Bagi Anda yang lulus sarjana atau Anda yang sedang menanti-nanti perekrutan CPNS, untuk tahun ini (baca tahun 2011) Anda patut kecewa, sebab tahun sekarang rencananya Provinsi Jawa Timur akan menghentikan perekrutan CPNS untuk beberapa tahun ke depan. Entah sekedar isu atau desakan dari golongan bawah yang telah mengabdi lama yang tidak diangkat-angkat menjadi PNS, yang jelas pemerintah Jawa Timur lebih berapologi mengoptimalkan mereka yang mengabdi sebagai Sukwan atau tenaga suka relawan. Reaksi dari masyarakat mungkin akan terasa bila rencana ini benar-benar terlaksana oleh pemerintah provinsi.
Merunut gembar-gembor isu di atas fenomena CPNS di Indonesia memang banyak menyita perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun perekrutan CPNS sering menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, yang paling menyita perhatian tahun 2010 di Kediri ketika lulusan.
Perguruan Tinggi Negeri Agama yang tidak diperbolehkan untuk mengikuti seleksi, walaupun setelah itu diperkenankan. Alhasil reaksi dari lulusan Negeri Agama pun berontak atas diskriminasi ini.
Sebenarnya gejolak permintaan masyarakat terhadap CPNS yang dari tahun ke tahun semakin meningkat adalah hasil dari ketidakmampuan pemerintah dalam hal mengentaskan kemiskinan. Salah satunya dalam bidang lapangan pekerjaan, dimana lowongan pekerjaan dengan yang melamar seolah tak sebanding. Hal inilah sebagai pemicu gejolak tekanan dari masyarakat, sedangkan pemerintah berdalih apa yang ia lakukan adalah benar, pemerintah berapologi bahwa penurunan grafik kemiskinan dari tahun ke tahun adalah sesuatu patokan bukti nyata bahwa pemerintah sukses mengentaskan kemiskinan. Sayang kesuksesan pemerintah hanya sebatas retorika saja, tidak sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat.
Belum lagi setiap tahun dari berbagai perguruan tinggi menelorkan ratusan bahkan sampai ribuan para sarjana. Para sarjana ini bila tidak siap dengan persaingan hidup (mencari pekerjaan), maka ia akan tersingkir dan akan menjadi pengangguran terdidik.
Apakah ini kesalahan pendidikan? Pemasungan kreativitas pendidikan di negara ini sebenarnya sudah lama terjadi, hanya saja pemerintah kurang jeli dalam menganggapi kekurangan ini, contoh kecil seperti pembuatan kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan kepentingan materi serta kesannya pun buat-buat. Belum lagi kurang bertanggungjawabnya perguruan tinggi terhadap peserta didiknya.
Kreatif atau minat para mahasiswa untuk menjadi pengusahaan baca; pembuka lapangan kerja kadang sering dibatasi, hal ini dikarenakan kurikulum pendidikan kita tidak mendorong mahasiswa untuk kreatif. Walaupun ada SKS (Satuan Kredit Semester) untuk mata kuliah kewirausahaan itu hanya sebatas pelengkap dan sementara saja, tidak diimbangi dengan tindak lanjut ke depannya. Jelas ini perlu evaluasi dari pemerintah dalam hal ini menteri pendidikan.
Sepertinya pemerintah lebih mendorong para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi hanya untuk menjadi calon buruh terdidik yang hanya puas mendapat gaji tiap bulan yang tidak berani mengambil risiko membuka lapangan kerja sendiri.
Pemerintah tampaknya perlu lebih tegas lagi terhadap perguruan tinggi, untuk mengupayakan kurikulum yang berbasis wirausaha yang berkesinambungan. Dimana Satuan Kurikulum Semester atau SKS untuk wiraswasta tidak hanya sekedar 4 SKS saja, melainkan teori dan praktek untuk Wirausaha di bedakan dalam tiap semester. Atau yang lebih ekstrem, skripsi yang dibuat para mahasiswa harus merujuk jiwa wiraswasta. Perlu proses memang, namun pemerintah harus segera mengupayakan pendidikan yang berbasis kewirausahaan, jika tidak setiap tahun pengangguran akan semakin meningkat, dan kemiskinan akan semakin nyata yang kaitan eratnya dengan kriminalitas.
