SESAL # 9 Dimabuk Asmara


Kurang lebih dari lima tahun saya menimba ilmu di kota pelajar, selama itu pula saya belum pernah menginjak kembali ke tanah kelahiranku. Saya belum pernah melihat keadaan tanah disana. Keadaan kampung yang membesarkan jiwa raga ini, sahabat-sahabat sekolah dahulu yang lama tak jumpa pun saudara-saudara dari sepupu, kerabat ibu maupun kerabat dari ayah. Namun ayah dan ibu hanya mengunjungiku selama itu, hanya satu kali saja.

Kejenuhan pun mulai merasuk dalam alam pikiranku....

Rasa rindu terhadap Muzdalifah pun sesekali membekas dalam pelupuk khayalan. Secepat kilat pun saya menghapusnya, dengan menyibukkan diri dalam renungan membaca buku serta berbagai kegiatan yang memenuhi pikiran ini, dengan tidak memikirkan segala bentuk perenungan pengkhayalan. Dari berbagai upaya pula akhirnya kenangan bersama Muzdalifah hilang bersama kesibukan yang hadir silih berganti. Inilah yang kuinginkan. Akankah bayang-bayang Muzdalifah hilang bersama letihnya pikiran dari kesibukan? Mungkin saya harus melewati sebagaimana hidup dalam diri ini, artinya melewati berapa tahun yang lama sejak saya mengenal Muzdalifah. Mungkin itu mampu melewati hari-hari dari bayangannya. Tapi bagaimana berproses mampu bertahan, sedangkan diri ini terlalu payah untuk mengenangnya. Ah, rasanya terlalu letih saya bergelut dengan perasaan absurd itu. Adakah jalan untuk melewati hari-hari tidak bersama bayang-bayang Muzdalifah? Sewaan baru pun tak menjamin diri ini lari menjauh dari selubung rindunya, atau saya harus mengenal perempuan lain yang mempunyai karakter lebih? Mungkin benar juga! Biar hari-hari lebih memperhatikan diri ini. Biar bayangan Muzdalifah hilang bersama jasad, melewatinya dengan perempuan lain. Mungkin salah satu cara agar diri ini tidak memiliki sesuatu rasa terhadap Muzdalifah yaitu saya harus memiliki pujaan yang lain. Saya tersenyum sendiri mempunyai niatan seperti itu. Sepicik itukah diri ini? Ah, bukan ini adalah ikhtiar dari jalan yang saya tak pahami. Semoga dengan niatan seperti ini, kenangan yang terdahulu hilang bersama keindahan yang akan saya ecap bersama perempuan yang saya inginkan.

Awal niatan itu, diri ini pun sangat berbeda dengan sebelumnya. Pakaian pun necis, bau parfum saya tempelkan pada tubuh ini, menyebar bersama kesenangan yang akan kuraih setelah itu. Serasa saya nampak gagah bila melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya. Namun niatan itu tak tahan berapa lama, hanya mampu bertahan sebulan lamanya. Ternyata diri ini untuk mendapatkan seorang pendamping pengganti ingatan dari Muzdalifah sangatlah sulit, tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Kubiarkan saja diri ini melangkah mengalir apa adanya sesuai dengan seperti biasanya sebelum saya mempunyai niatan seperti itu. Proses seperti itu pun cukup lama saya alami, dua bulan lebih mengalami hal semacam itu, namun kulaluinya hanya biasa-biasa saja tanpa ada rasa beban. Dari tidak mempunyai niatan bulat itu, saya tidak lagi terpikirkan akan mendapatkan seseorang yang akan menghiburku dari lamunan panjang. Mungkin inilah salah satu keunikan dalam asmara. Mengejar dengan susah payah, tak dapat kuraih, tak mengejar dengan susah payah ternyata keadaan itu berubah dengan hadirnya seorang perawan yang kurasakan sangat menentramkan dihati.

Akhirnya rasa merindu pun dan pencinta saya rasakan dalam kalbu ini. Serasa tak percaya daku mempunyai perasaan pecinta itu. Ah, mungkin ini rasa pecinta yang dimabuk asmara, daku merasakan seperti itu tapi bukan terhadap Muzdalifah.

Pada seorang yang kuanggap sebagai anugerah Ilahi yang tak mungkin kubayar dengan harga mahal. Beginilah ceritanya;

* * *

Awal percintaan....

Sebagai manusia biasa saya pun sadar, bahwa saya diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan normal. Itu tak mungkin saya pungkiri. Kehadiran asmara sebagai anugerah dari Allah masih saya agungkan dalam kancah perasaan kalbu ini, tapi semua itu bukan untuk belenggu adat melainkan kreasi yang kreatif dari rasa syukur terhadap yang empunya alam ini.

