Sebagai
manusia biasa yang mempunyai rasa rindu tentunya amat berbahagia sekali,
bilamana sahabat dekat yang telah sekian lama tidak bertemu, tanpa sengaja
berjumpa kembali dengan keadaan sehat tak kurang satu apapun. Itulah sekarang
yang saya rasakan.
Entah
berlebihan atau pun tidak ingin rasanya saya menangis saat itu. Rasa haru
sungguh di ujung tenggorokan, bukan berarti lemah diri, melainkan ada wujud
keindahan dalam naluri ini. Istilahnya ada semacam guratan perjodohan yang tak
disangka-sangka. Sebenarnya daku denganya tidaklah ada suatu perjanjian akan
bersua tepat di tempat itu. Mungkin itulah yang dinamakan takdir ataupun
apalah, yang jelas dari beribu orang yang menghadiri acara tersebut beliaulah
orang yang menjadi daya tarik tersendiri bagi manik bola mata ini.
O,
sudah sepatutnyalah bila jasad yang lemah ini memberikan rasa syukur terhadap
yang empunya alam ini. Sungguh suatu karunia bagi kami berdua yang tiada kira.
Ya Allah, semoga Engkau melindungi persahabatan kami berdua sampai akhir hayat.
Andai
boleh bercerita tentang sahabat saya itu, kira-kira seperti ini....
Sahabat
saya itu bernama Abas. Nama sebenarnya Muhammad Abas Sulaiman. Beliau lahir di
kabupaten Sleman di daerah Yogyakarta. Maka dengan tidak bermaksud menjelekkan,
menurut para orangtua yang ada di kampung halamannya, dari belakang beliau
diembel-embel Sulaiman yang sangat erat kaitannya dengan Sleman. Ah, kiranya
semua itu hanyalah gurauan saja.
Beliau
seorang nabi, dalam artian seorang penyampai berita bahagia, bahasa masa
kininya yaitu wartawan dan juga beliau sebagai seorang da’i. Perawakan beliau
tidak jauh berbeda dengan saya, hanya saja yang membedakan kami berdua dari
warna kulitnya, beliau putih kekuningan sebab beliau ada keturunan Cina
Tiongkok dari kakek buyutnya, matanya agak sipit, hanya saja rambutnya ikal dan
bisa dikatakan keriting, sedangkan saya lumrahnya orang pribumi Jawa Indonesia
kulit sawo matang, mata belo, rambut ikal lurus dan berperawakan semampai
‘semeter tak sampai’.
Sahabat
saya itu adalah teman senasib semasa kuliah di Kairo, sebab dari biaya beasiswa
rasa prihatin haruslah ditumbuh kembangkan saat jauh di negeri orang. Merasa
kami serumpun dan setanah air, jiwa kami pun saling menyatu, tetapi bukan kami
merasa fanatik ataupun primodial yang primitif, tetapi rasa kekeluargaan sangat
kental apalagi Abas adalah seorang yang masih mempunyai garis keturunan raja,
rasa hormatnya lebih tinggi. Saya pun mengakuinya.
Abas
anak terakhir dari lima bersaudara, semua kakak-kakaknya sudah pada nikah dan tidak
lagi berpenghuni di Yogyakarta. Jadi, pantaslah jikalau Abas sangat disayangi
oleh kedua orangtuanya. Kadangkala Abas merasa risih atas perilaku kedua
orangtuanya, tapi apa boleh buat mungkin dengan semua itu beliau bisa dikatakan
anak yang berbakti. Sesungguhnya Abas haruslah merasa bersyukur memiliki kedua
orangtua yang sangat menyayanginya.
Saya
masih teringat tatkala berkunjung ke daerah tempat tinggalnya. Rumahnya sangat
sederhana, unik dan artistik, berdinding setengah bata tak bertembok; mirip
dengan rumah kerajaan. Sebenarnya yang membuat rumah itu terkesan artistik
yaitu di samping rumahnya terdapat berderet lengkap alat gamelan Jawa tersusun
rapih, halamannya begitu luas kira-kira setengah hektare, indah nan mempesona,
serta di pinggir tempat gamelan itu dibangun pendopo tempat untuk beristirahat.
