SESAL # 2 Perjumpaan Dengan Sahabat Lama



Sebagai manusia biasa yang mempunyai rasa rindu tentunya amat berbahagia sekali, bilamana sahabat dekat yang telah sekian lama tidak bertemu, tanpa sengaja berjumpa kembali dengan keadaan sehat tak kurang satu apapun. Itulah sekarang yang saya rasakan.

Entah berlebihan atau pun tidak ingin rasanya saya menangis saat itu. Rasa haru sungguh di ujung tenggorokan, bukan berarti lemah diri, melainkan ada wujud keindahan dalam naluri ini. Istilahnya ada semacam guratan perjodohan yang tak disangka-sangka. Sebenarnya daku denganya tidaklah ada suatu perjanjian akan bersua tepat di tempat itu. Mungkin itulah yang dinamakan takdir ataupun apalah, yang jelas dari beribu orang yang menghadiri acara tersebut beliaulah orang yang menjadi daya tarik tersendiri bagi manik bola mata ini.

O, sudah sepatutnyalah bila jasad yang lemah ini memberikan rasa syukur terhadap yang empunya alam ini. Sungguh suatu karunia bagi kami berdua yang tiada kira. Ya Allah, semoga Engkau melindungi persahabatan kami berdua sampai akhir hayat.

Andai boleh bercerita tentang sahabat saya itu, kira-kira seperti ini....

Sahabat saya itu bernama Abas. Nama sebenarnya Muhammad Abas Sulaiman. Beliau lahir di kabupaten Sleman di daerah Yogyakarta. Maka dengan tidak bermaksud menjelekkan, menurut para orangtua yang ada di kampung halamannya, dari belakang beliau diembel-embel Sulaiman yang sangat erat kaitannya dengan Sleman. Ah, kiranya semua itu hanyalah gurauan saja.

Beliau seorang nabi, dalam artian seorang penyampai berita bahagia, bahasa masa kininya yaitu wartawan dan juga beliau sebagai seorang da’i. Perawakan beliau tidak jauh berbeda dengan saya, hanya saja yang membedakan kami berdua dari warna kulitnya, beliau putih kekuningan sebab beliau ada keturunan Cina Tiongkok dari kakek buyutnya, matanya agak sipit, hanya saja rambutnya ikal dan bisa dikatakan keriting, sedangkan saya lumrahnya orang pribumi Jawa Indonesia kulit sawo matang, mata belo, rambut ikal lurus dan berperawakan semampai ‘semeter tak sampai’.

Sahabat saya itu adalah teman senasib semasa kuliah di Kairo, sebab dari biaya beasiswa rasa prihatin haruslah ditumbuh kembangkan saat jauh di negeri orang. Merasa kami serumpun dan setanah air, jiwa kami pun saling menyatu, tetapi bukan kami merasa fanatik ataupun primodial yang primitif, tetapi rasa kekeluargaan sangat kental apalagi Abas adalah seorang yang masih mempunyai garis keturunan raja, rasa hormatnya lebih tinggi. Saya pun mengakuinya.

Abas anak terakhir dari lima bersaudara, semua kakak-kakaknya sudah pada nikah dan tidak lagi berpenghuni di Yogyakarta. Jadi, pantaslah jikalau Abas sangat disayangi oleh kedua orangtuanya. Kadangkala Abas merasa risih atas perilaku kedua orangtuanya, tapi apa boleh buat mungkin dengan semua itu beliau bisa dikatakan anak yang berbakti. Sesungguhnya Abas haruslah merasa bersyukur memiliki kedua orangtua yang sangat menyayanginya.

Saya masih teringat tatkala berkunjung ke daerah tempat tinggalnya. Rumahnya sangat sederhana, unik dan artistik, berdinding setengah bata tak bertembok; mirip dengan rumah kerajaan. Sebenarnya yang membuat rumah itu terkesan artistik yaitu di samping rumahnya terdapat berderet lengkap alat gamelan Jawa tersusun rapih, halamannya begitu luas kira-kira setengah hektare, indah nan mempesona, serta di pinggir tempat gamelan itu dibangun pendopo tempat untuk beristirahat. Istilahnya tempat santai di waktu luang bagi keluarga Abas, serta hiasan taman bunga-bunga yang indah menawan. Pantas, saat mengenyam bangku kuliah di Kairo, beliau sangat suka sekali dengan bunga terutama bunga yang sedang kuncup dan berwarna merah darah, putih. Tetapi, yang paling beliau suka adalah bunga melati. Entah mengapa alasan beliau menyukai bunga? Sungguh tiada nyana ternyata halamannya penuh dengan berbagai bunga, terutama bunga kesukaannya. Atau jangan-jangan beliau adalah juragan bunga? Atau pemasok bunga untuk dikirim ke daerah lain? Tidak sampai kesanalah jauh pemikiran saya ini. Saya pun suka dengan berbagai bunga, tetapi tidak begitu fanatik seperti beliau.