Hati ini masih memiliki rasa kasih sayang, memiliki rasa pecinta layaknya pemuda masa kini, yang sangat bahagia bilamana perasaan itu disambut dengan tidak bertepuk sebelah tangan. Artinya cinta yang ia agungkan mendapat sambutan dengan senyuman yang merekah bak merekahnya kuntum bunga dimusim penghujan. Ini pun saya rasakan pada seorang perempuan berkerudung yang sungguh membuat hati terpaut siang dan malam akan kehadiran bayangannya. Mungkin samar bayangan yang akan kuraih dengan sabar dan proses yang cukup lama. Perempuan berwajah ayu itu adalah mojang  Priangan. Gadis keturunan suku Sunda, bapaknya asli dari Tasikmalaya ibunya dari Serang, Banten. Ia hijrah ke Bandung mengikuti jejak orangtuanya yang dinas di daerah tersebut. Saya jatuh hati pada perempuan itu. O, betapa bahagia rasanya kalbu ini dibuai dengan rindu dendam yang terselubung akan hadirnya wajah baru yang akan saya ecap esok atau lusa menjadi milik hati ini. Kusingkirkan bayangan Muzdalifah, ditelungkup empedu yang kupunya, bukan berarti diri ini merendahkan perasaannya. Melainkan agar hati ini tidak merasa khawatir akan kerinduan yang dibuat oleh Muzdalifah sendiri. Berdosa? Biarlah saya tanggung. Apapun resiko yang akan kuperbuat saat ini, semoga adalah sejalan dengan aturan Allah sebagai Tuhan diri ini.

Bukan tanpa maksud saya melakukan perasaan ini agar terpaut bersama dengannya. Pertama, sebagai alasan saya mempunyai rasa padanya adalah beliau sangat menghargai saya, menghormati saya, bahkan menganggap saya sebagai orang yang dituakan. Ah, mungkin itu alasan yang klasik yang dibuat bagi orang yang sedang dimabuk asmara, yang akan menghalalkan segala cara agar mendapatkan sesuatu yang ia inginkan, seperti diri ini. Ya, kadang keangkuhan sangatlah egois, mereka tidak tahu dan tanpa sadar mereka sedang memupuk bara api yang akan membakar jasad kelak di akherat nanti. Mungkin termasuk diri ini, semoga ini tidaklah terjadi terhadapku.

Wajah perempuan itu tidak cantik hanya saja menawan dan enak dipandang. Raut mukanya mirip sekali dengan Astri Ivo artis ternama Indonesia. Pipinya kemerah-merahan, kalau boleh diibaratkan dan tidak berlebihan beliau bagai Siti Khadijah Humaerah  panggilan sayang Rasulallah padanya. Hati ini pun sejuk dan teduh bilamana memandangnya. Sungguh luluh hati ini dibuatnya. Sangatlah wajar bila semua pemuda yang ada di dunia mengharapkan perempuan yang ia cintai mempunyai paras kecantikan melebihi dari perempuan-perempuan yang lain, termasuk juga diri ini. Sebagaimana sabda Rasulallah bahwa sesungguhnya sebagai pria haruslah memilih perempuan sebelum kita menikahi, kriteria perempuan itu terlihat dari empat sudut. Pertama kaya, kedua kecantikannya, ketiga keturunannya, dan yang terakhir adalah agamanya. Tapi kebanyakan pria yang dicari dan dilihat dari pandangan pertama adalah kecantikannya, ini sangatlah wajar dan sangatlah normal bagi lelaki. Semuda dan selugu yang dihadapi oleh Adam tatkala melihat diri Hawa yang molek. Namun tak banyak pula pria yang mengejar perempuan sebab dari kekayaannya. Diri ini adalah lelaki normal, lelaki yang penuh dengan hawa nafsu. Wajar bila seandainya perempuan itulah yang saya perhatikan secara khusus. Semoga dalam menyelaminya adalah sebagai kriteria yang diharapkan oleh Rasulallah.

Kuakui Muzdalifah sangatlah payah bila dibandingkan dengan perempuan yang kuanggap sebagai pelindung jiwa ini. Tapi semua ini tidaklah bermaksud untuk menyamakan arti dari ciptaan-Nya, sebab sebaik-sebaik ciptaan-Nya adalah sebaik akhlaknya. Semoga perempuan yang kumaksud secantik dengan hatinya pula.

Pertemuan saya dengannya sangatlah sederhana...

