Benar Nggak Sih Mitos Orang Jawa Dilarang Menikah Dengan Orang Sunda


Tahukah kamu, kenapa orang Jawa tidak boleh menikah dengan orang sunda?

Kedengarannya lucu ya, coba kamu pergi ke Jawa Barat terutama daerah Priangan antara Tasik, Bandung, Cianjur, rata-rata mereka tidak mau menyebut sebagai orang jawa melainkan orang sunda, padahal mereka tinggal dipulau Jawa, heran kan

Sebenarnya ini bukan tanpa alasan mitos ini ada, mitos ini sangat erat kaitannya dengan sejarah dari Perang Bubat yang terjadi 600 tahun lalu (1357 M), perang Bubat sendiri, cerita cinta yang berakhir menjadi tragedi.

Jatuh Cinta Gajah Mada terhadap Diah Pitaloka

Peristiwa perang ini sangat menarik, karena berkaitan dengan asmara, politik, perebutan pengaruh  dan kekuasaan antara Kerajaan Majapahit di Jawa Timur dan Kerajaan Galuh Pajajaran di Jawa Barat.

Majapahit yang memiliki seorang mahapatih bernama Gajah Mada saat itu adalah negara adikuasa. Hampir semua kerajaan di Nusantara berhasil ditaklukkan. Namun Kerajaan Galuh belum berhasil ditaklukkan.

Kala itu Raja Hayam Wuruk dari Majapahit saat itu tengah mencari permaisuri.  Dia jatuh cinta pada seorang putri cantik jelita Diah Pitaloka dari Kerajaan Galuh  di Kawali Ciamis yang dilihatnya pada sebuah lukisan.

Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap Putri Dyah Pitaloka karena beredarnya lukisan Putri Dyah Pitaloka di Majapahit yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, Sungging Prabangkara. 

Hayam Wuruk pun melamar Diah Pitaloka dan mereka sepakat menikah 

Selain soal asmara, pernikahan ini diduga sebagai upaya penaklukan Majapahit melalui perkawinan.

Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Putri Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan dilangsungkan di Majapahit. Sebenarnya dari pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri keberatan, terutama dari Mangkubuminya sendiri, Hyang Bunisora Suradipati.

Sebab, tidak lazim pihak pengantin wanita datang ke pihak pengantin pria. Suatu hal yang dianggap tidak biasa menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu.

Selain itu, ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik, karena saat itu Majapahit sedang melebarkan kekuasaan (di antaranya dengan menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara).

Namun, Maharaja Linggabuana memutuskan tetap berangkat ke Majapahit karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua Negara tersebut. Hayam Wuruk sebenarnya tahu akan hal ini. Terlebih, setelah mendengar dari ibunya sendiri, Tribhuwana Tunggadewi akan silsilah itu.

Singkat cerita Raja Lingga Buana dari Galuh ditemani oleh sejumlah punggawanya mengantar Diah Pitaloka ke Majapahit. Sesampainya di Bubat yang berada di sebelah utara Trowulan, ibukota Majapahit, terjadi kesalahpahaman. 



Kesalahpahaman Gajah Mada (dalam tata negara sekarang sebagai Perdana Menteri) terjadi saat menganggap kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat merupakan suatu tanda, bahwa Negeri Sunda harus berada di bawah panji Majapahit, sesuai dengan Sumpah Palapa yang pernah diucapkan pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta.

Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Putri Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.

Hayam Wuruk sendiri bimbang atas permasalahan itu, karena Gajah Mada adalah patih yang diandalkan Majapahit.

Rombongan kecil ini dikepung oleh pasukan Gajahmada. Terjadi perang tanding yang tidak seimbang. Raja Lingga Buana dan para punggawanya terbunuh. Diah Pitaloka dan para dayang penggiringnya kemudian memilih bunuh diri istilahnya belapati.

Tapi ada juga yang menyatakan bawha Putri Dyah Pitaloka meninggal tidak dengan bunuh diri, melainkan ikut bertempur dan berhasil melukai Gajah mada, hingga pertempuran bertambah sengit. Sebab, Gajah Mada berduel dengan sang Putri Dyah Phytaloka, meskipun akhirnya gugur.
Akibat luka itu, Gajah Mada menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan sampai akhir hayatnya.

Gugurnya rombongan pengantin ini merupakan insiden perselisihan antara utusan dari Maharaja Linggabuana dengan Gajah Mada.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali, Nyaangan Alam Dunya, yang saat itu berada di Majapahit untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi Pjs Raja Negeri Sunda. 
Selain itu, menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya.

Namun, akibat peristiwa Perang Bubat ini, dikatakan dalam suatu catatan, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat patih Kerajaan Majapahit sampai wafatnya (1364)

Dengan ksatria, sebagai pertanggungjawaban atas kesalahannya Gajah Mada mengundurkan diri sebagai patih dan mengasingkan diri di sebuah desa yang sekarang bernama Desa Mada dan beliau juga harus menderita luka akibat sabetan keris Putri Dyah Pitaloka.

Kerajaan Sunda sudah tidak memercayai kembali pihak Kerajaan Majapahit, walaupun Hayam Wuruk telah mengirimkan wakilnya untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Hyang Bunisora Suradipati, mewakili pihak kerajaan Sunda.

Sejak itu penerus Raja Lingga Buana yang dikenal sebagai Siliwangi mengeluarkan sebuah larangan dalam istilah sunda pamali, esti larangan ti kaluaran yaitu larangan bagi para lelaki Sunda untuk menikahi perempuan Jawa.

Tidak ada nama jalan Gajah Mada atau Hayam Wuruk di Jawa Barat

Kejadian ini pula menjadi luka yang tak tersembuhkan di hati orang Sunda. Sampai mereka tidak sudi menggunakan nama Gajah Mada atau Hayam Wuruk, seperti untuk identitas jalan maupun gedung. (dikutip dari berbagai sumber)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Benar Nggak Sih Mitos Orang Jawa Dilarang Menikah Dengan Orang Sunda"

Post a Comment