Hari pun mulai pagi...
Kudengar suara tadarus dari kejauhan mulai menggaung dalam telinga.
Kulihat Husein dengan matanya yang basah, saya paham akan hal itu. Saya menepuk
pundaknya.
“Sabarlah Husein, Allah akan bersama kita andai sekiranya engkau
bersujud dihadapannya dengan segenap merendahkan kalbumu.”
“Akan saya lakukan Tuan sebelum tuan memerintahkan,” saya
manggut-manggut, air matanya terus melunak dari sudut matanya.
“Sapulah air matamu. Jangan biarkan engkau berlarut dalam kesedihan
yang lalu biarlah berlalu,” dia menggangguk.
“Andai sekiranya engkau ada suatu masalah bicarakanlah dengan saya.
Insyaallah saya akan mendengarkan asal engkau berbahagia.”
“Terima kasih Tuan. Semoga Tuan tidaklah berbuat apa yang Tuan pegang sebelumnya.”
“Saya janji tidak akan membocorkan rahasiamu.”
“Sekarang saya tidaklah mempunyai apa-apa kecuali hanya pada Allah saya
bersembah sujud untuk menghabiskan waktu ini.”
“Saya sangat terenyuh kalbu ini dengan ceritamu Husein.”
“Terima kasih Tuan. Kegalauan hati ini sedikit ringan, kuharap Tuan
tidaklah mencoba seorang yang munafik.”
“Insyaallah,” kami berdua terdiam.
Angin pagi berhembus menerpa tubuhku dan tubuh pemuda itu, kulihat sangat ringkih pemuda itu ia batuk-batuk.
Matanya yang sayu menatapku, seolah daku merasakan ada sesutu yang menggetarkan
jiwa ini.
“Husein, jika sekiranya engkau mengijinkan, surat apa yang engkau
terima sehingga sekarang kau termenung-menung?” pemuda itu terdiam dan
menatapku penuh dengan harap.
Dan Husein pun bergegas masuk dalam kamar dan menyodorkan selembar
kertas berwarna putih kumal pemberian dari Mansyur sahabat dari kerabat
pamannya itu. Kira-kira seperti ini;
Saya menerima surat itu dari tangan Husein, kulihat maik bola matanya
mengisyaratkan ada suatu keikhlasan yang sangat mulia tentunya tak akan saya
sia-siakan kepercayaanya itu. Surat itu perlahan dengan pasti kubuka dengan
hati berdebar, terlihatlah sebuah kertas sedikit kumal yang berlipat seolah
kertas itu berkali-kali dibuka dan dibaca oleh Husein. Saya masih menyimpan
penasaran dengan isi surat itu, sehebat apakah surat yang membuat Husein galau
dalam termenung-menung hingga ia lebih memilih diam dalam perenungan ketimbang
berada dalam obrolan yang tak berguna. Ah, mungkin ini hanya gurauan kalbuku
saja yang mengada-ada dalam situasi seperti ini. Dan sebelum saya membaca,
Husein berucap sangat perlahan.
“Tuan kuharap ini adalah sebik-baik amal yang akan Tuan berikan kelak
diakherat nanti sebagai ladang amal yang sangat berbudi mulia,” kumengerti apa
yang diucapkan oleh pemuda itu, seolah adalah tidak ada sesuatu sekecil apapun
perbuatan baik yang sia-sia kecuali mereka yang berharap akan hadirnya ria
dalam keinginan hatinya.
“Tidak Husein, kita sama-sama dalam lindungan-Nya. Engkau dan saya sama.
Sama manusia biasa,” terlihat mengembang air jernih dari Husein.
“Silahkan Tuan...” Husein menyilahkan
“Iya, terima kasih Husein.”
Dan terteralah isi surat yang pendek namun sangat menyentuh, kira-kira
seperti ini isinya;
Teruntuk
Abangku Husein
Di
rantau
Assalam’ualaikum
Wr. Wb
Abang
setelah membaca surat ini mungkin Abang tidak akan pernah bertemu kembali
dengan Aisyah juga ibu. Setelah Abang pergi meninggalkan rumah, ayah sakit
parah, dan tak lama seminggu ayah pun meninggal. Kemudian tak lama dari ayah
meninggal ibu pun sakit, dan terbaring di dalam kamar selama sebulan lebih, dan
kini masih tergolek payah.
Muzdalifah,
kini ia menjadi penghuni rumah sakit jiwa.