Istilahnya tempat santai di waktu luang bagi keluarga Abas, serta hiasan taman
bunga-bunga yang indah menawan. Pantas, saat mengenyam bangku kuliah di Kairo,
beliau sangat suka sekali dengan bunga terutama bunga yang sedang kuncup dan
berwarna merah darah, putih. Tetapi, yang paling beliau suka adalah bunga
melati. Entah mengapa alasan beliau menyukai bunga? Sungguh tiada nyana
ternyata halamannya penuh dengan berbagai bunga, terutama bunga kesukaannya.
Atau jangan-jangan beliau adalah juragan bunga? Atau pemasok bunga untuk
dikirim ke daerah lain? Tidak sampai kesanalah jauh pemikiran saya ini. Saya
pun suka dengan berbagai bunga, tetapi tidak begitu fanatik seperti beliau.
Kembali keperjumpaan dengan
Abas....
Perjumpaan
saya dengannya tak disengaja, sungguh di luar dugaan yang saya kira. Waktu itu
hari Kamis malam Jumat, kira-kira pukul delapan waktu Indonesia bagian Barat di
daerah Garut Jawa Barat, di waktu musim panen saya menghadiri undangan dari
kerabat dekat, anaknya paman yang perempuan dari ibu menikah dengan seorang
perjaka tetangganya saudagar bako. Mungkin perjaka yang meminang saudara
perempuan pamanku itu adalah orang yang mempunyai materi lebih. Ya, bila dibandingkan
dengan para tetangganya, rumahnya lebih besar dan terkesan mewah, mungkin
itulah satu-satunya orang menyimpulkan setiap orang yang kaya materi yaitu
orang yang rumahnya sebesar istana. Mereka tidak memandang sudut dari sisi kaya
hati yang paling unggul, ketimbang materi. Sah-sah saja, bila orang atau saya
sekalipun menyimpulkan orang yang meminang saudara perempuan pamanku itu adalah
orang kaya materi. Tapi tidaklah bagi Allah, yang kaya di hadapan-Nya adalah
ketakwaan yang dibarengi dengan ikhtiar yang diridhai -Nya. Semoga diri ini termasuk
apa yang dikatagorikan oleh yang empunya alam ini.
Sebagai
seorang muslim, tentunya ada beberapa hak yang harus dipenuhi, salah satu
diantaranya yaitu apabila diundang maka datanglah, ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim, beliau berdua penulis hadis yang terkenal akan kesahihnya semoga Allah meridoinya. Dengan maksud
menghargai sebagai seorang kerabat dekat dan juga sebagai seorang muslim yang
Insyaallah taat beribadah, saya diwajibkan datang. Saat itu saya hanya sendiri,
sebab istri saya sedang hamil tua dan juga tidak enak badan. Kedatangan saya
sehari sebelum pernikahaan itu dimulai, jadi saya sempat sekedar bantu-bantu.
Ya agar dikatakan saudara yang berbakti ataupun apalah, yang jelas niatan dalam
hati ini bukanlah bermaksud ria . Semoga jasad ini dijauhkan dari kutuk Allah.
Acara
pernikahan itu sebagai penutup untuk pituah daripada kedua mempelai
pengantinnya, maka diadakanlah santapan rohani. Dari penceramah itulah saya
dipertemukan dengan Abas teman sekamar sewaktu menimba ilmu di Kairo.
