SESAL # 15 Surat Itu...

Hari pun mulai pagi...

Kudengar suara tadarus dari kejauhan mulai menggaung dalam telinga. Kulihat Husein dengan matanya yang basah, saya paham akan hal itu. Saya menepuk pundaknya.

“Sabarlah Husein, Allah akan bersama kita andai sekiranya engkau bersujud dihadapannya dengan segenap merendahkan kalbumu.”

“Akan saya lakukan Tuan sebelum tuan memerintahkan,” saya manggut-manggut, air matanya terus melunak dari sudut matanya.

“Sapulah air matamu. Jangan biarkan engkau berlarut dalam kesedihan yang lalu biarlah berlalu,” dia menggangguk.

“Andai sekiranya engkau ada suatu masalah bicarakanlah dengan saya. Insyaallah saya akan mendengarkan asal engkau berbahagia.”

“Terima kasih Tuan. Semoga Tuan tidaklah berbuat apa yang Tuan pegang sebelumnya.”

“Saya janji tidak akan membocorkan rahasiamu.”

“Sekarang saya tidaklah mempunyai apa-apa kecuali hanya pada Allah saya bersembah sujud untuk menghabiskan waktu ini.”

“Saya sangat terenyuh kalbu ini dengan ceritamu Husein.”

“Terima kasih Tuan. Kegalauan hati ini sedikit ringan, kuharap Tuan tidaklah mencoba seorang yang munafik.”

“Insyaallah,” kami berdua terdiam.

Angin pagi berhembus menerpa tubuhku dan tubuh pemuda itu, kulihat  sangat ringkih pemuda itu ia batuk-batuk. Matanya yang sayu menatapku, seolah daku merasakan ada sesutu yang menggetarkan jiwa ini.

“Husein, jika sekiranya engkau mengijinkan, surat apa yang engkau terima sehingga sekarang kau termenung-menung?” pemuda itu terdiam dan menatapku penuh dengan harap.

Dan Husein pun bergegas masuk dalam kamar dan menyodorkan selembar kertas berwarna putih kumal pemberian dari Mansyur sahabat dari kerabat pamannya itu. Kira-kira seperti ini;

Saya menerima surat itu dari tangan Husein, kulihat maik bola matanya mengisyaratkan ada suatu keikhlasan yang sangat mulia tentunya tak akan saya sia-siakan kepercayaanya itu. Surat itu perlahan dengan pasti kubuka dengan hati berdebar, terlihatlah sebuah kertas sedikit kumal yang berlipat seolah kertas itu berkali-kali dibuka dan dibaca oleh Husein. Saya masih menyimpan penasaran dengan isi surat itu, sehebat apakah surat yang membuat Husein galau dalam termenung-menung hingga ia lebih memilih diam dalam perenungan ketimbang berada dalam obrolan yang tak berguna. Ah, mungkin ini hanya gurauan kalbuku saja yang mengada-ada dalam situasi seperti ini. Dan sebelum saya membaca, Husein berucap sangat perlahan.

“Tuan kuharap ini adalah sebik-baik amal yang akan Tuan berikan kelak diakherat nanti sebagai ladang amal yang sangat berbudi mulia,” kumengerti apa yang diucapkan oleh pemuda itu, seolah adalah tidak ada sesuatu sekecil apapun perbuatan baik yang sia-sia kecuali mereka yang berharap akan hadirnya ria dalam keinginan hatinya.

“Tidak Husein, kita sama-sama dalam lindungan-Nya. Engkau dan saya sama. Sama manusia biasa,” terlihat mengembang air jernih dari Husein.

“Silahkan Tuan...” Husein menyilahkan

“Iya, terima kasih Husein.”

Dan terteralah isi surat yang pendek namun sangat menyentuh, kira-kira seperti ini isinya;

Teruntuk Abangku Husein
Di rantau

Assalam’ualaikum Wr. Wb
Abang setelah membaca surat ini mungkin Abang tidak akan pernah bertemu kembali dengan Aisyah juga ibu. Setelah Abang pergi meninggalkan rumah, ayah sakit parah, dan tak lama seminggu ayah pun meninggal. Kemudian tak lama dari ayah meninggal ibu pun sakit, dan terbaring di dalam kamar selama sebulan lebih, dan kini masih tergolek payah.