Kembali keperjumpaan dengan Abas....

Perjumpaan saya dengannya tak disengaja, sungguh di luar dugaan yang saya kira. Waktu itu hari Kamis malam Jumat, kira-kira pukul delapan waktu Indonesia bagian Barat di daerah Garut Jawa Barat, di waktu musim panen saya menghadiri undangan dari kerabat dekat, anaknya paman yang perempuan dari ibu menikah dengan seorang perjaka tetangganya saudagar bako. Mungkin perjaka yang meminang saudara perempuan pamanku itu adalah orang yang mempunyai materi lebih. Ya, bila dibandingkan dengan para tetangganya, rumahnya lebih besar dan terkesan mewah, mungkin itulah satu-satunya orang menyimpulkan setiap orang yang kaya materi yaitu orang yang rumahnya sebesar istana. Mereka tidak memandang sudut dari sisi kaya hati yang paling unggul, ketimbang materi. Sah-sah saja, bila orang atau saya sekalipun menyimpulkan orang yang meminang saudara perempuan pamanku itu adalah orang kaya materi. Tapi tidaklah bagi Allah, yang kaya di hadapan-Nya adalah ketakwaan  yang dibarengi dengan ikhtiar  yang diridhai -Nya. Semoga diri ini termasuk apa yang dikatagorikan oleh yang empunya alam ini.

Sebagai seorang muslim, tentunya ada beberapa hak yang harus dipenuhi, salah satu diantaranya yaitu apabila diundang maka datanglah, ini adalah hadis  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, beliau berdua penulis hadis yang terkenal akan kesahihnya  semoga Allah meridoinya. Dengan maksud menghargai sebagai seorang kerabat dekat dan juga sebagai seorang muslim yang Insyaallah taat beribadah, saya diwajibkan datang. Saat itu saya hanya sendiri, sebab istri saya sedang hamil tua dan juga tidak enak badan. Kedatangan saya sehari sebelum pernikahaan itu dimulai, jadi saya sempat sekedar bantu-bantu. Ya agar dikatakan saudara yang berbakti ataupun apalah, yang jelas niatan dalam hati ini bukanlah bermaksud ria . Semoga jasad ini dijauhkan dari kutuk Allah.

Acara pernikahan itu sebagai penutup untuk pituah daripada kedua mempelai pengantinnya, maka diadakanlah santapan rohani. Dari penceramah itulah saya dipertemukan dengan Abas teman sekamar sewaktu menimba ilmu di Kairo.

Tak dapat Tuan atau pun Nyonya bayangkan betapa bahagianya hati ini saat melihat sahabat saya itu sebagai penceramah. Beliau begitu sigap, mantap, tutur katanya yang halus dan mudah dicerna, dan pandai sekali berhumoria dengan guyonnya yang khas. Hati ini pun terenyuh. Sungguh jauh berbeda penampilan sahabat saya itu dari tempo dulu, dulu urakan, dan hari ini Masyaallah sungguh semua ini adalah karunia dari Allah, pintu hatinya telah di buka. Semoga Allah memberkati dan memuliakan beliau sepanjang hayatanya.

Acara selesai. Diam-diam saya mendekati beliau, dengan terkejut dia pun tersentak saat melihat wajah saya. Bagai seorang pencuri ketangkap basah raut mukanya begitu pucat, lambat laun pun berubah kemerahan.

“Masyaallah,” ucapnya dengan riang dan akrab, saya dengan beliau saling berpelukan erat sekali, ibarat seorang kekasih baru berjumpa dengan pujaan hatinya yang sekian lama tidak bertemu. Sempat matanya yang bening meneteskan air keharuan, saya pun demikian. Ya Allah semoga ini adalah langkah awal untuk mempererat kembali jalinan silaturahmi kami yang sempat terputus.

Rahangnya yang kuat pun terbuka lebar dengan riang tawa, seolah kami berdua sedang mengadakan reuni. Kami duduk di bangku sebelah selatan dekat ruang tamu.