Tak
dapat Tuan atau pun Nyonya bayangkan betapa bahagianya hati ini saat melihat
sahabat saya itu sebagai penceramah. Beliau begitu sigap, mantap, tutur katanya
yang halus dan mudah dicerna, dan pandai sekali berhumoria dengan guyonnya yang
khas. Hati ini pun terenyuh. Sungguh jauh berbeda penampilan sahabat saya itu
dari tempo dulu, dulu urakan, dan hari ini Masyaallah sungguh semua ini adalah
karunia dari Allah, pintu hatinya telah di buka. Semoga Allah memberkati dan
memuliakan beliau sepanjang hayatanya.
Acara
selesai. Diam-diam saya mendekati beliau, dengan terkejut dia pun tersentak
saat melihat wajah saya. Bagai seorang pencuri ketangkap basah raut mukanya
begitu pucat, lambat laun pun berubah kemerahan.
“Masyaallah,”
ucapnya dengan riang dan akrab, saya dengan beliau saling berpelukan erat
sekali, ibarat seorang kekasih baru berjumpa dengan pujaan hatinya yang sekian
lama tidak bertemu. Sempat matanya yang bening meneteskan air keharuan, saya
pun demikian. Ya Allah semoga ini adalah langkah awal untuk mempererat kembali
jalinan silaturahmi kami yang sempat terputus.
Rahangnya
yang kuat pun terbuka lebar dengan riang tawa, seolah kami berdua sedang
mengadakan reuni. Kami duduk di bangku sebelah selatan dekat ruang tamu.
“Bagaimana
kabar sahabat?”
“Alhamdulillah,
berkat doa engkau. Engkau Abas?”
“Seperti
yang engkau lihat Bisri, Alhamdulillah saya tetap berada dalam lindungan-Nya.”
“Ya
semoga kita dalam keadaan lindungan-Nya,” kami berdua manggut-manggut
“Makin
menyaingi kambing dari Garut,” candanya akrab. Tangannya yang kekar membelai
jenggotku.
“Ente bisa saja sohib” saya menepuk bahunya yang
lebar, kami pun saling ketawa melihat diri ini yang amat sangat tua untuk
bertemu sekian lama
“Sepatutnya
engkau mendapat acungan jempol, ketika engkau berada di mimbar tadi,”
“Ah,
engkau bisa saja, Bisri.”
“Ini
adalah suatu sanjungan yang paling dalam dari kalbuku Abas,” Abas tersenyum.
“Sungguh
saya tak mengira andai engkau akan menjadi seorang da’i, Abas?”
“Ya,
ini adalah sebuah perjalan yang tidak daku sangka-sangka. Ketentuan Allah
sungguh sebuah sekenario yang tak mungkin kita sanggah andai semua itu adalah
sebaik-baik bagi-Nya. Dulu saya bercita-cita ingin menjadi seorang diplomat. Ya
orangtua menginginkan saya seperti Soekarno, wibawa, penuh karismatik. Uh....,”
dia diam
“Mungkin
garis tanganku harus seperti ini,” seqakan ada kekecewaan dari ucapannya
“Tak
usahlah engkau seperti itu kawan, yang terpenting halal dan baik sebuah
pekerjaan itu. Ya semoga termasuk engkau, Abas.”
“Terima
kasih atas nasehatmu sahabat,” ucapnya sambil tersenyum kecil
“Abidah
kemana, tidakkah engkau ajak?” tanyanya
“Saya
sendiri,” saya menarik nafas dalam
“Kok
bisa...?” Abas mengerutkan keningnya
“Kebetulan
istri sedang hamil tua dan sedang tidak enak badan.”
“Apa?
Hamil? Tak salah dengar! Hahahah..... hebat betul kau ini. Jamu apa yang kau
minum?”
“Sudahlah,
jadi malu. Engkau bersama siapa ke sini?”
“Sendiri
seperti engkau, tapi istri tidak sedang hamil,” kami tertawa renyah
“Bisa
saja engkau Abas.”
