Surgaku Bersamamu, Pi

 
Tak ada yang dapat menjaga waktu cintaku terbagi
Menjadi dua, menjadi tiga kesetiaan mati......*



Entah, saya ataupun engkau yang salah, jelas semua ini sudah terjadi, Ai. Dalihmu tak begitu saya pahami, bukan saya berusaha mempertahankan keputusanku, hanya kita terlalu sibuk dengan masing-masing, dan terlalu hina engkau cara memandangku. 
 
Itu bukan tanpa maksud engkau berbuat seperti itu, alasannya sangat kupahami, dan saya pun paham apa yang kualami saat engkau berucap “wanita mandul” terhadapku. 
 
Saya tak marah seperti halnya perempuan-perempuan lain, saya pun tak menangis, hanya saja saya merasa terhina sebagai perempuan. Engkau begitu tegas dan fasih menyebutnya, lembut terdengar hingga gendang telingaku hampir pecah, bak seonggok daging jasadku dibuatnya, lemah. Dan hanya diam dalam gerutu protes, kupendam dalam kalbu.

Kala itu saya masih ingat, rindu rayumu membuat diri ini kokoh menentang kedua orangtuaku untuk tetap berada di sampingmu. Betapa hebatnya kala itu, ibarat pepatah diri ini bagai termabuk asmara menggila olehmu, Ai. 
 
Semuanya kutentang termasuk hukum Tuhan sekalipun, satu dalam pikiranku engkau manusia sempurna yang patut kupertahankan. Tiada yang lain dihatiku selain engkau, jasadmulah yang selalu kusanjung sebagai tonggak nafas nadiku. Sekiranya engkau mengerti kala itu dan paham maksud isyaratku, kau tidak akan tega meninggalkanku dan kau tidak akan seberani membentakku. 
 
Saya ingin sekali hidup bersama denganmu walaupun kumpul kebo harus kualami, air mata darah sekalipun tak akan saya abaikan untuk jauh darimu. Tapi, ah. Engkau terlalu berani mengabaikan pengorbananku, terlalu berani berucap seindah itu. Perlu engkau ingat, tak seenak-enaknya memakai pembalut tak nyaman, lebih tak nyaman perkataanmu itu. Mengganjal dan masih tersimpan dalam kalbu ini. Hanya detik inilah berani kuungkapkan.

Tak apa engkau berdusta padaku, semua itu adalah kejujuranmu bahwa engkau memang itu adanya. Dan saya pun sadar dengan sejadi-jadinya atas lemahnya diri ini. 
 
Mempertahankan bukanlah salah satu alasan tepat untuk saya perjuangkan, sebab engkau pun paham atas semuanya. Dan keputusan itu sudah harga mati, nadzarku. Tak akan saya rubah walau engkau mengiba bercampur dengan deraian air mata darah, atau kencing nanah sekalipun. 
 
Ai, saya mohon hargai keputusanku. Maaf, permohonanmu untuk rujuk kembali dengan berat hati dan pertimbangan yang matang saya tolak, bukan saya tak mencintaimu, bukan saya tidak menyanyangimu, tapi saya terlalu. Sangat terlalu menyempurnakanmu. Menyamakan engkau bak Dewa penolong yang menjelma sebagai manusia sempurna yang datang menimang kemesraan Hawaku. Tapi, ah...... ternyata engkau Rahwana. Penyesalanpun tak akan saya berikan pada jasadku sendiri, sebab pahit empedu terlalu banyak yang kurasakan dan hampir kebal dengan semuanya, hampir setiap hari brotrowali yang kuhisap dengan olesan muka madumu, setiap hari itu pula saya merasakannya.

Kuharap bila malam tiba tak usahlah engkau berusaha membujukku untuk selalu rujuk. Semakin engkau berucap seperti itu, semakin pula kemanjaan gairahku untuk tetap berada dalam posisi sendiri. Saya sudah yakin tak akan mempengaruhi ucapan madumu itu dengan niatku, dengan posisiku. Semuanya paham, engkau, saya termasuk perempuan yang engkau tiduri semalam saat rintik hujan kala jasad ini menginginkan dekapan hangatmu. Semuanya paham Ai. Kala matahari itu terbenam dan lembayung merah membias cakrawala.