“Bagaimana kabar sahabat?”

“Alhamdulillah, berkat doa engkau. Engkau Abas?”

“Seperti yang engkau lihat Bisri, Alhamdulillah saya tetap berada dalam lindungan-Nya.”

“Ya semoga kita dalam keadaan lindungan-Nya,” kami berdua manggut-manggut

“Makin menyaingi kambing dari Garut,” candanya akrab. Tangannya yang kekar membelai jenggotku.

“Ente  bisa saja sohib” saya menepuk bahunya yang lebar, kami pun saling ketawa melihat diri ini yang amat sangat tua untuk bertemu sekian lama

“Sepatutnya engkau mendapat acungan jempol, ketika engkau berada di mimbar tadi,”

“Ah, engkau bisa saja, Bisri.”

“Ini adalah suatu sanjungan yang paling dalam dari kalbuku Abas,” Abas tersenyum.

“Sungguh saya tak mengira andai engkau akan menjadi seorang da’i, Abas?”

“Ya, ini adalah sebuah perjalan yang tidak daku sangka-sangka. Ketentuan Allah sungguh sebuah sekenario yang tak mungkin kita sanggah andai semua itu adalah sebaik-baik bagi-Nya. Dulu saya bercita-cita ingin menjadi seorang diplomat. Ya orangtua menginginkan saya seperti Soekarno, wibawa, penuh karismatik. Uh....,” dia diam

“Mungkin garis tanganku harus seperti ini,” seqakan ada kekecewaan dari ucapannya

“Tak usahlah engkau seperti itu kawan, yang terpenting halal dan baik sebuah pekerjaan itu. Ya semoga termasuk engkau, Abas.”

“Terima kasih atas nasehatmu sahabat,” ucapnya sambil tersenyum kecil

“Abidah kemana, tidakkah engkau ajak?” tanyanya

“Saya sendiri,” saya menarik nafas dalam

“Kok bisa...?” Abas mengerutkan keningnya

“Kebetulan istri sedang hamil tua dan sedang tidak enak badan.”

“Apa? Hamil? Tak salah dengar! Hahahah..... hebat betul kau ini. Jamu apa yang kau minum?”

“Sudahlah, jadi malu. Engkau bersama siapa ke sini?”

“Sendiri seperti engkau, tapi istri tidak sedang hamil,” kami tertawa renyah

“Bisa saja engkau Abas.”

“Engkau kejam, menikah tak undang-undang,”

“Bukan begitu, semenjak kita berpisah di Kairo engkau tidak ada kabar, dan semuanya lenyap dengan perpisahan itu. Alhamdulillah, ternyata Allah masih mempertemukan kita,” kami saling diam oleh gemuruh suara orang hilir mudik

“Sempatkanlah, badanmu itu untuk singgah ke gubuk kami. Sudah lama saya mencari dirimu!”

“Benarkah?”

“Ya, ada sesuatu yang hendak saya ceritakan padamu,”

“Saya tak maksud dengan ucapanmu?”

“Bisakah lusa atau Ahad besok jikalau ada waktu luang engkau datang ke rumahku, hanya sekedar melepas rindu dan saling tukar cerita?” dia diam dan manggut-manggut

“Insyallah, bila Allah mengijinkan dan bila umur masih berpihak padaku akan saya laksanakan untuk sekedar silaturahmi  pada engkau.”

“Ajaklah istri dan anakmu,” beliau manggut-manggut kembali

“Bahwa keluarga kami sangat rindu terhadapmu, Abas. Terutama istri saya Abidah, rasa-rasnya dia mengidam engkau,” kami pun tertawa.

“Engkau pikir sahabatmu ini akan melupakanmu? Semoga Allah mengutukku bila saya sampai melupakanmu,” cukup lama kami bercerita. Ya hanya seputar cerita keadaan diri yang tak kunjung memiliki kelebihan dari sekedar materi. Kami bersalaman dan berpelukan kembali, sebenarnya sangat singkat sekali untuk ukuran waktu yang lama. Ah, engkau sekarang sudah menjadi seorang yang sukses, Abas. Akan selalu saya doakan untuk keberkahanmu.

Mungkin begitulah pertemuan singkat dengan sahabat lama saya itu. Semuanya singkat, sesingkat kerinduan yang hilang.