Berkaca pada fenomena pengentasan kemiskinan baca; pengangguran, kiranya bangsa ini akan lebih arif bila menengok negeri sendiri yang memiliki ribuan pesantren yang mampu mencetak lulusan siap pakai yang mampu membuka peluang usaha dan mampu membangun pemuda yang berjiwa pelopor bukan pemuda pengekor. Jayalah pemuda bangsaku.
Merunut gembar-gembor isu di atas fenomena CPNS di Indonesia memang banyak menyita perhatian masyarakat. Bagaimana tidak, dari tahun ke tahun perekrutan CPNS sering menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, yang paling menyita perhatian tahun 2010 di Kediri ketika lulusan.
Perguruan Tinggi Negeri Agama yang tidak diperbolehkan untuk mengikuti seleksi, walaupun setelah itu diperkenankan. Alhasil reaksi dari lulusan Negeri Agama pun berontak atas diskriminasi ini.
Sebenarnya gejolak permintaan masyarakat terhadap CPNS yang dari tahun ke tahun semakin meningkat adalah hasil dari ketidakmampuan pemerintah dalam hal mengentaskan kemiskinan. Salah satunya dalam bidang lapangan pekerjaan, dimana lowongan pekerjaan dengan yang melamar seolah tak sebanding. Hal inilah sebagai pemicu gejolak tekanan dari masyarakat, sedangkan pemerintah berdalih apa yang ia lakukan adalah benar, pemerintah berapologi bahwa penurunan grafik kemiskinan dari tahun ke tahun adalah sesuatu patokan bukti nyata bahwa pemerintah sukses mengentaskan kemiskinan. Sayang kesuksesan pemerintah hanya sebatas retorika saja, tidak sesuai dengan realitas yang ada di masyarakat.
Belum lagi setiap tahun dari berbagai perguruan tinggi menelorkan ratusan bahkan sampai ribuan para sarjana. Para sarjana ini bila tidak siap dengan persaingan hidup (mencari pekerjaan), maka ia akan tersingkir dan akan menjadi pengangguran terdidik.
Apakah ini kesalahan pendidikan? Pemasungan kreativitas pendidikan di negara ini sebenarnya sudah lama terjadi, hanya saja pemerintah kurang jeli dalam menganggapi kekurangan ini, contoh kecil seperti pembuatan kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan kepentingan materi serta kesannya pun buat-buat. Belum lagi kurang bertanggungjawabnya perguruan tinggi terhadap peserta didiknya.
Kreatif atau minat para mahasiswa untuk menjadi pengusahaan baca; pembuka lapangan kerja kadang sering dibatasi, hal ini dikarenakan kurikulum pendidikan kita tidak mendorong mahasiswa untuk kreatif. Walaupun ada SKS (Satuan Kredit Semester) untuk mata kuliah kewirausahaan itu hanya sebatas pelengkap dan sementara saja, tidak diimbangi dengan tindak lanjut ke depannya. Jelas ini perlu evaluasi dari pemerintah dalam hal ini menteri pendidikan.
Sepertinya pemerintah lebih mendorong para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi hanya untuk menjadi calon buruh terdidik yang hanya puas mendapat gaji tiap bulan yang tidak berani mengambil risiko membuka lapangan kerja sendiri.
Pemerintah tampaknya perlu lebih tegas lagi terhadap perguruan tinggi, untuk mengupayakan kurikulum yang berbasis wirausaha yang berkesinambungan. Dimana Satuan Kurikulum Semester atau SKS untuk wiraswasta tidak hanya sekedar 4 SKS saja, melainkan teori dan praktek untuk Wirausaha di bedakan dalam tiap semester. Atau yang lebih ekstrem, skripsi yang dibuat para mahasiswa harus merujuk jiwa wiraswasta. Perlu proses memang, namun pemerintah harus segera mengupayakan pendidikan yang berbasis kewirausahaan, jika tidak setiap tahun pengangguran akan semakin meningkat, dan kemiskinan akan semakin nyata yang kaitan eratnya dengan kriminalitas.
Berkaca pada fenomena pengentasan kemiskinan baca; pengangguran, kiranya bangsa ini akan lebih arif bila menengok negeri sendiri yang memiliki ribuan pesantren yang mampu mencetak lulusan siap pakai yang mampu membuka peluang usaha dan mampu membangun pemuda yang berjiwa pelopor bukan pemuda pengekor. Jayalah pemuda bangsaku.
0 Response to "SKS Berbasis Wiraswasta"
Post a Comment