Aku ingin memelukmu, hari ini, esok dan lusa


“Pergi kau.......” bentakku dengan telujuk mengarah ke luar. Nafasku terengah-engah dan tak beraturan, deraian air mata tak kuasa aku bendung akhirnya keluar juga setelah sekian lama aku sembunyikan di balik kelemahanku yang ternyata bisa mengusirnya. Lelaki tambun itu hanya mampu melongo dengan pandangan datar, bak seorang yang terkena hipnotis.

Sebenarnya apa yang menjadi kata hatiku tak seharusnya untuk mengeluarkan ucapan sekasar itu. Congkah, angkuh, songong, prek dengan semua itu. Kurasa semua perempuan akan melakukan hal yang sama seperti yang aku perbuat saat itu. Dosa, terkutuk, apa peduliku, dan apa peduli mereka atau Tuhan sekalipun. Toh, aku seorang perempuan, bagaimanapun selamanya posisiku berada di bawah lelaki tambun itu. Dan akan selamanya berada di bawah. Bukankah alquran mengatakan bahwa sesama manusia itu adalah sama, hanya yang membedakan salah satu diantaranya adalah ketawaannya? Tetapi kenyataanya jauh berbeda, dengan apa yang ada dalam Firman Tuhan itu. Semoga Tuhan mendengar keluhku.

Dan sekarang hari ini, detik ini, akan aku putar balikan kenyataan itu.

Jemari telunjuku masih mengarah keluar, mataku merah. Lelaki tambun itu masih terpaku, seolah yang dia hadapi adalah bukan diriku sebenarnya. O, salah besar bila dia berpikir seperti itu. Dia pikir aku tak seberani yang dia kira. Akulah Sekarwati yang sebenarnya, perempuan desa yang lemah, yang sekarang sudah berubah menjadi Srikandi. Yang sering diangap bahwa aku adalah seorang istri yang lemah, cengeng, sedikit-sedikit menangis, dan akan bertekuk lutut di bawah lelaki yang kini menjadi suamiku. Tapi tidak, kini lelaki yang menjadi suamiku itu hendak aku usir. Entahlah setan apa yang merasuk pada diriku, sehingga aku mempunyai keberanian sehebat itu, yang jelas aku sudah terlanjur sakit hati padanya. Bagaimana tidak. Ah, mungkin aku tak perlu bercerita.

Kulihat badan yang tambun itu susah payah dia senderkan di dinding bambu, seolah tak kuasa untuk berjalan seutuhnya, cat kapur berjatuhan bersamaan dengan jatuhnya peluh di keningnya. Langkah yang kaku dan tersendat-sendat akhirnya mengeluarkanya pula dari rumah yang berdinding bambu. Kuperhatikan dengan mata memerah dan tajam.

Sesak, nyeri, lega dada ini melihat semuanya pergi. Pergi bersama semilirnya angin yang berhembus pagi itu.

Saat itu hari masih terlalu pagi untuk mengusirnya. Embun belum menetes, angin masih berhembus sejuk menerpa keningku, pipiku yang penuh dengan tetes air kejenuhan terus meleleh hingga mengalir ke pipi kuning langsatku. Langit terlalu biru untuk kupandangi.

Sepertinya sejuknya embun, dinginnya pagi dan birunya langit, semua itu tak menggimingkan niatanku untuk mengusirnya, niatanku sudah bulat, amarahku sudah memuncak, darah mudaku terlalu lama aku pendam. O, kuharap Tuhan sekarang mengerti dengan keadaanku, alasanku, dan niatku. Kepalaku tertunduk saat menatap lelaki yang sangat aku cintai pergi dengan langkah pendeknya bersama penyesalannya yang tak mungkin aku maafkan lagi untuk selamanya. Biarlah aku menjadi seorang istri yang terkutuk dari lelaki yang penuh dengan kedengkian dan biarlah esok atau lusa aku menjadi janda dengan satu anak, tanpa harapan, tanpa seseorang yang memperhatikan. Janda. Ya, janda sebutan yang paling ditakuti oleh seorang perempuan yang lemah sepertiku ini. Mungkin tidak bagi mereka.

Air mataku terus keluar dengan sendirinya tanpa ada yang membendung.