Tak lama dari seminggu beliau pun berkunjung ke rumahku, saat kami sedang duduk-duduk di depan rumah menikmati indahnya pagi dan sedang memperbincangkan beliau.

Sungguh ini pun diluar dugaanku, tak menyangka beliau seorang yang sibuk mampu menyempatkan hanya untuk memberikan senyuman pada saya dan istri.

Pagi-pagi buta dia datang, dengan baju rompi warna gading tulang agak beladus layaknya seorang wartawan dan topi bertuliskan suatu perusahaan media cetak, tas besar serta kamera digantungkan dilehernya, langkahnya begitu panjang, dari kejauhan terlihatlah giginya yang putih. Saya dan istri pun menyambutnya penuh dengan bahagia.

“Panjang umur,” ucapku pelan, saat beliau hampir sampai di depan rumah. Kami berdua jabat tangan dan berpelukkan, istriku pergi ke dapur untuk mempersiapkan hidangan menyambut Abas setelah beliau berjabat tangan.

“Sebenarnya saya hanya sekedar mampir. Sebab besok saya hendak pergi ke Kalimantan Timur tepatnya ke daerah Tenggarong, semacam ada keperluan kantor untuk meliput suatu kasus,” ucapnya saat pantatnya terjatuh di atas sofa bambu dengan hidangan teh hangat rasa anggur

“Sungguh sibuk pekerjaanmu itu Abas,”

“Ya beginilah sebagai kuli tinta yang berharap pada suatu kasus yang akan memberikan keberkahan bagi keluarga kami,”

“Semoga pekerjaanmu tidaklah menjerat kelak di akherat nanti, Abas.”

“Semoga tidak sahabat.”

“Mari silahkan diminum.”

“Ini adalah teh rasa anggur,” ucap istriku

“Teh rasa anggur?”

“Ya rasa anggur Abas,” saya menimpalinya

“Dulu saya juga tidaklah percaya dengan adanya teh rasa anggur ini, tapi setelah mencobanya. Masyaallah tak dapat saya bayangkan, ehm.... (saya mengacungkan jempol). Rasanya sangatlah nikmat. Cobalah,” Abas menyeruputnya

“Nikmat,” ucapnya, saya tersenyum

“Engaku dapat dari mana teh ini?” tanya Abas

“Entahlah, ini juga pemberian dari saudara yang datang dari Malaysia,”

“Engkau mau Abas,” Abas nyengir kuda

“Boleh. Ah, jadi merepotkan.”

“Tidak Abas ini buat oleh-oleh istrimu. Tehnya pun masih banyak, tak mungkin saya menghabiskan sendiri,” selang beberapa menitpun suasana mencari

“Naik apa engkau ke mari?”

“Engkau seperti tak tahu saja orang kere seperti saya ini, naik bus-lah. Selepas subuh saya langsung berangkat.”

“Istrimu tak engkau ajak? Jangan-jangan engkau tak pamitan untuk singgah ke rumahku?”

“Tak usah kuatir seperti itu. Sebelum saya berangkat, sesudah shalat subuh saya pamitan. Satu pesennya, cepat pulang” Abas tertawa lebar, saya pun.

“Ada kasus apa engkau jauh-jauh pergi ke Kalimantan?”

“Hanya sekedar reportase  saja, sebagai bahan berita feature  buat edisi Ahad depan.”

“Sungguh sibuk engkau sekarang. Engkau akan menginap di gubukku ini kan?” Abas sejenak terdiam

“Sepertinya tidak Bisri,” kulihat raut wajah istriku menyimpan rasa kecewa dengan ucapan Abas yang tak bisa lama-lama untuk singgah di gubuk kami. Saya memberi isyarat padanya bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Istriku hanya bisa diam dan tersenyum kecil, memperhatikan dari raut wajah Abas yang bisa dikatakan sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Abas salah tingkah, saya pun hanya bisa tersenyum kecil melihat kelakuannya.

“Kukira engkau mengerti dengan semuanya. Ya, begitulah seperti biasanya orang-orang yang sedang ngidam. Sunggguh anugerah dari Allah engkau tepat datang, disaat istriku sedang merindukanmu, jika sekiranya tidak, sungguh petaka baginya.”

“Tetapi malam ini engkau harus tidur di sini!”

“Bolelahlah...,” dia senyum dan sedikit menganggukan kepala, saya pun melakukan seperti halnya. Dan terlihatlah raut wajah istriku begitu berseri-seri, seolah rasa rindu pada Abas akan segera terpuaskan.

