Sebenarnya dia mempunyai semangat daya juang yang tinggi dalam hal mencari ilmu, menggapai cita-cita setinggi langit, membela kaum wanita, mengabdi pada agama dan negara, dan mempunyai sebuah gereget di hati, ingin membangun kampung halaman tercinta. Sungguh tujuan yang sangat mulia bagi kaum hawa ukuran anak muda tingkat Urie. Sosok perempuannya ternyata tidak untuk menjadi suatu alasan di balik kelemahannya. Keperkasaan kadang membuat kita menjadi suatu simbol atau suatu ajang untuk dipamerkan padahal kekuatan bukan menjadi tolak ukur bagi mereka yang mempunyai dedikasi yang tinggi, untuk memperjuangkan hak bela negara, hak azasi manusia, dan hak seorang perempuan di mata laki-laki.
Matanya yang teduh dengan merangkul air mata keharuan terhadap pelecehan kaum Hawa. Di media massa terkabar bahwa seorang perempuan pembantu rumah tangga, digagahi oleh majikannya setelah terlebih dahulu dianiaya. Berita-berita yang mengabarkan sosok perempuan membuat ia antusias peduli terhadap sesama kaumnya, air matanya habis terkuras seolah tak percaya melihat kejadian di depan mata, bahwa kaumnyalah yang selalu di injak-injak dan berada di bawah derajat kaum laki-laki. Ia tidak menampakan kebencian terhadap kaum lawannya, padahal dalam hatinya berkobar suatu ambisi dan emosi untuk menyetarakan, keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Emansipasi istilahnya.
Dia merunduk kepalanya tersungkup, tak tahan mendengar kabar, disobeknya koran harian dengan kebencian. Mukanya yang halus mendadak seakan menjadi kasar, guratan kasih sayang seakan hilang termakan arus gelombang angan-angan yang terlampau jauh untuk dikenang, ternyata penilaiannya mengambang, akankah negara ini hilang dengan suatu kedustaan yang mengangang. Indonesiaku.
Bendera merah putih telah lama ia simpan di almari kayu jati milik almarhum kakeknya yang telah lama meninggal dua setengah tahun yang lalu, karena tercium dadanya oleh timah panas yang dimuntahkan Kamtib saat menggeledah rumah-rumah penduduk sipil. Kini bendera yang sudah kumal itu, ia kibarkan kembali dengan gagahnya di depan halaman kampus yang telah lama ia geluti. Bagaikan upacara pengibaran bendera sang sakala merah putih saat tujuhbelasan ia berkhidmat membentangkan, menyingsingkan lengan baju, mempersiapkan dalam menghadapi suatu tujuan yang mulia. Tangan di hadapan ke atas, penuh penghormatan, di bawah terik panas mentari yang menyengat membakar kulit sawo matang yang cuma tertutup kain sehelai dari tangannya. Ia menggerek bendera
“Merdeka, Indonesia harus merdeka” teriaknya penuh semangat, wajah yang berbentuk oval memanjang, kini harus rela terpanggang oleh sang surya Maharaja sinar kemegahan, simbol keagungan Tuhan
“Merdeka, dari penjajahan kaum sendiri” teriaknya kembali, perempuan perawakan yang semampai berambut ikal, baru dipotong semenjak kepulangannya dari kampung halaman, orang tuanya tak setuju seandainya rambutnya menutupi di balik kecantikannya. Dengan gayanya yang tomboy, menebarkan kegarangan di balik kelembutannya
“Wanita, bukan barang percobaan, wanita adalah titisan Ilahi yang harus disyukuri” segenap sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang menamakan sayap dari kiri, kini berkumpul memberikan orasi, yel-yel-an, memperjuangkan Indonesia dari kemerdekaan, memperjuangkan kaum Hawa yang telah dilecehkan, memperjuangkan bangsa ini dari panu dan kutu air kemunafikan para penguasa Elite Politik. Suasana makin ramai, perihal sesama manusia ternyata harus berbeda akal dan pikiran terbaur terbalut dendam sang raja presiden Indonesia, namun petaka tak bisa untuk dipungkiri bahwa Indonesia tetap negara salah satu urutan terbesar korupsinya di dunia. KKN kiranya tak bisa untuk dimusnahkan dalam sekejap, hanya sebuah perjanjian Adam saat memetik buah huldi, lantas diusir dari surga oleh Tuhan dengan musuhnya yaitu Iblis. Terjadilah sebuah peradaban manusia yang tertanam di dalam hatinya dengan niat Adam, kembali untuk Hawa.
