Saat ini, setelah cukup lama
menikah, kami sengaja membangun rumah sederhana di sebuah dusun kecil di
pinggiran sawah dekat kali. Bulu, demikian kebanyakan orang menyebut nama dusun
itu. Sebuah kulit berbulu loreng dari seekor harimau ganas yang mati dikepung dan dikuliti oleh masyarakat, konon
harimau itu adalah jelmaan manusia yang rakus akan harta. Biarlah, cerita
apapun asalnya, terpenting aku tidak terbuai dengan mitos tersebut. Satu yang
menjadi tujuanku hidup di dusun tersebut adalah aku ingin hidup tentram dan
bahagia bersama suami tercinta dari kebisingan kota yang serba materalistik dan
aku menginginkan kebahagian sempurna sebagai wanita normal yaitu kehadiran anak
yang telah sekian lama kami menundanya. Namun, sampai sekarang keinginan itu
belum juga hadir.
Sekian lama ini suamiku cukup
kerja keras untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarga kami supaya terus mengepul.
Aku sangat bangga padanya, ia suami yang bertanggungjawab. Ia bekerja sebagai
buruh di sebuah perusahan konveksi kecil di kota tersebut. Semula aku tak tega
melihat tubuhnya yang kering itu kerja keras dengan pekerjaan yang begitu berat
menurut ukuranku. Padahal jikalau dilihat dari latar belakang pendidikanya,
suamiku adalah sarjana komunikasi predikat coum laude, dengan lulus tercepat.
Pin emas yang ia raih dari kampusnya cukup mmembuat kami bangga. Tapi, ah mau
di apa rejekinya sudah dari sana. Kami mensyukuri gaji yang cukup pas-pasan,
dan suamiku pun terlihat menikmati; berangkat pukul lima pagi dan pulang
kira-kira hampir menjelang sore.
Kebahagiaan sederhana yang telah
kuidam-idamkan semenjak dari bangku kuliah dulu bersama Pi suamiku itu telah
terwujud, namun satu yang belum sempurna dalam mengarungi rumah tangga
bersamanya yaitu kehadiran anak. Rumah yang bisa dibilang sempit itu, hanya ada
satu kamar tidur, ruang tamu, dapur serta kamar mandi. Namun semua itu tidak
membuat kami payah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam mengarungi biduk
rumahtangga. Dan aku sendiri hanya mengurus rumahtangga, artinya segala bentuk
urusan dapur/masak, membersihkan rumah, mengatur pengeluaran uang, semuanya
diserahkan padaku. Sebenarnya keinginan hati untuk membantu meringkankan beban
suami ada. Namun, suamiku tak ingin semuanya terjadi. Aku harus tetap menjadi
ratu dalam rumahtangga di rumah itu. Ah suamiku, seandainya umurku diberi
kesempatan panjang, maka aku berharap bisa menyaksikan engkau meraih kesuksesan
dan kebahagian yang engkau idam-idamkan. Tentunya bersamaku.
Pi, yang kuketahui orangnya
gigih, tak mengenal kata menyerah, andalannya hanyalah keyakinan, Tuhan Maha
adil. Kukenal dia semenjak aku kuliah di kampus putih semester enam, kala diri
ini kalut, saat lelaki yang kuanggap suci itu ternyata sama saja seperti lelaki
kebanyakan. Pengkhianatan kuketahui dari teman sahabatnya, saat aku mendekam
dipenjara suci (baca;pesantren), dia mencoba berpaling dariku. Pi-lah
satu-satunya lelaki yang kuanggap jujur, terbuka, apa adanya dalam mencintaiku,
dan perlakuannya penuh dengan kasih sayang bukan dengan nafsu, namun sejatinya
aku sakit hati dengan masa lalunya. Sebuah masa lalu yang membuat aku bimbang
untuk menentukan pilihan, menerimanya atau pasrah dalam keterpurukan. Ah,
bukankah aku mencintai Pi yang sekarang, bukan Pi yang dulu?
