya hanya diam.

“Bukankah kita sudah sepantasnya mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.”

“Maksudmu?”

“Rasa merindu.”

“Rasa merindu?” tanyaku

“Perasaan itu sebenarnya sudah lama saya rasakan. Saya takut.”

“Takut? Bukankah perasaan itu adalah anugerah dari Tuhan?”

“Ya, tapi kedua orangtuaku, orangtuamu, lingkunganmu, sekolahmu, umurmu.” Muzdalifah menatapku, kulemparkan pandanganku ke aliran sungai.

“Saya takut kehilngan Abang. Saya telah jatuh cinta padamu.”

“Tidak Muzdalifah, engkau telah saya anggap sebagai adikku sendiri. Engkau teman kecilku yang tak akan mungkin saya lupakan, walau dalam hati ini mengatakan bahwa saya menginginkan engkau menjadi kekasihku. Saya akan pergi jauh setelah selesai dari sekolah ini.” Sungguh suatu jawaban diluar nalarku

“Kemanakah itu Abangku?”

“Entahlah, yang jelas kenanganku denganmu akan saya kubur dalam-dalam, sedalam rasa sayang diri ini padamu.”

“Akan saya terima, walau keputusan ini sangat menyakitkan,” suasana hening hanya terdengar gemiricik aliran sungai

“Abang andai kita berjodoh denganmu, maukah engkau menjadi suami yang menjadi panutan bagiku?”

“Menikah?”

“Ya, ini andai semunya berpihak padaku. Engkau menjadi menikah denganku.”

“Abang untuk memikirkan menikahpun tak maksud Muzdalifah, apalagi untuk melaksanakan sejauh itu.”

“Jadi Abang tidak hendak menikah denganku?”

“Bukan itu Muzdalifah, Abang teralalu muda untuk melakukan hal semacam itu.”

“Ah Abang, semoga cita dan cinta Muzdalifah tercipta sesuai dengan keinginanku.”

“Ya kelak engkau akan menrasakannya Muzdalifah. Jadi sekarang engkau janganlah pikirkan hal semcam itu.”

“Lantas apa yang harus Muzdalifah lakukan sekarang?”

“Belajarlah dengan giat suatu saat ilmu itu akan berguna untukmu,” kami saling diam diantara gemercik air sungai, kulihat aura kecantikan Muzdalifah sangatlah terpancar sampai menembus relung kalbuku. Sebenarnya saya juga menginginkan ada sesuatu yang membuat bangga pada diri ini yaitu menunjukan hal semacam kasih sayang terhadapnya. Tapi apakah mungkin perjodohan itu sudah diambang pintu saya dengan Muzdalifah.

* * *

Dari hari kehari saat itu saya tidaklah berbuat banyak untuk bermain dengan Muzdalifah sebab sesuatu yang hendak kucapai sudah hampir selesai. Dengan keyakinan itu, saya belajar dengan giatnya berharap tahun ini saya berhasil meraih ijazah untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Perasaan ini saya utarakan pada kedua orangtuaku;

“Jika Ibu dan Ayah mengijinkan dan mempunyai biaya lebih, saya hendak melanjutkan sekolah,” ucapku mengawali pembicaraanku, saat itu sesudah magrib dan kesemuanya berada di tengah rumah menikmati istirahat setelah melakukan kegiatan keseharian yang melelahkan. Semua orang yang ada disana sudah mengetahui maksud dan tujuanku saat itu.

“Ibu sangat paham dengan maksudmu Husein.”

“Jadi ibu dan ayah menghendaki Husein untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi?” mereka berdua tersenyum

“Ibu dan ayahmu sangat senang dan bahagia engkau mempunyai niatan seperti itu.”

“Lantas apa yang menjadi kendala ibu dan ayah tidak mendukung Husein untuk melanjutkanya?”

“Bukan itu anakku. Tetapi alangkah baiknya sebelum engkau berangkat dari semua itu, engkau akan ibu jodohkan dengan gadis yang pasti engkau sangat suka.” saya terkejut, walau semua ini sebenarnya saya ketahui dari Aisyah.

“Pertunangan?”

“Ya, akan ibu dan ayahmu jodohkan engkau dengan seorang gadis kampung sini juga dan masih mempunyai pertalian saudara dengan kita,” mereka berdua saling senyum, berharap besar bahwa diri ini sangatlah senang mendengar semunya.

“Dengan sipakah gadis itu ibu?”

“Muzdalifah.”

“Tidakkah dia itu terlalu muda, untuk menjadi seorang pendamping saya? Saya masih ingin mengejar cita-cita terlebih dahulu ibu.”

“Tidak Husein, niatan ibu dan ayahmu sudah dirundingkan dengan pihak keluarga Muzadlifah.”

