Hari itu terlalu panas untuk saya pergi melakukan kegiatan. Kira-kira saat itu pukul 13.13 Waktu Indonesia bagian Barat, di saat matahari berada di titik ujung ubun-ubun kepala kita. Bayangkan jika tuanlah yang berada dalam posisi diriku? Mungkin tuan akan mengutuk atas ketidakadilan hidup ini. Membosankan.
Saya datang telat masuk dalam ruangan itu, kurang lebih tiga sampai lima menit, kawan-kawan aktifis kelas semua berkumpul di sana hanya untuk mengharapkan imbalan nilai A+ dari mata kuliah itu, dosen yang berpostur tinggi dan tidak mengesankan ganteng itu hanya mampu mentap keterlambatan waktuku. Sebenarnya saya sudah mempersiapkan waktu luangku untuk masuk dalam ruangan itu, hanya saja keterlambatan waktuku sangat berbeda cukup jauh dengan waktu dosen tersebut. Untungnya dosen itu bisa dibilang pemaaf dan mema’lumi keadaan siang itu.
Saya langsung menyimpan tas di atas kursi paling depan sendiri, kemudian saya melangkah ke depan kelas, mendekati tiga kawan-kawan perempuanku yang sedang mempersiapkan kevalidan resumannya, dan salah satu diantara ketiga perempuan itu adalah si perempuan berwajah ayu, dan selanjutnya saya memberikan ruang bagi pantatku untuk sekedar melepas lelah dan mengatur pernafasanku di depan kelas dan mencoba untuk sedikit membahagiakan dosenku yang malang itu.
Ah, akhirnya saya mampu duduk berdampingan dengan wanita berwajah ayu itu, walaupun sebelahnya dari beliau adalah wanita temanku juga, hanya saja saya lebih dekat dan mampu untuk berkomunikasi lebih lanjut padanya. Saya tersenyum saat wajahnya dan wajahku berbatasan, dia pun sedikit menyunggingkan bibirnya yang tipis. Itu hanya berlaku beberapa detik saja, hanya sekedar mempercair suasana yang sedikit hening. Sungguh menyedihkan perasaanku ini. Saya mencoba menenangkan diri dan tidak hanyut dalam perasaan galau. Kutahu dan saya yakin dia melakukan semuanya adalah dengan tanpa berdosa sama sekali, padalah dia telah melakukan hal yang dikutuk oleh Tuhan yaitu menyakiti hati seorang pria. Seorang anak cucu Adam.
“Tidakah kau sedikitpun mempunyai niatan hanya untuk sekedar singgah di kosku?” dia menoleh, dan hanya menoleh. Sebenarnya kata-kata itu, hanya untuk meyakinkan diriku bahwa dia bukanlah seorang perempuan yang dikutuk oleh Tuhannya seperti apa yang ada dalam pikiran picikku
“Dulu pernah, saat kau semester empat!” saya tertegun. Mungkinkah dia mempunyai niatan seperti itu? Saat beberapa menit tadi dia telah melakukan sedikit mengiris hati luka anak cucu Adam. Wallauhu alam bissawab.
Ruangan bergemuruh, seorang kawanku berceloteh ngawur. Saya tertawa pula agar tidak dikatakan orang yang tulalit, padahal apa yang ditertawakan oleh kawan-kawanku itu bukanlah sebuah lelucon, hanya saja perkataannya cocok dengan apa yang dipikirkan oleh teman-teman di dalam kelas yang panas itu, dan ternyata perempuan berwajah ayu itu pun tersenyum padat, tidak menampkan rahang giginya yang kuat atau seri giginya yang tajam dan gingsulnya yang lancip. Hanya bibir atas tengahnya sedikit bisa dikatakan lancip jika seandainya di lihat dari pinggir. Itu jelas terlihat oleh mata kepalaku sendiri. Tapi, semua itu adalah keangguan atau kelebihan apa yang dimiliki dari raut wajahnya yang kukagumi itu.
Kuteliti wajahnya, sungguh mengesankan. Membuat hatiku mulai luluh di hadapanya.
Tidak...!!!! Saya tidak akan berlarut-larut dalam lamuan semu ini. Ini adalah suatu ketidakmustahilan, seorang yang super cu-ex, cool, jual mahal akan mendapatkan perempuan secerewet dia. Dia memang lincah tapi sedikit pemalu, seakan lincahnya itu diada-ada oleh postur tubuhnya, artikulasi gaya bahasanya pun ilmiah, seakan dia hanya ingin dikatakan orang yang berintelektual. Tapi jika dia berlama-lama ngoceh, sama saja tuh seperti layaknya tukang becak ataupun layaknya tukang obat yang tidaklaku-laku
“Berapa nomor ha pe mu?”
“Saya tidak punya” dia tersenyum dengan tatapannya yang seakan menginginkan keakraban dalam perbincangan itu. Ini terlalu sadar untuk saya akui, bahwa sesungguhnya dia mempunyai daya tarik tersendiri bagi diriku sebagai seorang pria normal.
