Memilih untuk
kembali...
---Pram--
Semenjak perginya lelaki itu, aku tak mampu
berbuat banyak. Sebulan lebih aku tersiksa, kesepian menyergapku. Terutama Meli
anak pertamaku hasil dari pernikahan dua tahun yang lalu dengannya, selalu
menanyakan “Ayah ke mana, Bu...”. Inilah suatu bukti bahwa pernikahan seumur
jagung yang kujalani saat ini sangat membutuhkan keberadaannya, aku masih
menyayangi lelaki tak tampan itu. Tapi mengapa malam itu aku terlalu berani
menamparnya. Adakah yang salah padaku? Atau dirinya? Aku sangat tersadar kala
lelaki kering itu pergi ditelan belokan gang diiringi dengan penyesalanku. Ah
tidak, tak perlu kusesali. Perempuan dimanapun akan sama berbuat apa yang
kulakukan malam itu. Aku yakin.
Malam yang tinggal separo itu, aku pergunakan
untuk mencacimakinya, dengan amarah kuludahi mukanya. Masih kuingat, dengan
muka tertunduk engkau biarkan ludah itu meleleh di pipimu. Aku tak tega
menatapnya, walaupun kala itu amarahku telah memuncak. Ah, maafkan aku Mas Pram
aku sangat gelap mata melakukannya. Seharusnya aku berbijak hati malam itu,
memberikan waktu luang padamu barang sepuluh atau tiga puluh menit untuk
membiarkan engkau berlama-lama di atas ranjang bersama perempuan sintal itu. Ya
ampun aku terlalu berani. Bodoh. Dosakah aku? Penyesalan ini kadang mengkilat
dalam benakku, aku tak paham semuanya. Isyarat apa semua ini? Meli anakku
siapakah yang akan menggantikan posisi Mas Pram? Aku terlalu mendramatisir
keadaan.
Mas Pram lelaki itu, dia adalah suami
pertamaku. Bekerja disebuah kolektor perusahaan murahan di Jakarta. Kuakui Mas
Pram adalah lelaki penuh tanggungjawab, setia, penuh kehangatan. Tapi mengapa
malam itu dia terlalu berani membiarkan air mata ini menetes terjatuh. Adakah
yang kurang dari keadaanku? Cumburayuku, gairah seksualku, atau posisiku yang
terlalu monoton? Ah tidak semuanya, Mas Pram bukan pengagum seks, apalagi
hiperseks, yang kutahu dia lelaki penuh kelembutan. Tapi malam itu.....
Jelas aku lihat mukanya merah padam,
kebejatannya aku pergoki. Wajahnya yang turis mengkotak itu terlihat sangat
pias. Tubuh yang telanjang dengan segera dia balut dengan selimut
kembang-kembang milikkku, dan kasur itu, seprai bermotif flamboyan itu, kau
gunakan untuk senggama. Ah, teganya kau Mas Pram melakukan semuanya. Kau buat
hatiku hancur.
Sebenarnya aku tak masalah, dia melakukan
semuanya. Hanya satu yang kuperlukan, bicaralah padaku. Itukan yang sering
kuucapkan padamu, kala engkau enggan untuk bersenggama denganku. Namun engkau
terlalu berani mengabaikannya. Ah, Mas Pram walaupun begitu aku masih
mencintaimu.
* * *
Dari dahulu semenjak menginjak perumahan itu,
sejujurnya aku tak percaya dengan gosip murahan ibu-ibu perumahan, walaupun itu
sangat benar keadaannya. Entah mengapa aku sangat mengutuk semuanya: ibu-ibu
penggosip. Perlu engkau tahu Mas Pram, aku tak akan pernah suka dengan gosip,
sekalipun itu artis. Kaupun tahu, aku tidak pernah melihat tontonan gosip di
tivi, walaupun tivi yang kau beli sangat mewah, mahal, 29 inch, sangat besar.
Dan ingat Mas Pram, aku bukan tipe ibu-ibu
perumahan yang sering kau katakan dikala kau marah. Aku Mumun, gadis Priyangan
yang kau pinang sebagai teman hidup. Kau berjanji kala cincin itu masuk dalam
jari manisku, kau tak akan menjatuhkan air mata ini walau satu tetes sekalipun.
Nyatanya....
Mas Pram, hari ini aku akan tinggalkan perumahanmu
yang penuh dengan kenangan asmara kita. Aku akan pulang keasal, kembali
keorangtuaku, kembali ke desa. Dan relakanlah, Meli akan aku ajak pula. Kuharap
kau tak perlu menjengukku dalam keadaan apapun. Yang kupinta perlakukanlah
dengan baik perempuan itu sebagaimana dia memperlakukan engkau dengan baik
pula. Sangat mahal Mas Pram bila air mata perempuan kau jatuhkan dengan
sengaja.