“Engkau
kejam, menikah tak undang-undang,”
“Bukan
begitu, semenjak kita berpisah di Kairo engkau tidak ada kabar, dan semuanya
lenyap dengan perpisahan itu. Alhamdulillah, ternyata Allah masih mempertemukan
kita,” kami saling diam oleh gemuruh suara orang hilir mudik
“Sempatkanlah,
badanmu itu untuk singgah ke gubuk kami. Sudah lama saya mencari dirimu!”
“Benarkah?”
“Ya,
ada sesuatu yang hendak saya ceritakan padamu,”
“Saya
tak maksud dengan ucapanmu?”
“Bisakah
lusa atau Ahad besok jikalau ada waktu luang engkau datang ke rumahku, hanya sekedar
melepas rindu dan saling tukar cerita?” dia diam dan manggut-manggut
“Insyallah,
bila Allah mengijinkan dan bila umur masih berpihak padaku akan saya laksanakan
untuk sekedar silaturahmi pada engkau.”
“Ajaklah
istri dan anakmu,” beliau manggut-manggut kembali
“Bahwa
keluarga kami sangat rindu terhadapmu, Abas. Terutama istri saya Abidah,
rasa-rasnya dia mengidam engkau,” kami pun tertawa.
“Engkau
pikir sahabatmu ini akan melupakanmu? Semoga Allah mengutukku bila saya sampai
melupakanmu,” cukup lama kami bercerita. Ya hanya seputar cerita keadaan diri
yang tak kunjung memiliki kelebihan dari sekedar materi. Kami bersalaman dan
berpelukan kembali, sebenarnya sangat singkat sekali untuk ukuran waktu yang
lama. Ah, engkau sekarang sudah menjadi seorang yang sukses, Abas. Akan selalu
saya doakan untuk keberkahanmu.
Mungkin
begitulah pertemuan singkat dengan sahabat lama saya itu. Semuanya singkat,
sesingkat kerinduan yang hilang.
Tak
lama dari seminggu beliau pun berkunjung ke rumahku, saat kami sedang
duduk-duduk di depan rumah menikmati indahnya pagi dan sedang memperbincangkan
beliau.
Sungguh
ini pun diluar dugaanku, tak menyangka beliau seorang yang sibuk mampu
menyempatkan hanya untuk memberikan senyuman pada saya dan istri.
Pagi-pagi
buta dia datang, dengan baju rompi warna gading tulang agak beladus layaknya
seorang wartawan dan topi bertuliskan suatu perusahaan media cetak, tas besar
serta kamera digantungkan dilehernya, langkahnya begitu panjang, dari kejauhan
terlihatlah giginya yang putih. Saya dan istri pun menyambutnya penuh dengan
bahagia.
“Panjang
umur,” ucapku pelan, saat beliau hampir sampai di depan rumah. Kami berdua jabat
tangan dan berpelukkan, istriku pergi ke dapur untuk mempersiapkan hidangan
menyambut Abas setelah beliau berjabat tangan.
“Sebenarnya
saya hanya sekedar mampir. Sebab besok saya hendak pergi ke Kalimantan Timur
tepatnya ke daerah Tenggarong, semacam ada keperluan kantor untuk meliput suatu
kasus,” ucapnya saat pantatnya terjatuh di atas sofa bambu dengan hidangan teh
hangat rasa anggur
“Sungguh
sibuk pekerjaanmu itu Abas,”
“Ya
beginilah sebagai kuli tinta yang berharap pada suatu kasus yang akan memberikan
keberkahan bagi keluarga kami,”
“Semoga
pekerjaanmu tidaklah menjerat kelak di akherat nanti, Abas.”
“Semoga
tidak sahabat.”
“Mari
silahkan diminum.”
“Ini
adalah teh rasa anggur,” ucap istriku
“Teh
rasa anggur?”