Saya sadari kala itu jasad ini terlalu egois, terlalu berani menentang keinginanmu untuk menduakanku. Adakah salah dikalbuku? Tak ada Ai, seiman-imannya seorang perempuan di dunia ini andai hendak dimadu oleh orang yang dicintainya, saya yakin tak ada. Kecuali, hanya kemurahan Tuhan, dan saya yakin pula posisimu untuk menduakanku bukan salah satu solusi tepat, sebab semuanya tak akan mengubah kebiasaanmu sebagai maniak sex. Engkau sudah terbiasa dengan hal itu, hanya ketuaan dan kelemahan jasadlah yang akan menghentikanmu sebagai pengagung sex.

Tuhan masih pemurah terhadapku. Ya, mungkin jasad ini termasuk golongan masih dimurahkan Tuhan, hingga diri ini masih menerima engkau bersanding dengan perempuan cantik di atas ranjang dengan pelukan birahimu yang tak kunjung klimaks. 
 
Mata ini, kepala ini masih menjadi saksi melihat semuanya, Ai. Desahan nafasmu, dengusan nafsumu, serta jeritan kecil perawanmu itu saat meregang menahan kenikmatan yang tiada kira, masih terngiang, masih menggumpal dalam bayangan insomniaku. Sempat kala itu saya terangsang, melihat engkau telanjang. Entah dimana letak nurani benang tipis diantara asmara dan dusta?

Ah, tak kurang-kurangnya Tuhan memberikan ketabahan dan kesabaran, mungkin pisau yang ada di tanganku kala itu sudah menikam dada yang mulai lepet ini, dada yang sudah mulai rata digerogoti piaraanku, yaitu kanker payudara. Engkau tahu kanker payudara, Ai? Satu penyakit yang paling ditakuti oleh setiap perempuan, termasuk jasad inilah salah satunya yang mempunyai ketakutan itu. 
 
Ketakutan untuk ditinggalkan oleh sang penimang nafsu, ketakutan untuk dijauhi olehmu, Ai. Dan semua ini terbukti, engkau lebih memilih perempuan itu. Saya pun paham dengan semuanya, perempuan itu lebih dariku. Kecantikannya, tentu! Kemontokkannya, tentu! Sintal tubuhnya padat, serta kuning langsat kulitnya, itu semuanya tentu. Hanya satu yang perlu engkau ketahui perempuan itu tidak mencintaimu seutuhnya, Ai.

Ai, saya paham engkau berbuat seperti itu. Tanpa alasan pun, orang-orang di sekelilingmu terutama kerabatmu, saudaramu, saya yakin akan menyetujui perbuatanmu. Tanpa engkau berbuatpun, sepertinya kerabatmu, saudaramu, mengisyaratkan engkau mengajak ke sana. 
 
Dan saya pun sangat mengerti dan sangat paham atas kecerobohanku menamparmu kala lembayung merah itu hampir pergi, sebab semuanya jelas engkau menginginkan kebahagiaan yang nyata. Tanpa ada dogma, tanpa ada aturan yang lain, dan tanpa ada yang memaksa jasad inilah yang paling sadar. Engkau butuh kehangatan, yang pasti bukan yang semu.

O, pedih kalbuku tersayat memandang semuanya. Jasad ini pun sadar diri, sadar bentuk, siapalah jasad lemah ini tak ada guna, selalu hina dalam pandanganmu.

Tapi, engkau perlu tahu Ai, jasadku saat itu merintih melihat semuanya. Engkau terlalu berani untuk menyakitiku. Tak apalah. Kupahami semuanya.

* * *

Genap tiga tahun sudah engkau meninggalkanku, tanpa jejak, tanpa tapak yang harus kupijak. Dan kini jasad ini, engkau akan menertawakan lebih dari yang dulu. Engkau akan puas, dengan pasrahnya deritaku. Dan lemahlah tubuh ini di atas ranjang dengan tak mempunyai kekuatan asmara. Sanjungan yang dulu engkau sandarkan pada diri ini tak akan saya biarkan berkecamuk bersama khayalan ini. Hanya lelaki itulah yang berani memberikan penghormatan terhadap jiwa perempuanku, jiwa ini pun merasakan apa yang diucapkan olehnya. Tapi apakah akan saya lakukan perbuatan itu terhadapnya? Tidak, akan saya jaga apa pun adanya terhadap keindahan bahasanya.