* * *
“Tak baik Mun, maghrib-maghrib begini kau
melamun,” tangan keriput itu membelai rambutku dengan sayangnya
“Yang lalu biarlah berlalu, kau masih ada
ibu. Meli juga masih membutuhkan pelukanmu,” air mataku terjatuh, kurasakan
peluk kehangatannya. Aku menatap dengan berani perempuan setengah abad itu
“Mumun ingin pergi ke Malaysia, Bu,”
“Apa...?” ibuku sangat terkejut dengan
perkataanku itu. Sejenak ibuku terdiam dalam beberapa menit. Kuperhatikan
kerling bola matanya, mungkin berharap ucapanku tadi hanya bualan belaka
“Mumun sudah memikirkannya dengan matang, Bu”
aku meyakinkannya. Kembali ibuku terdiam
“Andai bapakmu masih ada, Mun. Mungkin nasib
kita tak akan seperti ini. Dan rasanya si Pram tidak akan seberani itu
meninggalkanmu.” ibuku tertunduk lesu, kulihat air matanya meleler di antara
sela-sela keriputnya. Sungguh aku tak tega melihat perempuan rapuh itu menangis.
Kau menang Mas Pram.
Semenjak itulah niatku bertambah bulat untuk
pergi ke negeri Jiran, mengadu nasib di negeri orang, menjadi te ka we. Biarlah
dari jauh Mas Pram menertawakanku, mencibirku melihat aku seperti ini.
Perempuan di kampungku semuanya mengadu nasib ke negeri orang, termasuk aku
salah satunya. Tak apa, ini pekerjaan halal. Kuyakin Tuhan-pun tidak akan
menertawakanku, apalagi sampai meninggalkanku seperti lelaki itu.
Hari itu terlalu pagi aku meninggalkan
semuanya. Meli anakku satu-satunya kutinggalkan untuk beberapa tahun ke depan.
Kutatap mata belo’nya yang tertutup, terdengar dengkuran kecilnya. Ah, aku tak
tega untuk meninggalkan Meli sekecil itu. Kukecup keningnya yang langsat dengan
hangat, dia menggeliat seolah dia paham bahwa aku akan berangkat pergi jauh
meninggalkannya.
“Bu, Mumun pergi. Jaga Meli ya Bu...,” erat
tubuh rapuh itu mendekapku, kubalas pelukannya dengan tangisan.
“Kau bukan anak kecil lagi, Mun. Ibu yakin
kau paham aturan agama. Jagalah diri baik-baik di negeri orang. Ibu akan selalu
mendoakanmu. Meli tak usah kau pikirkan akan ibu jaga baik-baik,”
tersendat-sendat ibu berucap seperti itu, hampir tak terdengar seolah
mengantung di tenggorokan. Ibu melepaskanku di balik daun pintu saat mobil
carry menunggu. Kulambaikan tanganku kala mobil berangkat, sejatinya aku tak
berani melakukannya. Kristal air mata ibu terlihat dari cahaya lima watt.
Maafkan Mumun bu, yang selalu merepotkan ibu.
Di antara ratusan perempuan, akulah salah
satu yang berada di dalam mess itu, menunggu visa turun dari sang majikan yang
akan membeliku sebagai pembantu. Dari sederet ratusan perempuan itu, kulihat
raut muka yang nampak muram, lesu, rapuh, dan sejuta alasan mengapa mereka
harus ke negeri orang. Mungkin salah satu alasannya sama seperti yang kualami
saat ini. Korban perceraian, pengkhianatan perkawinan, gagal pernikahan, suami
tidak bekerja, dan sederet alasan pahit yang tak mungkin cukup ditulis dalam
diary setebal seribu halaman. Hanya kaum perempuanlah yang paham. Terutama aku.
Seperti perempuan lainnya, dari menunggu
itulah pikiranku tambah kalut. Wajah ibu yang keriput sempat mengkerutkan
niatku, Meli anakku yang masih butuh pelukanku, itu hampir membuatku pergi
meninggalkan mess bila mengenangnya. Namun bila teringat lelaki culas itu,
dengan segera pikiran itu aku hilangkan. Aku harus pergi. Pergi ke negeri
orang.
Tak kurang dari lima bulan visa turun dan aku
berangkat ke Malaysia bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sesampai di
bandara Malaysia aku dijemput oleh majikan dengan senyum lebar.
Aku melakukan pekerjaan dari mulai pagi buta
sebelum majikan bangun, sampai malam tiba, dan kadang sampai tengah malam.