“Ya
rasa anggur Abas,” saya menimpalinya
“Dulu
saya juga tidaklah percaya dengan adanya teh rasa anggur ini, tapi setelah
mencobanya. Masyaallah tak dapat saya bayangkan, ehm.... (saya mengacungkan
jempol). Rasanya sangatlah nikmat. Cobalah,” Abas menyeruputnya
“Nikmat,”
ucapnya, saya tersenyum
“Engaku
dapat dari mana teh ini?” tanya Abas
“Entahlah,
ini juga pemberian dari saudara yang datang dari Malaysia,”
“Engkau
mau Abas,” Abas nyengir kuda
“Boleh.
Ah, jadi merepotkan.”
“Tidak
Abas ini buat oleh-oleh istrimu. Tehnya pun masih banyak, tak mungkin saya
menghabiskan sendiri,” selang beberapa menitpun suasana mencari
“Naik
apa engkau ke mari?”
“Engkau
seperti tak tahu saja orang kere seperti saya ini, naik bus-lah. Selepas subuh
saya langsung berangkat.”
“Istrimu
tak engkau ajak? Jangan-jangan engkau tak pamitan untuk singgah ke rumahku?”
“Tak
usah kuatir seperti itu. Sebelum saya berangkat, sesudah shalat subuh saya
pamitan. Satu pesennya, cepat pulang” Abas tertawa lebar, saya pun.
“Ada
kasus apa engkau jauh-jauh pergi ke Kalimantan?”
“Hanya
sekedar reportase saja, sebagai bahan
berita feature buat edisi Ahad depan.”
“Sungguh
sibuk engkau sekarang. Engkau akan menginap di gubukku ini kan?” Abas sejenak
terdiam
“Sepertinya
tidak Bisri,” kulihat raut wajah istriku menyimpan rasa kecewa dengan ucapan
Abas yang tak bisa lama-lama untuk singgah di gubuk kami. Saya memberi isyarat
padanya bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Istriku hanya bisa diam
dan tersenyum kecil, memperhatikan dari raut wajah Abas yang bisa dikatakan
sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Abas salah tingkah, saya pun hanya bisa
tersenyum kecil melihat kelakuannya.
“Kukira
engkau mengerti dengan semuanya. Ya, begitulah seperti biasanya orang-orang
yang sedang ngidam. Sunggguh anugerah dari Allah engkau tepat datang, disaat
istriku sedang merindukanmu, jika sekiranya tidak, sungguh petaka baginya.”
“Tetapi
malam ini engkau harus tidur di sini!”
“Bolelahlah...,”
dia senyum dan sedikit menganggukan kepala, saya pun melakukan seperti halnya.
Dan terlihatlah raut wajah istriku begitu berseri-seri, seolah rasa rindu pada
Abas akan segera terpuaskan.
“Alhamdulillah”
ucap istriku lirih seakan suara itu menggantung di tenggorokan, pelan dan
hampir tak terdengar
“Semoga
kelak si Jabang bayi akan seperti engkau, Abas”
“Insyaallah,
hanya dalam kebaikannya saja, selebihnya lebih baik jangan,” kami tertawa
renyah.
Dan
kami semua pun saling bertukar cerita seputar pengalaman pribadi yang telah
lama terpisah di negeri orang. Kubiarkan Abidah untuk sekedar bertanya-tanya
padanya. Pucuk dicinta ulan pun tiba, mungkin begitulah ungkapan yang tepat
bagi istriku tercinta. Ya Allah, sungguh wajah istriku berseri-seri, tak saya
bayangkan mungkin begitulah orang yang sedang mengidam, semoga rakhat-Mu ada
dalam pelukan jiwanya.
Sore
harinya setelah shalat isya. Kami berdua bermalas-malasan di serambi surau. Sengaja
kami melakukan hal itu, sebab kami berdua hendak bercengkeraman sekedar besua
rindu yang sungguh tak puas dengan apa yang diungkapkan semula. Surau itu tak
seberapa jauh dari rumahku kira-kira lima ratus meter. Ya hanya beberapa
langkah untuk menuju ke sana.