“Nama?” bentak petugas yang berseragam
“Urie” jawabnya singkat
“Oh, jadi ini yang namanya Urie, seorang yang katanya pembela kaum perempuan, seorang aktivis pergerakan mahasiswa, hebat. Asu!” ucapnya mencibir
“Apa yang kau inginkan dari pembelaanmu terhadap kaum wanita”
Indonesia yang mempunyai peraturan dengan ketat namun kendor, sangat disayangkan tidak bisa untuk dihandalkan kaum perempuan tetap tertindas. Lihat pembantu-pembantu rumah tangga Indonesia yang ada di luar negeri, kini sebagian besar yang sudah pulang mengalami depresi yang berat, penyiksaan, pelecehan seksual, serta tindakan-tindakan kekerasan menyelimutinya, apa tindakan Indonesia? Membelakah, mengusut siapa pelakunya? Saya kira itu pertanyaan paling naif. Ia hanya ingin meraup keringat kaum pekerja. Padahal pemasukan yang dihasilkan oleh pembantu-pembatu yang terlecehkan, ternyata menghasilkan devisa yang cukup tinggi.
“Kau, mempunyai daya juang tinggi. Bagus, namun sayang kau salah kaprah, kau nekat” bentak lelaki yang berbadan tegap dengan kumis tipis yang menempel di atas bibir, matanya membelalak saat melihat tubuh yang membentuk, zakunya naik turun, menelan ludah yang kering, dan matanya terus menatap ke arah tonjolan dada yang membusung membentuk gunungan
“Jangan, Komandan” lelaki yang ada di belakang melarang komandannya untuk berbuat tak senonoh,
“Jangan, Komandan, jangan lakukan. Kita cuma butuh informasinya saja dari dia” lelaki itu melarang kembali dengan setengah membentak, saat tangan komandannya yang berbulu mau merogoh buah dada yang kenyal di balik hem yang membelel yang terbungkus kain kutang. Urie hanya diam tanpa ada kata-kata, hanya dengusan nafasnya yang seolah-olah secara tidak langsung menyentuh hasrat kaum Adam. Ternyata Urie biarpun pengawakan dan gayanya bagaikan seorang laki-laki, namun bentuk perempuannya masih membuat nafsu birahi kaum laki-laki. Aneh.
Ruangan yang sempit pengap penuh dengan kepulan asap rokok, Urie duduk di tengah kerumunan kaum Adam yang menamakan dirinya petugas, diintrogasi dengan paksa cara tak layak digunakan seperti itu. Untungnya saat itu pelecehan seksual tidak dilakukan untuk membuka informasi, walaupun Urie mulutnya tetap terbungkam
Kini matahari kelam sang bidadari menangis, bukan berarti tangisan kekalahan ataupun penyesalan atas perjuangannya. Ia menangis meratapi bumi pertiwi seakan dia berada di tengah-tengah kerumunan bangsa asing, tapi ia sadar bahwa ia berada di bumi pertiwi yang ia cintai, ia masih berpijak saat ini. Namun pijakannya tak menapak, hatinya remuk retak tapi tak rapuh. Tidak seperti Indonesia terlihat gagah namun rapuh bahkan retak oleh ulah manusia-manusia yang penuh dengan keserakahan, penuh dengan kemunafikan. Apakah kau masih gagah Indonesiaku?
Urie gadis belia, umurnya belasan daya juangnya tinggi, mempunyai heorisme yang mantap untuk menata Indonesia kembali kesatu tujuan. Bersatu.
“Aku ingin mempunyai, perpustakan yang lengkap di kampungku” ucapnya suatu waktu, saat obrolan disore hari dengan segelas air teh hangat menikmati tenggelamnya sang surya mentari pergi untuk membiarkan malam datang.
“Ingin memberikan suatu didikan, kepada anak yang terlantar, kepada perempuan yang tertindas, kepada Indonesiaku yang sedang menangis darah” hatinya terusik kembali saat nama perempuan diucapnya. Kini hatinya terpasung penuh dengan dendam ambisi dan emosi angkara murka. Mengapa kaumku lemah?