Berawal dari pengajian rutin tiap hari Ahad pagi pukul setengah enam sampai pukul sepuluh setengah di majid Agung di daerah dekat alun-alun kaler saya berjumpa dengannya. Itulah pertemuanku mengenalnya. Saya melakukan pengajian ini semenjak setelah pindah dari sewaan terdahulu. Hati merasa tenang bila mendengarkan petuah-petuah dari seorang yang dianggap sebagai yang di tuakan, tapi yang lebih menyemangati hati ini adalah perempuan itu. Jujur saya akui semuanya.

Saya sering menghadiri bersama teman sesewaan atau sendiri. Tetapi kebanyak saya hadir sendiri, sebab mereka kadang lebih memilih menghabiskan waktu libur untuk berleha-leha di dalam kamarnya, tetapi tidak untuk diri ini. Biasanya pengajian itu di dilakukan penceramah oleh tokoh-tokoh dari kota tersebut, dan dihadiri paling banyak lima belas orang sebab tempat dan waktu memang sangat terbatas.

Merasa nyaman dengan menghadiri pengajian itu, akhirnya kulakukan dengan sangat rutin. Biarlah hari-hari yang seharusnya untuk memanjakan diri, harus kurelakan dengan menyirami siraman rohani. Mungkin ini lebih baik ketimbang leha-leha di dalam kamar dengan buaian lamunan yang tak menentu.

Dari pengajian itulah saya mendapat dua keuntungan, bukan berarti awal saya mengaji mempunyai niatan seperti itu, tapi semua ini adalah karunia dari Allah untuk hambanya yang Insyaallah taat beribadah. Keuntungan itu adalah yang pertama ilmu dan yang kedua adalah cinta. Cinta sebagai penyemangat hambanya yang selalu bersyukur akan karunia yang telah diberikan-Nya. Alhamdulillah Allah pun mengijinkan saya untuk menyanjung ciptaan-Nya. Bahkan lebih untuk meraih kalbunya dan akan kujadikan sebagai pendamping hidup seia sekata, kelak bila ia bersedia menjadi milikku seutuhnya. Sungguh ini di luar dugaan kemampuan saya sebagai manusia biasa akan hadirnya asmara itu, akan kusimpan baik-baik sebagaimana menyimpan sesuatu yang kuanggap berharga.

Hati ini pun tak bisa berkata dusta bahwa sesungguhnya jikalau Muzdalifah mengetahui perasaan ini kepada perempuan itu, betapa hatinya terguncang dan sangat teriris dan mungkin akan mengiris urat nadinya sebagai nazar yang ia ucapkan terdahulu. Biarlah, kesalahan sejarah akan terulang kembali. Maafkan Abang, engkau hanya tumbal dari keangkuhan adat turun temurun yang diciptakan keangkuhan manusia. Semoga engkau tabah menjalani hidup tanpa harus menemukan jasad ini dan semoga kalbu ini tidaklah berpaling kembali, hanya pada engkau seorang walaupun itu bisa dikatakan tidak akan mungkin terjadi, tapi hidup hanyalah sebuah panggung sandiwara yang tidak akan tahu menahu dari yang kita niatkan. Hanya Allah-lah yang mempunyai skenario sampai kita menemukan ajal.

Sungguh mempesona, apa yang dikatakan orang tua memanglah benar, bahwa pandangan pertama memanglah mengesankan. Walau dalam aturan agama memandang pertama adalah tidaklah diperbolehkan andai dilakukan oleh seorang yang bukan muhrimnya. Tapi apakah saya akan mempungkiri bila perempuan itu berada dalam posisi menghadap pandanganku? Saya rasa semua mahluk akan merasa merugi bila pandanganya dialihkan dalam pandangan lain, ini yang kurasakan sebagai seorang yang lemah dalam iman. Kurasa Allah pun akan memberikan rasa ma’lum untuk seorang mahluk yang sangat lemah dihadapan-Nya seperti saya ini.

Ah, tak bisa saya bayangkan betapa saya bahagia kala itu. Bertatap wajah, mencuri pandang dengan mahluk ciptaan Allah yang sempurna, menemukan gadis sepertinya dalam sebuah pengajian rutin. Saya rasa bila Tuan merasakan apa yang terjadi pada diri ini, mungkin Tuan akan berucap serasa pendek benar waktu luang dari pengajian itu. Kira-kira seperti itu yang ada dalam kalbu picik ini. Semoga ini bukanlah sebagai bahan bakar untuk nanti menghanguskan jasad ini melewati alam yang disebut hisab itu. Ampuni diri ini ya Allah...