“Semoga kau mendapatkan yang lebih baik dariku” doaku diantara kekecewaan dengan ucap yang terpatah-patah. Sebenarnya doa itu hanya sebagai dramatisir jiwaku saja, agar apa yang aku lakukan nampak seperti yang ada di sinetron, rahasia Ilahi, atau film-film layar lebar yang sering memperhias layar kaca. Aku buang nafas dalam-dalam. Mungkin aku telah terkontaminasi oleh media kapital itu! Ah tidak, inilah kelebihan apa yang dimiliki oleh seorang perempuan, seperti diriku ini. Di mana sedang hatinya tercabik-cabik, tak luput hatinya pun berdoa kebaikan untuknya, semoga ini tidak berlebihan.

Setelah puas apa yang aku lakukan, kunci pintu depan selotnya aku putar pertanda pintu itu akan aku kunci kuat-kuat, agar lelaki tambun hitam itu tak kembali. Kututup pintu setengah dibanting keras setelah lelaki itu dimakan gang yang membelok. Perlahan kakiku yang rapuh aku langkahkan dengan begitu pendek, kulabuhkan pantatku di atas kursi rotan yang tak begitu empuk. Aku mencoba menenangkan aliran syaraf tegang dengan mengatur pernafasan, perlahan aku menghirup udara dari hidung dalam-dalam, lalu aku buang melalui mulut secara perlahan-lahan juga. Hasilnya cukup lumayan membuat aku tenang. Kurebahkan badanku yang mulai kurus dan mengendur di atas kasur yang tersedia di kamar dengan menghembuskan kepenatan yang tadi muncul. Ini sejarahku, kisahku yang akan aku tulis dengan tinta emas dengan lembaran kain sutera, agar semua tahu bahwa lelaki tambun itu hanyalah seorang yang pecundang, yang tak ubahnya seperti seekor babi hutan yang penuh dengan borok, jijik, kotor, dan hanya keburukan yang dia punya. Dan akan aku buktikan bahwa suatu saat dirinyalah yang akan bertekuk lutut di hadapanku, mengiba, memohon, berharap agar aku kembali dalam pelukkannya. Untuk sementara, biarlah kini aku menjadi seorang janda. Janda dengan satu anak.

* * *

Sebagai seorang istri tentunya aku termasuk orang yang sabar. Bagaimana tidak?! Resiko dapur sudah dua minggu bahkan lebih aku tidak menerimanya, kutahan semuanya dengan kesabaran. Kuhibur dengan alasan mungkin suamiku tidak lagi memegang uang. Kebutuhannya terlalu banyak.

“Ya namanya juga laki-laki kebutuhannya mendadak, mungkin suamimu memang seperti itu. Ibu harap kamu mengertilah, atau jangan-jangan suamimu ingin memberikan kejutan padamu”

“Kejutan apa to bu? Tiap hari juga aku sering diberi kejutan. Yaitu itu kejutannya, dengan tidak diberi uang buat resiko dapur” ibuku hanya nyengir kuda

“Apa kamu tidak tanya pada suamimu?”

“Tanya apa? Tiap ditanya selalu jawabannya sama. Aku lagi sibuklah, lagi ini lah, lagi itulah. Pokoknya aku bosen bu”

“Sabar ya” begitulah kira-kira bila aku melampiaskan kekesalanku pada lelaki tambun itu. Ya, pergi ke orangtuaku. Dan ucapan ‘sabar’ itulah yang aku pertahankan.

Aku tidak menyalahkan kedua orangtuaku, memperkenalkan dirinya saat aku masih lajang. Apalagi menuntutnya, yang ada dalam pikiran bahwa orangtua meginginkan anaknya lebih baik darinya. Tapi mereka tidaklah sadar bahwa lelaki pilihannya itu adalah seorang bajingan. Dengan mata dan kepalaku sendiri, aku melihat suamiku bercumbu tanpa merasa berdosa dengan seorang gadis tetangga kontrakanku, seperti dua ekor anjing kampung yang tak mengenal dosa dan malu mereka melakukannya. Biadab, terkutuk. Apa reaksiku saat itu? Marah? Dendam? Kecewa atas pilihan orangtuaku? Saat itu aku lemah, dan hanya deraian air mata yang aku punya

“Maafkan aku. Sungguh mati aku khilaf” hanya dengan kata itu aku luluh di hadapannya. Sungguh maut ucapanya.

