“Mas, bagaimana kalau aku kerja? Kemarin Farhan teman kampusku dulu
menawarkan aku bekerja di perusahaannya,” rengekan itu membuat gendang
telingaku semakin ngilu dibuatnya. Entah yang keberapa kali ia membujukku
meminta hal seperti itu. Sejatinya aku tak begitu setuju, saat istriku meminta ijin untuk bekerja.
Aku sangat paham keadaanku, posisinya, serta keadaan ekonomi keluarga
kami. Sebelum kejadian itu menempaku rumah tangga kami cukup harmonis.
Istilahnya kehidupan ekonomi kami serba kecukupan. Rumah, mobil, sepeda motor
semua kumiliki dengan hasil jerih payah keringatku sendiri. Aku bekerja di
salah satu surat kabar harian di Jawa Barat, aku jadi wartawan, kugeluti
pekerjaan itu saat aku masih duduk di bangku kuliah. Setelah selesai kuliah
posisiku beralih menjadi redaktur, belum lama dari lima tahun pun karirku
semakin menonjol, paosisiku meningkat menjadi pimpinan redaksi. Ah, sebuah
cita-cita yang sangat kuidamkan semenjak dulu kugapai dengan begitu mudahnya.
Namun kejadian itu, membuat semuanya hancur bak menumpahkan air di dalam gelas.
Pengharapan yang kutunggu selama kurang lebih lima tahun hilang dalam beberapa
detik saja. Aku kecelakaan lalu lintas; kala itu istriku hendak melahirkan anak
kedua. Kabar gembira itu kuterima, aku tanjap gas dan tak mengira di depan ada
truk gandengan, mobilku terpental menabraknya. Mobilku hancur berat, keadaanku
kritis, aku sempat koma beberapa hari. Tak dinyana kala mata ini terbuka kakiku
sudah tak ada. Aku menjerit, aku syok, aku tak memiliki apa-apa lagi. Semenjak
itulah aku tergantung pada kursi roda.
Aku semakin terpuruk dalam keadaan seperti itu, hampir setengah tahun
aku mengalami depresi. Sedikit demi sedikit semuanya hilang; tabunganku, mobil,
sepeda motor, untuk pengobatan diriku. Apalagi karirku yang mulai menanjak,
harus aku tumbalkan terlebih dahulu.
“Mas, gimana?” suara istriku mengagetkanku. Aku menarik nafas
dalam-dalam seakan sesak. Pandanganku datar terhadap istriku, kuatatap manik
bola mata pengharapannya.
“Aku tak banyak berharap dari keadaanku sekarang, semuanya hilang. Aku
malu bila engkau kerja May. Apa pendapat orang, pendapat orangtuamu, tetangga,
kerabat. Aku masih mampu May, bila mencari nafkah untuk makan sehari-hari.
Dengan tulisanku. Kau masih percayakan tulisanku masih tajam?”
“Tapi, Mas. Anak kita butuh biaya, susu, pertumbuhan mereka, belum
sebentar lagi si Sulung masuk sekolah. Biaya darimana Mas, bila bukan dari
kita. Orang lain? Sodaramu yang kaya itu? Tak akan peduli, Mas” istriku begitu
ngotot. Aku diam, pandanganku semakin datar seolah-olah ada getar yang tak
mampu aku terjemahkan sendiri.
“Sebenarnya aku takut kehilanganmu, May. Cintaku padamu melebihi
segalanya,” aku memeluk istriku dengan erat.
“Sudahlah Mas, kita bukan masa pacaran lagi. Yang perlu kita perhatikan
sekarang adalah anak kita. Apalagi si Bungsu sudah mulai rewel minta jajan
terus, si Sulung apalagi,” kutatap belo mata istriku penuh keyakinan.
“Aku juga sayang kamu, Mas. Tidak mungkin aku meninggalkanmu.”
Akhirnya kuijinkan pula dengan berat hati istriku bekerja di perusahaan
temannya. Semenjak itulah istriku hari-harinya disibukan dengan pekerjaan.
Nampak sering keletihan ia dibuatnya kala berada di rumah, kadang saya merasa
iba terhadapnya. Haruskah ia yang menjadi tulang punggung keluarga?
Bila istriku bekerja aku hanya mampu menahan gejolak batin keterpurukan
dalam rumah. Aku tak mampu berbuat apa-apa, jangankan untuk bekerja, untuk
keperluan sendiri pun; mandi, makan, minum, bahkan buang air besar pun kadang
aku harus meminta bantuan orang lain. Aku hanya mampu menemani anak-anakku yang
kini mulai agak besar dan sedikit mengurus kegiatan di rumah; memasak, menyapu.