Ia mulai terjaga ketika terlelap tidur di kasur berseprai warna hijau bermotif kembang-kembang yang memberikan kesejukan hati, yang memberikan kedamaian akan kampung halamannya. Terlentang dengan selimut tebal, ditariknya ke atas, karena angin malam mulai menyelusup di balik daun jendela, menusuk kebagian pori-pori yang menguning bersih. Kau terlihat manis, Urie. Saat kau menutup mata, kelelahan terlihat dari dengkuran kecilmu yang menampakan kau ikhlas bila dijemput oleh Yang Mahaperkasa, kau ikhlas hidupmu terbengkalai hanya karena untuk membela kaummu yang lemah. Aku yakin Tuhan tidak tega melihatmu seperti itu.
Bila sang surya dari ufuk timur menampakan keperkasaannya, kau harus bangun dari lelap tidurmu. Perjuanganmu masih panjang, langkahmu masih penuh dengan duri-duri penghianatan yang selalu siap menusuk ke jantung yang membuatmu bisa mati mendadak, bila kau tak segera di bawa ke PKU atau Bethesda, Panti Rapi atau ke Sarjito yang ada di Yogyakarta, kau pasti akan diopname. Kerikil-kerikil yang menanjap tak usah kau hiraukan, karena kau harus yakin bahwa Malaikat Rokib dan Atid tak akan keliru menilai, absenmu pasti terjaga, UAS-mu pasti memuaskan, IP-mu pasti tinggi bila kau masih berpijak bahwa Tuhan itu adil. Benarkanlah yang benar, salahkanlah yang salah, jangan pandang siapa beranilah engkau. Tegakkan sampai tegak benar kebenaran, hidupkan sampai hidup benar demokrasi, bangun sampai kokoh benar hak azasi. Lakban yang menempel di mulutmu harus kau lepas segera, bila kau tidak ingin menjadi perempuan di bawah titik nol.
Kini kau tetap sendiri walau kebahagian menyelimuti, hati yang selama ini tak menyandang manja, kau tutupi. Sebenarnya kesepianlah yang membuat kau bertahan akan kehancuran jiwamu. Sebentar lagi liburan kampus akan tiba, jika sekiranya kau rindu akan kampung halamanmu, seuntai harapan kau pasti akan meninggalkan sebatas impian. Aku rela untuk menemani kau sampai batas pelabuhan Sunda Kelapa, aku janji. Dekapan tubuh, hangat kurasakan imajinasi mulai terkuras, saat tubuh ini menggigil rindu akan kehadiran biologismu. Kau lambaikan tangan mengiringi langkah kaki menuju kapal ferri yang nampak kelihatan di ujung mata, terlihat di sudut pelipih matamu kau mengeluarkan air kearifan tak sengaja kau jatuhkan, kau menangis. Aku menantimu.
Matanya yang teduh dengan merangkul air mata keharuan terhadap pelecehan kaum Hawa. Di media massa terkabar bahwa seorang perempuan pembantu rumah tangga, digagahi oleh majikannya setelah terlebih dahulu dianiaya. Berita-berita yang mengabarkan sosok perempuan membuat ia antusias peduli terhadap sesama kaumnya, air matanya habis terkuras seolah tak percaya melihat kejadian di depan mata, bahwa kaumnyalah yang selalu di injak-injak dan berada di bawah derajat kaum laki-laki. Ia tidak menampakan kebencian terhadap kaum lawannya, padahal dalam hatinya berkobar suatu ambisi dan emosi untuk menyetarakan, keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Emansipasi istilahnya.
Dia merunduk kepalanya tersungkup, tak tahan mendengar kabar, disobeknya koran harian dengan kebencian. Mukanya yang halus mendadak seakan menjadi kasar, guratan kasih sayang seakan hilang termakan arus gelombang angan-angan yang terlampau jauh untuk dikenang, ternyata penilaiannya mengambang, akankah negara ini hilang dengan suatu kedustaan yang mengangang. Indonesiaku.
