Nyamuk Itu Hanya Ingin Mengigitku

“Kau kena kutuk Pi,” sontak saja aku tertegun dan Anwar pergi begitu saja. Kata itulah yang kini menyergap dalam bayangan hari-hariku siang dan malam. Aku sangat paranoid dengan bahasa mistik. Ah tidak, kiranya Anwar hanya sebatas guyon saja. Aku tak pantas untuk takut, apa salahku? Apa dosaku? Hanya Tuhanlah Mahakuasa. Aku percaya semuanya. 

Memang nyamuk itu hanya ingin menggigitku. Tapi ini bukan kutuk seperti yang diucapkan Anwar. Istriku, anakku tidaklah seperti yang aku alami, akulah yang paling sibuk ria dengan menggaruk-garuk kegatalanku kala berkumpul di ruangan tengah, ataupun kala aku sedang lembur. Semuanya aku buat biasa-biasa saja, nampak seperti tak ada apa-apa. Tapi tetap nyamuk itu hanya ingin menggigitku. Dan ikhwal kutukan yang diucapkan Anwar tak aku beritahukan pada istriku apalagi pada anakku, ngeri. Bukan, ini bukan kutukan, ini hanya rotasi bumi yang biasa terjadi.

Hari itu paskah, seperti biasa andai libur aku hanya berdiam diri dalam kamar hanya untuk mengurangi bentolan. Dan hari ini mertuaku datang dari kampung, temu kangen dengan cucu. Dari kejauhan sudah terlihat anak-anaku bergembira ria menyambutnya, aku hanya melihat dibalik gorden. Anak-anak berpeluk cium dengan neneknya, sedangkan bapak mertua tanpa basa-basi masuk.

“Mana suamimu Sri?” tanya bapak mertuaku, setelah menjatuhkan pantatnya di sofa.

“Ada di kamar, lagi tiduran.”

“Dasar, pemalas” aku hanya mampu menarik nafas. Istriku datang. Aku mengerti dengan wajah kusut istriku, alasan apapun aku harus menemaninya ngobrol. Mertuaku berucap panjang tentang hakekat manusia, bahwa manusia haruslah berusaha dan tak boleh berpangkutangan. Aku tahu, ucapan ini tertuju padaku. Aku hanya diam. Setiap pertanyaan ingin rasanya aku menggibas dengan nalar logikaku, hanya orang edanlah yang akan meladeninya. Aku tak menjawab. Inilah salah satunya yang tak aku senangi dari pembicaraan bapak mertuaku. Setengah jam berlalu, dan nayamuk itu. Gila menyerbuku dengan manjanya. Kaki, betis, lengan, aku menepuk-nepuk, dan tak memperdulikan mertuaku yang sedang ngoceh.

“Kamu ini kenapa Pi?” aku tak menjawabnya.

“Kenapa suamimu Sri? Kayanya ada masalah.”

“Banyak nyamuk Pak.”

“Nyamuk? Nggak ada,” jawab mertuaku dengan melihat sekelilingnya. Tak lama, tubuhku bentol-bentol. Dengan segera istriku mengambil balsem dan mengoles-ngoles bentolku.

“Kamu jarang mandi ya Pi? Badanmu jadi bau, pantas nyamuk senang dengan badanmu.”

“Tidak Bu, Pi rajin mandinya,” bela istriku.

“Biasa Eyang, Ayah memang seperti itu,” anakku nimbrung, aku hanya diam mengoles-ngoles bentol dengan balsem.

“Jangan-jangan kamu kena kutukan Pi,” kontan ucapan ibu mertuaku membuat aku bergetar. Teringat dengan ucapan Anwar tempo itu. Aku melirik ke arah istriku.

“Huss......Bapak ini ngawur ah.”

“Coba kamu teliti hanya suamimu yang digigit nyamuk di rumah ini, yang lain?”

“Mungkin Bapak benar Sri, Pi kena kutuk. Ada yang tak suka dengan suamimu.”

“Bapak punya kenalan orang pintar yang kesohor di daerah Subang. Sebelum terlambat semuanya besok kita ke sana,” istriku melirik iba terhadapku.

“Gimana Mas?”

“Terserahlah.”