Kedua orangtuanya pun sangat payah sekarang, dan kehidupannya tak
menentu.
Abang,
maafkan Aisyah ini bukan karma atau pun kutukan dari Allah untuk Abang, tapi
ini kenyataan yang harus Aisyah hadapi sebab rumah dan kebun juga binatang
ternak sudah habis terjual untuk biaya pengobatan ibu.
Dan
kini Aisyah......
Maafkan Aisyah Abang, Aisyah menjual diri pada bos
karet itu untuk menghidupi kebutuhan hidup sehari-hari, dan juga kehidupan ibu,
sebab saudara kita tiada lagi yang dapat membantu. Aisyah menjadi pezina.
Mungkin sekarang ini ayahanda sedang
merintih, menangis, sedang meratapi di
alam barzah sana. O, Ya Allah Engkau Mahatahu dengan apa yang kami lakukan.
Kini
Aisyah tak lagi tinggal di kampung sebab gunjingan lebih menyakitkan. Mereka
tak tahu betapa menyakitkan hidup Aisyah juga ibu, yang mereka tahu Aisyah hina
seperti Abang. Dan seorang pezina haruslah dikucilkan.
Dengan
isak tangis Aisyah tulis surat ini untuk berkirim kabar, bukan untuk membebani
Abang. Semoga di perantauan Abang-baik-baik saja.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Adikmu
Siti Aisyah
Dalam setengah membaca pun air mata ini tak hentinya melunak, betapa
menyakitkan kalbu anak muda ini dengan hadirnya sepucuk surat yang sungguh
menyayat dan mengiris kelembutan hati paling dalam.
Setelah saya membaca surat, kulipat kembali seperti semula. Tak kuasa
air mata ini meleleh. Betapa nistanya seseorang yang dianggap hina. O, Tuhan
semoga sahabatku ini dan keluarganya diberikan kekuatan dalam kesabaran. Husein
tertunduk dengan lemahnya sekan beban yang ia hadapi hilang bersama lipatan
kertas itu. saya paham atas semuanya. Kudekap pemuda itu dan Husein pun
merelakan badannya yang rapuh mendekap tubuhku jua.
“Sabarlah Husein,” Husein terdiam.
“Semua ini bukanlah ketentuan, Allah Mahapemurah lagi Mahabijaksana.
Sewajarnya engkau bersunguh-sungguh dalam melakukan semua ini,” dia
batuk-batuk.
“Saya terharu dengan semuanya, kuharap tanamkanlah rasa kesabaran yang
mendalam pula agar engkau tidaklah menjadi orang yang sia-sia dalam kehidupan
ini.”
“Terima kasih Tuan.”
Tak lama dari itu, suara sahur pun terdengar...
“Mari Husein kita makan sauh dulu,”
“Iya Tuan,” kemudian kami berdua beranjak ke rumah, terlihat istriku
sedang mempersiapkan hidangan makan sahurnya. Istriku tersenyum ikhlas,
terlihatlah ada kesabaran yang mendalam dari raut muka Husein
“Mari makan,” kami sekeluarga makan sahur bersama. Dan sesudahnya kami
kembali ke surau hendak melaksanakn sholat subuh. Sehabis sholat subuh, kami
pun saling berpelukkan kembali seolah ada sesuatu yang akan terjadi setelah
itu.
“Istirahatlah Husein, kurasa tubuhmu perlu berbaring barang semenit.”
“Saya ucapkan banyak terima kasih Tuan atas perhatiannya.”
“Tak usah engkau berucap seperti itu, hanya Allahlah yang patut engkau
ucapkan rasa syukur ini.”
Hari mulai hampir siang kira-kira pukul setengah enam. Saya keluar
rumah terlihatlah di surau Husien sedang membenah halaman surau, ia sedang
bersih-bersih, kuperhatikan dengan seksama tentunya ia tidaklah melihat saya
sebagaimana saya melihat ia secara jelas. Setelah berbenah halaman Husein masuk
dan kembali ke depan serambi surau dengan sebuah buku yang seperti biasanya.
“Apa yang engkau lihat kanda?” istriku mengagetkanku.
“Ah, tidak istriku. Lihatlah pemuda itu!”
“Beliau sangatlah saleh, kesehariannya tak luput dari beribadat dan
belajar dari kebiasannya.”
“Daku sangatlah prihatin terhadapnya.”
“Ada apa dengan semuanya kanda?”
