Kurang lebih dari lima tahun saya menimba ilmu di kota pelajar, selama
itu pula saya belum pernah menginjak kembali ke tanah kelahiranku. Saya belum
pernah melihat keadaan tanah disana. Keadaan kampung yang membesarkan jiwa raga
ini, sahabat-sahabat sekolah dahulu yang lama tak jumpa pun saudara-saudara
dari sepupu, kerabat ibu maupun kerabat dari ayah. Namun ayah dan ibu hanya
mengunjungiku selama itu, hanya satu kali saja.
Kejenuhan pun mulai merasuk
dalam alam pikiranku....
Rasa rindu terhadap Muzdalifah pun sesekali membekas dalam pelupuk
khayalan. Secepat kilat pun saya menghapusnya, dengan menyibukkan diri dalam
renungan membaca buku serta berbagai kegiatan yang memenuhi pikiran ini, dengan
tidak memikirkan segala bentuk perenungan pengkhayalan. Dari berbagai upaya
pula akhirnya kenangan bersama Muzdalifah hilang bersama kesibukan yang hadir
silih berganti. Inilah yang kuinginkan. Akankah bayang-bayang Muzdalifah hilang
bersama letihnya pikiran dari kesibukan? Mungkin saya harus melewati
sebagaimana hidup dalam diri ini, artinya melewati berapa tahun yang lama sejak
saya mengenal Muzdalifah. Mungkin itu mampu melewati hari-hari dari
bayangannya. Tapi bagaimana berproses mampu bertahan, sedangkan diri ini
terlalu payah untuk mengenangnya. Ah, rasanya terlalu letih saya bergelut
dengan perasaan absurd itu. Adakah jalan untuk melewati hari-hari tidak bersama
bayang-bayang Muzdalifah? Sewaan baru pun tak menjamin diri ini lari menjauh
dari selubung rindunya, atau saya harus mengenal perempuan lain yang mempunyai
karakter lebih? Mungkin benar juga! Biar hari-hari lebih memperhatikan diri
ini. Biar bayangan Muzdalifah hilang bersama jasad, melewatinya dengan
perempuan lain. Mungkin salah satu cara agar diri ini tidak memiliki sesuatu
rasa terhadap Muzdalifah yaitu saya harus memiliki pujaan yang lain. Saya
tersenyum sendiri mempunyai niatan seperti itu. Sepicik itukah diri ini? Ah,
bukan ini adalah ikhtiar dari jalan yang saya tak pahami. Semoga dengan niatan
seperti ini, kenangan yang terdahulu hilang bersama keindahan yang akan saya
ecap bersama perempuan yang saya inginkan.
Awal niatan itu, diri ini pun sangat berbeda dengan sebelumnya. Pakaian
pun necis, bau parfum saya tempelkan pada tubuh ini, menyebar bersama
kesenangan yang akan kuraih setelah itu. Serasa saya nampak gagah bila
melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya. Namun niatan itu tak tahan berapa
lama, hanya mampu bertahan sebulan lamanya. Ternyata diri ini untuk mendapatkan
seorang pendamping pengganti ingatan dari Muzdalifah sangatlah sulit, tidak
seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Tidak semudah membalikkan telapak
tangan.
Kubiarkan saja diri ini melangkah mengalir apa adanya sesuai dengan
seperti biasanya sebelum saya mempunyai niatan seperti itu. Proses seperti itu
pun cukup lama saya alami, dua bulan lebih mengalami hal semacam itu, namun
kulaluinya hanya biasa-biasa saja tanpa ada rasa beban. Dari tidak mempunyai
niatan bulat itu, saya tidak lagi terpikirkan akan mendapatkan seseorang yang
akan menghiburku dari lamunan panjang. Mungkin inilah salah satu keunikan dalam
asmara. Mengejar dengan susah payah, tak dapat kuraih, tak mengejar dengan
susah payah ternyata keadaan itu berubah dengan hadirnya seorang perawan yang
kurasakan sangat menentramkan dihati.
Akhirnya rasa merindu pun dan pencinta saya rasakan dalam kalbu ini.
Serasa tak percaya daku mempunyai perasaan pecinta itu. Ah, mungkin ini rasa
pecinta yang dimabuk asmara, daku merasakan seperti itu tapi bukan terhadap
Muzdalifah.
Pada seorang yang kuanggap sebagai anugerah Ilahi yang tak mungkin
kubayar dengan harga mahal. Beginilah ceritanya;
* * *
Awal percintaan....
Sebagai manusia biasa saya pun sadar, bahwa saya diciptakan oleh Tuhan
dalam keadaan normal. Itu tak mungkin saya pungkiri. Kehadiran asmara sebagai
anugerah dari Allah masih saya agungkan dalam kancah perasaan kalbu ini, tapi
semua itu bukan untuk belenggu adat melainkan kreasi yang kreatif dari rasa
syukur terhadap yang empunya alam ini.