# # #

Inisiatif bapak mertuakulah kami pergi ke Subang, walau sepenuhnya aku tidaklah setuju dengan pendapat bapak. Ya mau tak mau aku harus patuh padanya. Paginya-pagi benar kami berangkat dengan mobil Kijang mertuaku.

“Kamu pasti sembuh Pi,” aku hanya diam. Istriku mengerti apa yang aku rasakan saat itu. Kurang lebih dari setangah jam, tiba juga di Subang. Langkah pertama turun adalah bapak mertuaku jalannya begitu sigap, mungkin bapak sering ke sini. Aku berjalan dari belakang digandeng istriku.

“Nah, itu tempatnya,” ucap bapak mertuaku dengan telujuk ke arah rumah yang berada di kaki bukit.

“Orang pintar ini adalah orang Muslim, jadi harus Assalamu’alaikum,” berbisik bapak mertuaku kepada kami.

“Assalamu’alaikum.” Ucap bapak mertua setengah berteriak.

“Wa’alaikumssalam. Eh, Pak Karta. Ada apa ini? Wah tumben bawa keluarga. Silahkan masuk,” kami pun masuk. Beberapa menit setelah basa-basi, barulah bapak mertuaku mengutarakan maksud.

“Ini Sepuh, menantuku kena kutukan. Setiap harinya kena gigitan nyamuk. Saya takut dia terkena apa-apa,” yang dipanggil sepuh itu manggut-manggut.

“Coba lihat,” sepuh itu memeriksa bentolku. Dia manggut-manggut seperti orang yang mengerti. Dia mengambil air putih, lalu mulutnya komat-kamit tak lama kemudian menyemburkan pada wajahku. Ih, bau jengkol. Anakku tertawa, istriku tersenyum geli.

“Memang benar menantumu terkena kutukan.Karta,”

“Nah, apa kataku. Dengarkan tuh Pi. Lanjutkan Ki Sepuh,” bapak bersemangat

“Kamu harus puasa tiga hari tiga malam.”

“Apa tiga hari tiga malam?”aku terkejut.

“Ya, sebagai syarat untuk mengeluarkan kutukanmu. Itu belum seberapa. Setelah kamu berpuasa kamu harus mandi tengah malam di halaman rumah dengan kembang tujuh rupa serta badanmu tidak boleh dikeringkan, biarkan mengering sendiri sampai matahari terbit, setelah itu kamu diperbolehkan makan. Tapi, cukup dengan nasih putih sekepal tangan orok dan cabe rawit tiga, warna merah sebagai penangkal kutuk dan yang hijau dua sebagai pelebur dari kutukan.”

# # #

Bapak mertuaku menyiapkan segalanya. Kembang tujuh rupa, tiga cabe rawit merah dan dua cabe rawit sesuai pesanan Ki Sepuh. Aku puasa tiga hari tiga malam sesuai perintah. Dan malam ini aku siap untuk dimandikan tengah malam seperti apa yang diucapkan Ki Sepuh.

“Ini demi kebaikanmu Pi. Ayah hanya ingin membantu kamu saja.”

“Baik-baik dari Hongkong,”umpatku dalam hati.

Malam pun tiba, segala persiapan sudah lengkap sesuai dengan perintah. Aku dikemben dengan kain putih seperti orok. Malam itu cukup cerah, semilir angin menelusup naluriku. Air yang berisi kembang tujuh rupa sudah siap menyiramiku. Tepat pukul kosong-kosong, upacara pemandian pun dilaksanakan. Aku jongkok di kursi kecil. Mertuaku menyiarami satu persatu, kemudian istriku, dan terakhir anakku. Setelah air habis akupun dibiarkan begitu saja. Udara malam menjelang pagi itu sangat menusukku, sempat aku menggigil. Sampai pagi menjelang aku dikasih nasih putih sekepal tangan orok, cabe rawit merah tiga yang hijau dua. Dengan terpaksa semuanya habiskan.

Seminggu setelah itu aku pun jatuh sakit, cukup parah. Hampir tiga hari aku dirawat. Mertuaku menjengkuk. Mereka terkejut, ternyata nyamuk itu masih menggigitku. Ayahpun bergegas.....

“Ayah ke mana Sri?”

“Ke Subang.”

“Ke Subang? Ngapain?”

“Protes.....” aku hanya diam

Jogja, Maret 2007

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Nyamuk Itu Hanya Ingin Mengigitku"

Post a Comment