Yang paling membuat hati ini sukar untuk tidak mengatakan rasa sayang padanya adalah beliau seorang yang patuh dalam agama, taat beribadah, pandai mengaji, pendek kata beliau seorang wanita solehah. Ya Allah semoga beliau menjadi pendamping hidupku dalam bahagia maupun susah. Tapi, apakah perempuan seayu beliau tidak ada yang memilikinya? Saya rasa tidaklah mungkin, pastilah banyak pejantan yang lebih menawan menawarkan jasa untuk menggaet hatinya, termasuk diri ini. Mungkin saja ia terlalu menjaga jarak terhadap pria-pria yang tak semestinya ia ladeni, atau mungkin para pria sangatlah terkesima atas budi pekerti luhur yang dipunya oleh perawan itu. Entahlah.

Hati yang penasaran ini saya utarakan dalam ungkapan kiasan yang sangat mulia, dengan tanpa maksud menyinggung kalbunya yang paling dalam. Kira-kira seperti ungkapannya;

“Sungguh bahagia, seorang pejantan yang dapat meluluhkan hatimu. Siapakah gerangan pria sejati itu yang kiranya ada di hatimu, Nisa? Bolehkah pria hina ini mengetahuinya?” wanita ayu itu diam terpaku, saat pengajian usai dan perbincangan dimulai di depan serambi masjid itu.

“Saya tak berani untuk memikirkan hal semacam itu.”

“Kenapa?” tanyaku

“Jika sekiranya hal semacam itu melekat dalam hati ini, saya yakin orangtuaku akan merasa kecewa dengan tingkahlaku saya.”

“Bukankah bila engkau bahagia, orangtuamu pasti akan bahagia pula?”

“Ya, tapi bukan itu yang harus kuperbuat dari kebahagiaan!”

“Salah satu diantara kebahagiaan itu adalah anugerah dari Allah, yaitu rasa mencintai.”

“Bukan itu yang saya maksud, Abang Husein. Memang salah satu diantara anugerah yang diberikan oleh Allah sebagaimana engkau maksud, tapi bukan itu yang harus tepat untuk saya pilih.”

“Lantas?”

“Abang Husein, banyak sekali yang harus saya tempuh. Rasa asmara itu bukan suatu tujuan utama. Walaupun tanpa saya pungkiri bila saya mengingkari anugerah-Nya adalah perbuatan yang sangat bodoh, tapi haruskah saya terjerumus hanya karena dalih seperti itu?” saya manggut-manggut

“Saya yakin, walaupun saya tidak mengejar pencinta, suatu saat pencinta itu akan hadir dalam kalbuku, entah esok atau pun lusa nanti.” ungkapnya penuh dengan keberanian yang lugas dan kejujuran yang tulus.

“Jadi engkau percaya dengan hadirnya asmara sebagai anugerah?”

“Ya, saya sangat percaya.”

“Engkau?”

“Seperti yang engkau maksud.”

“Anugerah itu haruslah kita sentuh dengan perasaan yang sangat mulia.”

“Saya tak maksud apa yang engkau ucapkan, Nisa?”

“Ya, anugerah yang engkau maksud itu adalah asmara. Saya yakin bila asmara itu hadir yang datang hanyalah nafsu semata.”

“Ah, tidak semua. Itu hanya ketakutanmu saja.”

“Abang Husein, asmara itu adalah indah. Maka tak perlu keindahan itu engkau tambah-tambah dengan nuansa lain nanti akan mengurangi keindahan itu sendiri, sebab yang berlebihan itu hanyalah termasuk sahabat setan. Itu yang kumaksud.”

“O, andai dalihmu seperti itu saya setuju. Memang asmara kadang diartikan sebagai kebebasan dari ekspresi daya khayal kita yang terlampau tipis untuk kita sekat, sebagaimana kita lihat dari dunia Barat. Anak muda yang masih belia tidak bercinta dalam artian tidak bersetubuh adalah seorang yang dianggap tabu. Maka jangan heran bila sebuah keperawanan adalah sesuatu yang sangat murah untuk kita temui diantara deretan yang menawarkan jasa seperti itu.”

“Sebenarnya yang dimaksud dengan asmara antara pemuda dan pemudi itu seperti apa menurut abang sendiri?”

“Ah, andai sekiranya saya dapat menjelaskan antara percikan yang diberikan Allah terhadap mahluknya adalah suatu keinginan yang tak mungkin dielakan oleh yang dirasakannya.”

“Maksudnya?”

“Ya, asmara itukan adalah suatu bentuk perselingkuhan dari pemikiran kita. Tatkala kita tidak mendapatkan suatu perhatian dari orang-orang terkasih, tidak ada perhatian dari orangtua, dari kerabat, sahabat, atau terlalu jenuh dengan pemikiran yang terbelenggu dari suatu pertalian yang dianggap biasa yang sebebenarnya itu adalah sebuah momok yang harus dihapus.”