Dan saat aku bercerita pada orangtuaku atas kejadian itu, mereka mengira aku mengada-ada. Mungkin orangtuaku tidaklah mengerti, sesungguhnya ucapan lelaki itu sering menyakitiku, merendahkanku, dia sering mengeluarkan kata-kata yang membuat aku tersinggung, bahkan tak jarang sering memukul hanya untuk menutupi kesalahannya. Mungkinkah sebagai seorang istri, aku harus setia pada lelaki itu? Apa yang aku harapkan bukanlah keindahan hanyalah keterpurukan. Apakah Ini yang disebut ‘sabar’ apa yang sering diucapkan oleh orangtuaku? Salahkan bila pagi itu aku mengusirnya? Saat lelaki tambun itu bercumbu kembali untuk yang kedua, ketiga atau kesekian kalinya?

Itulah salah satu alasanku, kenapa aku bertekat untuk bercerai dengannya dan bersih keras untuk pergi ke negeri orang, hanya untuk mengadu nasib, hanya untuk merubah hidup yang serba kekurangan, hanya untuk tidak melihat lelaki culas itu. Tapi lagi-lagi orangtuaku tak percaya bahwa suamiku seperti itu, biarlah mereka tak percaya dengan semuanya. Tapi untuk mencegah aku menjadi seorang te ka i di negeri orang, akan aku pertahankan, walau aku akan menyakiti orangtuaku sekalipun akan kupilih jalan itu. Kutitipkan anakku satu-satunya yang baru berumur dua tahun setengah, pada kedua orangtuaku. Terlalu pedih aku menyaksikan dan meninggalkan semuanya termasuk anakku. Tetapi tidak untuk lelaki tambun itu.

Semua tetangga menyaksikan, saat siang itu aku dijemput oleh mobil kijang untuk berangkat meninggalkan semuanya. Iringi doa, tangisan kedua orangtuaku, sanak sodara, sungguh ini sempat membuat aku tersendat untuk mengurungkan niatan pergi ke negeri orang. Tetapi lelaki culas itu seolah menertawaiku jika seandainya aku berhenti melangkah hanya karena deraian air mata.

* * *

Kini genap enam bulan sudah aku meninggalkan semuanya, tanpa air mata, tanpa tangisan, tanpa kecengengan kulalui dengan tegar hati. Walau aku sempat menangis pertama saat tiba di mes, wajah anakku yang lugu itu sekilas menyelinap dalam kenanganku, juga kedua orangtuaku. O, berat hati meninggalkannya, terlalu hebat pergolakan itu. Tapi semuanya harus kulalui. Selama enam bulan itu, dua kali sudah aku mengirim surat, dan satu kali aku mengirim uang, gaji pertamaku. Orangtuaku sangat senang dengan kehadiran uang kirimanku, mereka bernafas lega dan mengadakan syukuran. Bersyukur apa yang aku lakukan sekarang ini adalah suatu hal pemberontakan pada suamiku.

“Uangmu sudah ibu terima, cukup untuk kebutuhan tiga atau empat bulan ke depan. Anakmu pasti akan ibu jaga, kamu jangan khawatir, sekarang dia gemuk berbeda dengan yang dulu, suka makan, dan tiap malam pastilah dia meminta jatah untuk minum susu. Dan tahun depan dia ingin masuk sekolah es de. Apa mungkin gurunya mengijinkan? Sedangkan usianya masih terlalu muda, hahaha......” gelak tawa ibuku dalam surat itu membuat aku besar hati dan rasa bahagia terpancar dalam masa depan anakku. Satu hal yang membuat aku ganjil, lelaki tambun itu tidak ibu sebut sama sekali. Ada apakah gerangan? Sudah sukseskah dia? Sudah punya istri barukah dia? Atau sekarang malah sedang sekarat? Sudahlah, aku tak mau berlarut untuk memikirkannya.