Muzdalifah, kini ia menjadi penghuni rumah sakit jiwa.  Kedua orangtuanya pun sangat payah sekarang, dan kehidupannya tak menentu.

Abang, maafkan Aisyah ini bukan karma atau pun kutukan dari Allah untuk Abang, tapi ini kenyataan yang harus Aisyah hadapi sebab rumah dan kebun juga binatang ternak sudah habis terjual untuk biaya pengobatan ibu.

Dan kini Aisyah......

Maafkan  Aisyah Abang, Aisyah menjual diri pada bos karet itu untuk menghidupi kebutuhan hidup sehari-hari, dan juga kehidupan ibu, sebab saudara kita tiada lagi yang dapat membantu. Aisyah menjadi pezina. Mungkin sekarang ini  ayahanda sedang merintih, menangis, sedang meratapi  di alam barzah sana. O, Ya Allah Engkau Mahatahu dengan apa yang kami lakukan.

Kini Aisyah tak lagi tinggal di kampung sebab gunjingan lebih menyakitkan. Mereka tak tahu betapa menyakitkan hidup Aisyah juga ibu, yang mereka tahu Aisyah hina seperti Abang. Dan seorang pezina haruslah dikucilkan.
Dengan isak tangis Aisyah tulis surat ini untuk berkirim kabar, bukan untuk membebani Abang. Semoga di perantauan Abang-baik-baik saja.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Adikmu Siti Aisyah


Dalam setengah membaca pun air mata ini tak hentinya melunak, betapa menyakitkan kalbu anak muda ini dengan hadirnya sepucuk surat yang sungguh menyayat dan mengiris kelembutan hati paling dalam.

Setelah saya membaca surat, kulipat kembali seperti semula. Tak kuasa air mata ini meleleh. Betapa nistanya seseorang yang dianggap hina. O, Tuhan semoga sahabatku ini dan keluarganya diberikan kekuatan dalam kesabaran. Husein tertunduk dengan lemahnya sekan beban yang ia hadapi hilang bersama lipatan kertas itu. saya paham atas semuanya. Kudekap pemuda itu dan Husein pun merelakan badannya yang rapuh mendekap tubuhku jua.

“Sabarlah Husein,” Husein terdiam.

“Semua ini bukanlah ketentuan, Allah Mahapemurah lagi Mahabijaksana. Sewajarnya engkau bersunguh-sungguh dalam melakukan semua ini,” dia batuk-batuk.

“Saya terharu dengan semuanya, kuharap tanamkanlah rasa kesabaran yang mendalam pula agar engkau tidaklah menjadi orang yang sia-sia dalam kehidupan ini.”

“Terima kasih Tuan.”

Tak lama dari itu, suara sahur pun terdengar...

“Mari Husein kita makan sauh dulu,”

“Iya Tuan,” kemudian kami berdua beranjak ke rumah, terlihat istriku sedang mempersiapkan hidangan makan sahurnya. Istriku tersenyum ikhlas, terlihatlah ada kesabaran yang mendalam dari raut muka Husein

“Mari makan,” kami sekeluarga makan sahur bersama. Dan sesudahnya kami kembali ke surau hendak melaksanakn sholat subuh. Sehabis sholat subuh, kami pun saling berpelukkan kembali seolah ada sesuatu yang akan terjadi setelah itu.

“Istirahatlah Husein, kurasa tubuhmu perlu berbaring barang semenit.”

“Saya ucapkan banyak terima kasih Tuan atas perhatiannya.”

“Tak usah engkau berucap seperti itu, hanya Allahlah yang patut engkau ucapkan rasa syukur ini.”

Hari mulai hampir siang kira-kira pukul setengah enam. Saya keluar rumah terlihatlah di surau Husien sedang membenah halaman surau, ia sedang bersih-bersih, kuperhatikan dengan seksama tentunya ia tidaklah melihat saya sebagaimana saya melihat ia secara jelas. Setelah berbenah halaman Husein masuk dan kembali ke depan serambi surau dengan sebuah buku yang seperti biasanya.

“Apa yang engkau lihat kanda?” istriku mengagetkanku.

“Ah, tidak istriku. Lihatlah pemuda itu!”

“Beliau sangatlah saleh, kesehariannya tak luput dari beribadat dan belajar dari kebiasannya.”

“Daku sangatlah prihatin terhadapnya.”

