Antara Aku, Dia dan Dirinya

“Namaku Ridwan Palupi, cukup kau panggil aku Pi,” demikian ia memperkenalkan nama padaku.

Perjumpaan pertama di depan Tata Usaha kampus putih itu berlanjut pelan-pelan. Ah, aku tak paham isyarat apa yang akan Tuhan berikan padaku, hingga Kau turunkan lelaki itu dihadapanku ini? Ucapannya begitu tenang, membuat aku terlindungi dari anggapan orang. Cukup lama aku mencoba menterjemahkan perasaan itu. Dan sungguh betapa sulitnya mencari bahasa yang bisa mewakili kalbu, mengungkapkan hasrat sanubari.

Setiap kali perasaan itu meluap mencari jalan keluar, seketika kudapati kekuatan menenggelamkanku dalam pusaran wewangian hidup untuk selamanya, lalu membawaku menuju awang-awang kelembutan nirwana cakrawala pelangi jingga. Sudah kuhabiskan waktu, hari untuk berpikir mencari jawaban, namun semakin aku merenung semakin bertambah perasaan itu lekat di atas detak jantungku. Aku seolah seonggok daging tak bertulang, lemah. Hari-hari itulah telah menyematkannya laksana hidup dalam pancaran mata air.

Lelaki itu tidak begitu tampan untuk aku katakan. Namun, tatapan matanya seakan menyibakan bahwa dia adalah lelaki sempurna yang patut aku pertahankan. Ah, terlalu berbelit ini hanya sebatas apologi naifku saja, yang sebenarnya aku telah jatuh hati pada lelaki itu, haruskah aku menolaknya? Toh menurut Doel Sumbang, cinta itu anugerah maka berbahagialah, sebab kita sengrasa bila tak punya cinta. Itu memang benar, tapi ini bebeda.

Lelaki itu kupanggil Pi seperti yang dia pinta, orangnya bersahaja, sederhana, pencinta wanita dan pengagum tubuh wanita. Tidak ada yang menarik dari dirinya, kulitnya sawo matang, tubuhnya kurus, jangkung, kumal, sepintas tak percaya bahwa aku akan jatuh dalam pelukannya dan satu hal yang perlu kuceritakan tentang kehebatan Pi, dia adalah lelaki agresif. Ah, mungkin itu yang membuat aku keblinger jatuh hati padanya, sampai-sampai aku berani meninggalkan lelaki yang benar-benar mencintaiku. Ya lelaki itu, berulang kali meminta rujuk padaku untuk kembali padanya. Tapi tidak, keculasannya membuat aku terpaksa dengki terhadapnya. Sudahlah tak perlu aku ceritakan. Bau tubuh Pi sangat aku kenal, ia sangat menyukai parfum bearoma rempah cendana, saat-saat setelah bercintapun harum keringatnya masih melekat ditubuhku. Ah, Pi.... bahkan setiap aku menghirup wewangian aroma rempah cendana itu serasa aku berada di awang-awang menikmati rabaan nakalmu yang selalu berpangkal pada ujung kenikmatanku.

Sulit, cinta memang sulit untuk ditebak dan sulit untuk dipercaya. Orang mengatakan bahwa hitam itu tidak baik untuk warna, justru aku malah memilih hitam sebagai bagian hidupku. Ya jalanku, semua ini kulakukan demi mendapatkan lelaki kurang tampan itu. Orang menganggap bahwa aku perempuan yang tidak mempunyai prinsip. Ah, tai kucing cinta tak mengenal prinsip, dulu memang aku sangat mengagungkannya, tapi sekarang prek dengan semua itu. Biarlah anjing menggongong kafilah berlalu, cinta memang egois. Toh Adam dan Hawapun begitu mementingkan asmaranya tanpa harus berpikir panjang akan hadirnya anak-anak cucu yang penuh dengan dendam berahi. Tak begitu jaulah antara aku dan nenek moyangkku.

Sekarang aku berada dalam pelukan Pi untuk kesekian kalinya, tak perlu aku ceritakan apa yang terjadi sebelumnya, yang jelas aroma rempah cendana itu masih melekat di tubuhku. Kini tangan yang tinggal tulang itu membelai rambutku, kurasakan kemesraannya.

“Senin besok, May ingin menemuiku,” sejatinya aku sangat terkejut dengan ucapan Pi, namun aku pura-pura tak mendengarkannya. Tak seperti biasanya Pi berucap tetang May, kupahami setelah bercinta Pi langsung terlelap.

“Apa Pi?”

“May ingin berkencan denganku.”

May adalah perempuan milik Pi, dia lebih dahulu memikat hatinya dua tahun silam. Pengakuan Pi, May seorang wanita lembut namun sedikit egois. Kuperhatikan wajah May cukup cantik, itu kuketahui kala selembar foto Pi berikan padaku. Sejatinya aku cemburu saat itu dan sangat tak rela bila tubuh beraroma rempah cendana itu melekat pada orang lain. Tapi May, dia bukan orang lain, dia milik Pi. Apa hakku untuk melarangnya? Seandainya kau paham Pi, aku tak ingin jauh darimu, aku ingin hidup bersamamu untuk selamanya.

Semuanya sangat terbalik 900 dari prinsipku, dulu aku sangat mengutuk perempuan yang dimadu, umpatku perempuan yang dimadu adalah perempuan yang tak mempunyai hati nurani, hanya manusia tolollah yang berani melakukannya. Tapi sekarang. Edan, sungguh sangat edan. Entah setan dari mana hukuman itu malah terbalik terhadapku. Inikah karma? Aku mencintai lelaki yang sudah dimiliki orang lain. Menjijikan, tapi aku suka. Tololkah aku?