Normal memang, seumpama pria mengatakan bahwa dia adalah wanita impian. Mungkinkah, hati ini bermunafik pada diriku sendiri? Seakan sayalah orang yang pertama yang mengatakan bahwa perempuan yang duduk di sampingku adalah orang paling buruk yang pernah saya jumpa? Tidak, dia terlalu manis untuk saya ungkapkan. Dan hati ini pun berani untuk menjadi seorang yang pendusta hanya sekedar menyembunyikan kata-kata, bahwa dia tidak cantik, tidak manis, tidak seperti yang diharapkan oleh pria-pria. Karena saya tahu kepicikan hati ini takut akan kehilngan wujud wajah ayu itu. Munafik bukan hati ini. Ah, tidak inilah yang namanya gengsi gede-gedean. Mungkin dia juga sama apa yang di alami oleh saya, sebenarnya dia menginginkan hatinya berlabuh dalam pelukan hangatku. Mungkinkah? Entalah!
Kulihat bibir yang tipis itu bergetar, pandangan itu kucuri saat dia menunduk dengan keseriusannya. Saya pun tidak tahu bahwa dia mencuri pandangannya padaku jua, seperti halnya yang saya lakukan padanya. Saya yakin itu. Mungkin saat saya sedang menjelaskan tentang suatu sensasi, persepsi, memori, ataupun berpikir di depan kawan-kawan yang saya ibaratkan sebagai publik. Jika seandainya benar, hidung saya tidak akan kembang kempis, saya tidak akan ge er atau pun bersenang hati, sebab apa yang dilakukannya hanyalah sebuah imajinasi pelampiasan sesaat saja, hanya untuk menghibur diri dan hanya untuk mempercepat waktu berlalu. Sebab saya tahu bahwa di sudah terlalu jenuh untuk berlama-lama di kursi tidak empuk itu.
Kulihat juga bentuk postur tubuhnya. Ternyata dia bukanlah seorang perempuan yang amat menjadi perhitungan bagi pria yang nalurinya dan seleranya tinggi. Kulit tangannya hitam gosong, seperti warna tanganku jua yang terpanggang sinar matahari dari suasana Jogja. Pinggulnya, layaknya seorang perempuan biasa, tidak besar atau pun lebar, bisa dikatakan pinggul perempuan sedang ataupun lumrahnya perempuan Indonesia. Dadanya kecil tidak seperti dada Ketty Holmes ataupun Angelana Jolly, bahkan dadanya bisa dikatakan rata, seukuran tangankulah dan rasanya putingnya pun kecil, seukuran jari kelingkingku.
Kepalanya kecil, tidak bulat, panjang dan berbentuk kapsul, mungkin terlalu ketat cara pemakaian kerudungnya. Dan sampailah pandangan saya pada wajahnya. Cukup bersih, terawat, tidak ada bekas jerawat ataupun komedo sekalipun. Apa iya dia memakai pemutih seperti kata-kata kawan-kawan perempuan dalam kelasku? Jika seperti itu, wujud asli bukanlah apa yang sekarang dia empunya. Sungguh permainan seorang yang modern.
Terlihat dia was-was dan sedikit kaku tingkahnya, saat pandangan mata sayuku mentap, tentunya bukan dengan tatapan nafsuku. Seolah dia tidak menginginkan hatinya terjatuh dan terhanyut dalam dekapan hangatku. Dia tersenyum, hanya untuk menginginkan penghentian pandanganku terhadapnya. Tapi saya tak maksud. Tanpa henti tatapan sayuku menatapnya, bahkan bisa dikatakan pandanganku itu penuh dengan kejantanan. Tatapan seorang pria sejati. Dia pun kaku, dan inilah kemenangan bagiku di hadapannya, yang mampu membuatnya gelisah, kacau, bahkan tak enak untuk duduk, seakan dia terbang meluncur ke langit yang ke tujuh.
Kuperlihatkan halaman depan bukuku yang tebal itu di hadapannya. Mengukir sebuah tulisan yang menurutku itu adalah sebuah pituah bagi diriku sendiri ‘lakukanlah kebiasaanmu, maka kebiasaanmu itu akan membentuk kepribadianmu’ dia hanya tersenyum dan berucap “Cukup. Cukup, menyemangati kadar kemalasanku”. Senyum sinisku menyungging, tak kilah dia tidak memperhatikan semuanya, hanya suara gemuruh terdengar dengan riang tawa, kembali kawanku berceloteh ngawur.
Dia pun berlalu setelah dosen kurus tinggi itu, mengucapkan alhamdulillah, puji syukur sebagai batas akhir dari pertemuannya. Dan saya pun menginginakan kata-kata itu keluar lebih cepat dari apa yang dikatakan sebelumnya.
Untuk perempuan berwajah ayu. Hari ini, malam ini, bayang wajahmu masih melekat dalam memori rinduku, seperti kemarin. Tetapi, tidak sehebat apa yang kurasakan semalam. Sebab malam ini, umat muslim sedunia menyambut hari suci, bulan yang ditunggu-tunggu dengan tangan terbuka. Semoga malam ini, engkau dalam keadaan mengingatku dan memasuki dunia alam khayal kita berdua, diamana bercumbu rayu dihalalkan dan bersetubuh mendapat pahala. O, surgawi. Kutunggu kau.
Sapen, 23.27 pm WIB
0 Response to "Coretanku # Selasa, 04 Oktober 2005"
Post a Comment