Sore hari, sepulang dari kerja iseng-iseng saya nonton TV, tanpa sengaja salah satu acara televisi swasta memikat mata ini, kalau tidak salah acaranya Bedah Rumah, walau acara tersebut sudah terbilang lama namun saya baru tahu isi acara tersebut. Cukup menghibur, mengharukan, dan sedikit mendramatisir, mungkin itu salah satu trik untuk memikat penonton.
Setelah acara tersebut selesai, saya tertegun, ternyata ada juga jalan keluar dari penderitaan atau kemiskinan secara instan seperti halnya rumah gubuk mampu disulap menjadi sebuah istana menurut ukuran si miskin, tentu dengan tanpa biaya alias gratis.
Bila kita tidak berpikir jernih, mungkin bagi mereka (si miskin yang mendapatkan rumah bedah) bahwa stasiun televisi adalah “Dewa Penolong” sebagai jalan keluar dari kesulitan hidup mereka yang mengidam-idamkan rumah yang layak.
Lantas, yang menjadi tanda tanya besar, dimana peran otoritas Lembaga Sosial? Dalam hal ini pemerintah, yang sudah jelas dalam Undang-undang tertuang bahwa kaum miskin dan anak terlantar dijamin oleh negara. Kaidah dijamin disini adalah seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan umum dan lain-lain.
Kiranya pemerintah telah kecolongan dimana kemiskinan yang seharusnya menjadi lahan pembebasannya, kini jatuh kepada tangan yang tidak semestinya: Media Kapitalis. Sebab tanpa disadari ada penindasan terselubung disini. Artinya peran usaha media untuk membantu si miskin yang niat adiluhungnya atas nama empati ternyata berbuah penindasan.
Mari kita telaah, berapa juta orang yang menonton bahwa si miskin “A” telah dikasih uang, barang atau rumahnya diperbaiki. Tapi tentunya dengan jalan penderitaannya harus di ekspose dan di tonton berjuta pasang mata. Adapun si “A” merasa dihinakan atau tidak, ini menjadi selaput yang tak pernah terjamah. Jelas disini kemiskinan seseorang menjadi objek eksploitasi yang mampu menghasilkan materi dari acara tayangan tersebut. Apakah tidak ada jalan pembebasan kemiskinan yang lebih bijak dari ini?
Dalam hal ini kita patut bersedih, pemerintah kita sekarang menjadi sangat reaksioner dan lebih tertarik manakala berhadapan dengan masalah pornografi, politik, dan yang paling menarik seluruh Ponpes Se-Jawa-Madura menyetujui acara “Uya Emang Kuya” diharamkan (Surya, 25 Maret 2011). Namun lucunya, pemerintah menjadi tidak agresif manakala dihadapkan pada persoalan mendesak seperti kemiskinan, semisal kasus gizi buruk, busung lapar. Berapa orang yang terpanggil hatinya untuk menyelesaikan kasus tersebut?
Kita tahu kemiskinan adalah luka tua peradaban, bila masalah ini terus memblunder tanpa ada rem dari pemerintah niscaya peradaban tersebut akan semakin kokoh dari sederet panjang persoalan bangsa ini. Saya kira kemiskinan tidak sekonyong-konyong datang dengan harga mati dari takdir, tapi kita di tuntut untuk berusaha keluar dari jurang tersebut, dengan cara apa? Selain berusaha dari diri pribadinya, peran pemerintah pun dibutuhkan, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan pelayanan umum yang lebih baik.
Walaupun pesimis saya masih yakin kelak negara ini akan lebih baik dari sekarang, jika seandainya pemimpin negara ini mampu mengedapkan etika dan tanggung jawabnya kepada rakyat.
Sebagai renungan, bila melihat kasus di atas, kiranya tepat pengandaian bagi mereka baca; pemerintah “kemiskinan di pelupuk mata tidak terlihat, sedangkan orang seksi di seberang lautan sangat jelas terlihat”.
0 Response to "Pemerintah, Media dan Kemiskinan"
Post a Comment