Seandainya Tuan seorang Muslim yang patuh dan taat beribadah atau
sekalipun tuan adalah seorang yang nasrani atau atheis, tentunya tuan akan
merasa teriris hati, mungkin terenyuh, mungkin akan merasa iba, atau sama
sekali tuan tidak merasakan apa-apa, atau mungkin tuan akan mencibir kemudian
membuang ludah, bila mata tuan memandang bangunan tua yang kusam itu? Yang
terletak tak jauh di tengah-tengah kampung yang hampir padat penduduknya itu?
Entah.
Kalau boleh saya berterus terang dan berkata jujur kepada Tuan atau pun
Nyonya mengapa saya mempertanyakan ihwal seperti itu, apakah tidak ada
pertanyaan lain, selain itu? Saya sebagai hamba yang lemah dan budak Tuhan yang
berpenganut kepercayaan agama Tuhan, demi Allah hati ini merasa terkoyak
bilamana bangunan tua itu disia-siakan.
Jikalau seorang hamba memperlakukan bangunan itu seperti rumah sendiri
sungguh beruntung orang tersebut, sayangnya saya masih belum bisa dikatakan
dewasa untuk melakukan hal semacam itu. Tuan dan Nyonya, mengapa saya begitu
mengutuk orang yang menyia-nyiakan bangunan tua itu? Sebab bangunan tua yang
sedang saya bicarakan itu adalah tempat ibadah kami kaum Muslimim, tempat untuk
menunaikan shalat. Rumah Allah, rumah Tuhan kami. Andai mereka tahu betapa
ruginya menyia-nyiakan surau itu, mungkin mereka akan berbondong-bondong,
seperti ayahanda yang Insyaallah tidak termasuk orang yang merugi. Semoga Allah
tidak mengutuk dan memberikan azab pada para penduduk itu, itulah penyayang
Allah kepada hambanya.
Surau itu sebagian cat dindingnya terkelupas bahkan bisa dikatakan
hampir semuanya, dimana sawang-sawang banyak terdapat di sana, hampir di
seluruh penjuru ruangan bahkan di mimbar sekalipun dan kotoran-kotoran binatang
banyak menempel di tegel, juga di halamannya yang cukup luas itu banyak
terdapat sampah dedaunan yang hampir menimbun serambi surau. Padasan bocor terpajang,
serta genangan air hujan pun memperhias di sana, becek dan menjijikan, begitu
pun kolam ikan yang ada di pinggir surau itu airnya begitu keruh, pendek kata
tempat itu tidak mengesankan sebuah surau, hanya sebuah rumah kosong yang tak
berpenghuni. Sungguh mengkhawatirkan.
Bila Tuan sudah melihat semuanya, kemudian daripada itu timbul sebuah
pertanyaan dari saya, apa yang akan tuan perbuat jika surau tersebut adalah
tempat ibadah Tuan? Bila tuan bukan seorang Muslim? Saya yakin sebelum Tuan
melakukan sesuatu hal, kemungkinan besar hati picik Tuan tentunya akan
mengumpat terlebih dahulu, dan beranggapan bahwa semua penduduk di kampung itu
tidak mempunyai hati nurani, bahwa sesungguhnya rumah Tuhannya sendiri tidak
dirawat dengan semestinya. Itu hanya dugaan saya saja yang awam. Semoga tidak.
Apakah penduduk kampung tersebut sedemikian angkuhnya sehingga tidak
ada perhatian sedikit pun terhadap surau tersebut? Itukah pertanyaan Tuan, yang
akan Tuan lontarkan kepada saya atau kepada penduduk yang ada di sekitar sana
atau kepada hati kecil Tuan sendiri? Mungkin itulah yang saya rasakan sendiri
sekarang ini. Tepat apa yang Tuan tanyakan sekarang. Hati ini pun hanya bisa
bicara dan tak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengumpat dalam hati sesuai dengan
keinginan orang picik seperti saya atau Tuan sendiri.
* * *
Andai boleh mengenang masa silam, kira-kira seperti ini;
Saya sarankan bila Tuan sedang menjadi musafir. Kebetulan bekal tuan
habis, jika sekiranya Tuan melintasi perkampungan itu beberapa puluh tahun yang
lalu. Hendaklah Tuan singgah dulu ke gubuk kami. Barang sekejap sekedar untuk
melepas lelah, barang setetes air pasti Tuan akan dapatkan. Saya jamin semua
itu. Bila Tuan umat Muslim yang hendak menunaikan ibadah shalat hendaklah
bersinggah ke surau kami. Walaupun surau kami tidak sebagus yang Tuan kira,
setidaknya Tuan bisa memberikan penghormatan bagi rumah Allah itu, sungguh kami
sangat merasa senang. Itu harapan kami, tapi untuk memberikan yang lebih dari
semua itu, semoga Tuan akan mendapatkan dari perjalanan yang Tuan maksud. Itu
wejangan almarhun ayahanda yang telah berpulang kerahmatullah beberapa puluh
tahun yang lalu, walaupun demikian hati pun tak menamfikan, kedewasaan bukan
ukuran untuk tidak meneteskan air mata bila mengenang semuanya.