Apa yang aku mampu kerjakan, aku akan kerjakan.
Selagi di rumah aku hanya mampu menatap kosong, pandangan yang tak ada
gunanya. Kini angan-anganku sebagai lelaki idaman May musnah semenjak kejadian
itu. Dan satu yang tak pernah aku lakukan sebelumnya, sekarang aku banyak
mendekatkan diri pada Tuhan, dan selain itu aku banyak menulis.
Sebulan, dua bulan dan hampir setahun istriku bekerja dan aku hanya berada
di rumah dengan kursi rodaku, bermain bersama anakku. Dengan bekerjanya
istriku, kebutuhan rumah tangga cukup terpenuhi dan bisa dikatakan kecukupan.
Bahkan kini istriku mampu membeli mobil. Hebat.
Istriku sangat giat dalam bekerja hingga dalam setahun itu karir dia
semakin melonjak. Dia pun semakin sibuk. Berangkat pagi, pulang sore. Apalagi,
semenjak ia berpindah posisi. Terkadang pulang agak malam, bahkan sampai tak
pulang. Semuanya kupahami dan kumalumi.
“Engkau jangan terlalu sibuk, May. Perhatikan juga kesehatanmu,”
nasehatku kala menjelang tidur. Istriku hanya tersenyum.
“Jangan terlalu kuatir Mas, aku bisa mengatasi semuanya,” aku mendekat,
istriku terdiam, dan memandang dengan tatapan sedikit tak suka. Namun, ia
pandai untuk sekedar menyembunyikan perangainya.
“Engkau hebat May, belum setahun engkau sudah berpindah posisi,”
pujiku. Kuperhatikan wajah May.
“Engkau berbeda, semenjak pertama bekerja dengan sekarang. Wajahmu
semakin cantik May, kepribadianmu semakin dewasa dalam menghadapi semuanya, tak
salah aku memilih engkau menjadi teman hidupku.”
“Gombal, memang dulu nggak cantik po?” guyonnya dengan tatapan yang
mengada-ada. Namun aku tak peduli.
“May, bagaimana kalau Sabtu besok, kita ke Subang, kita ke Ciater, ke
Tangkuban Parahu, itung-itung jalan-jalan bersama mobil barumu. Sekalian jenguk
Ibu, aku kangen pada mereka,” istriku mendelik dengan menatap tajam ke arahku,
kuperhatikan pandangannya ada yang lain dari sorot matanya seakan menyibakkan
keangkuhan. Dengan segerapun mukanya ia kembalikan seperti semula, ia
tersenyum.
“Boleh, ide bagus. Tapi, liat dulu jadualku ya Mas,” aku tak paham May
berkata seperti itu hanya untuk membahagiakan aku saja, atau hanya sekedar
apologi untuk meyakinkan diriku bahwa keluargaku baik-baik saja.
Aku sangat bangga mempunyai istri seperti May. Perhatian, tak banyak
menuntut, sabar, dan sekarang dialah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Sebenarnya aku malu dengan semuanya; posisinya. Aku ingin seperti dulu
memberikan senyuman terhadap May, memanjakan dia, mengajak dia ke Talaga
Petengang, atau ke Taman Haji Juanda setiap seminggu sekali, sekedar mengenang
masa lalu kala masih kuliah di Bandung. Ah, semuanya tak mungkin seperti dahulu
lagi. Sekarang siapalah diriku, bukan wartawan lagi, bukan redaktur lagi, dan
bukan pimpinan redaksi lagi. Aku hanya seorang suami yang tak mempunyai kaki
yang selalu tergantung pada istriku, tergantung pada kursi rodaku.
“Besok Farhan menjemputmu lagi?” tanyaku.
“Iya, mungkin aku sebulan ini nebeng dulu sama dia, soalnya surat-surat
mobil belum kelar.”
“Farhan gagah ya May? Cakep? Punya kedudukan, juga sangat berwibawa.
Dia belum punya istri po May?”
“Kata siapa, dia sudah punya anak, dua seperti kita. Farhan orangnya
supel penuh tanggungjawab, pokonya dedikasinya penuh tercurahkan pada
keluarganya, walaupun sesibuk apapun, tetap kelaurganya nomor satukan,” istriku
menceritakan Farhan dengan bangganya. Sampai tak peduli terhadapku.
