Bidan Bening



“Bening...” begitulah aku memeperkenalkan perempuan itu pada masku yang ada di seberang sana, saat perbincangan di pesawat telepon. Segoyanya aku tak tega untuk mengakui semuanya, bahwa aku telah pisah dengan May. Seorang perempuan yang pernah aku kenal lewat perantara masku itu. Sangat kupahami dari intonasi tekanan bahasanya, masku tidak begitu setuju. Setelah aku jabarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi perpisahan itu, masku mulai mengerti keberadaan dan posisi masing-masing. Aku dan May.

Bila seandainya dalam perlombaan, Masku adalah dewan jurinya, dia sangat selektif untuk menentukan siapa pilihanku. Aku sangat paham atas kekhawatirannya padaku, sebab dari peristiwa dahulu keluargaku sangat dikecewakan dengan kehadiran perempuan yang kuanggap baik, namun tak kusangka keluargaku tercoreng dari detik-detik pernikahan yang telah kusiapkan semuanya. Perempuan itu sedang bunting. Pengakuannya yang jujur telah membuat semua pengharapan yang telah kubangun hampir tiga tahun lamanya, hancur dalam hitungan detik.

Dan setelah May yang aku kenal dari Masku itu pergi dengan alasan seperti itu, Masku sangat paham apa yang sedang terjadi dalam rekondisi karirku. Aku masih kuliah sedangkan May telah membina karir dan sedang berada dalam ambang puncak. Dari penawaran May yang menginginkan pisah, aku tak mampu berbuat banyak. Sebab lelaki itu yang bertitel pegawai negeri sipil siap untuk mempersuntingnya. Aku pasrah dari keinginanya. Dan Bening lah yang sekarang kuharapkan.

Bening adalah perempuanku setelah aku pisah dengan May setengah tahun yang lalu. Orangnya penyabar, namun dibalik sifat penyabarnya itu aku sangat yakin bahwa Bening memiliki bom waktu yang akan meledak suatu saat nanti, seperti pengakuan May kala ingin berpisah denganku. Bahwa bom waktu itu telah meledak, saat kata sayang May tak aku sambut dengan ucapan hangat. Tetapi sejauh ini, Bening masih seperti yang kuharapkan. Semoga.

Walaupun keberadaan Bening cukup lama menggantikan posisi May, namun tak segampang itu aku melupakan kenangan bersama May yang hampir dua tahun itu. Dan aku mencoba untuk melakukan hal yang paling berharga untuk Bening, dia cukup paham dengan keberadaannya. Bahwa posisinya tak akan segampang membalikan telapak tangan untuk menggantikan May.

Namun akhir-akhir ini aku mulai merasakan kedekatan aku dengan Bening. Jauh melesat pikiranku tentang Bening, ternyata dia perempuan yang selama ini kuidam-idamkan. Ah, kenapa tidak dari dahulu aku bertemu dengan perempuan yang berambut ikal bergelombang lembut ini. Bening masih kuliah di Akademi Kebidanan tingkat empat. Sedangkan aku masih menyusun tugas akhirku.

Umur Bening jauh terpaut lima tahun dibawahku. Walau seperti itu kedewasaannya tak diragukan lagi dalam merancang masa depan. Dan itulah yang membuat aku tak sabar diri untuk segera memeperkenalkan dia pada kedua orangtuaku, untuk melamarnya. Dengan pertimbangan lain Bening mampu memberikan alasan tepat untuk tidak tergesa-gesa seperti yang kuharapkan. Anehnya aku terbuai dengan apa yang dibahasakan perempuan yang berdomisili di luar Jawa itu.

Hari-hariku bersama Bening diwarnai dengan gelak tawa, kadang pula perselisihan pun sering terjadi. Bening lah yang sering mengalah, keadaan seperti itulah yang kadang membuat aku sering menginginkan dia bersanding denganku. Kedewasannya nampak kala suatu saat May menginginkan untuk kembali padaku. Dengan tegas dan penuh wibawa Bening menujukan sifat keibuannya, yang demi Tuhan kala itu aku bagai menemukan suatu aura bidadari dalam jasad Bening. Sejuk dan teduh. Hingga May sadar. Semenjak itulah aku telah yakin bahwa semuanya yang ada dalam jasad Bening merupakan kesempurnaan Tuhan yang diberikan untuk mendampingiku dalam setiap doaku.

Bening sibuk dengan tugas praktikumnya, kini ia sedang mengadakan riset tentang kandungan kehamilan para ibu di daerah. Sedangkan aku disibuk dengan mengejar nilai dalam rangka mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku ke luar negeri. Dan kedekatanku dengan Bening tidak seperti semula.

Akhirnya aku pun mendapatkan beasiswa, kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Bening masih sibuk dengan tugas-tugas kebidannya di daerah itu. Tentang keberangkatan aku ke Belanda pun Bening tak mengetahuinya.

Teruntuk kasihku Bening.

Bening, jika sekiranya engkau membaca surat ini Mas sudah berada jauh di negeri orang. Mas bingung, apa yang harus Mas lakukan? Menyesal? Menggerutu? Menangis? Dengan kepergian Mas yang begitu cepat tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepadamu.

Hanya kata maaf Mas haturkan padamu. Kelak jika kita jodoh pasti kita akan bertemu kembali. Mas yakin bahwa engkaulah Bening satu-satunya yang ada di hati Mas.

Dari Masmu yang selalu mencintaimu
Ridwan Palupi

Pesan pendek itu aku titipkan pada teman kampusnya.

* * *

Lima tahun kemudian....

Sampai sekarang aku tak mengetahui kabar selanjutnya tentang Bening semenjak aku tinggal di negeri kincir ini, hingga akhirnya keputusan dahulu hendak menikah dengan Bening aku tumbalkan. Aku menikah dengan putri Belanda, teman sekampusku. Alice, nama perempuan itu.

Setelah cukup menikah, aku sengaja memilih menetap di Subang. Aku ingin hidup bahagia dengan istri tercinta, Alice. Ingin segera memiliki anak setelah sekian lama kami menundanya. Dan keingianan tersebut tampaknya akan tercapai dalam waktu dekat, istriku tengah hamil tua.

Malam itu, istriku melahirkan dengan pendaharan yang begitu hebat. Dia meninggal tepat anak pertamaku keluar dari rahimnya. Aku tak banyak berbuat, desah nafas kecilku seakan menggantung ditenggorokan. Seorang perawat menyuruhku untuk menemui kepala bidan di ruangannya. 

Kala itulah seraut wajah perempuan yang kukenal lima tahun silam seakan nampak di depan mata. Bening. Aku tertunduk lesu bak kapas terkena embun. Beberapa detik di ruangan itu tak ada kata-kata.

“Maafkan Mas, Bening. Sekarang engkau telah mengetahui tentang Mas sepenuhnya. Silahkan engkau menghukum janji Mas yang telah kuingkari sendiri.”

“Tak ada yang salah dengan semuanya, Mas. Dalam diriku tak ada bom waktu seperti yang kau takutkan. (kami menghampiri bayi itu) Anakmu laki-laki, lucu, ganteng sepertimu, ijinkanlah aku yang merawatnya.”

“Terima kasih, Bidan Bening,” kupegang erat jemarinya, tatapan sendu seakan menyibakkan kembali kenangan lima tahun silam.

Hatimu bening sebening namamu....

Jogja, 03 Mei 2007


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Bidan Bening"

Post a Comment