Hati ini masih memiliki rasa kasih sayang, memiliki rasa pecinta
layaknya pemuda masa kini, yang sangat bahagia bilamana perasaan itu disambut
dengan tidak bertepuk sebelah tangan. Artinya cinta yang ia agungkan mendapat
sambutan dengan senyuman yang merekah bak merekahnya kuntum bunga dimusim
penghujan. Ini pun saya rasakan pada seorang perempuan berkerudung yang sungguh
membuat hati terpaut siang dan malam akan kehadiran bayangannya. Mungkin samar
bayangan yang akan kuraih dengan sabar dan proses yang cukup lama. Perempuan
berwajah ayu itu adalah mojang Priangan.
Gadis keturunan suku Sunda, bapaknya asli dari Tasikmalaya ibunya dari Serang,
Banten. Ia hijrah ke Bandung mengikuti jejak orangtuanya yang dinas di daerah
tersebut. Saya jatuh hati pada perempuan itu. O, betapa bahagia rasanya kalbu
ini dibuai dengan rindu dendam yang terselubung akan hadirnya wajah baru yang
akan saya ecap esok atau lusa menjadi milik hati ini. Kusingkirkan bayangan
Muzdalifah, ditelungkup empedu yang kupunya, bukan berarti diri ini merendahkan
perasaannya. Melainkan agar hati ini tidak merasa khawatir akan kerinduan yang
dibuat oleh Muzdalifah sendiri. Berdosa? Biarlah saya tanggung. Apapun resiko
yang akan kuperbuat saat ini, semoga adalah sejalan dengan aturan Allah sebagai
Tuhan diri ini.
Bukan tanpa maksud saya melakukan perasaan ini agar terpaut bersama dengannya.
Pertama, sebagai alasan saya mempunyai rasa padanya adalah beliau sangat
menghargai saya, menghormati saya, bahkan menganggap saya sebagai orang yang
dituakan. Ah, mungkin itu alasan yang klasik yang dibuat bagi orang yang sedang
dimabuk asmara, yang akan menghalalkan segala cara agar mendapatkan sesuatu
yang ia inginkan, seperti diri ini. Ya, kadang keangkuhan sangatlah egois,
mereka tidak tahu dan tanpa sadar mereka sedang memupuk bara api yang akan
membakar jasad kelak di akherat nanti. Mungkin termasuk diri ini, semoga ini
tidaklah terjadi terhadapku.
Wajah perempuan itu tidak cantik hanya saja menawan dan enak dipandang.
Raut mukanya mirip sekali dengan Astri Ivo artis ternama Indonesia. Pipinya
kemerah-merahan, kalau boleh diibaratkan dan tidak berlebihan beliau bagai Siti
Khadijah Humaerah panggilan sayang
Rasulallah padanya. Hati ini pun sejuk dan teduh bilamana memandangnya. Sungguh
luluh hati ini dibuatnya. Sangatlah wajar bila semua pemuda yang ada di dunia
mengharapkan perempuan yang ia cintai mempunyai paras kecantikan melebihi dari
perempuan-perempuan yang lain, termasuk juga diri ini. Sebagaimana sabda
Rasulallah bahwa sesungguhnya sebagai pria haruslah memilih perempuan sebelum
kita menikahi, kriteria perempuan itu terlihat dari empat sudut. Pertama kaya,
kedua kecantikannya, ketiga keturunannya, dan yang terakhir adalah agamanya.
Tapi kebanyakan pria yang dicari dan dilihat dari pandangan pertama adalah
kecantikannya, ini sangatlah wajar dan sangatlah normal bagi lelaki. Semuda dan
selugu yang dihadapi oleh Adam tatkala melihat diri Hawa yang molek. Namun tak
banyak pula pria yang mengejar perempuan sebab dari kekayaannya. Diri ini
adalah lelaki normal, lelaki yang penuh dengan hawa nafsu. Wajar bila
seandainya perempuan itulah yang saya perhatikan secara khusus. Semoga dalam
menyelaminya adalah sebagai kriteria yang diharapkan oleh Rasulallah.
Kuakui Muzdalifah sangatlah payah bila dibandingkan dengan perempuan
yang kuanggap sebagai pelindung jiwa ini. Tapi semua ini tidaklah bermaksud
untuk menyamakan arti dari ciptaan-Nya, sebab sebaik-sebaik ciptaan-Nya adalah
sebaik akhlaknya. Semoga perempuan yang kumaksud secantik dengan hatinya pula.
Pertemuan saya dengannya
sangatlah sederhana...