“Tapi ibu...”

“Ya ibu paham, tapi ibu khawatir bila engkau merantau tidak ada sesuatu yang engkau rindu di daerahmu, engkau akan terjerumus dengan sesuatu yang tak sesuai dengan agama,” saya hanya mampu diam seribu kata, tanpa ada sesuatu celah atau sanggahan untuk semuanya. Dari sanalah kedua orangtuaku menyimpulkan bahwa sesungguhnya diri ini menerima perjodohan itu. Ah, rasanya saya tak patut untuk menjadi seorang yang durhaka, saya merasa iba terhadap kedua orangtuaku, saya terlalu sayang terhadapnya.

Malam itu sungguh membuat saya tak berdaya, pikiranku tak hentinya memikirkan sesuatu yang membuat saya sangat menjadi seorang yang dungu. Bagaimana tidak sebuah perasaan yang lainnya mengalir bagaikan air mendadak di berikan wadah yang tak sesuai dengan karakter air tersebut. Hati dan perasaanku sungguh terguncang, bagai terguncangnya badai tsunami yang menghantam penduduk Jepang.

Tekad ini pun untuk melanjutkan menuntut ilmu saya bulatkan.....

* * *

Sebagai seorang pendatang baru tentunya akan lebih dihormati apabila saya lebih sopan dan hormat terhadap Tuan rumah istilahnya dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Kurang lebih seperti itu niatan saya datang ke kota pelajar, kota yang saya bayangkan penuh dengan keintelektualan. Itu pun dengan berbagai petuah dari orangtua, saudara, tetangga, juga sahabat. Alangkah indah dan bahagia bila diri ini menjadi seorang terpelajar yang gandrung dengan ilmu pengetahuan, rajin membaca, berdiskusi, menulis, seminar, entah apa lagi yang membuat hati ini menjadi bangga akan hadirnya masa dimana ambisi dan emosi diluapkan secara sistematis. Yang jelas belajar diutamakan daripada nakal. Ah, semoga niatan dalam hati adalah sebaik-baiknya yang ucapkan pula.

Ucapan yang kiranya memberi masukan terhadap perjalanan, saya simpan baik-baik dalam lubuk hati, untuk kelak akan saya upayakan bisa menjadi pedoman dalam melangkah di rantau. Terutama dari apa yang diucapkan oleh kedua orangtuaku; bahwa sesungguhnya diri ini tidaklah pantas andai sekiranya berpaling dari hati Muzdalifah, kecuali jika diri ini menginginkan azab yang sangat pedih dari Tuhan Yang Kuasa. Kuperhatikan pedoman itu, semoga untuk esok atau nanti saya mengarungi di negeri orang mampu mengendalikan keinginan yang bukan hak. Semoga terjaga dari hiasan dunia yang fatmorgana.

Begitupun Muzdalifah, perempuan berkerudung yang baru menginjak kelas tiga yang sekarang ini syah menjadi tunanganku. Sebagaimana adat istiadat di daerah itu, bahwa Muzdalifah masih ada tali persaudaraan denganku yaitu dia anak dari adik nenek ibunya bapak. Sungguh keluarga kami sangat patuh dan taat dalam aturan, agar keluarga kami tidak digunjing dan diasingkan oleh saudara yang lain saya pun di jodohkan dengan Muzdalifah sewaktu kecil, itu saya ketahui dari ayah, ibu, juga adikku sejak lulus dari sekolah menengah. Sungguh perjodohan ini sangat mengejutkanku. Walaupun sebenarnya saya ada menyimpan rasa benih sebuah perasaan dalam hati terhadapnya, tetapi setelah mendengar semuanya perasaan kacaupun acapkali menyelusup kerelung hati. Sepertinya hati ini pun menginginkan suatu pengorbanan bagi seorang yang diharapkannya, tetapi tidak untuk menggampangkan hati termasuk perasaan ini terhadap Muzdalifah. Seakan tiada pengorbanan bagi diriku ini sebagai lelaki pejantan, hanya untuk mendapat hati Muzdalifah. Setidaknya ada suatu tantangan bagi jiwa mudaku untuk sekedar mendapatkan hati Muzdalifah, tetapi setelah mendengar semuanya itu. Ah, rasa cinta yang dulu tumbuh seakan mengecil dengan perkataan itu, inikah yang dinamakan hilang perasaan? Tetapi lain sebaliknya bagi Muzdalifah, beliau seakan mendapat angin segar bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar, sesuai dengan keinginan hati masing-masing. Muzdalifah semakin memberanikan diri sedikit mengatur dalam perjalanan hidup ini, saya tak mampu berbuat apa-apa kecuali pasrah dengan tidak maksud menyakitinya. Kira-kira seperti ini pertunaganya;