“O, begitu ya. Cukup membuat hati ini menjadi suatu yang menerima pengetahuan yang baru,” saya memandang wajah ayu itu. Terlihatlah kemerahan pipinya dari tatapanku seakan tiada ia melakukan hal sepertiku.

“Nisa, bila sendainya yang engkau maksud anugerah itu hadir dalam sekejap, apakah engkau akan pungkiri sebagaimana dalihmu itu?”

“Andai beliau akan menjaga dan menghargai diri ini, kenapa tidak?!” kulihat kerling bola matanya seakan menyimpan sesuatu pertanyaan yang tak bermaksud.

“Saya percaya walaupun saya tidak mencari pejantan, suatu saat pejantan itu akan hadir dengan sendirinya.”

“Betul Nisa, pencinta itu akan hadir dalam kalbumu.”

“Maksudmu?”

“Pejantan itu sudah hadir, dan sekarang beliau ada di hadapanmu,” perempuan itu menatap tajam seakan ingin mengupas kalbuku. Dia tersenyum nyinyir

“Nisa, dia sedang merintih untuk sekedar percikan embun pagi hinggap dalam kalbunya, dengan harapan embun pagi itu akan menyerap dan menyuburkan cita dan cintanya,” kembali gadis berkerudung hitam polos itu diam, seakan ada sontakan yang sangat dahsyat bagaikan badai tsunami

“Saya tak bermaksud untuk mempengaruhi kalbumu, tapi ini memang suatu bukti bahwa saya adalah pencinta yang datang seperti engkau maksud, Nisa” kembali merenung dalam sekejap pun beliau melontar dengan lugas dan berarti.

“Saya paham, apa yang dikatakan oleh Abang Husein. Sungguh hati ini pun merasakan getaran aneh saat pandangan Abang menusuk dalam kalbuku ketika pengajian itu, dan ini pun di luar dugaan saya. Mata Abang terlalu tajam untuk sekedar memandangku, saya takut!”

“Takut?”

“Ya, saya takut akan hadirnya perjumpaan ini. Bukan berarti saya seorang yang pesimis,” dia menunduk, menghentikan ucapan seakan ada yang menghalang ditenggorokannya.

“Saya tak maksud ucapanmu! Nisa”

“Hanya perpisahanlah yang akan datang berikutnya setelah pertemuan hadir dalam kalbu dan setelah semuanya itu terjadi, kepedihan dan kebencianlah yang akan hadir dalam akal picik kita,” saya tersenyum kecil

“Memanglah tidak salah apa yang engkau ucapkan semuanya. Dalam perjumpaan pastilah akan hadir perpisahan,” dia menatapku sayu

“Tidak, dalam kehidupan adalah suatu tragedi. Sebab kehidupan itu sendiri adalah proses pasti menuju tragedi. Itu tak akan dipungkiri oleh setiap insan. Perpisahan dengan keluarga tercinta, orang terkasih, kawan tersayang, semua itu akan tiba bersama proses pasti, dan engkau telah mempersiapkannya. Saya kagum,” kembali perempuan itu hanya mampu diam, terlihat kerling bola matanya yang teduh sungguh membuat jantung ini berdebar seakan mencoba untuk menulusuri celah-celah yang ada dalam diri.

“Sebenarnya pria apa yang akan engkau cari bila diri ini tidaklah kriteria yang engkau maksud?”

“Daku tidaklah memandang dari semua itu.”

“Lantas seperti apa pria tersebut?”

“Mohon Abang jangan terlalu memaksa saya. Saya tak senang bila Abang berucap seperti itu.”

“Maafkan Nisa, Abang tak bermaksud seperti yang Nisa ungkapkan.”

“Tak apa Abang, manusia memang seperti itu. Tak luput dari kekhilafan.”

“Cobalah Nisa ungkapkan apa yang menjadi pertanyaan abang tadi.”

“Sebenarnya saya tidaklah bermuluk-muluk untuk mendapatkan seorang pendamping yang jelas ia seiman.”

“Semudah itu engkau menginginkan seorang pendamping hidupmu?”

“Apa dan bentuk pria tersebut yang jelas mampu memberikan perlindungan terhadap wanita yang disayanginya. Saya sangat merindukan pria tersebut. Tapi sampai sekarang belum kunjung tiba. Ah, mungkin Tuhan akan memberikan sejarah lain terhadap saya,” saya hanya mampu tersenyum kecil mendengar ungkapannya

“Semoga engkau akan mendapatkanya dalam waktu dekat,” lama saya mampu berkomunikasi dengannya tanpa ada penyekat pecinta dan waktulah yang memisahkan saya dengannya. Sampai saat itulah saya berbicang soal perasaan.