Bendera merah putih telah lama ia simpan di almari kayu jati milik almarhum kakeknya yang telah lama meninggal dua setengah tahun yang lalu, karena tercium dadanya oleh timah panas yang dimuntahkan Kamtib saat menggeledah rumah-rumah penduduk sipil. Kini bendera yang sudah kumal itu, ia kibarkan kembali dengan gagahnya di depan halaman kampus yang telah lama ia geluti. Bagaikan upacara pengibaran bendera sang sakala merah putih saat tujuhbelasan ia berkhidmat membentangkan, menyingsingkan lengan baju, mempersiapkan dalam menghadapi suatu tujuan yang mulia. Tangan di hadapan ke atas, penuh penghormatan, di bawah terik panas mentari yang menyengat membakar kulit sawo matang yang cuma tertutup kain sehelai dari tangannya. Ia menggerek bendera
“Merdeka, Indonesia harus merdeka” teriaknya penuh semangat, wajah yang berbentuk oval memanjang, kini harus rela terpanggang oleh sang surya Maharaja sinar kemegahan, simbol keagungan Tuhan
“Merdeka, dari penjajahan kaum sendiri” teriaknya kembali, perempuan perawakan yang semampai berambut ikal, baru dipotong semenjak kepulangannya dari kampung halaman, orang tuanya tak setuju seandainya rambutnya menutupi di balik kecantikannya. Dengan gayanya yang tomboy, menebarkan kegarangan di balik kelembutannya
“Wanita, bukan barang percobaan, wanita adalah titisan Ilahi yang harus disyukuri” segenap sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang menamakan sayap dari kiri, kini berkumpul memberikan orasi, yel-yel-an, memperjuangkan Indonesia dari kemerdekaan, memperjuangkan kaum Hawa yang telah dilecehkan, memperjuangkan bangsa ini dari panu dan kutu air kemunafikan para penguasa Elite Politik. Suasana makin ramai, perihal sesama manusia ternyata harus berbeda akal dan pikiran terbaur terbalut dendam sang raja presiden Indonesia, namun petaka tak bisa untuk dipungkiri bahwa Indonesia tetap negara salah satu urutan terbesar korupsinya di dunia. KKN kiranya tak bisa untuk dimusnahkan dalam sekejap, hanya sebuah perjanjian Adam saat memetik buah huldi, lantas diusir dari surga oleh Tuhan dengan musuhnya yaitu Iblis. Terjadilah sebuah peradaban manusia yang tertanam di dalam hatinya dengan niat Adam, kembali untuk Hawa.
“Nama?” bentak petugas yang berseragam
“Urie” jawabnya singkat
“Oh, jadi ini yang namanya Urie, seorang yang katanya pembela kaum perempuan, seorang aktivis pergerakan mahasiswa, hebat. Asu!” ucapnya mencibir
“Apa yang kau inginkan dari pembelaanmu terhadap kaum wanita”
Indonesia yang mempunyai peraturan dengan ketat namun kendor, sangat disayangkan tidak bisa untuk dihandalkan kaum perempuan tetap tertindas. Lihat pembantu-pembantu rumah tangga Indonesia yang ada di luar negeri, kini sebagian besar yang sudah pulang mengalami depresi yang berat, penyiksaan, pelecehan seksual, serta tindakan-tindakan kekerasan menyelimutinya, apa tindakan Indonesia? Membelakah, mengusut siapa pelakunya? Saya kira itu pertanyaan paling naif. Ia hanya ingin meraup keringat kaum pekerja. Padahal pemasukan yang dihasilkan oleh pembantu-pembatu yang terlecehkan, ternyata menghasilkan devisa yang cukup tinggi.
“Kau, mempunyai daya juang tinggi. Bagus, namun sayang kau salah kaprah, kau nekat” bentak lelaki yang berbadan tegap dengan kumis tipis yang menempel di atas bibir, matanya membelalak saat melihat tubuh yang membentuk, zakunya naik turun, menelan ludah yang kering, dan matanya terus menatap ke arah tonjolan dada yang membusung membentuk gunungan
“Jangan, Komandan” lelaki yang ada di belakang melarang komandannya untuk berbuat tak senonoh,
“Jangan, Komandan, jangan lakukan. Kita cuma butuh informasinya saja dari dia” lelaki itu melarang kembali dengan setengah membentak, saat tangan komandannya yang berbulu mau merogoh buah dada yang kenyal di balik hem yang membelel yang terbungkus kain kutang. Urie hanya diam tanpa ada kata-kata, hanya dengusan nafasnya yang seolah-olah secara tidak langsung menyentuh hasrat kaum Adam. Ternyata Urie biarpun pengawakan dan gayanya bagaikan seorang laki-laki, namun bentuk perempuannya masih membuat nafsu birahi kaum laki-laki. Aneh.
