Satu Syawal.....
Gema takbir bergema diseluruh penjuru dunia merayakan kemenangan akan
hadirnya Idul Fitri. Berjuta orang yang ada di pelosok berserah diri menggelar
indahnya ibadah dipagi hari. Pun halnya setiap orang, baik yang miskin dan yang
kaya merasakan keindahan dalam hari itu. Tak satu pun dan tak sedetikpun orang
berhenti dari berdikir melafadkan suara gema takbir yang berkumandang sebagai
kekuasaan Allah. Kuyakin andai saat ini ayahanda melihat keadaan perbedaan
diantara masyarakat sekarang ini sangatlah bahagia kalbunya. Kuharap doa yang
kuberikan untuknya mampu memberikan dorongan sebagai penerang di alam sana.
Keesokan paginya, kulihat semua persiapan yang ada di surau itu untuk
menyambut sholat id sudah sangatlah lengkap, tikar-tikar sudah tergelar dan
mimbar pun sudah terpampang. Halaman sekitar surau pun sudahlah pada bersih tak
ada satu pun terlihat dedaunan yang berserakan. O, inilah yang Engkau maksud
akan kecintaan terhadap kebersihan ya Allah? Semoga engkau limpahkan keagungan
rahmat-Mu ya Allah kepada pemuda itu yang hendak mencari ketenangan batinnya.
Sudah sangat pasti Husienlah yang melakukan hal semua ini, siapa lagi
bila bukan pemuda itu? Yang selalu berharap akan keridoan dari empunya alam ini
yaitu Allah semata yang ia sembah. Memanglah benar kulihat dia sedang sibuknya
melapadzkan takbir dengan khusuknya tepat berada di depan paling sendiri dengan
tangan memegang tasbih, dia bersila dengan kesendiriannya diantara orang-orang
yang belum menghadiri saat itu.
“Allahhuakbar.....
Allahuakbar.....
Allahuakbar Laa Ilahailallah Hu
Allahuakbar......
Allahuakbar Walilah ilham.....”
dengan suara lemah ia terus mengucap lapadz takbir itu, kadang diselingi dengan
batuk-batuk. Sungguh sangat kuatir diri ini andai melihat semuanya.
“Semoga engkau dalam lindungan Allah Husein,” ucapku dari kejauhan.
Semua sudah siap untuk melaksanakan solat Id. Indah dan tenang kurasakan susana
saat itu, namun tak begitu dengan suara hati ini sangatlah kacau bilamana
menatap pemuda yang kuanggap sebagai suadara kandungku itu. Merasa teriris dan
terenyuh manakala mengenang cerita derita yang ia emban selama perjalanan yang
ia ecap. Mungkin haruslah begitu perjalanan lakon yang harus ia lakukan dalam
sekenario takdir ini, kuharap suatu saat kebahagiaan ia ecap dalam waktu yang
tak lama lagi sebagai hadiah keberuntungan sebagai rasa syukur dari yang
empunya alam ini. Kemudian tubuh ini pun hendak menjemput istriku yang akan
siap-siap untuk melakasankan sholat Id.
Namun sebelum mata ini berpaling pada pandangan lain, suara yang
bertakbir pun berhenti.
Hati ini pun sudah mulai curiga dengan semula bahwa sesungguhnya ada
yang tak beres dengan semuanya. Meliriklah pandangan ini terhadap jasad Husein,
kala itu saya sangat terkejut melihat Husein diam terpaku dengan posisi sujud
dengan tasbih ditangannya, saya menghampirnya dan duduk disebelahnya. Baru
beberapa langkah kaki ini mendekati jasad Husein wangi aroma yang sangat
menarik tercium oleh hidungku, entah dari mana wewangian itu hadir? Sangatlah
harum dan sangat berbeda dengan harumnya wewangian yang dijual di toko-toko.
Serasa tenang kalbu saat hidung ini menciumnya. O, ya Allah mungkin ini adalah
semua karunia yang Engkau berikan terhadap orang-orang yang mempunyai keikhlasan
dalam beribadah?
“Husein..” saya menggoyangkan badannya dengan menepuk bahunya yang
kecil. Bergeraklah semuanya jasad itu.
