Masitoh


Sebelum subuh, Ahmad suami Masitoh terbangun. Beliau terperanjat saat melihat di pinggirinya Masitoh sudah tidak ada. Entah ke mana perempuan tambun itu?

Pria berambut ikal yang hampir botak itu menggisikan matanya dan segera mengambil kaca mata min dari arah meja lalu mengenakannya. Lantas menyalakan lampu. Kemudian ia bangkit, sedikit termenung mengumpulkan ingatan. Ia turun dari ranjang lantas ke belakang untuk mencari istrinya.

Mula-mula Ahmad merasa biasa tak menaruh curiga, memang apa yang dilakukan Masitoh sebelum menjelang subuh sudah terbiasa bangun lebih awal. Namun lama kelamaan Ahmad mulai merasakan bahwa Masitoh memang tak ada.

Ia cari ke sumur tak ada, ke dapur tak ada. Masitoh pergi, pikirnya. Ia mulai kebingungan, istrinya tak ada, di pinggir rumah, di depan semuanya sudah ia perlihatkan. Hanya sia-sia saja. Sampai ia kelimpungan mencari ke sana kemari Masitoh jelas tidaklah nampak di rumah itu. Hati suami Masitoh nampak gelisah, gusar, dan sangat mencemaskannya. Mukanya yang kusut itu bertambah semerawut ditambah dengan keringat dingin yang mulai nampak.

Dengan kesadaran penuh, setelah selesai salat subuh Ahmad teringat akan hal semalam, ia cekcok dengan Masitoh. Perdebatan yang cukup sengit yang diawali dengan hal sepele membuat malam yang mulai larut itu menjadi kelabu, ia merasa perkataannya membuat hati Masitoh terluka. Itu terlihat sepanjang malam Masitoh tak berucap sepatah kata apapun.

Beliau sadar bahwa pertengkaran semalam sangatlah membuat Masitoh tersinggung, untuk beberapa kali ia umpat sebagai gadis yang mandul, yang tak akan mampu melahirkan keturunan. Memang pernikahaan Masitoh dengan lelaki itu sudah berlangsung lima tahun, namun kiranya Tuhan belum mengaruniai seorang momongan bagi mereka. Menurut dokter bahwa kandungan Masitoh tertutup oleh lemak dan berat badan Masitoh haruslah diturunkan. Jadi sangat sulit untuk mendapatkan turunan. Itulah awal bencana menimpa pada lelaki ceking itu.

Hari hampir pagi tetapi lelaki itu tak menemukan istrinya, ia sangat payah, matanya sayu menatap semuanya. Ah tidak, Masitoh pasti ke rumah ibu, atau ke rumah temannya. Aku yakin Masitoh tak akan senekat itu, ia masih mempunyai kesadaran pada agama. Pikirnya lagi.

Matahari mulai menyembul dari arah Timur dan lelaki bertubuh kurus itu masih terlihat cemas. Masitoh masih belum terlihat batang hidungnya. Bergegas ia pergi keluar, melihat ke kiri dan ke kanan.

“Kau melihat Masitoh?” tanyanya Ahmad ke salah satu tetangganya

“Sebelum subuh kira-kira pukul tiga saya melihat ia pergi ke masjid, selanjutnya saya tak paham.”

“Lihat dulu ke masjid. Kalau tak ada coba lihat ke rumahnya si Rami atau mungkin ia pergi ke orangtuanya, Mad?” ucap salah satu tetangganya lagi, tanpa basa-basi lantas Ahmad bergegas pergi seperti yang disarankan oleh tetangganya itu. Namun nihil, sesampai di situ lelaki pengagum minyak wangi berbau rempah itu harus kecewa. Masitoh tak ada. Langkah Ahmad pun cepat-cepat tertuju ke rumah mertuanya. Sesampai di depan teras lelaki tak tampan itu sungguh sangat terlihat lelah, nafasnya naik turun peluh bercucuran. Aroma rempah dari bau keringatnya sangat dikenal oleh sang mertua.

“Benar juga, ternyata Ahmad bu!” melihat raut wajah Ahmad nampak lelah, lelaki tua yang memakai peci itu dipenuhi dengan tanda tanya.

“Kau nampak sangat lelah Ahmad, ada apa gerangan engkau seperti ini. Pasti bertengkar lagi dengan Masitoh.” Ahmad tak menjawab hanya anggukan kepalanya.

“Emangnya kamu dan Masitoh ada masalah apalagi?” ucap mertuanya sesampainya Ahmad menjatuhkan pantatnya.

“Tak ada abah, hanya semalam kami sedikit cekcok. Entahlah, mungkin Masitoh tersinggung, ” dan Ahmad pun menceritakan duduk perkaranya. Orangtua Masitoh hanya geleng kepala.

“Cobalah bersikap dewasa, Mad. Usia pernikahaanmu sudah cukup umur. Malulah dengan usiamu juga. Kembalilah ke rumah pasti Masitoh sudah tiba,” cukup lama Ahmad mendapat nasehat dari mertunya, dan hatinya pun mulai tenang. Ia pulang.

Malam pun tiba Masitoh tetap tak kunjung datang. Hati Ahmad mulai berubah jangan-jangan Masitoh kenapa-kenapa. Ia pun bertekat andai besok Masitoh tak kunjung pulang juga ia akan melapor ke polisi.

Dan sampai pagi pun Masitoh tak kunjung tiba. Ahmad melapor, koran harian berita sore memuat ‘perempuan bersuami pergi tanpa pesan’. Berita ini kontan membuat geger, Masitoh menjadi bahan bicara setiap orang. Ahmad semakin pusing dengan keadaan seperti ini. Mertuanya pun saat melihat berita itu langsung ke rumah Ahmad dan menanyakan kebenarannya.

Orang sekampung pun mencoba membantu mencari Masitoh ada yang ke sungai, ke ladang, ke hutan. Sampai satu hari dua hari hasilnya pun nihil. Dan Ahamd sudah merasa putus asa dengan semuanya. Ia pasrah apapun yang terjadi dengan Masitoh ia akan menerimanya, dan Ahmad merasa bahwa Masitoh memang sudah tak ada, pergi tanpa pesan seperti apa yang diberitakan di koran itu.

Pagi-pagi Siti pembantu Ahmad menjerit setengah mati

“Tuan....” dengan segera Ahmad pun bergegas

“Ada apa Siti?”

“Lihatlah Tuan!” mata Ahmad hampir melotot melihat perempuan yang selama ini ia cari-cari. Masitoh dengan tubuh kaku berada di bawah kolong ranjang dengan tubuh mulai membengkak dan mulut sedikit berbusa. Astaga.

Jogja, 15 November 2006

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Masitoh"

Post a Comment