Sebagai seorang kekasih tentunya saya memperlakukan Nisa sangat jauh
berbeda dengan sebelumnya, artinya jiwa ini hanya untuk dia seorang. Dalam
hantiku dan hantinya hanya sebuah ikatan asmara yang tak akan terpisahkan oleh
bentuk apapun yang terjadi. Gunjingan ataupun rintangan akan saya hadang sesuai
dengan keniatan hati yang paling dalam.
Dari saya menjalin asmara dengan Nisa, Salim pun mengetahui dengan
seksama, entah dari mana dia mengetahui semuanya. Tentunya ini bagiku adalah
sebuah musibah sebab orang itu akan selalu memberikan ucapan seperti biasanya.
Dan hari ini pun saya bertemu dengannya, saat saya sedang menikmati indahnya
jingga diufuk timur menyingsing, tentunya bersama Nisa. Bibirnya tersenyum saat
wajahnya betatap denganku
“Gimana kabar sahabat?” dia menyodorkan tangan saat petemuan pertama
semenjak selama perpisahan itu.
“Alhamdulillah, seperti yang engkau lihat Salim. Tentunya engkau juga
baik-baik semenjak kita berpisah dari sewaan itu.”
“Ya, berkat do’amu, sahabat. Semenjak kita berpisah, diri ini rasanya
tidak ada lagi kawan untuk lawan bincang, tentunya engkau tidak keberatan andai
sekiranya badanmu itu singgah barang seminggu sekali ketempat sewaanku. Ya,
sekedar tukar pikiran.”
“Insyaallah, jika Allah mengijinkan.”
“Siapakah gerangan perawan yang ada di sebelahmu itu, Husein? Kekasih
barumu? Atau hanya sekedar sahabat?”
“Kekasih.”
“Kekasih? Sepertinya engkau mulai menantang hukum Allah kembali,
Husein”
“Maksudmu?”
“Ya, saya kira belum lama engkau telah menyakiti seorang perempuan yang
mungkin anggapan itu secuil, tapi tidak bagi perempuan yang sedang merintih
itu.” saya diam terpaku seakan ada sontakan yang dahsyat pada rasa ini. Memang
kuakui, Muzdalifah adalah perawan yang sangat setia, saya rasa perkataan yang
dimaksud Salim adalah tidak salah, daku juga merasakan sentuhan kalbu yang
paling dalam ini. Tapi, apakah saya harus memilih dalam pasungan yang sudah terkungkung
itu? Tidak, saya tidak akan melakukan hal yang sudah saya anggap pemasungan.
“Engkau semakin jaya, Husein” ucapnya dengan nada nyinyir
“Saya rasa engkau sudah terlalu tua sabahat, untuk menjadi seorang
petualang dalam asmara. Hentikan, selama masih ada kesempatan untuk berbakti
dalam lindungan Allah,” dia menpuk bahuku yang kecil.
“Cukup Salim engkau sudah terlalu jauh menasehatiku! Saya harap
persahabatan kita tak akan ternodai akibat engkau terlalu pandai dalam
menasehati seseorang termasuk diri ini yang sering menjadi bahan cacian
omonganmu itu.”
“Engkau salah mengerti sahabat, justru dengan kita saling menasehati
kita akan semakin terjaga dari fitnah kemurkaan Allah.”
“Kataku cukup Salim.”
“Engkau mau kemana Husein?” tanyanya
“Tenang dulu sahabat, jangan terlampau emosi kita berbincang dahulu
sebelum maut menjemput kita.”
“Engkau keterlaluan.”
“Apanya yang keterlaluan?”
“Sudahlah Salim, daku muak dengan semuanya.”
“Baik, bila engkau berharap seperti itu sahabat. Semoga perempuan yang
engkau puja itu tidak engkau sia-siakan, dan semoga Allah tidak murkan
terhadapmu,” mata ini pun mendelik dengan penuh amarah.
“Apa yang engkau hendaki Salim, dariku?”
“Tidak, hanya engkau terlalu pandai dalam berurai asmara dengan perawan
yang akan engkau campakan setelahnya, seperti perempuan yang sedang merintih
itu.”
“Hati-hati engkau, jaga ucapanmu itu,” saya mendekatinya, namun Nisa
melarangnya.
“Nona, apakah engkau sudah bertekad bulat untuk hidup berdampingan
dengan bujang ini?” Nisa hanya diam tak mampu berkata secuilpun
“Engkau akan dicampakan nona, setelah...”
“Cukup Salim, saya tidak ada urusan dengan engkau.”
“Engkau takut akan terungakapnya kebusukanmu, Husein?”
“Sebenarnya ada apa Abang, lelaki itu berculas terhadapmu?”
“Tidak Nisa, dia hanya iri hati terahadap Abang”
“Hehehehee......” Salim tertawa jelas melecehkanku. Setan apa yang
menyambet dirinya itu, sehingga menjadi Salim bukan yang saya kenal. Mungkin
Salim merasa dendam atas ketidakenakan perkataanku saat itu, dan saat ini dia
membalas dengan melontarkan bahwa diri ini benar adanya seorang yang berhati
busuk. Nisa semakin bingung ada apa gerangan semuanya?