Tapi jika sekiranya Tuan sekarang berkunjung ke surau tua yang ada di
tengah-tengah kampung itu. Jangan harap Tuan akan menemukan orang yang
memberikan penawaran untuk singgah ke gubugnya, dan jangan harap tuan akan
merasakan betapa sejuknya di dalam surau itu, dinginnya padasan tempat
berwudlu, sebab sekarang orang tidak begitu memperdulikan ihwal tentang
keagungan Tuhan. Semua itu hilang bersama gema takbir kaum hedonis memerangi
kaum kita.
Semoga ini tidak berlebihan, kemuliaan hati ayahanda sangat tidak diragukan,
beliau sangat tekun, sangat senang membantu kepada orang lain dan sangat saleh.
Karena itulah semua orang di kampung tersebut mempercayakan kepada ayahanda
untuk mengurus surau satu-satunya di kampung itu untuk dijadikan salah satu
tempat ibadah di perkampungan tersebut. Berkat pertolongan yang Mahatahu,
sungguh banyak orang yang menimba ilmu di surau itu. Orang-orang pun yang
bermusafir banyak pula yang singgah hanya untuk sekedar melepas lelah. Dan
keadaan surau tersebut mendapat posisi yang diharapkan oleh ajeungan yang
memberikan wakaf tanahnya. Tetapi setelah beberapa tahun saja ayahanda mengurus
surau tersebut beliau terlebih dahulu meninggalkan semuanya, termasuk saya.
Beliau meninggal karena sakit paru-paru. Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya.
Dari saat itulah surau tersebut tak ada yang mengurus. Seperti apa yang Tuan
lihat sekarang.
Kini surau tua itu hanya sebagai kenangan saja, kenangan bersama
ayahanda. Ah, sungguh hati ini sangat prihatin tidak ada seorang pun yang
meneruskan pekerjaan yang mulia itu. Sungguh waktu itu saya masih kecil dan tak
tahu menahu tentang semuanya.
* * *
Tetapi setelah beberapa bulan saya pulang dari perantauan, sungguh
terkejut dengan perubahan surau tua itu. Semuanya terkesan seperti beberapa
puluh tahun silam sebelumnya. Dimana almarhum ayahanda sempat mengurus surau
itu. Sungguh terenyuh hati ini bilamana memandang semuanya, dengan harapan
almarhum ayahandalah yang sedang mengurus surau tersebut.
Siapakah gerangan manusia yang merelakan hati? Waktunya? Hanya sekedar
mengurus surau tua yang tidak mendapatkan imbalan satu persen pun? Hanya dari
uang infak atau sedekah dari orang yang singgah. Itu pun seminggu sekali setiap
Jum’at! Sungguh mulia bila seseorang yang berkehendak menyempurnakan rumah
Allah itu. Malaikatkah dia? Atau utusan dari langit yang sengaja untuk
menghidupkan surau tua itukah?
Ah, sungguh hati ini teriris bilamana mata ini memandang ke surau itu,
saat-saat dimana diri ini bersama orang yang dicintai yaitu ayahanda yang telah
banyak berjasa membangun, semuanya hanya menjadi kenangan. Dan kini surau itu
kembali kokoh, dengan bangunan yang tak jauh berbeda dengan yang dulu, hanya
saja catnya lebih dominan, tetapi artistik kekunoan jaman dahulu tetap melekat,
serta padasan pun berdiri di pinggir yang jelas tidak bocor. Saya memandang
dengan harapan semuanya bukan yang dahulu. Semoga ini adalah pertanda baik bagi
kelangsungan surau itu.
Saya merasakan hati bergetar saat menginjak kaki kanan ini melangkah
masuk ke dalam surau itu. Pasti Tuan pun akan merasakan seperti itu, merasakan
betapa getaran hati ini merangsang untuk tetap pada jalan-Nya. Jalan untuk
menuju pintu taubat terbuka lebar tanpa ada penghalang yang akan tuan temukan,
dan setiap insan pun akan seperti tuan rasakan ikhwal dalam beribadah.
Sungguh pun dalam pencarian, sebenarnya ibadah yang baik itu adalah
sebaik-baiknya tidak dibicarakan kepada orang lain, sebab semuanya akan bertemu
dengan sebuah kalimat yang akan dirajam oleh Allah adalah ria’. Tentunya Tuan
bukanlah seorang yang patut mendapatkan hukuman dari yang empunya alam jagad
ini. Semoga.
0 Response to "SESAL # 3 Surau Tua"
Post a Comment