Dari hari kehari kehidupan kami
mulai meningkat, pekerjaan suamiku mulai dilirik oleh pimpinan, apalagi ia tahu
bahwa Pi adalah lulusan sarjana. Dan jangan heran belum genap setahun pun
sumiku sudah meningkat jabatannya. Dari mulai buruh melonjak sebagai pimpinan
produksi. Tentunya tidak langsung untuk mendapatkan jabatan itu, Pi harus
menempuh persyaratan administrasi dan beberapa tes uji, dari mulai tes materi
umum, psikotes, dan banyak lagi yang harus ditempuh dalam tes tersebut. Dan
Pi-lah satu-satunya yang diterima dari sekian ratus orang yang melamar.
“Tak salah engkau menjadi teman
hidupku, Re. Doamu selalu yang terbaik untukku,” begitulah Pi mengungkapkan
kata-kata sanjungannya untukku. Aku hanya menangis terharu, tapi tidak
dihadapan Pi, aku tak punya nyali untuk melakukannya. Aku hanya mampu memeluk
jasad yang kering itu.
“Aku masih ingat keinginanmu
untuk membeli buku ensiklopedi belum terpenuhi. Semoga dengan karirmu
meningkat, engkau dapat membeli sesuatu yang dulu sempat tersendat.” Pi
tersenyum, mencoba untuk tidak terbuai dengan nostalgia masa lalu. Jelas
kulihat tatapan Pi saat itu seperti pertama aku mengenalnya di depan Tata Usaha
kampus putih itu.
Hari-hariku sepenuhnya terkagumi
dengan perlakuan Pi, ia begitu memanjakanku dengan buaian tingkahlaku maupun
budi pekertinya, yang entah ia memberikan kejutan atau apalah, hingga kalbu ini
terbuai seolah dibawa terbang olehnya kelangit yang ketujuh. Sungguh aku bagai
bidadari di hadapannya. Ah Pi, aku juga tak salah memilihmu, walaupun aku
dihadapanmu bukan yang pertama, namun bagimu diriku adalah awal dari segalanya.
Inilah bukti yang sesunguhnya kurasakan. Engkaulah pelabuhan terakhirku, Pi.
* * *
Sebulan lebih aku merasakan
dapurku selalu mengepul. Dan pagi ini aku hendak ke pasar setelah tadi melepas
Pi pergi bekerja. Hari ini aku ingin masak sayur bayam, goreng tepung lele,
kerupuk udang serta jus sawo sebagai cuci mulut kesukaan Pi. Ah, sebagai ibu
rumahtangga mungkin aku termasuk istri yang beruntung. Suamiku selalu
menyayangiku.
Di pasar aku bertemu dengan
sahabat lamaku sewaktu di es em a. Rahman, nama sahabatku itu. Sebenarnya bukan
sahabat, dulu aku pernah mengikat tali kasih dengannya, ya istilahnya pernah
jadian. Setelah lulus sekolah, Rahman melanjutkan kuliahnya di Bandung dan aku
sendiri ke Yogya, saat perpisahan itulah kami tidak ada komunikasi lagi hampir
tujuh tahun. Tak heran bila perjumpaan itu, hampir membuat aku bernostalgia
kembali dengan masa laluku. Kami pun menyempatkan mampir ke warung kecil di
pinggir jalan sekedar minum dan ngobrol.
“Rahman, (ucapku dalam hati saat
pantat ini jatuh ke bale warung dan saat pandangan ini menatap wajahnya yang
bersih itu) engkau masih terlihat tampan, dulu dan sekarang. Ya ampun, aku tak
menyangka akan berjumpa kembali dengan lelaki yang selalu mengisi masa di
sekolahku dulu.”
“Re,” Rahman mengagetkan lamunanku.
“Kau tak berubah Re, wajahmu
masih seperti yang dulu. Kau tetap cantik,” sanjungan itu sungguh membuat aku
melambung jauh tinggi. Hampir aku melupakan suami yang sedang bekerja. Rahman
memang terkenal sebagai lelaki pengagum wanita sewaktu es em a, ia pandai dalam
berurai kata. Lama kami berbincang di warung itu, namun tak sedikitpun Rahman
menyinggung keadaanku ataupun keberadaannya, artinya aku menikah atau tidak dia
tidak mengetahuinya, pun halnya aku padanya, atau Rahman tidak ingin sama sekali
untuk mengetahui keberadanku. Itulah pertemuan pertamaku bersama Rahman yang
sampai sekarang berlanjut perlahan.