Berawal dari pengajian rutin tiap hari Ahad pagi pukul setengah enam
sampai pukul sepuluh setengah di majid Agung di daerah dekat alun-alun kaler
saya berjumpa dengannya. Itulah pertemuanku mengenalnya. Saya melakukan
pengajian ini semenjak setelah pindah dari sewaan terdahulu. Hati merasa tenang
bila mendengarkan petuah-petuah dari seorang yang dianggap sebagai yang di
tuakan, tapi yang lebih menyemangati hati ini adalah perempuan itu. Jujur saya
akui semuanya.
Saya sering menghadiri bersama teman sesewaan atau sendiri. Tetapi
kebanyak saya hadir sendiri, sebab mereka kadang lebih memilih menghabiskan
waktu libur untuk berleha-leha di dalam kamarnya, tetapi tidak untuk diri ini.
Biasanya pengajian itu di dilakukan penceramah oleh tokoh-tokoh dari kota
tersebut, dan dihadiri paling banyak lima belas orang sebab tempat dan waktu
memang sangat terbatas.
Merasa nyaman dengan menghadiri pengajian itu, akhirnya kulakukan
dengan sangat rutin. Biarlah hari-hari yang seharusnya untuk memanjakan diri,
harus kurelakan dengan menyirami siraman rohani. Mungkin ini lebih baik
ketimbang leha-leha di dalam kamar dengan buaian lamunan yang tak menentu.
Dari pengajian itulah saya mendapat dua keuntungan, bukan berarti awal
saya mengaji mempunyai niatan seperti itu, tapi semua ini adalah karunia dari
Allah untuk hambanya yang Insyaallah taat beribadah. Keuntungan itu adalah yang
pertama ilmu dan yang kedua adalah cinta. Cinta sebagai penyemangat hambanya
yang selalu bersyukur akan karunia yang telah diberikan-Nya. Alhamdulillah
Allah pun mengijinkan saya untuk menyanjung ciptaan-Nya. Bahkan lebih untuk
meraih kalbunya dan akan kujadikan sebagai pendamping hidup seia sekata, kelak
bila ia bersedia menjadi milikku seutuhnya. Sungguh ini di luar dugaan
kemampuan saya sebagai manusia biasa akan hadirnya asmara itu, akan kusimpan baik-baik
sebagaimana menyimpan sesuatu yang kuanggap berharga.
Hati ini pun tak bisa berkata dusta bahwa sesungguhnya jikalau
Muzdalifah mengetahui perasaan ini kepada perempuan itu, betapa hatinya
terguncang dan sangat teriris dan mungkin akan mengiris urat nadinya sebagai
nazar yang ia ucapkan terdahulu. Biarlah, kesalahan sejarah akan terulang
kembali. Maafkan Abang, engkau hanya tumbal dari keangkuhan adat turun temurun
yang diciptakan keangkuhan manusia. Semoga engkau tabah menjalani hidup tanpa
harus menemukan jasad ini dan semoga kalbu ini tidaklah berpaling kembali,
hanya pada engkau seorang walaupun itu bisa dikatakan tidak akan mungkin
terjadi, tapi hidup hanyalah sebuah panggung sandiwara yang tidak akan tahu
menahu dari yang kita niatkan. Hanya Allah-lah yang mempunyai skenario sampai
kita menemukan ajal.
Sungguh mempesona, apa yang dikatakan orang tua memanglah benar, bahwa
pandangan pertama memanglah mengesankan. Walau dalam aturan agama memandang
pertama adalah tidaklah diperbolehkan andai dilakukan oleh seorang yang bukan
muhrimnya. Tapi apakah saya akan mempungkiri bila perempuan itu berada dalam
posisi menghadap pandanganku? Saya rasa semua mahluk akan merasa merugi bila
pandanganya dialihkan dalam pandangan lain, ini yang kurasakan sebagai seorang
yang lemah dalam iman. Kurasa Allah pun akan memberikan rasa ma’lum untuk
seorang mahluk yang sangat lemah dihadapan-Nya seperti saya ini.
Ah, tak bisa saya bayangkan betapa saya bahagia kala itu. Bertatap
wajah, mencuri pandang dengan mahluk ciptaan Allah yang sempurna, menemukan
gadis sepertinya dalam sebuah pengajian rutin. Saya rasa bila Tuan merasakan
apa yang terjadi pada diri ini, mungkin Tuan akan berucap serasa pendek benar
waktu luang dari pengajian itu. Kira-kira seperti itu yang ada dalam kalbu
picik ini. Semoga ini bukanlah sebagai bahan bakar untuk nanti menghanguskan
jasad ini melewati alam yang disebut hisab itu. Ampuni diri ini ya Allah...