Ruangan yang sempit pengap penuh dengan kepulan asap rokok, Urie duduk di tengah kerumunan kaum Adam yang menamakan dirinya petugas, diintrogasi dengan paksa cara tak layak digunakan seperti itu. Untungnya saat itu pelecehan seksual tidak dilakukan untuk membuka informasi, walaupun Urie mulutnya tetap terbungkam
Kini matahari kelam sang bidadari menangis, bukan berarti tangisan kekalahan ataupun penyesalan atas perjuangannya. Ia menangis meratapi bumi pertiwi seakan dia berada di tengah-tengah kerumunan bangsa asing, tapi ia sadar bahwa ia berada di bumi pertiwi yang ia cintai, ia masih berpijak saat ini. Namun pijakannya tak menapak, hatinya remuk retak tapi tak rapuh. Tidak seperti Indonesia terlihat gagah namun rapuh bahkan retak oleh ulah manusia-manusia yang penuh dengan keserakahan, penuh dengan kemunafikan. Apakah kau masih gagah Indonesiaku?
Urie gadis belia, umurnya belasan daya juangnya tinggi, mempunyai heorisme yang mantap untuk menata Indonesia kembali kesatu tujuan. Bersatu.
“Aku ingin mempunyai, perpustakan yang lengkap di kampungku” ucapnya suatu waktu, saat obrolan disore hari dengan segelas air teh hangat menikmati tenggelamnya sang surya mentari pergi untuk membiarkan malam datang.
“Ingin memberikan suatu didikan, kepada anak yang terlantar, kepada perempuan yang tertindas, kepada Indonesiaku yang sedang menangis darah” hatinya terusik kembali saat nama perempuan diucapnya. Kini hatinya terpasung penuh dengan dendam ambisi dan emosi angkara murka. Mengapa kaumku lemah?
Ia mulai terjaga ketika terlelap tidur di kasur berseprai warna hijau bermotif kembang-kembang yang memberikan kesejukan hati, yang memberikan kedamaian akan kampung halamannya. Terlentang dengan selimut tebal, ditariknya ke atas, karena angin malam mulai menyelusup di balik daun jendela, menusuk kebagian pori-pori yang menguning bersih. Kau terlihat manis, Urie. Saat kau menutup mata, kelelahan terlihat dari dengkuran kecilmu yang menampakan kau ikhlas bila dijemput oleh Yang Mahaperkasa, kau ikhlas hidupmu terbengkalai hanya karena untuk membela kaummu yang lemah. Aku yakin Tuhan tidak tega melihatmu seperti itu.
Bila sang surya dari ufuk timur menampakan keperkasaannya, kau harus bangun dari lelap tidurmu. Perjuanganmu masih panjang, langkahmu masih penuh dengan duri-duri penghianatan yang selalu siap menusuk ke jantung yang membuatmu bisa mati mendadak, bila kau tak segera di bawa ke PKU atau Bethesda, Panti Rapi atau ke Sarjito yang ada di Yogyakarta, kau pasti akan diopname. Kerikil-kerikil yang menanjap tak usah kau hiraukan, karena kau harus yakin bahwa Malaikat Rokib dan Atid tak akan keliru menilai, absenmu pasti terjaga, UAS-mu pasti memuaskan, IP-mu pasti tinggi bila kau masih berpijak bahwa Tuhan itu adil. Benarkanlah yang benar, salahkanlah yang salah, jangan pandang siapa beranilah engkau. Tegakkan sampai tegak benar kebenaran, hidupkan sampai hidup benar demokrasi, bangun sampai kokoh benar hak azasi. Lakban yang menempel di mulutmu harus kau lepas segera, bila kau tidak ingin menjadi perempuan di bawah titik nol.
Kini kau tetap sendiri walau kebahagian menyelimuti, hati yang selama ini tak menyandang manja, kau tutupi. Sebenarnya kesepianlah yang membuat kau bertahan akan kehancuran jiwamu. Sebentar lagi liburan kampus akan tiba, jika sekiranya kau rindu akan kampung halamanmu, seuntai harapan kau pasti akan meninggalkan sebatas impian. Aku rela untuk menemani kau sampai batas pelabuhan Sunda Kelapa, aku janji. Dekapan tubuh, hangat kurasakan imajinasi mulai terkuras, saat tubuh ini menggigil rindu akan kehadiran biologismu. Kau lambaikan tangan mengiringi langkah kaki menuju kapal ferri yang nampak kelihatan di ujung mata, terlihat di sudut pelipih matamu kau mengeluarkan air kearifan tak sengaja kau jatuhkan, kau menangis. Aku menantimu.
Jogja, 18 Januari 2004
0 Response to "Urie"
Post a Comment