Tapi sepandai-pandainya tupai akhirnya jatuh juga. Begitu pula keadaan saya akhirnya tak mampu untuk membendung perasaan. Saat itu langit mendung gerimis turun mengawali derasnya hujan, saat itulah perasaan saya utarakan padanya. Kira-kira seperti ini ungkapannya;

“Wahai Nisa...” saya mengawali ucapan itu dengan hati bergetar. Sebenarnya saya tahu dari kerling bola matanya yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya beliau maksud dengan apa yang saya ungkapkan.

“Jika sekiranya ucapan ini yang keluar adalah yang baik itu semata-mata karena datang dari Allah, dan jika sekiranya yang keluar dari mulut ini yang jelek maka itu datang dari diri pribadi. Maka dengan segala kerendahan hati, saya mencoba untuk mengutarakan isi hati yang sekian lama semakin bergejolak, bagaikan gunung yang hendak meletus,” saya terdiam kehabisan kata-kata.

“Sungguh, saya bagaikan seorang musafir yang kehausan mencari kesejukan air,” saya mengela nafas, tak tahu ada apa dalam gerangan ini.

“Demi Allah sungguh ini di luar dugaan saya, mengutarakan isi hati ini. Andai engkau menerima cintaku maka saya akan bersyukur. Tapi jika sekiranya sebaliknya, rasa cinta ini engkau tolak maka sebagai pria saya akan menerimanya pula, karena itu adalah suatu resiko terhadap saya,” terlihat manik bola matanya sangat teduh, seteduh pertama kali saya memandangnya sekan menelusuri kebenaran dalam hati ini.

“Senekad itukah dirimu?” saya terdiam.

“Apakah dalam hatimu hanya satu gadis yaitu saya?” sungguh pertanyaan yang diluar dugaan saya.

“Semoga kejujuranmu, masih engkau junjung, Abang”

“Apakah engkau ragu Nisa terhadap nalar cintaku ini?”

“Ya,” tegas ia berucap

“Tidakkah engkau melihat tatapan dan cara memandangku terhadap wajahmu. Insyaallah dalam hatiku hanyalah engkau, gadis yang selalu saya bayang dalam setiap lamunan,” mungkin itulah kata dusta pertama yang terlontar mulut ini untuk perawan yang lugu itu, hanya untuk mendapatkan sebuah keutuhan dari percikan asmara yang ia punya.

“Saya paham dengan semuanya.”

“Lantas?”

“Apakah engkau sudah memikirkan panjang lebar, kelak kita sudah bersatu?” saya mengernyitkan kening

“Saya tak paham apa yang Nisa maksud!”

“Apakah engkau tahu dalam perbincangan antara dua lawan jenis yang berbeda yang ketiganya adalah setan?” saya tersontak dengan perkataannya, sungguh hati ini pun kecewa dengan kata-katanya, walaupun dalam raut muka saya sangatlah berbeda dengan hati ini. Dia tersenyum seakan menang dalam pergumulan perasaan, sementara saya bagaikan pencuri ketangkap basah. Saya tertunduk.

“Maafkan saya Abang Husein, bukan berarti saya tidak akan berteman kembali dengan engkau, justru andai engkau menganggap saya sebagai kawan, saya akan senang sekali. Kuharap Abang mengerti dengan keadaanku.”

“Engkau tidak menginginkan bersatunya asmara ini?”

“Demi kebaikan kita berdua,” saya tertunduk lesu bagai kapas kebasahan, pucat pasi bak seonggok daging yang tak bertulang, dan langit saat itu seakan runtuh. Mungkin seperti inikah Muzdalifah mengiba padaku? Memohon akan kemurahan hati yang seakan retak oleh perempuan yang sangat melindungi jiwaku itu.

Saya lewati hari-hari tanpa ada rasa sekalipun, makan tak enak, tidurpun tak nyenyak sungguh perbuatan yang sangat tolol, tapi inilah yang sekarang kurasakan. Gelisah, kacau menginginkan kehadiran perempuan itu. Dalam sekilaspun bayangan Muzdalifah membekas dalam pelupuk ingatan. Sudahlah, mungkin beliau hanyalah menginginkan yang terbaik lebih dariku, tapi hati ini pun tak akan menyerah untuk melakukan hal yang sama.