“Alhamdulillah” ucap istriku lirih seakan suara itu menggantung di tenggorokan, pelan dan hampir tak terdengar

“Semoga kelak si Jabang bayi akan seperti engkau, Abas”

“Insyaallah, hanya dalam kebaikannya saja, selebihnya lebih baik jangan,” kami tertawa renyah.

Dan kami semua pun saling bertukar cerita seputar pengalaman pribadi yang telah lama terpisah di negeri orang. Kubiarkan Abidah untuk sekedar bertanya-tanya padanya. Pucuk dicinta ulan pun tiba, mungkin begitulah ungkapan yang tepat bagi istriku tercinta. Ya Allah, sungguh wajah istriku berseri-seri, tak saya bayangkan mungkin begitulah orang yang sedang mengidam, semoga rakhat-Mu ada dalam pelukan jiwanya.

Sore harinya setelah shalat isya. Kami berdua bermalas-malasan di serambi surau. Sengaja kami melakukan hal itu, sebab kami berdua hendak bercengkeraman sekedar besua rindu yang sungguh tak puas dengan apa yang diungkapkan semula. Surau itu tak seberapa jauh dari rumahku kira-kira lima ratus meter. Ya hanya beberapa langkah untuk menuju ke sana.

Angin berhembus menerobos jendela dan masuk dalam ruangan bersih itu, terasa sejuk yang kurasa. Ah, waktu yang tak boleh saya sia-siakan untuk memperdalami ataupun mempertanyakan tentang keilmuan agama, sebab semenjak lulus kuliah, dari ilmu agama ini tidaklah ada sebandingnya dengan anak-anak tingkat Madrasah.

Terlihat mang Ujang bujang kami datang memberikan satu teko teh panas rasa anggur dan dua cangkir serta makanan kecil yang cukup banyak.

“Silahkan,” dia membungkuk dan tersenyum, setelah menyodorkan jamuan di hadapan kami berdua.

“Terima kasih, Mang” ucapku begitupun Abas.

Mang Ujang ini sebenarnya bukan bujang saya, beliau seorang duda tak beranak yang ditinggal istrinya, beliau sering bersih-bersih di ruangan surau serta halaman. Beliau seorang pengembara yang singgah di surau itu cukup lama, sebulan sesudah.......ah, nanti saja.

Beliau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Sungguh beliau melakukan perbuatan yang mulia, semoga Allah melimpahkan karunia baginya. Mang Ujang pun berlalu setelah pamitan.

Kami berdua pun mencicipi hidangannya, sembari tukar cerita yang sempat terputus semenjak bertemu di Garut. Berbagai cerita, nasehat serta banyak lagi, beliau utarakan. Bahasanya sungguh tidak mengesankan sombong apalagi ria, sungguh sahabatku itu menjadi seorang yang sangat alim  tapi terbuka untuk siapa pun, termasuk Tuan atau pun Nyonya yang berkeinginan untuk sekedar mendapat pituah darinya ataupun meluapkan keluh kesah seperti yang akan saya utarakan padanya, itu sah-sah saja dan saya pikir beliau akan merasa senang.

Jarum jam panjang menunjuk angka sebelas dan yang pendek kesebelas pula. Kami masih berhadapan seolah ada pertemuan rahasia. Beliau menarik nafas saat pandangan mata ini menatap pada raut mukanya. Angin malam berhembus menerpa gorden dan tersingkap, kami hanya mampu memperhatikan.

“Sebenarnya ada semacam kegelisahan dalam diri ini.”

“Maksudmu?”

“Ya, jika sekiranya saya tak langsung mengutarakan ihwal suatu rahasia ini kepada engkau, rasanya diri ini dikejar-kejar oleh keraguan. Saya harap engkau bisa memberikan terbaik atau sekalipun engkau mampu mengutarakanya kembali kepada khalayak banyak dengan tutur bahasamu yang mengalir bagai air. Engkaulah yang pasti mampu,” bicaraku mengawali keseriusan.

“Ah, engkau bisa saja Bisri membuat hidung sahabatmu ini kembang kempis,” beliau tersenyum sambil menepuk bahuku yang kecil. Nah, inilah salah satu kelakuan Abas yang menurut saya berbeda sekali saat di Kairo, mungkin dia sudah tidak mengatut paham serius.

“Tidak Abas, ini tidak suatu kelebihan. Engkau pasti mampu.”