“Ada apa dengan semuanya kanda?”

“Sungguh dia adalah anak yang paling malang, daku mengenang andai sekiranya daku menjadi seorang Husein manalah tahan dengan penderitaan yang sepahit beliau,” istriku mengerti dengan semuanya.

“Bersyukurlah Abang, ternyata Allah masillah memberikan jalan yang terbaik selama Abang masih bersyukur atas nikmat yang diberikannya,” terlihat istriku bergegas pamit untuk kebelakang dan daku pun bergegas untuk membersihakan tubuh ini.

* * *

Kuperhatikan semakin hari Husein semakin payah dalam tubuhnya, penyakitnya pun sangat parah jua menyerang jasadnya yang lemah itu. Batu-batuk dan penyakit tbc yang ia idap. Saya sangat kuatir terhadap jasadnya itu, namun orang yang dikuatirkan tidaklah bergiming dalam perenungan, seakan dia percaya penuh bahwa semua mahluk akan mengalami semuanya dan dia beranggapan bahwa penyakitya yang ia idap sesungguhnya rahmatanlilalamin dari Allah sebagai penggugur dosanya yang terdahulu.

“Husein istirahatlah, saya lihat engkau tidaklah sedikit badanmu itu berbaring istirahat barang sekejappun.”

“Biarlah Tuan, asal diri ini jauh dari apa yang diazab oleh Allah,” saya tersenyum.

“Ya, tapi engkau jangan terlalu memaksakan diri untuk tetap yang terbaik, Allah juga tidaklah menginginkan hambanya tersiksa akan jasadnya oleh ibadah.”

“Bila Tuan seperti itu berpikirnya, sangatlah tidak tepat Tuan. Sebab, Allah mencintai orang yang sabar termenung dengan kesendirian dalam mengukur dirinya semdiri.”

“Saya sangat mengkhawatirkan engkau Husein akan jasadmu itu. Penyakitmu kambuh.”

“Biarlah, azab Allah tidaklah seperti ini. Azab Allah lebih pedih dari penyakit yang daku emban.”

“Husein, engkau terlalu kerja keras.”

“Memang itu Tuan yang daku harapkan”

“Maksudnya?”

“Daku ingin jasadku pergi bersama ruh, daku berada dalam kelapangan Allah.”

“Sungguh mulia engkau Husein.”

“Semoga juga ini bukanlah ria semata, Tuan”

“Ya.”

“Apakah engkau tidaklah mempersiapkan akan hadirnya maut itu Tuan?”

“Pastilah Husein, saya mempersiapkan seperti engkau.”

“Andai Tuan mengerti betapa nikmatnya orang sedang merasakan sakit dari Allah menerima dengan lapangnya. Tentunya dosa yang ia perbuat berguguran dengan sendirinya.”

“Saya paham Husien dengan semuanya”

“Syukurlah bila mana seperti itu.”

“Husein?”

“Ya, ada apa Tuan?”

“Sebentar lagi Idul Fitri akan tiba, akankah engkau pulang untuk sekedar menjenguk keluargamu di kampung?” kulihat ada sesakan nafas yang Husein hirup, seolah ia mengalami kepahitan yang dialami keluarganya itu.

“Saya tak paham, dimanan keluargaku sekarang.”

“Maksudnya, Aisyah dan ibumu engkau tak mengerti keberadaaannya?”

“Benar Tuan.”

“Apakah engkau tidak mencoba untuk mencarinya Husein?”

“Tidaklah Tuan, semoga dalam perenungan ini saya bersama orang tercinta akan berjumpa kembali kelak diakherat nanti.”

“Amie....n,” matanya sedikit berkaca.

“Memang sepantasnya engkau berharap pada yang empunya alam ini.”

“Berharap pada manusia dipastikanlah akan berakhir dengan kecewa. Dan saya sangat yakin bila diri ini berharap akan keagungan Allah dan kelak Allahlah yang akan membalas dengan segenap kemuarahan-Nya.”

“Husein..”

“Ada apa Tuan?”

“Apa engkau tak punya niatan untuk segera menikah?” Husein mengela nafas panjang.

“Kurasa kebersamaan diri ini dengan Allah sudah cukuplah bahagia.”

“Tapi engkau punya niatan untuk beristri?”

“Ya, saya ingin seperti Tuan. Beristri dengan seorang perawan yang saleh.”

