Eva


Mungkin Tuhan tak ijinkan sekarang, kau dan aku bahagia
Ternyata kau pergi tuk selamanya, tinggalkan diriku dan cintaku....*
—Eva—
           
Eva dihukum mati perempuan setengah baya asal Purwakarta. Kontan berita ini membuat geger, lantas menjalar bak virus flu burung merasuk seluruh isi Jawa Barat. Menunggu diantara ruangan sempit di balik terali besi karatan, perempuan itu bagai pesakitan termenung, penjemputan maut akan segera tiba.

Aku, Eva, spontan dalam seminggu menjadi topik utama. Dari pemberitaan media televisi ataupun media surat kabar yang ada di tanah air. Tentu Ibu pun sudah mengerti tentang pemberitaan ini, bahwa Eva anakmu sekarang berada di ruangan sempit, sesempit kadang ayam yang ada di belakang rumah kita, menunggu pesembelihan sang majikan di negara kita sendiri. Ibu, Eva bagaikan seorang pesakitan yang menunggu mati.

Tapi tak apalah, mungkin Allah telah mentakdirkan jalan hidupku seperti ini, jalan yang terbaik untukku, untuk kita semua. Benar katamu, Bu “Bahwa hidup bagaikan su’ung, entah apa yang akan terjadi selanjutnya, tak mungkin bisa kita baca”. Bukankah Ibu juga tak mampu menahan kerut keriput kulit yang ada di wajah ibu? Rabun mata Ibu, serta uban yang mulai menyembul dari kepala, serta penyakit asma yang sering kambuh? Andai ibu setelah mendengar berita ini kecewa, tentu itu bukan perbuatan yang salah. Hanya saja aku akan lebih kecewa andai ibu berbuat seperti itu, karena aku tahu bahwa ibu bukanlah seseorang mudah menyerah oleh kehidupan. Karena aku yakin selama dua puluh lima tahun kau berada di batas ambang keimiskinan hidup. Kau ditingalkan oleh Uden suamimu saat aku berumur lima tahun, kulihat kau tak pucat kala talak tiga itu menjadi vonis bagi rumah tanggamu. Aku memelukmu erat.

Bu, Ibu tak usah bersusah payah mencari pembelaan teruntuk meringankan hukuman Eva. Ibu tak usah membayar pengacara, sekarang pengacara hanya milik orang yang punya duit, ibu tahu kan? Lebih baik uangnya buat belanja ibu sehari-hari. Buat beli ikan saja, selama Eva pergi ke Bandung Ibu kan tak sempat mencicipi ikan salmon? Atau ikan sarden yang dikalengan itu?

Tak mungkin Bu, lelaki itu akan iba terhadap kita. Keputusan itu sudah sah, sudah milik mereka yang punya uang. Ibu tak usah bersedih ya, Eva akan baik-baik saja untuk hari ini. Entah esok ataupun lusa?. Ibu percayakan bahwa semuanya sudah menjadi ketentuan Allah hidup kita seperti ini? Sebab Eva yakin bahwa semula kita berniatan baik. Maafkan Eva Bu, Eva tak sempat membahagiakan Ibu, dengan berita inipun Ibu tentunya terpukul. Tetangga, saudara pastilah akan mencemo’ohkan keluarga kita, tentunya mereka akan merasa senang melihat keadaan keluarga kita. Ibu tutup telinga saja ya, atau pindah saja ke Subang.

Eva yakin ibu pun akan merestui perbuatan ini. Lelaki itu terlalu pandai mencemoohkan Eva, terlalu berani membiarkan air mata ini jatuh seperti halnya lelaki banci yang Ibu sebut itu. Tak ada bedanya, srigala atau anjing hutan, walau berselimut bulu domba sekalipun tetap Pi seperti itu, Bu.

Ah, Bu rasanya Eva tak perlu minta maaf pada Ibu. Sebab Ibu lebih percaya terhadap Eva-kan? Maafkan Eva Bu, rasanya Eva terlalu berani menentang kehendak apa yang diucapkan Ibu. Tatkala Bu Kokom menawarkan lelaki itu, terlebih dahulu sepertinya ibu paham bahwa Eva terlalu kecil untuk melakukan semuanya. Tetapi Ibupun memberikan ucapan pada Bu Kokom dan Eva-pun berani melihat senyum Ibu melihat semuanya. Eva, tak bermimpi akan bersanding dengan bajingan itu

“Umurmu sudah pantas untuk menikah, Va. Ibu ingin sekali menimang cucu, dan Ibupun ingin melihat engkau bahagia”

“Tapi, lelaki itu sudah tua, Bu” dengan kerendahan hati ini dan saran, pituah dari Ibu, aku pun menerima tunangan itu. Eva yakin Ibu saat itu melihat dari rasa kekecewaanku. Tapi Bu Kokom itu Bu.