Yang paling membuat hati ini sukar untuk tidak mengatakan rasa sayang
padanya adalah beliau seorang yang patuh dalam agama, taat beribadah, pandai
mengaji, pendek kata beliau seorang wanita solehah. Ya Allah semoga beliau
menjadi pendamping hidupku dalam bahagia maupun susah. Tapi, apakah perempuan
seayu beliau tidak ada yang memilikinya? Saya rasa tidaklah mungkin, pastilah
banyak pejantan yang lebih menawan menawarkan jasa untuk menggaet hatinya,
termasuk diri ini. Mungkin saja ia terlalu menjaga jarak terhadap pria-pria
yang tak semestinya ia ladeni, atau mungkin para pria sangatlah terkesima atas
budi pekerti luhur yang dipunya oleh perawan itu. Entahlah.
Hati yang penasaran ini saya utarakan dalam ungkapan kiasan yang sangat
mulia, dengan tanpa maksud menyinggung kalbunya yang paling dalam. Kira-kira
seperti ungkapannya;
“Sungguh bahagia, seorang pejantan yang dapat meluluhkan hatimu.
Siapakah gerangan pria sejati itu yang kiranya ada di hatimu, Nisa? Bolehkah
pria hina ini mengetahuinya?” wanita ayu itu diam terpaku, saat pengajian usai
dan perbincangan dimulai di depan serambi masjid itu.
“Saya tak berani untuk memikirkan hal semacam itu.”
“Kenapa?” tanyaku
“Jika sekiranya hal semacam itu melekat dalam hati ini, saya yakin
orangtuaku akan merasa kecewa dengan tingkahlaku saya.”
“Bukankah bila engkau bahagia, orangtuamu pasti akan bahagia pula?”
“Ya, tapi bukan itu yang harus kuperbuat dari kebahagiaan!”
“Salah satu diantara kebahagiaan itu adalah anugerah dari Allah, yaitu
rasa mencintai.”
“Bukan itu yang saya maksud, Abang Husein. Memang salah satu diantara
anugerah yang diberikan oleh Allah sebagaimana engkau maksud, tapi bukan itu
yang harus tepat untuk saya pilih.”
“Lantas?”
“Abang Husein, banyak sekali yang harus saya tempuh. Rasa asmara itu
bukan suatu tujuan utama. Walaupun tanpa saya pungkiri bila saya mengingkari
anugerah-Nya adalah perbuatan yang sangat bodoh, tapi haruskah saya terjerumus
hanya karena dalih seperti itu?” saya manggut-manggut
“Saya yakin, walaupun saya tidak mengejar pencinta, suatu saat pencinta
itu akan hadir dalam kalbuku, entah esok atau pun lusa nanti.” ungkapnya penuh
dengan keberanian yang lugas dan kejujuran yang tulus.
“Jadi engkau percaya dengan hadirnya asmara sebagai anugerah?”
“Ya, saya sangat percaya.”
“Engkau?”
“Seperti yang engkau maksud.”
“Anugerah itu haruslah kita sentuh dengan perasaan yang sangat mulia.”
“Saya tak maksud apa yang engkau ucapkan, Nisa?”
“Ya, anugerah yang engkau maksud itu adalah asmara. Saya yakin bila
asmara itu hadir yang datang hanyalah nafsu semata.”
“Ah, tidak semua. Itu hanya ketakutanmu saja.”
“Abang Husein, asmara itu adalah indah. Maka tak perlu keindahan itu
engkau tambah-tambah dengan nuansa lain nanti akan mengurangi keindahan itu
sendiri, sebab yang berlebihan itu hanyalah termasuk sahabat setan. Itu yang
kumaksud.”
“O, andai dalihmu seperti itu saya setuju. Memang asmara kadang
diartikan sebagai kebebasan dari ekspresi daya khayal kita yang terlampau tipis
untuk kita sekat, sebagaimana kita lihat dari dunia Barat. Anak muda yang masih
belia tidak bercinta dalam artian tidak bersetubuh adalah seorang yang dianggap
tabu. Maka jangan heran bila sebuah keperawanan adalah sesuatu yang sangat
murah untuk kita temui diantara deretan yang menawarkan jasa seperti itu.”
“Sebenarnya yang dimaksud dengan asmara antara pemuda dan pemudi itu
seperti apa menurut abang sendiri?”
“Ah, andai sekiranya saya dapat menjelaskan antara percikan yang
diberikan Allah terhadap mahluknya adalah suatu keinginan yang tak mungkin
dielakan oleh yang dirasakannya.”
“Maksudnya?”
“Ya, asmara itukan adalah suatu bentuk perselingkuhan dari pemikiran
kita. Tatkala kita tidak mendapatkan suatu perhatian dari orang-orang terkasih,
tidak ada perhatian dari orangtua, dari kerabat, sahabat, atau terlalu jenuh
dengan pemikiran yang terbelenggu dari suatu pertalian yang dianggap biasa yang
sebebenarnya itu adalah sebuah momok yang harus dihapus.”