“Semoga engkau mendapatkan dengan waktu yang singkat ini Husein.”

“Sebaik-baiknya pemuda oleh Allah adalah seorang pemuda yang berani untuk menikah untuk menghindari dari pergumulan zina,” dia tertunduk.

“Maaf Husein saya tak maksud untuk mengusik ketenanganmu.”

“Tidak apa-apa Tuan, memang sepantasnya diri ini membayar mahal apa yang diderita oleh orang yang daku kasihi.”

Hari mulai mendung. Memang sebulan penuh dibulan puasa itu hari terlihatlah tidak bersahabat dengan alam, kadang hujan, kadang hanya riani rintik hujan. Ah, mungkin kekhusukan berpuasa akan lebih memiliki perjuangan dalam keadaan yang sangat menyenangkan.
“Husein, kuharap kelak andai Idul Fitri tiba engkau akan daku pilih sebagai khotib dalam ceramahnya itu,” dia sedikit terkejut.

“Apakah engkau bersedia?”

“Insyaallah.. semoga ini adalah ladang amal yang akan daku petik sebagai tabungan diakherat nanti.”

* * *

Dalam keseharian saya terus memperhatikan pemuda itu. Perkembangannya terlihatlah ia semakin parah dalam jasadnya. Tubuhnya ringkih, namun tetap beliau tidaklah henti untuk sekedar memberikan yang terbaik pada yang empunya alam ini.

Dan tibalah malam takbiran, tubuh Husein pun semakin parah. Sungguh saya sangatlah kuatir dengan keadaannya.

“Engkau akan saya bawa kedokter untuk diperiksa kesehatanmu.”

“Tidak usah Tuan, sebentar juga penyakit ini akan sembuh,” ia batuk-batuk.

“Engkau dengan segera harus dibawa kedokter.”

“Kuharap Tuan janganlah bersusah-susah untuk mengurus jasad yang tak berguna ini. Biarlah sementara saya menikmati kebahagiaan dalam keheningan malam takbiran ini dengan merasakan jua keagungan Allah yang Dia berikan terhadap saya sebuah ujian yang sangat ringan.”

“Sekiranya engkau akan baik-baik, saya akan merasa senang,” Husein terbangun dari baringnya.

“Engkau hendak kemana Husein?”

“Saya akan membantu dalam mengurus zakat.”

“Ingat Husein engkau sedang sakit.”

“Tidaklah apa-apa Tuan, saya tak mampu membayar zakat sekiranya saya membayar dengan kerja kerasku ini mungkin Allah akan memberikan yang terbaik bagiku.”

“Engkau sungguh seorang yang teguh pendirian Husein, semoga surgalah yang akan engkau nikmati kelak perjalanan hidup sesudah mati.”

“Semoga Tuan juga akan merasakan seperti itu,” kami berdua beranjak dari kamar itu menuju ke surau untuk mengurus pembagian zakat. Kami sangat sibuk dalam pengurusan itu, pun halnya Husein dengan penuh semangat melakukan segenap kerendahan hati. Terlihat ia batuk-batuknya semakin parah, dan dia bergegas pergi keluar untuk batuk-batuk yang lebih parah lagi lama beliau berada di luar dan masuklah kembali Husein dalam surau itu.

“Engkau tidak apa-apa Husien?” dia hanya tersenyum kecil.

“Sekiranya engkau tak sanggup lagi untuk semua ini biarlah kami dan anak-anak sini yang akan mengurus semuanya.”

“Tidak apa-apa Tuan, biarlah saya seperti ini,” sehabis menasehati Husein bergegaslah saya keluar pada apa yang Husein tadi batuk-batuk, terlihatlah jelas darah yang masih segar terlihat dari tanah yang sudah ia kubur, ternyata ini adalah darah Husein yang keluar dari penyakitnya itu.

“Ya Allah sungguh keras pemuda itu, semoga Allah memberikan yang terbaik andai sekira-Nya engkau jemputnya,” saya pun masuk kembali. Terlihatlah Husein dengan beringasnya menandakan kekhusu’an dalam melaksanakan perintah dari Allah. Kurasa beliau tidak merasakan pada apa yang ia derita dari penyakitnya itu. O, ya Allah Mahabesar-Mu engkau tunjukan pada pemuda itu.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 15 Surat Itu..."

Post a Comment