Hari itu sangat mengejutkan. Ya, sangat mengejutkan bagiku walau bagi kebanyakan orang disekelilingku tidaklah begitu apalagi bagi kedua orangtuaku, adikku, kedua orangtua Muzdalifah, pun halnya Muzdalifah seklipun mereka bahagia seakan dunia saat itu adalah milik mereka untuk sementara waktu. Sungguh hari itu terlalu gerah untuk saya lalui dan sangatlah lambat, hari kamis pukul sembilan seminggu setelah saya menerima ijaza dari sekolah. Saya mendadak kacau, kala orangtua mengajak dengan sangat tidak memberi tahu terlebih dahulu terhadapku, saya diajak pergi ke rumah Muzdalifah. Setelah sampai, terlihat di rumah orangtua Muzdalifah mempersiapkan akan hadirnya sesuatu yang diharapkannya, sebenarnya dari tadi saya sangatlah curiga dengan ajakan kedua orangtuaku itu bahwa sesungguhnya ada sesuatu yang tidak beres bagi didirinya juga diriku.

Sebagai orang yang tak mau dikatakan anak yang durhakan oleh kedua orangtua, saudara, saya pun bermunafik mengiyakan kata sepakat untuk menyetujui pertunangan itu walau dalam hati kecil ini merasa dibohongi oleh kedua orangtuaku. Sungguh saat itu daku seperti orang yang sangat tolol dihadapan mereka. Melihat mereka saling tertawa dengan bahagianya lalu memberikan selamat terhadapku juga terhadap Muzdaifah seakan mereka mencemoohkanku, tapi saya taklah berbuat banyak kala itu. Apa yang harus saya lakukan saat itu, mengacaukannya? Memutuskan pertunangan yang beberapa menit tadi sudah disepakatkan? Ah, tidak ini adalah tindakan yang sangat mengecewakan orang disekelilingku. Biarlah yang berlalu biarlah berlalu yang jelas jauh dalam lubuk hatiku keinginan dan tekat untuk menuju kearah yang terbaik haruslah saya tanamkan

Saya pun bertungan dengan Muzdalifah, sungguh hari yang sangat lamban untuk saya lalui. Seminggu setelah lulus dari sekolah menengah atas...

“Abang...” Muzdalifah tersenyum mendekatiku

“Ada apa Muzdalifah?”

“Saya sangat bahagia saat ini Abang.”

“Abang juga merasakan seperti itu.”

“Benar abang?”

“Ya...”

“Terima kasih abang,” Muzdalifah mencium tanganku, saya tersenyum tipis

“Abang sudah makan?”

“Belum.”

“Makanlah Abang. Muzdalifah bawain ya, hendak pake penganan apa abang? Ikan? Atau ayam?”

“Tidak Muzdalifah, nanti saja Abang masih terlalau kenyang.”

“Tapi nanti Abang makan ya,” saya hanya menganggukan kepala

Pesta pertuangan kami sangatlah sederhana, dirayakan di rumah kedua orangtua Muzdalifah sebab keluarga Muzdalifah termasuk orang yang berkecukupan daripada keluargaku. Dari semua itu kami hanya mengundang saudara, kerabat dekat, tetangga, juga kawan-kawan semasa di sekolah. Sebuah ikatan yang melingkar dari jemari manis Muzdalifah menghias sebuah cincin yang indah, hasil dari jerih payah ayahanda hanya untuk memberikan satu senyuman terhadapku. Di sanalah saya merasa iba terhadap kedua orangtuaku, yang mengganggap diri ini adalah seolah menerima sepenuhnya arti dari semua itu. Mereka tidak mengerti di balik semua kalbu ini hanya kepedihan yang cukup menyayat menusuk kalbu ini. Namun, semua itu diri ini hanya mampu pasrah dalam keadaan bermunazat terhadapnya.

Saya akui Muzdalifah termasuk perempuan yang diperhitungkan di sekolah kami, orangnya pendiam, cantik, cerdas, kulitnya kuning langsat. Banyak pemuda kampung yang terpikat oleh keanggunannya. Namun, keluarganya lebih memilih diriku ketimbang orang lain, itu perhitunganya sederhana sebab saya sebagai kerabatnya lebih mendalami apa yang diinginkan Muzdalifah. Mendengar semua itu Muzdalifah pun memberikan respon yang baik kepadaku juga kepada keluargaku, sebab dia penurut.

Saat perpisahaan...


Dia amat kuatir terhadap keputusanku yang begitu mendadak, dengan perginya saya ke kota pelajar sendirian. Dia tahu keputusan yang saya berikan terhadapnya amat menyinggung dan yang jelas akan membuat dirinya kehilangan untuk sementara dalam kurun waktu yang cukup lama, lima atau tujuh tahun bahkan bisa tidak akan bertemu kembali. Dia menangis, saat perpisahaan itu tiba

“Kuharap rasa sayangmu terhadapku tetap melekat walaupun jarak memisahkan kita, Abang”

“Ya, engkau tak perlu risaukan.”