“O, begitu ya. Cukup membuat hati ini menjadi suatu yang menerima
pengetahuan yang baru,” saya memandang wajah ayu itu. Terlihatlah kemerahan
pipinya dari tatapanku seakan tiada ia melakukan hal sepertiku.
“Nisa, bila sendainya yang engkau maksud anugerah itu hadir dalam
sekejap, apakah engkau akan pungkiri sebagaimana dalihmu itu?”
“Andai beliau akan menjaga dan menghargai diri ini, kenapa tidak?!”
kulihat kerling bola matanya seakan menyimpan sesuatu pertanyaan yang tak bermaksud.
“Saya percaya walaupun saya tidak mencari pejantan, suatu saat pejantan
itu akan hadir dengan sendirinya.”
“Betul Nisa, pencinta itu akan hadir dalam kalbumu.”
“Maksudmu?”
“Pejantan itu sudah hadir, dan sekarang beliau ada di hadapanmu,”
perempuan itu menatap tajam seakan ingin mengupas kalbuku. Dia tersenyum
nyinyir
“Nisa, dia sedang merintih untuk sekedar percikan embun pagi hinggap
dalam kalbunya, dengan harapan embun pagi itu akan menyerap dan menyuburkan
cita dan cintanya,” kembali gadis berkerudung hitam polos itu diam, seakan ada
sontakan yang sangat dahsyat bagaikan badai tsunami
“Saya tak bermaksud untuk mempengaruhi kalbumu, tapi ini memang suatu
bukti bahwa saya adalah pencinta yang datang seperti engkau maksud, Nisa”
kembali merenung dalam sekejap pun beliau melontar dengan lugas dan berarti.
“Saya paham, apa yang dikatakan oleh Abang Husein. Sungguh hati ini pun
merasakan getaran aneh saat pandangan Abang menusuk dalam kalbuku ketika
pengajian itu, dan ini pun di luar dugaan saya. Mata Abang terlalu tajam untuk
sekedar memandangku, saya takut!”
“Takut?”
“Ya, saya takut akan hadirnya perjumpaan ini. Bukan berarti saya
seorang yang pesimis,” dia menunduk, menghentikan ucapan seakan ada yang
menghalang ditenggorokannya.
“Saya tak maksud ucapanmu! Nisa”
“Hanya perpisahanlah yang akan datang berikutnya setelah pertemuan
hadir dalam kalbu dan setelah semuanya itu terjadi, kepedihan dan kebencianlah
yang akan hadir dalam akal picik kita,” saya tersenyum kecil
“Memanglah tidak salah apa yang engkau ucapkan semuanya. Dalam
perjumpaan pastilah akan hadir perpisahan,” dia menatapku sayu
“Tidak, dalam kehidupan adalah suatu tragedi. Sebab kehidupan itu
sendiri adalah proses pasti menuju tragedi. Itu tak akan dipungkiri oleh setiap
insan. Perpisahan dengan keluarga tercinta, orang terkasih, kawan tersayang,
semua itu akan tiba bersama proses pasti, dan engkau telah mempersiapkannya.
Saya kagum,” kembali perempuan itu hanya mampu diam, terlihat kerling bola
matanya yang teduh sungguh membuat jantung ini berdebar seakan mencoba untuk
menulusuri celah-celah yang ada dalam diri.
“Sebenarnya pria apa yang akan engkau cari bila diri ini tidaklah
kriteria yang engkau maksud?”
“Daku tidaklah memandang dari semua itu.”
“Lantas seperti apa pria tersebut?”
“Mohon Abang jangan terlalu memaksa saya. Saya tak senang bila Abang
berucap seperti itu.”
“Maafkan Nisa, Abang tak bermaksud seperti yang Nisa ungkapkan.”
“Tak apa Abang, manusia memang seperti itu. Tak luput dari kekhilafan.”
“Cobalah Nisa ungkapkan apa yang menjadi pertanyaan abang tadi.”
“Sebenarnya saya tidaklah bermuluk-muluk untuk mendapatkan seorang
pendamping yang jelas ia seiman.”
“Semudah itu engkau menginginkan seorang pendamping hidupmu?”
“Apa dan bentuk pria tersebut yang jelas mampu memberikan perlindungan
terhadap wanita yang disayanginya. Saya sangat merindukan pria tersebut. Tapi
sampai sekarang belum kunjung tiba. Ah, mungkin Tuhan akan memberikan sejarah
lain terhadap saya,” saya hanya mampu tersenyum kecil mendengar ungkapannya
“Semoga engkau akan mendapatkanya dalam waktu dekat,” lama saya mampu
berkomunikasi dengannya tanpa ada penyekat pecinta dan waktulah yang memisahkan
saya dengannya. Sampai saat itulah saya berbicang soal perasaan.