“Cerita apa yang hendak engkau utarakan kepadaku?”

“Tak banyak sahabat.”

“Filsafat kehidupan? Politik? Ilmu pengetahuan? Agama? Kesehatan? Atau tentang surga dan neraka? Atau tentang uka-uka ”

“Tidak semua itu Abas.”

“Tentang sebuah hikayat perjalanan cinta?”

“Tepat sekali!” dia manggut-manggut

“Ingat Bisri engkau sudah tua, masalah asmara berikanlah pada yang masih muda engkau sudah tak pantas.”

“Bukan asmaraku! Gila apa.”

“O, daku kira engkau sudah menginginkan asmara baru kembali, ingin berpoligami !”

“Tidaklah, Abidah tetap yang terbaik.”

“Semoga saja Bisri, ucapanmu adalah sebuah janji yang tak mungkin engkau ingkari,” saya menggut-manggut

“Jadi asmara siapa yang hendak engkau utarakan padaku?”

“Almarhum, sahabatku”

“Innalillahi.”

“Sahabatmu? Siapa namanya?”

“Husein,” dia manggut-manggut

“Beliau sudah tiada!”

“Sudah berapa lama beliau meningalnya?”

“Kira-kira setengah tahun yang lalu, di surau ini. Sebulan setelah beliau meninggal, baru Mang Ujang datang,” saya sedikit lemas mengucapkan sahabatku itu.

“Di surau ini?”

“Ya.....” Abas terkejut, dia semakin penasaran

“Masyaallah.”

“Semoga Allah meridhai kepadanya.”

“Amie...n.”

“Ini resiko sebagai pengemban amanah, sungguhpun dengan perginya saya selalu, semoga Allah tidak mengutuk diriku. Saya tak mampu untuk bertutur cerita seperti engkau bertutur cerita dengan pena, maka daripada itu engkaulah orangnya yang tepat, jika sekiranya bersedia.”

“Engkau sudah meminta ijin kepada yang empunya cerita yang hendak engkau utarakan padaku? Semoga engkau lebih cerdas!” saya tersenyum

“Engkau tahu diriku sebagaimana dirimu sewaktu kita di Kairo? Percayalah saya masih Bisri yang dulu, Bisri yang selalu engkau harapkan kepercayaannya, kesederhanaannya, bukan dari hartanya.”

“Ternyata engkau masih seperti yang dulu, Bisri. Idealismu masih melekat. Kuharap semua itu tidak akan menjadi sebuah belenggu dalam perjalananmu dan semoga tidak menjadi bara api neraka kelak di akherat nanti.”

“Semoga."

“Engkau masih ingatkah cerita sahabatmu itu?”

“Insyaallah.”

“Cobalah utarakan di hadapanku, sedikit demi sedikit sebagaimana kegelisahan bahasamu.”

“Abas, sebenarnya ini adalah inisiatifku saja. Sebab akhir-akhir ini daku sering bermimpi bersama beliau.”

“Bermimpi?” Abas mulai serius

“Ya, saya sering bermimpi bersamanya. Beliau berharap kabar tentang dirinya dikabarkan kepada keluarganya di seberang sana,” Abas diam.

“Saya takut semua ini adalah suatu penghianatan bagi diri ini atas dirinya.”

“Tidak Bisri, bukan suatu kemunafikan bila engkau bertutur cerita andai niatmu bukanlah hal kesuatu materi.”

“Inilah kegelisahanku, Abas”

“Saya mengerti posisimu, Bisri. Cobalah...”

“Abidah pun berucap seperti engkau, Abas. Tatkala daku berjumpa dengan engkau, beliau sangatlah bahagia, mungkin beliau beranggapan bertemunya daku denganmu ada semacam kelegaan kalbuku yang sering dirundum dengan kegelisahaan.”

“Yakinlah pada ketentuan Allah. Cobalalah...”

“Baiklah Abas saya akan betutur cerita, kuharap engkau tak usahlah berurai air mata.”

Saya menarik nafas dalam-dalam, mengawali hayalan menemukan imajinasi yang sempat terpendam. Sejenak saya terdiam dan terpejam mata, mengingat-ngingat apa yang menjadi cerita sahabat saya kurang lebih setengah tahun yang lalu, sungguh ini adalah sebuah kerja keras hanya untuk mengingat awal dari semua cerita sahabatku itu;

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SESAL # 2 Perjumpaan Dengan Sahabat Lama"

Post a Comment