“Engkau hendak kemana Husein? Engkau takut?” seakan diri ini ingin
memukul lelaki pendek itu, menghantam hidungnya yang pesek itu. Tapi, niatan
itu saya hindarkan sebab Nisa berada di sampingku.
“Banyak surat yang datang terhadapku, engkau ingin tahu siapa gerangan
yang berkirim surat yang tak henti-hentinya itu? Saya yakin walaupun engkau
mengetahuinya, sedikitpun tidak akan ada rasa iba terhadapnya.”
“Sudahlah, ayo kita pergi,” saya pun dan Nisa meninggalkan Salim yang
setengah kesetanan.
“Engkau pantas menghuni api neraka, Husein” teriaknya dari kejauhan.
Namun, kami mengabaikan sampai ditelan gang yang berkelok. Setelah dari
kelokan, Nisa pun bertanya terhadapku;
“Siapakah gerangan yang tadi lelaki itu maksud Abang?” saya diam.
“Engkau tidak menjawab pertanyaanku, Abang”
“Sudahlah Nisa, dia hanya iri terhadapku saja.”
“Kenapa?” saya diam kembali.
“Abang, saya rasa lelaki itu ada sesuatu dendam terhadapmu. Dan dia
terlalu semangat mengutuk terhadapmu. Ada salah apa engkau terhadapmu, Abang?”
saya diam dan hanya mampu menatap wajah ayu itu.
“Jawablah Abang.”
“Sudahlah Nisa, sudah Abang katakan bahwa sesungguhnya dia adalah orang
yang iri saja terhadap Abang.”
“Semoga Abang tidaklah berdusta pada diri ini. Dan semoga perkataan
Abang benar adanya.”
“Percayalah Nisa, seburuk-buruknya ucapan akan Abang perhitungkan dan
akan Abang pertanggungjawabkan kelak diakherat nanti.”
“Hati-hati Abang dengan sebuah ucapan, sebab lidah tak bertulang walau
demikian lidah itu akan tajam setajam pedang yang akan menyayat dari ucapan
kita.” kulihat raut wajahnya semakin ada sesuatu guratan yang harus saya
keluarkan dengan kata-kata yang menyentuh kalbunya.
“Pandai sekali calon istri Abang ini dalam berurai kata-kata, apakah
engkau telah menjadi seorang pujangga? Sebagaimana engkau katakan kepada
Abang?” Nisa tersenyum malu.
“Ah, Abang. Benarkan yang engkau ucapkan itu? saya seperti seorang
pujangga?”
“Ya, sang maestro pujangga. Hahahaaa.... ” saya tertawa renyah. Nisa
mencubit perutku...
“Biarin daripada abang pujangga picisan.” kami berduapun tertawa
renyah. Kami pun berjalan kembali bersama persoalan yang hilang seketika
* * *
Kurang lebih dari setengah tahun saya menjalin asmara dengan Nisa,
semuanya baik-baik saja. Sebagaimana diri ini menjalani hidup semakin yakin
dalam perjalanan yang akan kutempuh bersamanya. Dari cukup lama itu tak
sebersit bayangan wajah Muzdalifah membekas dalam pelupuk lamunanku, namun
lembaran itu sudah saya tutup bersama membukanya lembaran baru yang sekarang
saya ecap.
Saya lebih perhatian terhadap Nisa, hal ini sangatlah wajah bila saya
melakukan hal seperti itu. Kasih sayang dan waktu saya habiskan hanya untuk
memberikan kesan bahwa diri ini adalah yang terbaik dari lelaki lain. O, memang
itu yang sangat saya harapkan, berharap bahwa diri ini adalah seorang pahlawan,
walau bisa dikatakan seorang martir. Lebih seringnya saya memberikan nilai
lebih terhadap Nisa, beliau pun memberikan kasih kembali terhadapku walau cara
dan penyampaiannya itu hanya bertahap, semua itu kumengerti.
Saya akui diri ini sangat amat bahagia mendapatkan asmara darinya,
hanya diri ini lupa akan adanya seorang perempuan yang sedang merintih,
mengiba, merindukan kasih sayang dan perhatian jiwa ragaku. Dia adalah gadis
desa yang lugu, yang amat sangat mencintai daku, sebagaimana saya mencintai
Nisa saat ini. Berdosakah saya menghianatinya? Ah, saya tak perlu repot-repot
memikirkannya, hanya adat yang akan membelenggu.
Rasanya sehari tak jumpa dengan Nisa, diri ini rasanya tak berdaya
bagai kapas tertetes embun pagi, lemah tak memiliki kekuatan. O, inikah yang
namanya perasaan mencinta, yang dirasakan oleh pencinta? Tidak, saya bukan
pemujanya asmara, hanya penikmat, sebagai karunia dari Allah. Semoga.
0 Response to "SESAL # 10 Perasaan Pecinta"
Post a Comment