Angin
berhembus menerobos jendela dan masuk dalam ruangan bersih itu, terasa sejuk
yang kurasa. Ah, waktu yang tak boleh saya sia-siakan untuk memperdalami
ataupun mempertanyakan tentang keilmuan agama, sebab semenjak lulus kuliah,
dari ilmu agama ini tidaklah ada sebandingnya dengan anak-anak tingkat
Madrasah.
Terlihat
mang Ujang bujang kami datang memberikan satu teko teh panas rasa anggur dan
dua cangkir serta makanan kecil yang cukup banyak.
“Silahkan,”
dia membungkuk dan tersenyum, setelah menyodorkan jamuan di hadapan kami
berdua.
“Terima
kasih, Mang” ucapku begitupun Abas.
Mang
Ujang ini sebenarnya bukan bujang saya, beliau seorang duda tak beranak yang
ditinggal istrinya, beliau sering bersih-bersih di ruangan surau serta halaman.
Beliau seorang pengembara yang singgah di surau itu cukup lama, sebulan
sesudah.......ah, nanti saja.
Beliau
sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Sungguh beliau melakukan perbuatan
yang mulia, semoga Allah melimpahkan karunia baginya. Mang Ujang pun berlalu setelah
pamitan.
Kami
berdua pun mencicipi hidangannya, sembari tukar cerita yang sempat terputus
semenjak bertemu di Garut. Berbagai cerita, nasehat serta banyak lagi, beliau
utarakan. Bahasanya sungguh tidak mengesankan sombong apalagi ria, sungguh sahabatku
itu menjadi seorang yang sangat alim
tapi terbuka untuk siapa pun, termasuk Tuan atau pun Nyonya yang
berkeinginan untuk sekedar mendapat pituah darinya ataupun meluapkan keluh
kesah seperti yang akan saya utarakan padanya, itu sah-sah saja dan saya pikir
beliau akan merasa senang.
Jarum
jam panjang menunjuk angka sebelas dan yang pendek kesebelas pula. Kami masih
berhadapan seolah ada pertemuan rahasia. Beliau menarik nafas saat pandangan
mata ini menatap pada raut mukanya. Angin malam berhembus menerpa gorden dan
tersingkap, kami hanya mampu memperhatikan.
“Sebenarnya
ada semacam kegelisahan dalam diri ini.”
“Maksudmu?”
“Ya,
jika sekiranya saya tak langsung mengutarakan ihwal suatu rahasia ini kepada
engkau, rasanya diri ini dikejar-kejar oleh keraguan. Saya harap engkau bisa
memberikan terbaik atau sekalipun engkau mampu mengutarakanya kembali kepada
khalayak banyak dengan tutur bahasamu yang mengalir bagai air. Engkaulah yang
pasti mampu,” bicaraku mengawali keseriusan.
“Ah,
engkau bisa saja Bisri membuat hidung sahabatmu ini kembang kempis,” beliau
tersenyum sambil menepuk bahuku yang kecil. Nah, inilah salah satu kelakuan
Abas yang menurut saya berbeda sekali saat di Kairo, mungkin dia sudah tidak
mengatut paham serius.
“Tidak
Abas, ini tidak suatu kelebihan. Engkau pasti mampu.”
“Cerita
apa yang hendak engkau utarakan kepadaku?”
“Tak
banyak sahabat.”
“Filsafat
kehidupan? Politik? Ilmu pengetahuan? Agama? Kesehatan? Atau tentang surga dan
neraka? Atau tentang uka-uka ”
“Tidak
semua itu Abas.”
“Tentang
sebuah hikayat perjalanan cinta?”
“Tepat
sekali!” dia manggut-manggut
“Ingat
Bisri engkau sudah tua, masalah asmara berikanlah pada yang masih muda engkau
sudah tak pantas.”
“Bukan
asmaraku! Gila apa.”
“O,
daku kira engkau sudah menginginkan asmara baru kembali, ingin berpoligami !”