Tapi sepandai-pandainya tupai akhirnya jatuh juga. Begitu pula keadaan
saya akhirnya tak mampu untuk membendung perasaan. Saat itu langit mendung
gerimis turun mengawali derasnya hujan, saat itulah perasaan saya utarakan
padanya. Kira-kira seperti ini ungkapannya;
“Wahai Nisa...” saya mengawali ucapan itu dengan hati bergetar.
Sebenarnya saya tahu dari kerling bola matanya yang mengisyaratkan bahwa
sesungguhnya beliau maksud dengan apa yang saya ungkapkan.
“Jika sekiranya ucapan ini yang keluar adalah yang baik itu semata-mata
karena datang dari Allah, dan jika sekiranya yang keluar dari mulut ini yang
jelek maka itu datang dari diri pribadi. Maka dengan segala kerendahan hati,
saya mencoba untuk mengutarakan isi hati yang sekian lama semakin bergejolak,
bagaikan gunung yang hendak meletus,” saya terdiam kehabisan kata-kata.
“Sungguh, saya bagaikan seorang musafir yang kehausan mencari kesejukan
air,” saya mengela nafas, tak tahu ada apa dalam gerangan ini.
“Demi Allah sungguh ini di luar dugaan saya, mengutarakan isi hati ini.
Andai engkau menerima cintaku maka saya akan bersyukur. Tapi jika sekiranya
sebaliknya, rasa cinta ini engkau tolak maka sebagai pria saya akan menerimanya
pula, karena itu adalah suatu resiko terhadap saya,” terlihat manik bola
matanya sangat teduh, seteduh pertama kali saya memandangnya sekan menelusuri
kebenaran dalam hati ini.
“Senekad itukah dirimu?” saya terdiam.
“Apakah dalam hatimu hanya satu gadis yaitu saya?” sungguh pertanyaan
yang diluar dugaan saya.
“Semoga kejujuranmu, masih engkau junjung, Abang”
“Apakah engkau ragu Nisa terhadap nalar cintaku ini?”
“Ya,” tegas ia berucap
“Tidakkah engkau melihat tatapan dan cara memandangku terhadap wajahmu.
Insyaallah dalam hatiku hanyalah engkau, gadis yang selalu saya bayang dalam
setiap lamunan,” mungkin itulah kata dusta pertama yang terlontar mulut ini
untuk perawan yang lugu itu, hanya untuk mendapatkan sebuah keutuhan dari
percikan asmara yang ia punya.
“Saya paham dengan semuanya.”
“Lantas?”
“Apakah engkau sudah memikirkan panjang lebar, kelak kita sudah
bersatu?” saya mengernyitkan kening
“Saya tak paham apa yang Nisa maksud!”
“Apakah engkau tahu dalam perbincangan antara dua lawan jenis yang
berbeda yang ketiganya adalah setan?” saya tersontak dengan perkataannya,
sungguh hati ini pun kecewa dengan kata-katanya, walaupun dalam raut muka saya
sangatlah berbeda dengan hati ini. Dia tersenyum seakan menang dalam pergumulan
perasaan, sementara saya bagaikan pencuri ketangkap basah. Saya tertunduk.
“Maafkan saya Abang Husein, bukan berarti saya tidak akan berteman
kembali dengan engkau, justru andai engkau menganggap saya sebagai kawan, saya
akan senang sekali. Kuharap Abang mengerti dengan keadaanku.”
“Engkau tidak menginginkan bersatunya asmara ini?”
“Demi kebaikan kita berdua,” saya tertunduk lesu bagai kapas kebasahan,
pucat pasi bak seonggok daging yang tak bertulang, dan langit saat itu seakan
runtuh. Mungkin seperti inikah Muzdalifah mengiba padaku? Memohon akan
kemurahan hati yang seakan retak oleh perempuan yang sangat melindungi jiwaku
itu.
Saya lewati hari-hari tanpa ada rasa sekalipun, makan tak enak,
tidurpun tak nyenyak sungguh perbuatan yang sangat tolol, tapi inilah yang
sekarang kurasakan. Gelisah, kacau menginginkan kehadiran perempuan itu. Dalam sekilaspun
bayangan Muzdalifah membekas dalam pelupuk ingatan. Sudahlah, mungkin beliau
hanyalah menginginkan yang terbaik lebih dariku, tapi hati ini pun tak akan
menyerah untuk melakukan hal yang sama.