“Sungguh dia adalah anak yang paling malang, daku mengenang andai
sekiranya daku menjadi seorang Husein manalah tahan dengan penderitaan yang
sepahit beliau,” istriku mengerti dengan semuanya.
“Bersyukurlah Abang, ternyata Allah masillah memberikan jalan yang
terbaik selama Abang masih bersyukur atas nikmat yang diberikannya,” terlihat
istriku bergegas pamit untuk kebelakang dan daku pun bergegas untuk
membersihakan tubuh ini.
* * *
Kuperhatikan semakin hari Husein semakin payah dalam tubuhnya,
penyakitnya pun sangat parah jua menyerang jasadnya yang lemah itu. Batu-batuk
dan penyakit tbc yang ia idap. Saya sangat kuatir terhadap jasadnya itu, namun
orang yang dikuatirkan tidaklah bergiming dalam perenungan, seakan dia percaya
penuh bahwa semua mahluk akan mengalami semuanya dan dia beranggapan bahwa
penyakitya yang ia idap sesungguhnya rahmatanlilalamin dari Allah sebagai
penggugur dosanya yang terdahulu.
“Husein istirahatlah, saya lihat engkau tidaklah sedikit badanmu itu
berbaring istirahat barang sekejappun.”
“Biarlah Tuan, asal diri ini jauh dari apa yang diazab oleh Allah,”
saya tersenyum.
“Ya, tapi engkau jangan terlalu memaksakan diri untuk tetap yang
terbaik, Allah juga tidaklah menginginkan hambanya tersiksa akan jasadnya oleh
ibadah.”
“Bila Tuan seperti itu berpikirnya, sangatlah tidak tepat Tuan. Sebab,
Allah mencintai orang yang sabar termenung dengan kesendirian dalam mengukur
dirinya semdiri.”
“Saya sangat mengkhawatirkan engkau Husein akan jasadmu itu. Penyakitmu
kambuh.”
“Biarlah, azab Allah tidaklah seperti ini. Azab Allah lebih pedih dari
penyakit yang daku emban.”
“Husein, engkau terlalu kerja keras.”
“Memang itu Tuan yang daku harapkan”
“Maksudnya?”
“Daku ingin jasadku pergi bersama ruh, daku berada dalam kelapangan
Allah.”
“Sungguh mulia engkau Husein.”
“Semoga juga ini bukanlah ria semata, Tuan”
“Ya.”
“Apakah engkau tidaklah mempersiapkan akan hadirnya maut itu Tuan?”
“Pastilah Husein, saya mempersiapkan seperti engkau.”
“Andai Tuan mengerti betapa nikmatnya orang sedang merasakan sakit dari
Allah menerima dengan lapangnya. Tentunya dosa yang ia perbuat berguguran
dengan sendirinya.”
“Saya paham Husien dengan semuanya”
“Syukurlah bila mana seperti itu.”
“Husein?”
“Ya, ada apa Tuan?”
“Sebentar lagi Idul Fitri akan tiba, akankah engkau pulang untuk
sekedar menjenguk keluargamu di kampung?” kulihat ada sesakan nafas yang Husein
hirup, seolah ia mengalami kepahitan yang dialami keluarganya itu.
“Saya tak paham, dimanan keluargaku sekarang.”
“Maksudnya, Aisyah dan ibumu engkau tak mengerti keberadaaannya?”
“Benar Tuan.”
“Apakah engkau tidak mencoba untuk mencarinya Husein?”
“Tidaklah Tuan, semoga dalam perenungan ini saya bersama orang tercinta
akan berjumpa kembali kelak diakherat nanti.”
“Amie....n,” matanya sedikit berkaca.
“Memang sepantasnya engkau berharap pada yang empunya alam ini.”
“Berharap pada manusia dipastikanlah akan berakhir dengan kecewa. Dan
saya sangat yakin bila diri ini berharap akan keagungan Allah dan kelak
Allahlah yang akan membalas dengan segenap kemuarahan-Nya.”
“Husein..”
“Ada apa Tuan?”
“Apa engkau tak punya niatan untuk segera menikah?” Husein mengela
nafas panjang.
“Kurasa kebersamaan diri ini dengan Allah sudah cukuplah bahagia.”
“Tapi engkau punya niatan untuk beristri?”
“Ya, saya ingin seperti Tuan. Beristri dengan seorang perawan yang
saleh.”