Pekerjaannya biasa yang sering kulakukan waktu aku masih bersama Mas Pram di
perumahan itu: menyetrika, menyuci baju, ngepel lantai, menyiram tanaman. Ah,
sungguh berat pekerjaan seorang perempuan, tapi mengapa laki-laki kadang tak
merasakan apa yang perempuan lakukan?
* * *
Satu tahun lebih aku bekerja di negeri orang,
selama itu pula lima kali aku kirim surat yang disisipi fotoku dengan majikan,
dan dua kali mengirim uang.
“Meli ingin punya selimut tebal, di sini
sekarang musim kemarau. Kemarin dia maksa ingin puasa, katanya ingin diet
tubuhnya tambah gemuk sekarang hahahaha..... Mungkin tahun depan dia akan masuk
sekolah. Sekarang dia sudah punya pacar Mun, si Jaja yang giginya boneng itu
hahahahah......” ucap ibu dalam suratnya. Air mataku terjatuh keharuan, surat
itu aku lipat rapat-rapat.
Tepat sudah tiga tahun aku bekerja di
Malaysia, masa kontrakku habis. Majikanku berharap agar aku bekerja di sana
lagi, aku hanya mengiyakan dengan sedikit basa-basi orang desa.
Sengaja kepulanganku tak sempat aku kabarkan
pada keluargaku. Aku ingin memberikan kejutan pada ibu juga anakku. Dan malam
hampir pagi itu aku sudah berada di depan rumahku. Kulihat semuanya sudah
nampak perubahan. Ah, tak sia-sia aku pergi ke negeri orang. Kuketuk daun pintu
dengan perlahan, dengan perlahan pula terdengar suara berat kaki menuju ke
depan.
“Mumun...” wajah tua yang kusut itu
menyambutku dengan bahagia
“Ibu...” kubalas kehangatannya. Tangis
keharuan menyelimuti saat itu. Dan aku sangat terkejut, Meli digandeng oleh
seorang laki-laki yang sangat aku kenali
“Mas Pram,” bisikku penuh keraguan
“Maafkan ibu Mun. Ibu tak sempat
memberitahukan padamu, sudah dua tahun setengah Pram berada di rumah ini
semenjak engkau pergi meninggalkan tanah air. Uang kirimanmu masih utuh ibu
simpan. Dan Pram-lah yang menanggung hidup ibu dan Meli semenjak kau tak ada,
dan dialah yang membantu pembangunan rumah ini. Dia ingin kembali padamu,”
“Benar Mun. Mas menyesal. Mas minta maaf,”
angin pagi itu masih terasa dingin yang menyelusup di sela-sela jendela, masih
aku rasakan.
Sebenarnya aku sudah berbulat hati tidak akan
memaafkan lelaki itu, aku sudah terlanjur sakit hati. Luka itu terlalu perih
kurasakan, hanya saja setelah pandangan ini menatap perawan kecilku yang begitu
akrab dengannya, hatiku luluh. Aku tak tega melihat semuanya. Mataku berkaca,
kupeluk Meli penuh kasih sayang. Dan Mas Pram diam terpaku di sampingku.
“Mun, Mas masih mencintaimu. Mas ingin rujuk
denganmu. Andai kamu masih dendam terhadap Mas luapkanlah pagi ini juga. Mas
siap dengan hukuman yang akan kau berikan. Hanya satu yang Mas inginkan,
kuharap Mumun tak menolak untuk rujuk kembali dengan Mas,” udara semakin
dingin, namun keringatku semakin mengembun. Haruskah sakit hatiku selama tiga
tahun lebih lamanya aku pendam, luluh dengan satu kata maaf? Perlahan Mas Pram
memeluk tubuhku dengan eratnya. Aku hanya mampu terdiam dengan deraian air
mata.
“Mun....” lembut terdengar Mas Pram berucap.
Tak kuat dengan semuanya aku menangis sejadi-jadinya.
“Aku sudah memaafkan semuanya Mas, jauh
sebelum Mas Pram meminta maaf,” berat aku ucapkan semuanya. Dan Mas Pram
semakin erat memelukku. Aku merasakan pelukannya. Lama Mas Pram melakukan itu.
Ada semacam ketenangan hati di hari yang mulai pagi itu, semoga ini awal baik
untuk melangkah ke depan, dan semoga Mas Pram memberikan yang terbaik padaku
terutama pada Meli.
“Pelukanmu teramat dingin Mas Pram...” pelan
aku berbisik di telinganya, dengan gemetar bibirnya menempel di keningku. Ibu
tersenyum kaku dan Meli ikut memelukku.
Jogja, 14 Juli 06
0 Response to "Pelukanmu Teramat Dingin Mas Pram...."
Post a Comment