Pagi ini matahari tidak mampu menyinari alam ini, kabut menghalanginya seakan enggan untuk berpindah darinya. Begitu pun diri dan hatiku ini yang masih tergantung pada perempuan berwajah ayu itu. Saya masih mengenangnya, masih merindukannya, masih ingin menatap wajahnya, walaupun dalam batas yang normal. Kuyakin ini adalah bukan suatu sebab. Pada kenyataanya saya tidak berpijak dalam naungan keteguhan hatiku sendiri, seakan saya berada jauh di dalam negeri asing yang tak pernah kulalui sebelumnya. Sungguh begitu asing, hingga saya tidak menemukan seseorang pun yang mampu untuk berbagi keluh kesah dalam ruang batin yang cengeng ini.
Berapa puluh kali bahkan beratus kali saya berkeliling saya harus berhitung dengan jari hanya untuk menemukan peta perempuan berwajah ayu itu. Bahkan saya berlari sampai di langit yang ke tujuh, ini bukan suatu berlebihan, melainkan hanya meyakinkan bahwa hari ini saya berada dalam keinginan dan kerinduan yang menyelimuti semuanya.
Tapi toh kenyataannya perempuan itu masih tetap berpegang teguh pada kegengsiannya. Mengapa saya tidak mmapu melakukan hal semacam itu? Bukankah seorang pria adalah panutan bagi kaum perempuanya? Begitulah hukum alam yang menjelmakan Adam sebagai ujung tombak bagi keluarga, bahkan bisa dikatakan menjadi ujung tombok saat harus peras keringat banting tulang hanya untuk membahagiakan sang Hawa. Saya ingin seperti Adam yang hanya ditemani oleh Hawa, yang menjadi puncak keabadian hidup di dunia ini.
Rasanya pagi ini saya tidak akan berjumpa dengan kembali seperti hari-hari ke belakang bersama perempuan berwajah ayu itu. Saya bukan fesimis apalagi putus asa, melainkan itu hanya suatu ramalan diriku saja, yang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk berpegang teguh bahwa diri ini mampu untuk meluluhkan hati perempuan berwajah ayu itu. Dan jika sekiranya saya berjumpa dengannya, kemungkinan besar perhatianya sama seperti halnya hari-hari sebelumnya. Ah, haruskah saya berpaling dari semua itu dan tidak untuk menjadi bahan hayalanku saja, dari perempuan itu? Yang kadang kala bila tiba hayalan itu, sungguh sangat mejenuhkan, dan menguras pikiran. Tapi saya menikmati, namun itu hanya sesaat dan ujungnya hanya penyesalan yang kudapat dari semua yang kulakukan itu. Bukankah ini yang dinamakan perasaan kasih dan sayang? Entahlah, senadainya dinamakan seperti itu, tapi justru hati inilah yang merana bukan suatu kepuasan, apalagi merasakan apa yang diberi makna kasih dan sayang itu.
Di depan halaman kampus sekarang sepi, tidak ada yang sekumpulan orang berdemo apalagi berorasi sampai mulut berbusa, sebab dogma ternyata lebih berpengaruh pada hati nuraninya. Tapi, tak tahu di dalam kelas, kemungkinan besar mereka berkumpul mendengarkan kejenuhan mulut-mulut dosen-dosen yang membosankan, yang beraroma terori kefalsafahan, keagamaan, kesastraan, ataupun kepolitikan. Ah, sesuatu yang perlu direnofasi dengan pondasi keimanan.
Saya tidak tahu sedang apa perempuan berwajah ayu itu sekarang. Mandi? Mungkin. Tidur? Mungkin juga. Atau makan? Tidak, yang satu ini tidak akan dia lakukan sebab hari ini pertama bulan suci dikumandangnkan bagi kaum muslimin sedunia. Pilingku mengatakan bahwa dia sedang berada dalam suasana yang sedang termenung, merindukan pada keluarganya. Kecurigaanku dia rindu terhadap kekasihnya itu tidak akan terjadi, sebab dia berada dalam penjara suci. Tapi tidak tahu, seorang yang sudah menjadi seorang pencari cinta, pengorbanan adalah sesuatu yang indah, kematian akan menjadi aroma yang dirindukan, tetesan darah adalah kebahagian diujung sebagai pengabdian pada sang kekasih, bila semua itu diperlukan. Semua yang akan dia lakukan adalah semangat sebagai alat yang tidak akan mampu dibendung walaupun oleh orangtunya sendiri, bahkan oleh Tuhannya sekalipun. Sebab orang menjadi pecinta adalah seprti orang yang kehilangan akal. Begitu pun halnya saya ini, daya tarik perempuan berwajah ayu itu menyemangati untuk tetap diri inidalam keadaan yang terbaik diantara yang terbaik, sebab menghadiahkan sesuatu yang menurut kita pengorbanannya lebih besar dari semuanya adalah kepuasan tersendiri, walaupun tidak untuk menurut perempuan itu. Pertanyaan yang akan saya ajukan pada tuan adalah mungkinkah besarkah, perempuan berwajah ayu itu mampu merespon apa yang menjadi tatapku itu? Sebab tatapanku mengandung makna yang dalam bila pandangan itu menatapnya.
Mungkinkah, wajahnya sekarang semakin ayu dengan pancaran auranya? Itu pasti, sebab wajahnya sering dibasuh dengan air wudlu, paling sedikit lima kali dalam sehari semalam. Pantas jika beliau memiliki aura dalam pancaran wajahnya, seakan pancaranya itu menginginkan menembus dalam relung hatiku yang gelap dan pengap ini oleh kemaksiatan. Kuyakin perempuan berwajah ayu itu adalah seorang yang akan memberikan keagungan tersendiri bagi diriku.
Teruntuk perempuan berwajah ayu, saya masih menggagumi dirimu walau dalam batas khayalan semata. Sebab, sementara hanya ini yang mampu saya berikan pada saat hari yang suci ini. Jika sekiranya pengorbananku hanyalah sia-sia belaka dan tidak mendapat sambutan dari hatimu, saya akan berlapang dada, dan akan mencoba menjadi seorang yang legowo. Tetapi dirimu bukanlah perempuan yang berkeras hati, seperti yang kurisaukan. Kuyakin ini adalah langkah awal, hanya untuk mendapatkan hati sang perempuan berwajah ayu.
Akan kugauli engkau dengan keimananku seperti halanya saya menggauli alquran, engkau akan saya telanjangi seperti halnya saya menelanjangi hadits dan engkau akan saya cumbu seperti halnya saya bercumbu dengan Tuhanku. Dan engkau akan kupeluk, cium mesra, seperti halnya saya memeluk dan mencium Islam. Sampai akhir hayatku. Keyakinanku, kelak jika sekiranya engkau menjadi miliku.Kukira ini bukanlah sebuah rayuan yang murahan, jika sekiranya engkau mengerti jauh di lubuk hatiku saat ini. Engkau boleh mengatakan ini adalah sebuah garansi, atau sebuah tulisan yang bermaterai enam ribu rupiah, dan kelak akan engkau tuntut, jika sekiranya engkau merasa ragu terhadap apa yang menjadi pondasi semua itu. Semuanya itu berlaku bila engkau tidak mempunyai keyakinan terhadapku.
Sapen, 09.59 PM WIB
0 Response to "Coretanku # Rabu, 05 Oktober 2005 pukul 09.59 pm "
Post a Comment