“Tidaklah,
Abidah tetap yang terbaik.”
“Semoga
saja Bisri, ucapanmu adalah sebuah janji yang tak mungkin engkau ingkari,” saya
menggut-manggut
“Jadi
asmara siapa yang hendak engkau utarakan padaku?”
“Almarhum,
sahabatku”
“Innalillahi.”
“Sahabatmu?
Siapa namanya?”
“Husein,”
dia manggut-manggut
“Beliau
sudah tiada!”
“Sudah
berapa lama beliau meningalnya?”
“Kira-kira
setengah tahun yang lalu, di surau ini. Sebulan setelah beliau meninggal, baru
Mang Ujang datang,” saya sedikit lemas mengucapkan sahabatku itu.
“Di
surau ini?”
“Ya.....”
Abas terkejut, dia semakin penasaran
“Masyaallah.”
“Semoga
Allah meridhai kepadanya.”
“Amie...n.”
“Ini
resiko sebagai pengemban amanah, sungguhpun dengan perginya saya selalu, semoga
Allah tidak mengutuk diriku. Saya tak mampu untuk bertutur cerita seperti
engkau bertutur cerita dengan pena, maka daripada itu engkaulah orangnya yang
tepat, jika sekiranya bersedia.”
“Engkau
sudah meminta ijin kepada yang empunya cerita yang hendak engkau utarakan
padaku? Semoga engkau lebih cerdas!” saya tersenyum
“Engkau
tahu diriku sebagaimana dirimu sewaktu kita di Kairo? Percayalah saya masih
Bisri yang dulu, Bisri yang selalu engkau harapkan kepercayaannya,
kesederhanaannya, bukan dari hartanya.”
“Ternyata
engkau masih seperti yang dulu, Bisri. Idealismu masih melekat. Kuharap semua
itu tidak akan menjadi sebuah belenggu dalam perjalananmu dan semoga tidak
menjadi bara api neraka kelak di akherat nanti.”
“Semoga."
“Engkau
masih ingatkah cerita sahabatmu itu?”
“Insyaallah.”
“Cobalah
utarakan di hadapanku, sedikit demi sedikit sebagaimana kegelisahan bahasamu.”
“Abas,
sebenarnya ini adalah inisiatifku saja. Sebab akhir-akhir ini daku sering
bermimpi bersama beliau.”
“Bermimpi?”
Abas mulai serius
“Ya,
saya sering bermimpi bersamanya. Beliau berharap kabar tentang dirinya
dikabarkan kepada keluarganya di seberang sana,” Abas diam.
“Saya
takut semua ini adalah suatu penghianatan bagi diri ini atas dirinya.”
“Tidak
Bisri, bukan suatu kemunafikan bila engkau bertutur cerita andai niatmu
bukanlah hal kesuatu materi.”
“Inilah
kegelisahanku, Abas”
“Saya
mengerti posisimu, Bisri. Cobalah...”
“Abidah
pun berucap seperti engkau, Abas. Tatkala daku berjumpa dengan engkau, beliau
sangatlah bahagia, mungkin beliau beranggapan bertemunya daku denganmu ada
semacam kelegaan kalbuku yang sering dirundum dengan kegelisahaan.”
“Yakinlah
pada ketentuan Allah. Cobalalah...”
“Baiklah
Abas saya akan betutur cerita, kuharap engkau tak usahlah berurai air mata.”
Saya
menarik nafas dalam-dalam, mengawali hayalan menemukan imajinasi yang sempat
terpendam. Sejenak saya terdiam dan terpejam mata, mengingat-ngingat apa yang
menjadi cerita sahabat saya kurang lebih setengah tahun yang lalu, sungguh ini
adalah sebuah kerja keras hanya untuk mengingat awal dari semua cerita
sahabatku itu;
0 Response to "SESAL # 2 Perjumpaan Dengan Sahabat Lama"
Post a Comment