* * *

Seminggu kemudian.... saya memberanikan menulis surat kepada Nisa, kira-kira seperti ini pesan singkat itu kutulis;

Teruntuk Nisa

Nisa, maafkan bila pagi itu perkataanku terlalu menyinggung perasaanmu. Perlu engkau tahu andai sekiranya engkau mengerti saat ini. Jasad ini sangat merintih akan kehadiranmu, mungkin akan seperti ini bila engkau tidak memberikan suatu jawaban yang membuat hati tenang. Makan tak enak, tidurpun tak nyenyak. Cobalah, berpikir teruntuk seorang yang hina ini, kuyakin hati kecilmu menginginkan sebagai yang saya pinta padamu.

Nisa, sekali lagi daku memohon kerendahan hati bila berkenan dalam Ahad ini, daku tunggu engkau di masjid itu. Semoga hatimu hanya untukku
Yang selalu merindukanmu Husein

Dengan hati berdebar saya pun memberanikan diri untuk mengungkapkan kembali dengan berbagai dalih. Menghalalkan segala cara pun untuk mendapatkannya saya lakukan, walau sekalipun dengan dalil atau dengan hukum Tuhan bahwa saya akan membahagiakannya dan tak akan menyakitinya.

Sore itu langit cerah jingga di ufuk barat mulai menyingsing. Saya menunggu lebih awal dari waktu yang sudah dijanjikan. Serasa lambat waktu yang berputar, gelisah akan hadirnya seseorang, dan tibalah seseorang yang daku harapkan itu. Beliau mengenakan pakaian sederhana bermotif kembang-kembang berwarna cerah agak beladus dan berkerudung hitam pekat. Dari kejauhan senyumnya yang menawan menghiasi alam jagat ini. Alhamdulillah akhirnya dia pun datang juga dan hadirlah dia di depanku. Saya rasa bukan itu yang ia niatkan sebagaimana niatan dalam hati ini.

“Terima kasih Nisa, engkau telah menepati janjiku,” beliau tersenyum. Dia duduk di sebelahku agak berjauhan, saya mengerti dengan semuanya.

“Kuharap engkau tidaklah mengharap yang sangat besar terhadapku Abang,”

“Saya mengerti,” sebuah kata yang sangat membuat diri lemah di hadapannya, seolah jasad ini tidaklah berguna ada dalam dunia ini. Biarlah, apa yang akan ia ungkapkan akan saya terima dengan lapang dada.

“Telah daku pikir-pikir selama waktu yang cukup bagiku, ternyata engkau masih teguh dalam memperjuangkan hatiku untuk jadi milikmu,” dia berhenti dari pembicaraannya

 “Hari ini jika sekiranya engkau berkata sebagaimana pertama daku utarakan, saya akan terima dan akan melupakanmu untuk selamanya.”

“Engkau pesimis Abang?”

“Tidak, apalagi yang harus daku lakukan untuk menyakinkan bahwa sesungguhnya diri ini sangatlah sungguh-sungguh terhadapmu, Nisa”

“Benar, engkau akan menerima keputusanku sekarang ini?”

“Bila, keputusanmu final. Saya akan menerima dengan lapang dada.”

“Engkau akan sengsara bila itu yang membentuk karaktermu.”

“Sudahlah. Nisa, sekiranya engkau mengerti waktu tangan ini menggoreskan pena sangat bergetar kencang hati seakan tiada berujung hidup ini tanpa jawaban ‘Ya’ darimu.”

“Sungguh engkau sebagai seorang yang pemuja asmara. Kuharap engkau tidak menyia-nyiakan sebuah ucapan manismu itu.”

“Daku tak maksud dengan ucapanmu. Daku tahu apa yang sekarang akan engkau lontarkan sebagai jawabannya. Jadi sekiranya engkau tak akan menerimaku kuharap engkau jangan berbelit dalam berdalih, daku sudah terlalu letih menunggu Ahad ini.”

“Abang Husein, maafkan Nisa. Sehari setelah menerima surat darimu sungguh letih tubuh ini, engkau sungguh pejantan yang tak mengenal lelah dari keteguhan hatimu. Semoga apa yang engkau ucapkan dari sebelumnya adalah sebuah janji yang akan engkau tepati dan tak akan pernah engkau ingkari untuk selamanya,” saya terdiam, entah apa yang diungkapkan perawan itu sungguh pikiran ini sudah terlalu kacau untuk menelaahnya.

“Abang maukah engkau berjanji hanya untuk memperteguh keyakinan hati ini kelak andai kita bersatu?”

“Maksudmu, engkau akan menerima kehadiran cintaku ini?” Nisa tidak menjawab hanya anggukan kepala yang daku tangkap dari isyarat yang kupahami.

“Ya, Nisa. Abang berjanji tidak akan menyia-nyiakanmu walau barang sekejap pun.”