* * *
Keberadan Pi di sampingku mulai
kurasakan belaiannya hanya beberapa bulan saja. Entah berubah ataupun tidak,
kegalauan hati minggu-minggu ini terasa berbeda dalam artian yang luas. Aku
sering merasakan tidak hangat. Pi sibuk dengan karirnya dan aku masih tetap
berada di rumah pinggir sawah dekat kali itu, tetap menjadi ratu rumahtangga
seperti keinginan Pi. Terbesit untuk curiga sangatlah besar. Haruskah
kuutarakan kegalauan hati ini pada Pi?
“Besok libur, aku ingin seharian
bersamamu, Re” itulah ucapan Pi yang dengan sadar selalu menentramkan kegalauan
hatiku, meluluhkan kecurigaanku. Ah, kau pandai memadamkan aliran bom waktuku
ini, Pi.
Sampai saat ini kesempurnaanku
sebagai perempuan belum juga terwujud, seorang anak yang kuidam-idamkan
hanyalah sebuah khayalan saja, aku merindukan kehadirannya. Entah aku atau Pi
yang kuanggap mandul, menurut pengakuan dokter kami hanya terlalu capek saja,
dan perlu istirahat. Tapi tidak bagiku, aku sudah terlalu lelah untuk diam di
rumah pinggir sawah itu, dan Pi terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku sangat
paham kepergian Pi saat-saat ini, tapi apakah aku harus berdiam dalam
ketermenungan tanpa ada yang menemani? Seperti malam ini, aku begitu takut,
sudah semingu Pi meninggalkanku. Kiranya seperti ini, aku tidak sanggup untuk
tetap bertahan. Sempat terbesit dalam pikiran untuk berpaling dari Pi, tapi aku
bukan lelaki suci yang culas itu. Aku Rere perempuan penyabar, perempuan legowo
yang menerima Pi apa adanya sebagai lelaki kurang sempurna dalam masa lalu. Aku
hampir stres, aku kacau, ingin rasanya aku pulang ke Kediri memeluk kedua
orangtuaku, juga kakak perempuanku.
Suara pintu depan ada yang
mengetuk, itukah Pi? Kau panjang umur Pi. Aku segera menuju kesana. Pintu
kubuka.
“Rahman?” sungguh aku sangat
terkejut. Siapa yang ngasih tahu rumahku?
“Kau tak perlu terkejut Re, aku
tahu rumahmu dari Raya. Ternyata kau sudah menikah ya Re!” aku diam.
“Rumahmu sederhana, tapi cukup
mewah (mata Rahman melihat ke kanan dan ke kiri dari keadaan rumah). Kau tak
mau menyilahkan aku sekedar untuk masuk dalam rumahmu?”
“Sudah malam Man, tidak enak
dilihat oleh tetangga.”
“Sebentar aja ko, Re. Aku kangen
kamu.”
“Kau kan sudah tahu semuanya, aku
sudah bersuami,” lama Rahman memandangku kemudian ia pun pamitan dan
menyodorkan kartu nama.
“Kemarin aku kelupaan tidak
memberikan ini padamu, aku yakin suatu saat kau pasti membutuhkannya. Re, aku
masih Rahman yang dulu, yang selalu mengagumimu. Terus terang setelah pertemuan
itu, aku selalu ingat kamu, bayanganmu sangat membekas.”
Angin malam berdesir, kurasakan
dinginnya begitu menusuk, Pi belum juga pulang. Aku masih terjaga.
* * *
Paginya Pi pulang, aku sangat tak
sadar saat Pi berada di sampingku. Aku menggeliat. Pi tersenyum.
“Jam berapa Mas datang?”
“Subuh tadi,” Pi mengecup
keningku.