* * *
Seminggu kemudian.... saya memberanikan menulis surat kepada Nisa,
kira-kira seperti ini pesan singkat itu kutulis;
Teruntuk Nisa
Nisa, maafkan bila pagi itu
perkataanku terlalu menyinggung perasaanmu. Perlu engkau tahu andai sekiranya
engkau mengerti saat ini. Jasad ini sangat merintih akan kehadiranmu, mungkin
akan seperti ini bila engkau tidak memberikan suatu jawaban yang membuat hati
tenang. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Cobalah, berpikir teruntuk
seorang yang hina ini, kuyakin hati kecilmu menginginkan sebagai yang saya
pinta padamu.
Nisa, sekali lagi daku memohon
kerendahan hati bila berkenan dalam Ahad ini, daku tunggu engkau di masjid itu.
Semoga hatimu hanya untukku
Yang
selalu merindukanmu Husein
Dengan hati berdebar saya pun memberanikan diri untuk mengungkapkan
kembali dengan berbagai dalih. Menghalalkan segala cara pun untuk
mendapatkannya saya lakukan, walau sekalipun dengan dalil atau dengan hukum
Tuhan bahwa saya akan membahagiakannya dan tak akan menyakitinya.
Sore itu langit cerah jingga di ufuk barat mulai menyingsing. Saya menunggu
lebih awal dari waktu yang sudah dijanjikan. Serasa lambat waktu yang berputar,
gelisah akan hadirnya seseorang, dan tibalah seseorang yang daku harapkan itu.
Beliau mengenakan pakaian sederhana bermotif kembang-kembang berwarna cerah
agak beladus dan berkerudung hitam pekat. Dari kejauhan senyumnya yang menawan
menghiasi alam jagat ini. Alhamdulillah akhirnya dia pun datang juga dan
hadirlah dia di depanku. Saya rasa bukan itu yang ia niatkan sebagaimana niatan
dalam hati ini.
“Terima kasih Nisa, engkau telah menepati janjiku,” beliau tersenyum.
Dia duduk di sebelahku agak berjauhan, saya mengerti dengan semuanya.
“Kuharap engkau tidaklah mengharap yang sangat besar terhadapku Abang,”
“Saya mengerti,” sebuah kata yang sangat membuat diri lemah di hadapannya,
seolah jasad ini tidaklah berguna ada dalam dunia ini. Biarlah, apa yang akan
ia ungkapkan akan saya terima dengan lapang dada.
“Telah daku pikir-pikir selama waktu yang cukup bagiku, ternyata engkau
masih teguh dalam memperjuangkan hatiku untuk jadi milikmu,” dia berhenti dari
pembicaraannya
“Hari ini jika sekiranya engkau
berkata sebagaimana pertama daku utarakan, saya akan terima dan akan
melupakanmu untuk selamanya.”
“Engkau pesimis Abang?”
“Tidak, apalagi yang harus daku lakukan untuk menyakinkan bahwa
sesungguhnya diri ini sangatlah sungguh-sungguh terhadapmu, Nisa”
“Benar, engkau akan menerima keputusanku sekarang ini?”
“Bila, keputusanmu final. Saya akan menerima dengan lapang dada.”
“Engkau akan sengsara bila itu yang membentuk karaktermu.”
“Sudahlah. Nisa, sekiranya engkau mengerti waktu tangan ini
menggoreskan pena sangat bergetar kencang hati seakan tiada berujung hidup ini
tanpa jawaban ‘Ya’ darimu.”
“Sungguh engkau sebagai seorang yang pemuja asmara. Kuharap engkau
tidak menyia-nyiakan sebuah ucapan manismu itu.”
“Daku tak maksud dengan ucapanmu. Daku tahu apa yang sekarang akan
engkau lontarkan sebagai jawabannya. Jadi sekiranya engkau tak akan menerimaku
kuharap engkau jangan berbelit dalam berdalih, daku sudah terlalu letih
menunggu Ahad ini.”
“Abang Husein, maafkan Nisa. Sehari setelah menerima surat darimu
sungguh letih tubuh ini, engkau sungguh pejantan yang tak mengenal lelah dari
keteguhan hatimu. Semoga apa yang engkau ucapkan dari sebelumnya adalah sebuah
janji yang akan engkau tepati dan tak akan pernah engkau ingkari untuk
selamanya,” saya terdiam, entah apa yang diungkapkan perawan itu sungguh
pikiran ini sudah terlalu kacau untuk menelaahnya.
“Abang maukah engkau berjanji hanya untuk memperteguh keyakinan hati
ini kelak andai kita bersatu?”
“Maksudmu, engkau akan menerima kehadiran cintaku ini?” Nisa tidak
menjawab hanya anggukan kepala yang daku tangkap dari isyarat yang kupahami.
“Ya, Nisa. Abang berjanji tidak akan menyia-nyiakanmu walau barang
sekejap pun.”
