SESAL # 16 Diantara Dua Sajadah Panjang


Satu Syawal.....

Gema takbir bergema diseluruh penjuru dunia merayakan kemenangan akan hadirnya Idul Fitri. Berjuta orang yang ada di pelosok berserah diri menggelar indahnya ibadah dipagi hari. Pun halnya setiap orang, baik yang miskin dan yang kaya merasakan keindahan dalam hari itu. Tak satu pun dan tak sedetikpun orang berhenti dari berdikir melafadkan suara gema takbir yang berkumandang sebagai kekuasaan Allah. Kuyakin andai saat ini ayahanda melihat keadaan perbedaan diantara masyarakat sekarang ini sangatlah bahagia kalbunya. Kuharap doa yang kuberikan untuknya mampu memberikan dorongan sebagai penerang di alam sana.

Keesokan paginya, kulihat semua persiapan yang ada di surau itu untuk menyambut sholat id sudah sangatlah lengkap, tikar-tikar sudah tergelar dan mimbar pun sudah terpampang. Halaman sekitar surau pun sudahlah pada bersih tak ada satu pun terlihat dedaunan yang berserakan. O, inilah yang Engkau maksud akan kecintaan terhadap kebersihan ya Allah? Semoga engkau limpahkan keagungan rahmat-Mu ya Allah kepada pemuda itu yang hendak mencari ketenangan batinnya.

Sudah sangat pasti Husienlah yang melakukan hal semua ini, siapa lagi bila bukan pemuda itu? Yang selalu berharap akan keridoan dari empunya alam ini yaitu Allah semata yang ia sembah. Memanglah benar kulihat dia sedang sibuknya melapadzkan takbir dengan khusuknya tepat berada di depan paling sendiri dengan tangan memegang tasbih, dia bersila dengan kesendiriannya diantara orang-orang yang belum menghadiri saat itu.

“Allahhuakbar.....

 Allahuakbar.....

 Allahuakbar Laa Ilahailallah Hu Allahuakbar......

 Allahuakbar Walilah ilham.....” dengan suara lemah ia terus mengucap lapadz takbir itu, kadang diselingi dengan batuk-batuk. Sungguh sangat kuatir diri ini andai melihat semuanya.

“Semoga engkau dalam lindungan Allah Husein,” ucapku dari kejauhan. Semua sudah siap untuk melaksanakan solat Id. Indah dan tenang kurasakan susana saat itu, namun tak begitu dengan suara hati ini sangatlah kacau bilamana menatap pemuda yang kuanggap sebagai suadara kandungku itu. Merasa teriris dan terenyuh manakala mengenang cerita derita yang ia emban selama perjalanan yang ia ecap. Mungkin haruslah begitu perjalanan lakon yang harus ia lakukan dalam sekenario takdir ini, kuharap suatu saat kebahagiaan ia ecap dalam waktu yang tak lama lagi sebagai hadiah keberuntungan sebagai rasa syukur dari yang empunya alam ini. Kemudian tubuh ini pun hendak menjemput istriku yang akan siap-siap untuk melakasankan sholat Id.

Namun sebelum mata ini berpaling pada pandangan lain, suara yang bertakbir pun berhenti.

Hati ini pun sudah mulai curiga dengan semula bahwa sesungguhnya ada yang tak beres dengan semuanya. Meliriklah pandangan ini terhadap jasad Husein, kala itu saya sangat terkejut melihat Husein diam terpaku dengan posisi sujud dengan tasbih ditangannya, saya menghampirnya dan duduk disebelahnya. Baru beberapa langkah kaki ini mendekati jasad Husein wangi aroma yang sangat menarik tercium oleh hidungku, entah dari mana wewangian itu hadir? Sangatlah harum dan sangat berbeda dengan harumnya wewangian yang dijual di toko-toko. Serasa tenang kalbu saat hidung ini menciumnya. O, ya Allah mungkin ini adalah semua karunia yang Engkau berikan terhadap orang-orang yang mempunyai keikhlasan dalam beribadah?