“Ehm bau, ayo bangun terus mandi
ya.”
Pi sedang baca koran. Terlihat Pi
sekarang agak gemukan, sepatutnya aku bahagia melihat sumiku seperti itu.
“Mau sarapan apa Mas?” Pi menoleh
ke arahku, ia menatapku dengan pendangan seolah ingin menelusuri di balik raut
wajahku.
“Kau terlihat kurusan Re, tapi
kau tambah seksi,” aku duduk disampingnya. Pi mengeluarkan sesuatu di dalam
tasnya.
“Ini buat kau,” sebuah cincin
yang Pi idam-idamkan untuk hadiah pertunanganku ternyata baru sekarang
terwujud. Aku memandang Pi cukup lama, mataku berkaca, aku memeluknya,
menciuminya.
“Aku kangen kamu, Mas” Pi
membalas pelukanku dengan kehangatan yang kuanggap biasa saja, dan Pi pun pergi
meninggalkanku kembali. Kurasakan pelukan Pi hanya sesaat, hanya dalam
hiitungan menit saja dan aku sendiri kembali di dalam rumah pinggir sawah dekat
kali itu. Cincin itu yang dulu kuidam-idamkan tak ada artinya. Aku tak minta
benda itu, aku minta orang yang memberinya. Kuantar Pi sampai ditelan belokan.
Ah, sungguh tersayat hati ini.
Aku membanting pintu, aku
menangis sejadi-jadinya dalam kamar. Inikah yang kuharapkan rumahtangga ideal,
kehidupan yang sederhana? Yang hidup dalam rumah sederhana, pinggir sawah dekat
kali, jauh dari kota, apa artinya semua ini sendainya aku hidup sendiri dalam
rumah ini? Kuanggap aku hidup sederhana akan membuat aku bahagia? Tapi sama
saja, prek dengan semua itu. Saat itulah aku terlintas Rahman, laki-laki yang
mengisi masa-masa di sekolahku dulu. Dengan sadarpun aku langsung
menghubunginya, Rahman sangat menyambutku. Aku pergi sekedar makan dengannya.
Terlihat senyuman Rahman seakan menang saat kuutarakan semuanya.
“Kau tak salah orang, Re. Aku
siap membantumu.”
Kedekatanku dengan Rahman semakin
erat, entah kenapa aku semakin terbuai olehnya. Dan Pi semakin aku lupakan. Ah,
kaulah yang pertama membuat asap Pi, dan aku hanya menyulutnya biarlah semuanya
terbakar.
Inilah puncak dari kedekatanku
dengan Rahman, saat tamu bulananku telat (baca;hamil), aku kewalahan.
Sebenarnya hal inilah yang aku tunggu-tunggu semenjak aku hidup bersama Pi,
tapi kenapa hasilnya bukan dengan Pi melainkan dengan orang lain?
“Besok minggu, Pi pulang. Kau
harus berterus terang Man pada suamiku,” Rahman menatapku, pandangannya sangat
membuat aku yakin.
“Pasti, kau jangan kuatir, Re”
aku lega mendengar semuanya.
Minggu pagi, Pi sudah berada di
rumah, aku tak bisa diam, tingkah lakuku seolah serba salah. Menunggu Rahman
tak kunjung datang. Pi menghampiriku,
“Sekarang Mas sudah ditugaskan
kembali di kota ini, Re. Mas, tidak akan meninggalkanmu lagi, dan hari-hari
semuanya milikmu. Mas ingin hidup seperti dulu lagi, tabungan Mas kiranya sudah
cukup untuk masa depan kita,” Pi menyodorkan buku tabungannya. Kulihat
jumlahnya jauh dari perkiraanku.
“Maaf Re, Mas tidak memberitahumu
terlebih dahulu. Semua itu hasil kerjaku selama ini, simpanlah, itu semuanya
untukmu,” seakan langit mau runtuh, hatiku menjerit.