“Dan jangan pernah bosan untuk sekedar melayangkan sepucuk surat terhadapku, sebab semua itu adalah obat yang paling mujarab untukku,” saya hanya menganggukkan kepala. Tak kuasa mata ini hanya sekedar memandang raut wajahnya yang lugu itu.

“Abang Husein, kumohon! Engkau bukan sekedar seorang saudara bahkan lebih dari semua itu, sebab kita telah di jodohkan dan telah ditunangkan,” saya diam kembali

“Cincin yang melingkar dijari manisku ini adalah sebagai saksi bahwa engkau benar-benar menjadi milikku sepenuhnya.”

“Saya paham.”

“Akankah abang akan tetap memilih untuk menjadi seorang yang akan menolak adat. Bang, ingat! Kita orang Timur yang mempunyai aturan. Engkau harus menghargai dan menjunjung tinggi adat istiadat leluhur kita.”

“Saya paham.”

“Walaupun engkau kecewa dengan keterusterangan orangtuamu, tidakkah engkau menghormati orang yang pernah melahirkanmu? Membesarkanmu?” Suasana hening, hanya suara semilir angin yang berhembus menggoyangkan pohon cemara

“Sekedar rasa sayang ini akan terus melekat, ini ada sesuatu yang akan engkau melakukan hal seperti itu,” dia menyodorkan sesuatu di balik tas yang dibawanya

“Ini tiada berharga dengan intan permata apalagi dengan sekarung uang, tapi saya yakin kelak semua ini akan membuatmu tenang, setenang air yang ada di danau ini.”

“Hatimu begitu mulia, Muzdalifah. Saya yakin bila kelak Abang bukan jodohmu, dan pertunagan ini adalah sebuah rekayasa belaka. Abang berharap engkau akan mendapatkan yang terbaik lebih dariku, agar engkau tidak menjadi cemoohan dari tetanggga ataupun kerabat.”

“Jangan engkau berkata seperti itu, Abang. Ucapan yang baik adalah sebaik-baik ucapan dan semua itu akan menjadi sebuah tragedi yang menurut kita tiada arti, dan tragedi itu akan mencabik-cabik naluri kita yang paling dalam,” kulihat mata Muzdalifah menerawang lebih dalam lagi dengan tatapanya ke arah hamparan air yang begitu tenang, seakan menerobos keheningan ke kedalaman air.

“Saya sangat paham apa yang ada dalam perasanmu saat ini. Tapi abang harus pergi bukan berarti Abang meninggalkanmu, ini adalah sebuah keinginan Abang hanya untuk menggapai cita dan cinta yang akan kita rasakan setelahnya.”

“Abang tidak akan meninggalkan Muzdalifah?”

“Abang terlalu sayang terhadapmu, apalagi kita sudah dituanangkan. Apakah Abang akan menghianati semuanya? Hanya orang bodohlah yang akan meninggalkanmu,” hiburku

“Muzdalifahpun sangatlah sayang terhadap Abang, melebihi dari segalanya.”

“Relakanlah Abang untuk pergi kerantau.”

“Ya, semoga Abang baik-baik aja di sana,” ia tersenyum kecil

“Muzdalifah cinta Abang,” perawan yang kini sudah bertunangan denganku itu mendekapku penuh dengan kehangatan, kurasakan penuh dengan rasa haru. Saya mengela nafas dalam-dalam dekapan perawan itu terlalu hangat untuk saya rasakan, terlalu menyayat untuk saya ibakan

“Saya sangat sayang padamu Abang,” bisik lirih yang diucapkan perawan itu tepat digendang telingaku. Saya tak banyak berbuat satu apapun kecuali mendekap apa yang menjadi kehendaknya.

Kulepaskan dekapannya setelah semuanya baik-baik saja. Sungguh matanya sangat menusuk kalbuku, sempat manik bola matanya itu mengurungkan niatku dalam melangkah mengarungi sebuah keabadian yang nyata. O, Muzdalifah haruskan saya  menghianati kelak saya berada dirantau orang? Engkau terlalu baik untukku, engkau terlalu mulia untuku. Andai sekiranya Abang berhiatan akan perjanjian asmara itu, sungguh Abang minta maaf sebelumnya. Matanya yang tajam tetap memandangku, sungguh saya tak kuat untuk melakukan semuanya, saya memeluk tubuh yang ringkih itu kembali penuh dengan deraian air mata Muzdalifah, saya meninggalkannya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 6 Pertunangan"

Post a Comment