Pagi yang cerah, saya tidak menemukan matahari. Saya tertidur sangat lelap. Tenaga terkuras saat perut ini berhenti untuk disajikan secara normal.
O, sepikah rindu ini terhadap seorang perempuan. Saya hampir lupa, kerinduan ini masih ada, bahkan masih tersimpan jauh di dalam lubuk hatiku. Untuk siapakah rindu ini akan saya curahkan? Kuharap pertanyaan yang tak perlu dijawab.
Saya ingin mengajak, kaki ini untuk melangkah pergi jauh berada didunia surgawi. Dunia yang sangat saya idam-idamkan. Tentunya bukan bersama perempuan berwajah ayu itu. Kini dia seakan bukan yang pernah saya kenal, narsis telah membentuk jati diri perempuan itu. Pernah saya bertanya kepadanya, tentang malaikat, tentang bidadari yang merindukan kasih sayang. O, ternyata keirnduan yang saya ceritakan bukan kerinduan yang dimilikinya. Bukankah kerinduan dimana-mana tetap sama dan tetap ada sepanjang manusia mempunyai kerinduan pada sang Ilahi. Kerinduan bukanlah sebuah barang yang mahal, bukan pula suatu petak sawah yang akan tergarap oleh sang petani, tetapi suatu karunia yang patut untuk dijun-jung tinggi. Betapa agung makna cinta.
Ternyata perasaanku bukanlah semata karena dia, perempuan berwajah ayu.
Saya pernah merasakan sapaannya, hangat, lembut, namun kadang tak mempunyai makna, hanya sebatas keinginan sebagai seorang sahabat. Keyakinanku, dia tidak mengerti apa yang sering saya isyaratkan, makna senyuman, sapaan, makna dari tatapan mata yang sayu.
Kadang saya menemukan pertanyaan, saat lamunan menyelimuti sekujur naluri keimananku. Tapi bukan itu yang saya maksud, sebab kekecewaan lebih menyakitkan diantara kisah cinta yang menyenangkan. Saya telah berunding dengan keinginanku, semuanya akan berubah sesuai dasar hati yang tak memiliki arti. Haruskah saya menangis, bila cinta hilang? Haruskah saya bersedih bila rindu tak ada yang menyapa? Itu tentu terlalu berlebihan, kerinduan adalah satu-satunya yang dimiliki sifat dasar manusia.
Mata ini pun membuka, pandangan tertuju pada jam dinding. Samar-samar kulihat. Ternyata masih terlalu pagi untuk bangun, kurebahkan kembali tubuh ringking ini. Ah, bukankah hari ini saya ada kuliah? Jam berapa sekarang? Mata kuliah apa? Siapa dosenya? Ini bukan salah iblis ataupun syetan yang berbisik pada dada manusia, ini suatu kejenuhan. O, terlalu mendramatisir pikiranku ini.
Saya sudah mulai bosan berbicara banyak tentang perempuan berwajah ayu itu. Dan ternyata memang sangat bosan untuk mengenangnya. Uh, bukankah rasa cinta akan selalu ada bila hati ini diguncang dengan dendam asmara? Saya bukan penyanyi dangdut ataupun penciptanya.
Perempuan berwajah ayu. Kau akan tetap hebat, kau akan tetap bersinar, lembut, ramah, sopan, dan keibuan bila kau berdampingan dengan jiwa kasih sayangku, ini bukan suatu rayuan yang murahan seperti tukang obat di pinggir jalan ataupun tukang kocok dadu. Ini keyakinan, bahwa kau akan saya pinang suatu saat kelak bila kau percaya akan kepribadianku.
Ingat, saya bukan dewa, bukan pula malaikat, atau pun brahmana, bukan pula pastur, saya manusia seperti halnya nabi Muhammad tetapi saya tidak diberikan kelebihan, perasaan cinta dan kasih sayang tak kurang cukup untuk diberikan pada yang empunya bumi ini.
Sapen, 21.40 PM, WIB
0 Response to "Coretanku # Kamis, 06 Oktober 2005"
Post a Comment