“Terima kasih, Mas” Pi memelukku
penuh dengan kasih sayang. Dan berbisik di telingaku;
“Maafkan Mas Re. Mas selalu
meninggalkanmu. Inilah kejutan Mas untukmu, kau suka?” aku hanya mengangguk
kecil, Pi semakin erat memelukku. Dan akhirnya aku berlabuh dalam pagi itu.
Namun tetap wajah Rahmanlah yang terus membayangi.
Kutunggu Rahman sampai malam tak
kunjung datang pula. Kutelpon selalu mailbox, aku semakin kacau. Jelas kudengar
mendengkur Pi, ia terlihat lelah. Kupandangai wajah Pi.
“Maafkan aku Mas, aku tak
menyangka semuanya akan terjadi seperti ini. Tapi kau tak perlu cemas, aku akan
mempertanggungjawabkan semuanya,” tak sadar air mataku menetes. Malam itu aku
tak mampu memejamkan mata, menjelang pagi aku baru mampu memejamkannya.
* * *
Dua bulan lebih Rahman tak ada
menghubungiku, dan entah kemana kabarnya. Dua bulan itu pula kegalauan dan
kecemasan semakin membuatku kacau. Kedekatan Pi seolah menantangku untuk
berterus terang tentang keberadaan sebenarnya. Ya Tuhan, haruskan aku utarakan semuanya
pada Pi, sedangkan aku belum siap untuk melihat Pi kecewa.
Malam gerimis itu, aku beranikan
diri untuk mengutarakan semuanya. Kulihat Pi sedang berbaring sambil membaca
buku, aku mendekatinya. Tanpa sadar aku memeluknya.
“Mas, maafkan aku,” aku sesenggukan,
dengan rasa terkejut Pi membiarkannya
“Lakukanlah Re, bila semua ini
kau merasa puas,” lama aku menangis di pelukan Pi, setelah merasa puas barulah
aku mengutarakan isi hatiku. Aku menatap sayu suamiku, bibirku seakan kelu,
seolah badai tsunami akan datang. Perlahan aku berucap;
“Sebelum aku berucap, kuharap Mas
tidak usah komentar dulu. Dan bila semuanya berakhir aku siap untuk pergi dari
rumah ini, baju dan keperluanku sudah aku pack,” dan mulailah aku berurai
panjang tentang kedekatanku dengan Rahman. Setelah selesai, kulihat wajah Pi
sangat terpukul, air matanya meleleh. Serasa ada sesuatu yang hilang, sekarang
aku terbebas dari berjuta belenggu.
“Terserah Mas, aku manut
sekarang. Ucapanku benar adanya, aku siap untuk dicerai, dan malam ini aku
sangat siap untuk di usir. Maafkan Mas, aku mengecewakanmu,” tak hentinya air
mata Pi terus meleleh. Aku tertunduk lesu bak kapas terkena embun pagi. Tiba-tiba
Pi memelukku, terisak dan berbisik;
“Tidak Re, Mas-lah yang
seharusnya minta maaf. Mas mampu memenuhi kebutuhan lahiriahmu, tetapi Mas
tidak memahami kalbumu paling dalam. Sekali lagi Mas minta maaf, sumpah Mas
tidak paham bila kamu tersiksa dengan kepergian Mas dalam bekerja. Bila Mas
mengetahui semuanya, Mas lebih baik berhenti dari pekerjaan itu. Sekarang
terserah kamu, seandainya kamu bahagia Mas berada disampingmu selamanya, Mas
akan berhenti dari pekerjaan itu. Dan Mas lebih baik menjadi petani untuk
selalu dekat denganmu seperti yang kamu idam-idamkan dulu,” aku memeluk Pi
semakin erat seolah tak hendak untuk berpisah, hujan tangis pun berderai di
rumah itu.
“Kita buka lagi lembaran baru,
Re. Mas tidak akan lagi pergi kemana pun kecuali bersama engkau. Biarlah, janin
yang ada dalam kandunganmu adalah hadiah untuk Mas.”
Malam makin larut, gerimis pun
berlanjut. Dan aku masih berlabuh dalam pelukan Pi.
Jogja, 22 Juni 2007
0 Response to "Pelabuhan Terakhir"
Post a Comment