“Benarkah Abang?”
“Insyaallah?” saya tersenyum haru
“Nisa, engkau juga merindu sebagaimana diri ini merindu terhadapmu?”
tanyaku, Nisa hanya menganggukan kepala. Ya Allah sungguh bahagia hati ini dia
juga merasakan apa yang daku rasakan.
“Gonjangan jiwa itu terlalu besar saat engkau berkata merindu
terhadapku, Abang. Sungguh tiada berdaya ketika itu, ingin rasanya menjerit
bahwa diri ini sebahagia yang engkau utarakan.”
“Benarkah itu?”
“Ya,” Nisa tersenyum kecil
“Andai sekiranya Abang mengerti sebelumnya, mungkin takkan Abang
sia-siakan. Namun, tak ada kata terlambat untuk tetap berpegang teguh pada
ucapan sebelumnya.”
“Abang sayang engkau Nisa.”
“Ah, Abang seperti pemuda modern saja berucap penuh dengan ungkapan
romantis. Abang bukan seorang yang pujanggakan? Atau sudah mempunyai bakat dari
sebelumnya?” Nisa tersenyum, saya pun demikian.
“Tak apalah, teruntuk seorang yang Abang sayangi. Tak ada rugikan?”
“Terima kasih Abang, semoga ucapan Abang adalah sebuah ikrar untuk
selalu menyayangi Nisa selamanya, sampai kiamat tiba.”
“Insyaallah Nisa...” hati kami berdua seakan memberikan suatu dorongan
diantara kalbu masing-masing. Memberikan kasih sayang, memberikan suatu didikan
yang untuk pituah agar tak lalai dalam mengarungi dunia fana ini.
“Abang, saya hendak pulang dulu ya. Hari sudah siang, Insyaalah kita
bertemu kembali di Ahad lusa.”
“Ya, hati-hati dijalan, rindukanlah selalu Abangmu ini Nisa.”
“Assalamu’alaikum,” Nisa pun berlalu perlahan dari pandanganku dengan
memberikan senyuman sebagai hadiah dari bersatunya hati kami.
“Wa’alikumussalam,” ucapku dalam hati.
* * *
Akhirnya dengan kata-kata, Nisa pun luluh dengan bahasa cinta
pujanggaku. Saat itu juga ucapan ‘Ya’ untuk menerima cinta terlontar dari mulut
mungilnya.
Ya Tuhan betapa bahagia dan senangnya hati kala itu. Di depan masjid
itu, semua asmara yang terlontar menjadi saksi bisu yang tak akan saya lupakan
barang setahun, sewindu, bahkan seabad sealipun sampai maut menjelang.
Bila Tuan dan Nyonya melihat raut muka saya saat itu, sungguh merah
padam kelihatan dikarenakan sungguh terpesona hati ini dibuatnya. Betapa agung
karunia dari Allah, semoga ini adalah sebaik-baik amal yang akan daku ecap dan
bukanlah sebuah bencana malapetakan yang akan menjadi onak dalam dada ini.
Namun saya sadar dan yakin, dijauh sana dari kebahaagianku ada
seseorang yang menjerit dalam rintih akan hadirnya jasad ini, berharap jasad
yang setelah sekian lama tak kunjung tiba bersama asmara yang merindu.
Muzdalifah, ya perempuan yang telah menjadi tunanganku, dan menjadikanku
sebagai belahan jiwanya. Berdosakah diri ini berdusta pada Nisa tidak berkata
jujur, tentang pertunanganku itu? Ah, tak perlu saya risaukan sesungguhnya
dunia adalah panggung sandiwara, sesuatu ada yang mengaturnya.
Hari ini, detik ini akan saya tutup dulu untuk sementara waktu episode
asmara bersama Muzdalifah, dan akan saya buka kembali lain waktu bila Allah
mengijinkan dalam karunia yang berbeda. Sekarang saya buka lembaran baru yang
cerah mengarungi asmara merindu bersama gadis Priangan itu.
Biarkanlah hanya waktu yang menjawab...
Biarlah terpaut hati ini bersama Nisa tanpa ada yang harus menjadi
tumbal dari keserakahan adat. Kuharap keberadaanku dengan Nisa menjadi ikatan
yang utuh untuk selamanya. Dari ucapan itu semakin dekatlah diri ini dibuatnya.
Hari-hari kini menjadi indah dan mempesona. O, serasa besar karunia yang
diberikan Allah terhadapku, kuyakin ini semua bukan tanpa maksud Allah mengutus
Nisa teruntukku. Semoga ini langkah awal untuk menjadi sebuah ladang amal bagi
hamba yang lemah ini.
0 Response to "SESAL # 9 Dimabuk Asmara"
Post a Comment