“Husein..” kembali badan ringkih itu saya goyangkan
“Masyaallah Husein telah tiada,” saya menjerit sekuat tenaga.
“Husein.....” orang yang mendengar dari arah jeritanku itu dengan
segera menghampiriku.
“Inalilahi Wainailahiroziun,” ucap diantara orang yang melihat saat itu
yang hampir mulai banyak.
Menitiklah air mata ini melihat sahabatku itu membujur kaku dengan bau
harum dari badannya. Memanglah saat itu bau harum wewangian tersengat
“Sungguh harum mayat ini,” ucap diantara orang yang sedang berkerumun.
“Inilah keagungan Allah yang diberikan pada pemuda yang sangat ikhlas
dalam beribadah.”
Kuberi tahu istriku juga masyarakat sekampung....
“Ada apa Abang nafasmu berhamburan tidak karuan?”
“Husein istriku.”
“Kenapa gerangan Husein seperti yang engkau takuti.”
“Beliau telah tiada.”
“Telah tiada?”
“Ya istriku.”
“Inalillahi wainailahiroziun”
“Mari istriku kita melihat jasadnya.”
“Ya Allah semoga semua amal dan ibadahnya diterima disisi-Mu.”
Kemudian orang sekampung pun berkumpul melihat dengan khidmad. Tak satu
pun orang yang melihat jasad Husein tidak menitikkan air mata. Kesemua air
matanya membasahai seluruh pipinya masing-masing dan tak luput berdoa diantara
gema takbir yang terdengar dari kejauhan.
Pagi sangatlah cerah, jingga diufuk timur mulai memancarkan kesela-sela
ujung dedaunan yang mulai berguguran, hangat sinar kuning keemasannya menembus
relung hati yang sangatlah bertabur dengan keikhlasan, burung-burung pun
berterbangan di atas pohon menyambut gembira datangannya Idul Fitri, seakan
tidak mengerti bahwa ada sesuatu yang terjadi di kampunmg itu. Namun tidaklah
bagi mereka dalam kampung itu hujan air mata pun berhamburan bukan berarti
tidak ikhlas merelakan perginya pemuda asing itu, namun rasa haru terus
menyelimuti dan memang sangatlah wajar bila satu-satunya orang yang
menghidupkan surau itu adalah Husein seperti ayahandaku terdahulu. Dan kini Husein
telah tiada, telah meninggalkan kita semua. Ah, semoga dalam ketiaadaannya
surau itu tetaplah kokoh bersama orang-orang yang mengerti dengan keindahan
menjaga surau. Semoga.
Doa diantara orang yang menghadiri sholat itu seakan tiada henti, terus
mengalir bagai sungai Nil yang mengalir deras sepanjang masa.
Sholat Id pun dilaksanakan....
Setelah itu dilangsungkan dengan sholat untuk menyolatkan jasad Husein,
orang sekampung pun tidaklah keberatan hanya untuk melakukan hal yang terbaik
bagi pemuda itu. Serasa bergetar tubuh ini melakukan hal semua itu.
Penuh seisi kampung bertakziah mengiringi kepergian Husein si pemuda
yang malang sebagai pengurus surau itu sampai ke makam kampung tersebut.
“Ya Allah, ternyata Engkau berkata lain, hamba-Mu yang satu ini pergi
menghadap-Mu dengan Husnul Khotimah,” Kupeluk jasadnya yang putih dan wangi
diringi dengan lapadz takbir saat jasadnya hendak dimasukan keliang lahat,
bersama orang sekampung kukuburkan jasadnya.
Sahabatku itu, kurebahkan dalam pembaringan Idul Fitri dan kuletakan
diantara dua sajadah panjang.
Allahhuakbar.....
Allahuakbar.....
Allahuakbar Laa Ilahailallah Hu
Allahuakbar......
Allahuakbar Walilah ilham.....
Kuucapkan takbir teruntuk sahabatku yang terakhir kalinya.
Jogja, 06 November 2005
04 Syawal 1426 Hijriah
0 Response to "SESAL # 16 Diantara Dua Sajadah Panjang "
Post a Comment