“Husein..” saya menggoyangkan badannya dengan menepuk bahunya yang kecil. Bergeraklah semuanya jasad itu.

“Husein..” kembali badan ringkih itu saya goyangkan

“Masyaallah Husein telah tiada,” saya menjerit sekuat tenaga.

“Husein.....” orang yang mendengar dari arah jeritanku itu dengan segera menghampiriku.

“Inalilahi Wainailahiroziun,” ucap diantara orang yang melihat saat itu yang hampir mulai banyak.

Menitiklah air mata ini melihat sahabatku itu membujur kaku dengan bau harum dari badannya. Memanglah saat itu bau harum wewangian tersengat

“Sungguh harum mayat ini,” ucap diantara orang yang sedang berkerumun.

“Inilah keagungan Allah yang diberikan pada pemuda yang sangat ikhlas dalam beribadah.”

Kuberi tahu istriku juga masyarakat sekampung....

“Ada apa Abang nafasmu berhamburan tidak karuan?”

“Husein istriku.”

“Kenapa gerangan Husein seperti yang engkau takuti.”

“Beliau telah tiada.”

“Telah tiada?”

“Ya istriku.”

“Inalillahi wainailahiroziun”

“Mari istriku kita melihat jasadnya.”

“Ya Allah semoga semua amal dan ibadahnya diterima disisi-Mu.”

Kemudian orang sekampung pun berkumpul melihat dengan khidmad. Tak satu pun orang yang melihat jasad Husein tidak menitikkan air mata. Kesemua air matanya membasahai seluruh pipinya masing-masing dan tak luput berdoa diantara gema takbir yang terdengar dari kejauhan.

Pagi sangatlah cerah, jingga diufuk timur mulai memancarkan kesela-sela ujung dedaunan yang mulai berguguran, hangat sinar kuning keemasannya menembus relung hati yang sangatlah bertabur dengan keikhlasan, burung-burung pun berterbangan di atas pohon menyambut gembira datangannya Idul Fitri, seakan tidak mengerti bahwa ada sesuatu yang terjadi di kampunmg itu. Namun tidaklah bagi mereka dalam kampung itu hujan air mata pun berhamburan bukan berarti tidak ikhlas merelakan perginya pemuda asing itu, namun rasa haru terus menyelimuti dan memang sangatlah wajar bila satu-satunya orang yang menghidupkan surau itu adalah Husein seperti ayahandaku terdahulu. Dan kini Husein telah tiada, telah meninggalkan kita semua. Ah, semoga dalam ketiaadaannya surau itu tetaplah kokoh bersama orang-orang yang mengerti dengan keindahan menjaga surau. Semoga.

Doa diantara orang yang menghadiri sholat itu seakan tiada henti, terus mengalir bagai sungai Nil yang mengalir deras sepanjang masa.

Sholat Id pun dilaksanakan....

Setelah itu dilangsungkan dengan sholat untuk menyolatkan jasad Husein, orang sekampung pun tidaklah keberatan hanya untuk melakukan hal yang terbaik bagi pemuda itu. Serasa bergetar tubuh ini melakukan hal semua itu.

Penuh seisi kampung bertakziah mengiringi kepergian Husein si pemuda yang malang sebagai pengurus surau itu sampai ke makam kampung tersebut.

“Ya Allah, ternyata Engkau berkata lain, hamba-Mu yang satu ini pergi menghadap-Mu dengan Husnul Khotimah,” Kupeluk jasadnya yang putih dan wangi diringi dengan lapadz takbir saat jasadnya hendak dimasukan keliang lahat, bersama orang sekampung kukuburkan jasadnya.

Sahabatku itu, kurebahkan dalam pembaringan Idul Fitri dan kuletakan diantara dua sajadah panjang.

Allahhuakbar.....
Allahuakbar.....
Allahuakbar Laa Ilahailallah Hu Allahuakbar......
Allahuakbar Walilah ilham.....

Kuucapkan takbir teruntuk sahabatku yang terakhir kalinya.

Jogja, 06 November 2005
04 Syawal 1426 Hijriah


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 16 Diantara Dua Sajadah Panjang "

Post a Comment