“Wah, hebat ya Farhan,” pujiku. Sejatinya aku tersinggung, merasa
terpecundangi dengan perkataan istriku itu. Siapalah diriku sekarang, suami
yang tak mampu apa-apa. Sekeras apapun aku memepertahankan kedudukanku, mereka
tak akan bergeming. Kuakui aku bukanlah Ridwan Palupi yang dulu. Yang selalu
disegani oleh anak-anak aktivis kampus, dan segenap pejabat di Kota Bandung
yang selalu miris bila melihat gelagatku. Siapa yang tak mengenal Ridwan
Palupi, yang berani mengungkap skandal birahi di kalangan pejabat, hingga
berita yang memuat diriku menjadi sebuah headline di surat kabar harian di Jawa
Barat. Aku menjadi buah bibir kala itu. Ah, itu dulu. Sekarang, aku bagai macan
ompong yang tak akan pernah disegani lagi. Kuharap istriku tidak.
“Ada apa Mas?” suara istriku mengaggetkanku. Aku menatap pandangannya.
“May....” suaraku sedikit menggetar. Istriku hanya mampu memandangi
dengan tatapan yang tak dapat kuterjemahkan.
“Maafkan aku May, aku tak lagi mampu menjadi suami idaman seperti yang
dulu kau harapan terhadapku. Aku hanya menjadi benalu untukmu, yang tak mampu
memberikan kau kebahagiaan,” mendadak aku berucap seperti itu. Ucapan yang aku
haramkan untukku sendiri, berkeluh kesah, apalagi pada istriku. O, betapa
pecundangnya diriku.
“Sudahlah Mas, menyesali hanya akan membuat Mas terpuruk. Sesuatu yang
membuat Mas mampu, cobalah lakukan. Terpenting Mas jangan terlalu mendramatisir
keadaan,” hiburnya. Benar juga apa yang ucapkan istriku, aku hanya butuh
ketenangan, aku terlalu takut kehilangan May.
“Terima kasih May, aku patut bersyukur mendapatkan engkau. Engkaulah
anugerah terindah yang tuahn berikan. Aku takut kehilanganmu.”
“Ah, Mas bisa saja, kaya judul lagu saja. Tidur ya, besok aku kerja
Mas,” begitulah istriku menyejukkan kalbu ini dan aku pun tenggelam dalam
pelukan istriku yang tak mampu aku terjemahkan. Aku terkulai sampai pagi
menjelang.
* * *
Sore itu aku menikmati secangkir teh hangat. Istriku datang membawa
sebuah kardus panjang. Dari kejauhan ia tersenyum gembira. Aku yang sedang
membaca koran mendadak berhenti.
“Mas, cobal lihat apa yang saya bawa,” istriku menyodorkan kardus besar
itu. Kedua anak-anakku datang.
“Apa ini.”
“Buka saja,” kubuka perlahan, satu batang betis palsu. Aku tersenyum,
pun halnya istriku.
“Coba dulu,” dengan sedikit ragu aku pun mencobanya, pas.
“Berdiri Mas,” perintah istriku. Aku menurut, sedikit demi sedikit aku
mencoba berdiri. Aku mampu berdiri.
“Pelan coba Mas jalan,” kucoba, sedikit demi sedikit kakiku kuayunkan.
Dan aku bisa berjalan walaupun nampak tersendat-sendat. Kucoba lagi, aku mampu,
coba lagi, aku mampu.
“Asyik Ayah bisa berjalan lagi,” anak-anak kegirangan melihatku seperti
itu. Isriku tersenyum dan spontan aku memeluknya. Sebenarnya aku paham dan
sangat kurasakan pelukanku tak disambut hangat oleh istriku. Namun, aku sadar
aku tak hendak mengecewakan keadaan sore itu.
“Maaf Mas (sambil melepaskan rangkulannya), aku harus segera ke kantor
lagi. Farhan sudah menunggu di mobil,” aku melirik ke arah mobil terlihat
Farhan melambaikan tangannya ke arahku. Kubalas dengan senyuman.
“Mas saya berangkat dulu, ada
kerjaan di luar kota. Mungkin dua atau tiga hari saya baru pulang, Mas minta
oleh-oleh apa?”
“Tak usahlah engkau repot-repot May, hati-hati ya,” istriku menciumi
anak-anak, pun halnya mencium tanganku. Aku tak berani memeluk istriku kembali,
dan istriku paham atas perubahanku. Namun, ia tak peduli.