Keterbukaannya Pi sangat kuhargai. Jujur atas keterbukaan itulah kerinduan selalu hadir kala Pi berucap bahwa May ingin berkencan dengan dirinya. Aku tak mampu melarang. Apalagi pada saat jam dimana mereka berdua berikrar janji, aku lebih memilih berdiam di dalam kamar. Aku hanya bisa membayangkan bahwa dia dan dirinya sedang bercinta, seperti yang telah aku lakukan sekarang ini. Pi memeluk erat tubuh May, satu persatu pakainya ditanggalkan sampai tak sehelaipun kain yang menempel, lalu mencumbuinya, tangan Pi yang agresif menggerayangi liar bak seekor anjing yang mengendus dalam tiap sudut, hingga May menggeliat dan mengerang, hingga bercampurlah keringan yang beraroma rempah cendana itu dengan keringat May. Ah, mengapa aku biarkan Pi bersama yang lain? Aku tolol, perempuan yang tak punya harga diri.

“Kenapa, engkau keberatan?”

“Tidak.”

“Lantas kenapa engkau diam, seolah ada sesuatu yang engkau pikirkan.”

“Tidak Pi, aku sangat mencintaimu.” Pi diam, pandangannya yang sayu menatap tajam seolah ingin menelusuri di balik manik riak gelombang putih dari kelopak mataku.

“Seandainya engkau keberatan, aku tidak akan memaksa,” aku diam, pun halnya Pi. Sebenarnya aku senang mendengar kata-kata itu. Namun, aku mengerti dengan keadaanku. Justru dengan ungkapan Pi yang tak begitu gairah menghadapi May, aku semakin merindukannya. Ah, sanggupkah aku mempertahankan cinta anatara aku, dia dan dirinya?

“Pi, apakah engkau akan mencumbuinya, seperti diriku ini?”

“Maksudmu, May?”

“Ya,” Pi tersenyum kecil, seolah pertanyaan yang aku lontarakan sebuah guyonan.

“Tak apa engkau menertawaiku. Tapi benarkah engkau akan mencubuinya?” tarikan nafas Pi sangat panjang, kurasakan hembusanya terasa hangat. Dan Pi tak sanggup untuk berterus terang ikhwal seperti itu. Mungkin seperti itukah cara seorang laki-laki menghindari?

Pi pergi ke kamar mandi. Tanpa sepengetahuannya kuambil benda kecil berhala mungil milik Pi yang tergeletak di dekat komputer, kubuka. Satu pesan dari May yang membuat kalbu ini tersayat, sebegitu cintannyakah May terhadap Pi, hingga dia takut kehilangan kehangatannya, begitupun Pi? Walaupun aku mulai merasakan keindahan dalam pergumulan ini dan walaupun aku tak berharap satu orang pun mengetahui kedekatanku dengan dia. Namun aku wanita yang masih punya perasaan, yang menginginkan pengakuan jelas darinya, aku perlu perlindungan, kehangatan seperti keinginan May. Kutahan isak tangisku.

Pi tak begitu paham atas perubahan wajahku. Satu kejelekan Pi yang paling kubenci, dia selalu menghindar bila semuanya berakhir dalam bercinta. Dan biasanya langsung tertidur lelap dalam pelukanku, pun halnya aku. Tapi, saat itu aku tak dapat memajamkan mata walau tubuh ini terasa letih, ucapan Pi terlalu indah terdengar dalam insomniaku apalagi pesan lembut dari May.

Kau terlihat tampan Pi, kala kau terlelap. Dan dengkuran kecilmu itu membuat aku tersayat, esok atau lusa aroma rempah cendanamu pasti milik orang lain, bukan diriku. Entah May atau siapa, yang jelas aku tak berani menjalaninya. Aku mencoba berpikir jernih, menghindar dari jerat dekapmu dengan bahasa ilmiah dari skripsiku. Walau engkau telah menjadi milikiku seutuhnya, tapi hatimu tidak.

Sayup Subuh terdengar jelas di telingaku, aku tetap tak mampu memejamkan mata. Pi menggeliat, aku berpura mendengkur, tangan Pi memeluk erat, aku semakin payah. Pi terbangun menenggak segelas air putih. Aku paham kala dia menatap wajahku, dan mencium bibirku. Aku berpura menggeliat, Pi tersenyum.

“Aku adalah milikmu, berikanlah keindahan itu untukku. Marilah kita habiskan dan nikmati pagi yang hampir seperempat ini,” aku paham Pi ingin bercinta kembali denganku. Aku hanya tersenyum getir, dan sedikit menganggukan kepala. Pi tersenyum, mulutnya mulai mengendus-endus seluruh tubuhku. Aku mencoba menikmatinya, dengan harapan bayangan May, hilang bersama jatuhku dalam pelukan Pi.

Sebuah persembahan yang kuanggap terakhir seakan-akan tak ingin kuhentikan. Namun, aku letih dan Pi terpejam kembali. Sementara cahaya fajar menyatu dalam tubuhku dan merasuki naluriku. Tapi, saat itu aku sangsi: apakah benar Pi akan memilihku? Sampai membuka mata ini, Pi tak ada di sampingku.

“May tadi telpon, kau masih tertidur. Mungkin aku pulangnya agak malam. Bau tubuhmu hampir menyerupai wangi parfumku. I will be miss you.....” pesan singkat dari Pi.

Ah, sanggupkah aku bertahan antara dia dan dirinya?

Jogja, 23 Maret 2007


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Antara Aku, Dia dan Dirinya"

Post a Comment