Dan lelaki itu. Ah tidak, engkau terlalu baik Pi untuk bersanding dengan jasad lemah yang tercampakan ini. Andai engkau berniat untuk mencari kembali seseorang yang lebih baikpun akan engkau mendapatkannya

Saya masih tergolek dengan lemah di atas ranjang reot itu. Pi memandangku dengan lugu, sesekali matanya berkedip menandakan bahwa dia merasakan apa yang sedang saya rasakan.

“Tak usahlah Pi. Engkau masih muda, saya yakin banyak gadis yang masih meminatimu. Tak usahlah engkau seperti itu,” Pi menatapku dengan berani dan berucap

“Ucapanmu membuatku tersayat, Tin,” dia semakin berani menatapku

“Saya malu Pi,”

“Kenapa? Pekerjaanmu, hingga kau tertular AIDS? Raja singamu? Mereka hanya melihat jasadmu dari luar saja. Perlu engkau tahu, Tin. engkau perempuan tangguh,” saya menangis mendengar semuanya

“Engkau akan tercampakan di masyarakat Pi,”

“Tak usahlah engkau berucap seperti itu, Tin. Saya siap setiap resiko yang akan saya alami,” Pi mendekatiku, tangannya yang kering mencoba membelaiku, kubiarkan

“Saya ingin engkau menjadi istriku, Tin!,” berulang kali Pi mengucapkan kata itu, setiap pengucapan itulah mata ini pun tak mampu untuk membendung, dan seringlah melunak. Saya memandangnya dengan mata membasah, ada sejuta keikhlasan dimata lelaki tak tampan itu, saya merasakannya. Dia terlalu baik untuk menerima penyakitku ini.

“Kau ragu, Tin?,” Pi mengusap air mataku

“Saya tak mau engkau tertular dengan penyakitku ini,” Pi menggenggam tanganku dengan eratnya

“Tak peduli,” tegasnya

“Ah.....,” saya membuang muka dari tatapan tajam lelaki kering itu. Tangannya yang kecil memegang jemariku kembali dengan kuat

“Tin...,” lembut suaranya terdengar, saya mencoba menatapnya dengan keberanian

“Apa pun engkau adanya, percayalah padaku saya tidak akan meninggalkanmu.”

Malam makin menghitam, Pi masih bersamaku, masih menatap dan memegang pengharapan untuk hidup bersamaku. Tatapannya makin sayu seolah ada kepuasan dalam kerlip matanya. Ia mengecup keningku, saya pasrah. Dengan perlahan tubuhnya yang kurus kering memelukku dengan erat seolah tak akan ada yang akan memisahkannya. Dan ah... pergumulanpun kulakukan bersamanya. 
 
Kulakukan semuanya penuh cinta, penuh asmara bersama Pi. Jasad ini pun bagaikan Bidadari yang disanjung pemujanya, debaran asmara yang baru kurasakan hangat dekapan. Saat itulah kasih surgawi melekat pada suasana kamar sumpek itu. Sungguh engkau lelaki penuh tangungjawab. Dengan engkau aku menjadi perempuan seutuhnya.

Dari sanalah lelaki kering itu tertular dengan penyakitku ini. Dan seminggu setelah itu, Pi pergi meninggalkan semuanya, termasuk jasad ini. Jerit melengking saat mendengar kabar itu pun sangat dahsyat. Dan kini jasad ini berada di pembaringan terakhir Pi. 
 
Gundukan tanah merah itu masih di depanku. Tak dapat saya bendung rasa penyesalan yang tiada kira, saya telah mengecewakannya. Semoga engkau tenang berada di sana. Dan sebentar lagi aku akan meyusulmu. Surgaku bersamamu, Pi.

Sapen, 25 Maret 2006

*)Lirik lagu Doel Sumbang, berjudul Nanananaa......


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Surgaku Bersamamu, Pi"

Post a Comment