Setelah menikah, Eva di bawa boyong pergi ke Bandung. Rumah megah, luas, serta halaman yang indah, Eva dibawa ke sana Bu. Di dalam rumah itu ada TV besar, kulkas besar, tempat mandi lebar, kasurnya pun empuk, lantainya mengkilat, sangat jauh berbeda dengan rumah kita Bu hehehee.... tidak seperti di rumah kita, TV tidak ada, apalagi kulkas listrikpun tak ada, mandi pun di kali yang airnya keruh kekuning-kuningan, ingin rasanya Eva bawa Ibu ke mari, ke rumah Eva yang baru Bu. Eva yakin Ibu pasti senang. Mungkin kalau Eva udah agak lamaan di sini ya Bu, pasti Ibu akan Eva ajak.

Ibu membayangkan Eva pasti senang menikah dengan Pi. Semula Eva berpikir Bu, Eva akan dijadikan istri yang semestinya istri. Pertama perlakuan Pi memang lembut terhadap Eva. Tapi Bu, baru saja satu Minggu penganiayaan itu Eva rasakan sangat pedih dan sangat menyayat hati Eva. Persis seperti yang Eva lihat dua puluh tahun kebelakang, Uden menganiayaan Ibu. Di rumah megah ini Eva layaknya seperti seorang pembantu.

Eva dikurung di ruangan bagian belakang di dalam kamar sumpek di dekat kamar mandi. Kurasa kala itu Eva tak paham menghitung hari yang Eva lalui. Hanya tamparan dan kurungan lebih keji bila Eva menginginkan berjumpa dengan Ibu. Dan yang paling Eva tidak terima Bu, malam itu kira-kira pukul setengah sepuluh, Pi pulang dengan keadaan mabuk, hanya siapa perempuan yang menggandengnya itu. Kudekati dan memapahnya, namun perempuan itu dengan gesitnya mengelakku.

“Anda siapa?” tanya perempuan seksi itu

“Dia hanya pembantu” Pi menjawab dengan kepayahan

“Kang....”  tersontak aku saat itu. Betapa Ibu bayangkan, Eva sangat terpukul dengan perkataan itu. Dan yang paling sangat menyakitkan, sesampai di kamar Pi bersama perempuan itu. Ah, mungkin Ibu juga mengerti apa yang mereka lakukan selanjutnya. Eva menangis sejadi-jadinya Bu, kala mendengar erangan kesakitan perempuan itu ditelan dengan kenikmatan dari lolongan kepuasan dari keduanya. Entah setan dari mana, Eva saat itu pergi ke belakang dan membawa pisau. Dengan tanpa basa-basi kutikam dada perempuan telanjang itu hingga darah segar muncrat dari payudaranya yang besar. Ia kesakitan Bu, melolong bagai anjing kampung. Kutikam lagi Bu, perutnya, punggungnya, lehernya dan darahnya pun keluar lagi, kutikam lagi Bu, sampai perempuan itu hilang kesadarnnya dengan berlumur darah segar.

Kulihat Pi dengan mata tajamku, ia hanya diam di pojok ruangan dengan tubuh telanjangnya. Ia ketakutan dengan wajah pucatnya Bu.

“Jangan, jangan Eva... ini suamimu” kudiam dan terus mendekatinya. Pi menjadi ketakutan. Bu, salahkah bila kala itu Eva membunuhnya?

Malam semakin larut. Aneh kekuatan Eva malah makin bertambah Bu. Pi kuikat dengan perempuan itu. Sedikit demi sedikit dada Pi kusayat dengan pisau itu, hampir terbelah lho Bu bagai membelah dada ayam hehehehe.....

Terasa sekali angin berhembus di balik celah kecil daun jendela, sejuk dan menambah bau anyir. Eva tertidur Bu diantara dua jenazah, sangat kunikmati. Namun setelah Eva bangun dan mata ini terbuka, keadaannya  jauh berbeda, Bu. Eva bukan lagi berada di rumah megah luas nan indah itu, tapi berada di ruangan yang sempit dan kumuh yang berjendelakan karat besi. Sama persis seperti rumah kita Bu, hanya saja tak ada kandang ayam ataupun kali tempat kita mandi Bu. Akhirnya kita kembali keasal Bu. Dan Malaikat itu akan segera menjemput Eva.

Jogja, awal Ramadhan 2006

*) lirik lagu Saat Kau Pergi, Bunga Citra Lestasi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Eva"

Post a Comment