Seperti perempuan itu, aku pun sama memiliki rasa terhadapnya. Dosa
ataupun durhaka, itu sudah aku pertimbangkan. Layaknya seonggok daging, jasad
ini pun lemah. Sandiwara yang kubangun bersamanya, seharusnya hari ini membuahkan
hasil, kurasa itu terlalu berlebihan. Ternyata mencintai lelaki yang sudah
beristri, layaknya menjaring angin, sulit dan tak mungkin tergapai. Tolol.
Akulah perempuan yang menjaring angin, memiliki yang tak mungkin aku
miliki, seolah tiada kehidupan. Pi, lelaki itu. Mawar yang aku tanam di dekat
halaman rumah, sudah melukaiku, parah dan sangat perih. Dan Sri. Ah, tidak
perempuan itu terlalu berhati mulia. Dia khusus teruntuk malaikat, tak akan
mungkin bersanding dengan iblis. Tetapi Pi terlalu pintar untuk semuanya,
terutama menghias bunga mawar sedemikian indah. Dia pun dapat berubah dalam
sekejap, wajah iblis maupun malaikat. Dan hari ini, kurasa dia sedang menjadi
malaikat berhati iblis.
“Pi, istrimu sudah mengetahui semuanya. Kuharap tutup sandiwara ini”
“O...... biarlah”
“Gila, kurasa kau sudah keterlaluan. Ingat, Sri adalah perempuan baik.
Dia anak seorang tokoh, dan kau...”
“Engaku tau apa, tentang dengan perempuan itu, hah?”
“Aku tak tega untuk melanjutkannya, Pi”
“Kau takut?”
“Bukan itu. Kurasa engkau sudah melakukan hal yang paling bodoh, kau,
aku kita sudah berani melukainya,”
“Lantas apa yang engkau inginkan, sekarang?”
“Sudahi sampai di sini sandiwara kita,”
“Apa...? Hahahaaaa...” aku sempat melihat kerling bola matanya yang
penuh dengan kemenangan
“Mengapa kau sekarang yang ngotot untuk menyudahi semua ini?” aku
terdiam. Pi semakin berani menatapku.
Malam makin menggeliat, larut. Angin berhembus menyelusup di antara
sela-sela pentilasi jendela. Aku masih di dekapannya, masih dipelukan lelaki
beristri itu. Kulihat manik bola mata seolah tidak menyimpan dendam, kutelusuri
sampai dengkuran kecilnya kudengar. Wajahnya terlihat tampan saat tertidur. Ah.
Aku akan selalu menyayangimu, tak apa aku menjadi istri kedua darimu. Pi memang
lelaki romantis, hanya egois. Namun aku tetap menyayanginya. Ada satu hal yang
membuat aku semakin cinta padanya, Pi lelaki apa adanya. Apa yang ada di
dirinya dia utarakan. Ah, apakah itu hanya sekedar perlakuanya saja untuk
memikatku? Tidak, dua tahun sudah aku berada di pelukannya, selama itu pula tak
berani dia mengiris hatiku, apalagi sampai air mata ini terjatuh.
Aku masih teringat terhadap Sri, lugu matanya, pandangan datarnya,
memiliki arti dari seorang istri yang menginginkan sebuah pengharapan dari keabadian
rumah tangga. Bangunan itu runtuh. Setelah duri mawar menusuk. Dan Pi seolah
tiada mengerti dengan keadaan sebenarnya, aku pun sama. Entah siapa yang dungu,
menutup telinga rapat-rapat? Aku yakin, Sri akan menerimaku sebagai sebagai
istri kedua bila Pi berani berterus terang padanya. Dan aku pun takut menyakiti
hatinya. Sebagai seorang perempuan aku paham, sakit hati akan selalu menyayat
bila melihat suami tercinta memadunya. Dan sebentar lagi ini akan terjadi pada
gadis lugu itu.
Aku semakin parah, tatkala pergumulan berahi itu terlihat dengan mta
telanjang Sri, saat diri ini mengerang kenikmatan. Kala itu Sri pergi menjenguk
orangtuanya di rumah sakit, karena diabetes. Tanpa sepengetahuan, Sri pun
pulang dengan mendadak. Aku pun melihatnya, sempat aku tergagap hanya
kenikmatanlah menutupi segalanya. Terutama naluri perempuanku. Dan Sri, ah.....
dengan wajah yang dingin dia menutup pintu kembali. Dia tak marah, dia tidak
menangis. Maafkan aku Sri.
Pagi itu, Pi pergi bersana mobil sedannya, melaju dengan kecepatan
kencang seolah ada sesuatu yang ia buru. Hanya aku dan Sri di rumah itu. Aku
masih bermalas-malas di kamar. Diam-diam Sri mendekatiku dan menjatuhkan
pantatnya di atas kasur di dekatku. Dia tersenyum
“Bagaimana tidurnya semalam? Nyenyak?”
“Lumayan” pandanganku beradu dengannya, terlihat ada sebuah ketenangan
darinya yang tak dimiliki olehku. Kejadian semalam dilaluinya seperti angin
lalu. Hebat.