“Semoga engkau mendapatkan dengan waktu yang singkat ini Husein.”
“Sebaik-baiknya pemuda oleh Allah adalah seorang pemuda yang berani
untuk menikah untuk menghindari dari pergumulan zina,” dia tertunduk.
“Maaf Husein saya tak maksud untuk mengusik ketenanganmu.”
“Tidak apa-apa Tuan, memang sepantasnya diri ini membayar mahal apa
yang diderita oleh orang yang daku kasihi.”
Hari mulai mendung. Memang sebulan penuh dibulan puasa itu hari
terlihatlah tidak bersahabat dengan alam, kadang hujan, kadang hanya riani
rintik hujan. Ah, mungkin kekhusukan berpuasa akan lebih memiliki perjuangan
dalam keadaan yang sangat menyenangkan.
“Husein, kuharap kelak andai Idul Fitri tiba engkau akan daku pilih
sebagai khotib dalam ceramahnya itu,” dia sedikit terkejut.
“Apakah engkau bersedia?”
“Insyaallah.. semoga ini adalah ladang amal yang akan daku petik
sebagai tabungan diakherat nanti.”
* * *
Dalam keseharian saya terus memperhatikan pemuda itu. Perkembangannya
terlihatlah ia semakin parah dalam jasadnya. Tubuhnya ringkih, namun tetap
beliau tidaklah henti untuk sekedar memberikan yang terbaik pada yang empunya
alam ini.
Dan tibalah malam takbiran, tubuh Husein pun semakin parah. Sungguh
saya sangatlah kuatir dengan keadaannya.
“Engkau akan saya bawa kedokter untuk diperiksa kesehatanmu.”
“Tidak usah Tuan, sebentar juga penyakit ini akan sembuh,” ia
batuk-batuk.
“Engkau dengan segera harus dibawa kedokter.”
“Kuharap Tuan janganlah bersusah-susah untuk mengurus jasad yang tak
berguna ini. Biarlah sementara saya menikmati kebahagiaan dalam keheningan
malam takbiran ini dengan merasakan jua keagungan Allah yang Dia berikan
terhadap saya sebuah ujian yang sangat ringan.”
“Sekiranya engkau akan baik-baik, saya akan merasa senang,” Husein
terbangun dari baringnya.
“Engkau hendak kemana Husein?”
“Saya akan membantu dalam mengurus zakat.”
“Ingat Husein engkau sedang sakit.”
“Tidaklah apa-apa Tuan, saya tak mampu membayar zakat sekiranya saya
membayar dengan kerja kerasku ini mungkin Allah akan memberikan yang terbaik
bagiku.”
“Engkau sungguh seorang yang teguh pendirian Husein, semoga surgalah
yang akan engkau nikmati kelak perjalanan hidup sesudah mati.”
“Semoga Tuan juga akan merasakan seperti itu,” kami berdua beranjak
dari kamar itu menuju ke surau untuk mengurus pembagian zakat. Kami sangat
sibuk dalam pengurusan itu, pun halnya Husein dengan penuh semangat melakukan
segenap kerendahan hati. Terlihat ia batuk-batuknya semakin parah, dan dia
bergegas pergi keluar untuk batuk-batuk yang lebih parah lagi lama beliau
berada di luar dan masuklah kembali Husein dalam surau itu.
“Engkau tidak apa-apa Husien?” dia hanya tersenyum kecil.
“Sekiranya engkau tak sanggup lagi untuk semua ini biarlah kami dan
anak-anak sini yang akan mengurus semuanya.”
“Tidak apa-apa Tuan, biarlah saya seperti ini,” sehabis menasehati
Husein bergegaslah saya keluar pada apa yang Husein tadi batuk-batuk,
terlihatlah jelas darah yang masih segar terlihat dari tanah yang sudah ia
kubur, ternyata ini adalah darah Husein yang keluar dari penyakitnya itu.
“Ya Allah sungguh keras pemuda itu, semoga Allah memberikan yang
terbaik andai sekira-Nya engkau jemputnya,” saya pun masuk kembali. Terlihatlah
Husein dengan beringasnya menandakan kekhusu’an dalam melaksanakan perintah
dari Allah. Kurasa beliau tidak merasakan pada apa yang ia derita dari
penyakitnya itu. O, ya Allah Mahabesar-Mu engkau tunjukan pada pemuda itu.
0 Response to "SESAL # 15 Surat Itu..."
Post a Comment