Aku bekerja di negeri asing, sebagai pembantu rumah tangga, sebagai babu, sebagai pekerjaan yang rendah. Tapi itu lebih baik, lebih terhormat daripada pekerja sebagai koruptor, tukang maling uang negera. Ya, termasuk lelaki tambun itu, profesinya tak jauh apa yang disebut dengan korupsi. Aku tak mau anakku dijelali dengan uang haram, dicecoki dengan uang hasil merampok. Kuutarakan ucapan ini lewat suratku yang ketiga pada orangtuaku.

Setahun, dua tahun, bahkan menjadi lebih tiga tahun, aku melakukan pekerjaan itu. Sungguh waktu yang bisa dikatakan lama, setengah dari gajiku selama tiga tahun itu aku kirim semua ke orangtuaku. Kini mereka punya sawah, punya kerbau, kambing, rumah sudah diperbaiki, dan anakku sudah kelas dua es de. Aku ingin pulang, sudah terlalu rindu aku ingin bertemu semuanya, orangtuaku, anakku. Ah, sangat bahagia sekali bila diri ini datang, disambut dengan kehangatan, keharuan, tangisan bahagia. O, sudah aku bayangkan semuanya.

Dan hari ini aku akan pulang ke kampung halaman, akan aku tinggalkan negeri asing ini. Kubawa oleh-oleh untuk anakku, orangtuaku, sanak sodara, bahkan buat tetangga. Di rumah sudah disambut, dengan ala kadarnya dan dimeriahkan. Sambutan yang membuat aku terharu. Aku datang. Orangtuaku menyambutnya dengan tangisan kebahagiaan, kupeluk dengan eratnya.

“Maafkan aku ibu” parau kuucapkan setengah berbisik

“Sudahlah” kutengok perubahan dari rumah, anakku semakin besar menjadi seorang gadis. Kupeluk dan kuciumi, para tetangga menyambutnya. Sanak sodara bersalaman menyalamiku. Seoalah mereka tahu bahwa akau akan membawa oleh-oleh banyak untuknya. Seharian aku disibukkan dengan menyambut kedatangan tamu. Sangat melelahkan, tapi ini suatu resiko.

Sore harinya menjelang senja turun, dari kesepian orang mengunjungiku, datanglah seorang lelaki kurus bermata cekung, dan berpakaian kumal. Aku menatapnya seolah aku pernah melihatnya. Dia langsung besimpu, bertekuk lutut di hadapanku, aku sedikit bergeser dari tempat duduk.

“Maafkan aku, nyai” dia menangis, aku menghiraukannya. Orangtuaku dan anakku menatap kelakuan orang asing itu. Aku tahu lelaki itu adalah suamiku yang belum aku cerai. Dan hari ini ternyata dunia telah mengakuinya bahwa lelaki cuals itulah yang sekarang bertekuk lutut dihadapanku. Aku menang atas perlombaan ini, Tuhan mengabulkan doaku. Tapi apakah aku akan merasa bahagia, puas melihat lelaki kurus yang dulu tambun itu, sekarang nampak lemah? Aku iba, aku kasian. O, mungkinkah ini salah satu naluri kelebihan dari perempuan yang aku miliki?

“Bila kau menginginkan aku dihukum oleh tingkah lakuku yang dulu, hukumlah. Hukumlah aku, nyai. Tapi aku mohon maafkanlah aku” dengan kesadaran anakku mememluk lelaki asing itu

“Bapak” ucapnya. Tak kuasa air mataku memelehnya. Setengah bergetar lelaki kurus itu memelukku, seolah kejadian yang sangat menyakitkanku hampir tiga setengah tahun itu, aku lupakan dengan beberapa detik saja. Aku biarkan lelaki itu memelukku dengan eratnya.

Udara sejuk, langit memerah, dan kini aku berselimut dengan dekapan suamiku di ujung senja. Semoga ini pertanda baik bagi keutuhan semuanya yang aku harapkan. Kumaafkan semua kesalahannya dan keegoanku. Semoga.

“Aku ingin memelukmu, hari ini, esok dan lusa” hatiku menjerit, aku menangis. Pun halnya suamiku.


Sapen, 18 0ktober 2005

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aku ingin memelukmu, hari ini, esok dan lusa"

Post a Comment