“Benarkah Abang?”

“Insyaallah?” saya tersenyum haru

“Nisa, engkau juga merindu sebagaimana diri ini merindu terhadapmu?” tanyaku, Nisa hanya menganggukan kepala. Ya Allah sungguh bahagia hati ini dia juga merasakan apa yang daku rasakan.

“Gonjangan jiwa itu terlalu besar saat engkau berkata merindu terhadapku, Abang. Sungguh tiada berdaya ketika itu, ingin rasanya menjerit bahwa diri ini sebahagia yang engkau utarakan.”

“Benarkah itu?”

“Ya,” Nisa tersenyum kecil

“Andai sekiranya Abang mengerti sebelumnya, mungkin takkan Abang sia-siakan. Namun, tak ada kata terlambat untuk tetap berpegang teguh pada ucapan sebelumnya.”

“Abang sayang engkau Nisa.”

“Ah, Abang seperti pemuda modern saja berucap penuh dengan ungkapan romantis. Abang bukan seorang yang pujanggakan? Atau sudah mempunyai bakat dari sebelumnya?” Nisa tersenyum, saya pun demikian.

“Tak apalah, teruntuk seorang yang Abang sayangi. Tak ada rugikan?”

“Terima kasih Abang, semoga ucapan Abang adalah sebuah ikrar untuk selalu menyayangi Nisa selamanya, sampai kiamat tiba.”

“Insyaallah Nisa...” hati kami berdua seakan memberikan suatu dorongan diantara kalbu masing-masing. Memberikan kasih sayang, memberikan suatu didikan yang untuk pituah agar tak lalai dalam mengarungi dunia fana ini.

“Abang, saya hendak pulang dulu ya. Hari sudah siang, Insyaalah kita bertemu kembali di Ahad lusa.”

“Ya, hati-hati dijalan, rindukanlah selalu Abangmu ini Nisa.”

“Assalamu’alaikum,” Nisa pun berlalu perlahan dari pandanganku dengan memberikan senyuman sebagai hadiah dari bersatunya hati kami.

“Wa’alikumussalam,” ucapku dalam hati.

* * *

Akhirnya dengan kata-kata, Nisa pun luluh dengan bahasa cinta pujanggaku. Saat itu juga ucapan ‘Ya’ untuk menerima cinta terlontar dari mulut mungilnya.

Ya Tuhan betapa bahagia dan senangnya hati kala itu. Di depan masjid itu, semua asmara yang terlontar menjadi saksi bisu yang tak akan saya lupakan barang setahun, sewindu, bahkan seabad sealipun sampai maut menjelang.

Bila Tuan dan Nyonya melihat raut muka saya saat itu, sungguh merah padam kelihatan dikarenakan sungguh terpesona hati ini dibuatnya. Betapa agung karunia dari Allah, semoga ini adalah sebaik-baik amal yang akan daku ecap dan bukanlah sebuah bencana malapetakan yang akan menjadi onak dalam dada ini.

Namun saya sadar dan yakin, dijauh sana dari kebahaagianku ada seseorang yang menjerit dalam rintih akan hadirnya jasad ini, berharap jasad yang setelah sekian lama tak kunjung tiba bersama asmara yang merindu. Muzdalifah, ya perempuan yang telah menjadi tunanganku, dan menjadikanku sebagai belahan jiwanya. Berdosakah diri ini berdusta pada Nisa tidak berkata jujur, tentang pertunanganku itu? Ah, tak perlu saya risaukan sesungguhnya dunia adalah panggung sandiwara, sesuatu ada yang mengaturnya.

Hari ini, detik ini akan saya tutup dulu untuk sementara waktu episode asmara bersama Muzdalifah, dan akan saya buka kembali lain waktu bila Allah mengijinkan dalam karunia yang berbeda. Sekarang saya buka lembaran baru yang cerah mengarungi asmara merindu bersama gadis Priangan itu.

Biarkanlah hanya waktu yang menjawab...

Biarlah terpaut hati ini bersama Nisa tanpa ada yang harus menjadi tumbal dari keserakahan adat. Kuharap keberadaanku dengan Nisa menjadi ikatan yang utuh untuk selamanya. Dari ucapan itu semakin dekatlah diri ini dibuatnya. Hari-hari kini menjadi indah dan mempesona. O, serasa besar karunia yang diberikan Allah terhadapku, kuyakin ini semua bukan tanpa maksud Allah mengutus Nisa teruntukku. Semoga ini langkah awal untuk menjadi sebuah ladang amal bagi hamba yang lemah ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 9 Dimabuk Asmara"

Post a Comment