“Mari kita sarapan dulu,” Sri mengagetkanku
“Oke..” aku dan Sri ke ruangan tengah. Terlihat kepandaian Sri dalam
memperlakukan orang di meja makan
“Kau baik, Sri. Kalbumu bergitu bersih,” dia tersenyum kecil. Ada
seribu penyesalan dalam kalbuku telah melukainya
“Kau masih mencintai Pi, Sri?” Sri diam, memandangku dengan berani.
Hanya sedikit anggukkan
“Kau..?” sungguh aku terkejut dengan pertanyaan itu
“Maafkan aku Sri. Sungguh aku tak bermaksud seperti itu”
“Aku paham. Sebagai seorang lelaki tentu sangat kuhargai perbuatan itu,
kala istrinya tak mampu memberikan kepuasan batin,” ada tarikan nafas yang
serasa berat
“Maksudmu?” Sri kembali diam. Aku mengerti dengan keadaan itu, hatiku
semakin kacau setelah melihat pengakuan yang tak berucap perempuan itu
”Aku tidak akan menyalahkan Pi ataupun engkau. Ini sudah menjadi
keputusanku yang harus aku terima. Aku terlalu berani untuk mengatakan ‘ya’
terhadapnya”
“Maksudmu? Pi?” dia diam “Lantas” lanjutku
“Orangtuaku. Keputusan beliau, suatu hal yang harus kupatuhi sebagai
azimat hidupku. Hanya saja, Pi terlalu berani membiarkan air mata terjatuh kala
malam tiba. Kau bukan perempuan pertama, yang terjatuh dalam pelukannya. Dan
beginilah aku, memperlakukan perempuan itu, termasuk kau. Hanya kau perempuan
yang menghargai naluriku” kuperhatikan wajah ayu itu. Terembab wajah itu dengan
air mata. Saat itulah naluri perempuanku terpanggil
“Maafkan aku Sri,” aku memegang jemarinya, erat.
“Tak apa. Ayo makan.”
Semakin lama berada di rumah itu, semakin itu pula rasa iba dan
sayangku terhadap perempuan itu kurasakan. Pi, membiarkan perlakuanku terhadap
istrinya. Semakin hari, semakin akrab aku dibuatnya. Tetapi Pi tak senang
dengan kedekatannku dengan Sri
“Tak usahlah engkau berbaik hati terhadap Sri” itulah yang sering
ucapkan oleh Pi terhadapku. Aku selalu tak menggubris ucapnnya. Pikirku, toh
tak ada salahnya andai aku harus berbuat baik terhadap istri pertamanya itu.
Aku telah melukai Sri, saat inilah aku harus menebus perbuatan kejiku.
Malam ini Pi pergi ke luar kota, untuk suatu urusan bisnisnya. Entah
bisnis apa? Sekarang aku tak peduli
“Kau tak usah terlalu dekat dengan Sri,” Pi membisikan ucapan itu
terhadapku. Sri hanya melihat di balik gorden, aku menatap penuh dengna iba.
Malam tiba, angin berhembus, nampaknya hujan akan turun malam itu. Dan aku,
masih berada di dalam kamar bersama Sri
“Kau terlalu baik Ya terhadapku,”
“Kau senang dengan perlakuanku ini?”
“Sangat,”
“Seperti yang kusebutkan pagi itu, kau perempuan pertama yang menyapa
naluriku” aku tersenyum. Aku banyak cerita dengannya, pun halnya dia, kami pun
larut dengan semuanya. Malam makin larut, hujan pun akhirnya tiba, angin dingin
menerpa diantara masing-masing.
“Kau dingin, Ya?” aku hanya menganggukan kepala. Sri pun mendekapku.
Ada kehangatan yang aku rasakan saat itu. Indah, dan begitu romantis. Sri
menarik selimut tebal dan membiarkan aku terbaring di atas kasurnya. Desahan
nafas Sri begitu kencang, seolah ada semacam birahi. Semuanya kurasakan dengan
cermat. Dan kubiarkan pelukkannya mendekapku. Perlahan aku dan dirinya
terlentang dengan selimut tebal.
“Kau cantik Ulya,” Sri memandang romantis terhadapku. Aku tersenyum,
Sri mengecup keningku penuh kemesraan, perlahan turun ke pipi, bibir, leher,
hingga aku terbuai dengan semuanya. Aku merasakan getaran hebat aura dalam diri
Sri, dan aku pun terbuai hingga aku tak mengerti lenyapnya malam itu.
Pagi menjelang, tubuhku terlentang dengan telanjang dalam pelukan Sri.
Selimut itu masih membalutku. Aku terperanjat.
“Kau....?” dia tersenyum kecil
“Maafkan Ulya, kau perempuan pertama yang mengerti naluriku,” bergegas
aku mengenakan pakaian dan berlalu....
Yogyakarta, Sapen, 05 April 2006
0 Response to "Perempuan Yang Menjaring Angin"
Post a Comment