Tan Malaka, Pahlawan Nasional yang Wafat di Kediri


Perjalanan hidup Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka alias Tan Malaka mungkin tidak terlalu terkenal dibandingkan tokoh layaknya Soekarno dan Mohammad Hatta. 
Perlu diketahui juga bahwa Tan Malaka merupakan sosok yang mempengaruhi gerakan di Indonesia, Tan Malaka sangat terkenal dengan pemikiran pemikirannya yang revolusioner dan berhaluan kiri.

Walaupun gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut, namun pada masa orde baru nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah.

Masa kecil Tan Malaka

Tan Malaka, nama aslinya Sutan Ibrahim, gelar Datuk Sutan Malaka, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-bangsawan yang ia dapatkan dari garis turunan ibu.

Ia lahir dan dibesarkan di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Sedangkan tanggal dan lahir Tan Malaka masih diperdebatkan. Orangtuanya bernama HM. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa.

Tan Malaka kecil senang dengan ilmu agama dan berlatih pencak silat. Tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Tan Malaka merupakan salah satu murid yang cerdas, meskipun kadang-kadang tidak patuh.

Ia sangat senang pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma gurunya waktu itu menyarankan agar Tan Malaka menjadi seorang guru di sekolah Belanda. Selain pandai pelajaran Tan Malaka kecil juga piawai bermain sepak bola.

Setelah lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, Tan Malaka ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar datuknya saja. Gelar tersebut diterimanya dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.

Pendidikan di Belanda Mempengarui Tan Malaka


Pada Oktober 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), dengan bantuan dana oleh para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya dan pada tahun 1915.

Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai muncul dan meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie yang ia dapatkan dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma.

Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia mulai tertarik mempelajari paham Sosialisme dan Komunisme. Sejak saat itu, ia sering membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya, saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda.

Ia pernah terobsesi ingin menjadi angkatan perang Jerman. kemudian mendaftar ke militer Jerman, namun ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing.

Ketertarikan Dengan Komunis

Tan Malaka bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia). Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru). Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.

Walaupun Tan Malaka sendiri merupakan penganut paham komunis, namun jalan komunis digunakannya untuk melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di muka bumi. Jika dihubung-hubungkan dengan PKI, meski pernah menjadi ketua, Tan Malaka justru tidak disukai oleh elite-elite PKI.

Sebabnya, Tan Malaka tidak mendukung pemberontakan PKI 1926-1927 dan justru mendirikan Pari. Tan Malaka juga lepas hubungan dengan Moskow karena dia kecewa atas sikap Stalin yang dinilainya pragmatis dan mengambil keuntungan dari pemberontakan yang berujung gagal itu.

Meski komunis tak berarti Tan Malaka adalah seorang atheis. Dalam tulisannya yang berjudul 'Islam dalam Tinjauan Madilog' tahun 1948, Tan Malaka banyak bercerita soal dirinya dan Islam dalam pandangan Madilog.

"Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat... Masih kecil sekali saya sudah bisa tafsirkan Al-Quran, dan dijadikan guru muda. Sang Ibu menceritakan Adam dan Hawa dan Nabi Yusuf. Tiada acap diceritakannya pemuka, piatu Muhammad bin Abdullah, entah karena apa, mata saya terus basah (menangis) mendengarnya. Bahasa Arab terus sampai sekarang saya anggap sempurna, kaya, merdu jitu dan mulia," kata Tan Malaka .

Setelah PKI dibubarkan pascaperistiwa Madiun 1948 dan dilarang pemerintah, kondisi itu merupakan peluang bagi Tan Malaka untuk membuat partai baru pengganti PKI, yaitu Partai Murba.

Hidup Membujang Sampai Akhir Hayat


Rahasia kematian Tan Malaka baru terungkap pada 1990, ini diketahui berdasarkan penelitian sejarawan Belanda Harry A Poeze. Menurut dia, Tan Malaka tewas ditembak tentara Indonesia atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di daerah Kediri, Jawa Timur, tepatnya di Desa Selopanggung, di Lereng Gunung Wilis Kediri pada 21 Februari 1949 dan dimakamkan di TPU setempat.

Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dikabarkan tidak penah menikah, tetapi ia mengakui pernah 3 kali jatuh cinta, yaitu di Belanda, Filipina, dan Indonesia. Di Belanda, Tan Malaka dikabarkan pernah menjalin hubungan dengan gadis Belanda bernama Fenny Struyvenberg, mahasiswa kedokteran yang kerap berdatang ke rumah kost-nya. Sementara di Filipina, ada seorang gadis bernama Carmen, puteri bekas pemberontak di Filipina dan rektor Universitas Manila.

Sedangkan saat ia masih di Indonesia, Tan pernah jatuh cinta kepada satu-satunya siswi perempuan di sekolahnya saat itu, yakni Syarifah Nawawi.  Alasan Tan Malaka tidak menikah adalah karena  perhatiannya terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Gelar Pahlawan Indonesia


Pada 23 Maret 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1963. Usulannya datang dari Partai Murba yang didirikan Tan Malaka tahun 1948, dalam peringatan ke-16 menghilangnya Tan Malaka pada Februari 1963.

Pengangkatan Tan Malaka dapat dianggap sebagai “suatu simbol nonkontroversial dari gerakan komunis.” Tan Malaka keluar dari PKI karena tak setuju pemberontakan PKI 1926-1927. Oleh karena itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, ini adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali.

Rezim Orde Baru yang antikomunis jelas terganggu dengan keberadaan pentolan komunis dalam daftar pahlawan nasional. Departemen Sosial pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka. Namun Soeharto menyatakan bahwa pemberian gelar itu telah dilakukan oleh Presiden Sukarno dan tidak bisa dibatalkan. 

Gelar pahlawan nasional terhadap Tan Malaka itu tidak pernah dicabut, namun nama Tan Malaka dihapuskan dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah, istilahnya Tan Malaka menjadi off the record dalam sejarah Orde Baru.

Baru setelah reformasi nama Tan Malaka ditampilkan kembali. Muncullah karya baru atau buku-buku lama Tan Malaka yang pada masa Orde Baru sempat dilarang. (sumber: wikipedia)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tan Malaka, Pahlawan Nasional yang Wafat di Kediri"

Post a Comment