“Terima kasih ya May,” ucapku. Istriku hanya tersenyum penuh dengan
kemenangan. Ia pergi menuju mobil di mana Farhan ada di sana.
Ia memberikan sesuatu padaku, seolah diri ini akan bahagia dengan
barang mainan barunya. Sedangkan dirinya bersama yang lain. Farhan melambaikan
tangannya lagi. Mobil itu melaju pelan dan perlahan menghilang tertelan jingga
merah sore hari.
“Mama mau ke mana Yah? Kok sama Om itu sih, bukan sama Ayah?”
“Mama sedang ada urusan, ayo masuk,” aku berjalan pelan-pelan dengan
kaki palsuku diringi dengan kedua anakku.
* * *
Semula biasa saja perputaran itu kulalui bersama istriku. Entah mengapa
akhir-akhir ini istriku sering keluar kota dengan alasan yang menurut aku
terlalu menuntut dan terlalu memaksakan. Farhan sering menjemputnya dengan
terang-terangan, meminta ijin terhadapku. Atau kadang sering istriku agak
berani membentakku bila diriku menanyakan ikhwal akan ke mana perginya, walau
nadanya tidak begitu tinggi, namun bagiku tekanan nada itu sangat kupahami.
Namun, aku masih tetap tak mamapu untuk menerjemahkanya atau hanya sekedar
memberikan hipotesa perputaran itu.
Enam hari sudah istriku tidak pulang, katanya ada proyek kerjasama
dengan pihak luar negeri. Entah luar negeri dari mana. Aku pun tak hendak
bertanya lanjut sebab istriku tekanan nadanya semakin berani dan aku dibuat
pecundang di hadapannya. Tak ada kabar dan tak ada berita darinya.
Pagi itu Pras teman sepekerjaanku sewaktu di surat kabar harian dulu,
berkunjung ke rumahku. Sungguh aku sangat bahagia. Terlihat dari auranya
memberikan suatu gambaran dia telah menjadi orang sukses. Setelah lama
berbasa-basi. Sahabatku itu dengan berat hari menyodorkan sebuah foto. Ia
menangkap basah istriku bersama Farhan sedang berada di dalam kamar hotel.
Kuperhatikan foto itu.
“Semoga aku salah melihat semuanya, Pi.”
“Tidak Pras ini May, istriku,” aku tertunduk lesu.
“Aku tak bermaksud merusak keluargamu, tapi kau seperti saudara
lelakiku sendiri, Pi. Saranku segeralah engkau berucap panjang dengan istrimu.
Tapi ingat, engkau tak perlu emosi,” Pras pamitan. Aku tercenung. Tapi aku
paham dengan semuanya.
Malamnya, istriku pulang diantar Farhan. Ia membawa oleh-oleh lengkap
dengan buah-buhan. Aku menyambutnya seperti biasa dengan wajah sedikit lesu,
pun halnya anak-anak.
Dan sewaktu hendak tidur aku memberanikan diri untuk mengutarakan
maksudku. Perlahan aku menyodorkan foto itu. Sebenarnya aku paham perubahan
wajah pertama kala May melihat foto itu, ia terkejut. Namun kepintarannya
menenangkan diri, jadi ia terlihat tenang. Dia tersenyum sangat sinis.
Menatapku penuh keberanian.
“Aku sudah lama berhubungan dengan Farhan, tiga bulan semenjak aku
bekerja di perusahannya. Sekarang terserah Mas. Saya manut. Apakah Mas masih
ingin bersamaku? Tapi, bila Mas sudah tak tahan denganku silahkan, saya pun
manut. Ini rumahku, juga barang-barang semuanya,” sangat datar dan halus. Dan
tatapan May malam itu terlalu berani walaupun terlihat sayu.
“Besok aku keluar kota lagi, bersama Farhan. Aku harus istirahat malam
ini. Oya, laci paling bawah ada uang cukup untuk sebulan, bila perlu ambillah,”
May membelakangiku, dan tak lama dari itu terdengar dengkuran kecilnya. Aku tak
mampu berbuat banyak. Irisan hati mulai kurasakan. Pedih.
May, kau membunuhku perlahan dengan sikapmu yang begitu lugu. Haruskah
aku membunuhmu malam ini, May?
Jogja, 30 Maret 2007
0 Response to "Laki-laki Lain"
Post a Comment