Pelangi Di Mata Istriku

Memperlakukan orang dalam mencintai adalah mempunyai arti tersendiri pada diri ini, namun berbeda sekali sekarang dan dulu setelah memiliki istri. Artinya rasa cinta dan kasih sayang saya curahkan sepenuhnya terhadap beliau. Begitupun dalam hal cara pandang terhadap orang di sekelilingku, dulu semasa lajang saya cenderung egois dan tak peduli dengan penderitaan orang lain, entah berubah atau pun tidak dalam cara pandang pemikiranku setelah menikah rasanya diri ini lebih empati dan peduli terhadap sesama. Istrikulah yang mengajarkan semuanya. Sungguh ini tidaklah berlebihan untuk memujanya sebagai perantara saya beribadah terhadap yang Maha Kuasa, dan akan saya jadikan sebagai ladang amal untuk kelak saya petik di akhirat nanti. O, mengapa tidak semenjak dahulu saya mengenal perempuan berkerudung itu, setiap langkah dan gerak sepertinya adalah penilaian yang amat berharga yang patut kami syukuri sebagai manusia lemah, lemah di hadapan Allah.

Begitupun rasa sayang terhadap istriku, sangat jauh berbeda perlakuan sayangku pada saat masih memadu asmara semasa lajang. Segala perbuatan apa yang dilarang sebelumnya menjadikan diri ini adalah sebuah ibadah bila melakukan hal yang dilarang itu setelah menikah, tentunya terhadap istriku sendiri. O, tentunya ini bukan tanpa maksud Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, kalau bukan hanya untuk menenteramkan hati masing-masing, baik saat kejenuhan maupun kebahagiaan. Inilah sekarang yang saya rasakan, hidup bersama mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang sangat saya sayangi. Dialah isrtiku Hamidah namanya.

Perasaan merindu pun tentunya amat sangat berbeda ketika saat saya masih lajang dan sesudah menikah. Kadang saat masih lajang perasaan merindu itu sangat lebih menonjol ketimbang perasaan merindu terhadap Allah, tentunya itu bukan satu alasan menyalahkan manusia atau pun kita berprasangka buruk terhadap Allah yang terlalu egois untuk menentukan pilihan sebagai penciptaan, kemungkinan besar ada semacam keindahan Allah menciptakan semua-Nya, ketika merindu terhadap mahluk ciptaan-Nya.

Begitupun saya sendiri, saat diri ini masih sebagai seorang yang bisa dikatakan seorang bujang, merindu bukanlah hal yang aneh bagi alam hayalan ini, perasaan ini kerap memberondong dalam kesendirianku, hingga tanpa pikir panjang uang dalam kantong pun terkuras hanya untuk mendengar di seberang sana gadis pujaan hati belahan jiwa.

Tentunya bukan salah satu alasan ini saya menikah dengan perempuan berkerudung itu, adalah sebuah ibadah sebagai pondasi yang saya bangun sebelum melakukan pendekatan terhadap dirinya atau pun terhadap keluarganya. Tenteram, nyaman, merasa terlindungi mungkin itulah salah satu kenikmatan yang sering saya rasakan hari-hari ini bersama istriku. Walaupun keadaan tempat kami tinggal tidaklah layak untuk bisa dikatakan sebagai tempat tinggal, namun kami merasa bahagia untuk menjalani hidup tanpa ada materi yang berlimpah sekalipun. Diantara kami saling menghargai apa yang dimilikinya, saya lebih menghargai saat istriku berkata jujur walaupun rasa empedu yang akan saya telan, pun halnya saya akan lebih terbuka bila ada suatu komitmen seperti itu. O, sungguh mengesankan budi luhur perilaku istriku itu, saya semakin sayang dan semakin cinta terhadapnya.

Sebenarnya apa yang menjadi perilaku istriku seperti itu adalah sebuah bukti bahwa diri ini merasa tidak nyaman. Saya merasa sedih dan teriris hati bila menilai bahwa diri ini tidaklah layak untuk beliau jadikan sebagai pendampingnya. Ini tidaklah adil bagi dirinya, seharusnya saya mendapatkan sesuatu sebagaimana yang dulu saya lakukan. O, mungkinkah beliau sebagai perantara saya untuk mendapatkan sebuah amal yang saleh? Keraguan ini saya utarakan pada istriku selepas shalat subuh;
“Wahai istriku, betapa suamimu ini sangat mencintaimu sebagaimana saya mencintai agama Allah yang sekarang saya anut. Berkat budi luhurmu, sucinya cintamu, diri ini pun merasakan getaran yang hebat bersentuhan dengan Allah, engkau perantaranya istriku,” saya mendekatinya, menelusuri celah aura kesempurnaannya.

“Namun, tidakkah terbesit dalam hatimu merasa menyesal menjadi pendamping hidup bersama diriku yang hina-dina ini? Diriku tidaklah ada sesuatu pun memiliki yang membuat engkau bangga. Materi, ketampanan, pendidikan, keturunan. Ah, semuanya tidaklah pantas bila dibandingkan dengan kesempurnaan dirimu wahai istriku,” beliau sejenak diam, dan melipatkan mukena yang beliau kenakan. Kemudian daripada itu tatapannya menembus relung jingga merahku, seakan ingin menelusuri di balik manik bola mataku.

“Semoga kelak diri ini menjadi bara api neraka, bila mempunyai niatan sepicik itu. Percayalah wahai suamiku, tidaklah semata-mata tubuh ini akan berserah diri untuk mengabdi terhadapmu, kecuali akan saya petik ladang amal kelak di akherat nanti. Bukankah, di hadapan Allah semua mahluk-Nya adalah sama, kecuali derajat ketaqwaannya? Apakah engkau ragu terhadap diri ini wahai suamiku?”

“Bukan seperti itu, saya merasa diri ini hina setelah mendapatkan engkau. Engkau begitu mulia, luhur budi pekertimu, dan keluargamu adalah sebaik-baik yang engkau ucapkan. Bukankah diri ini menjadi suamimu, sudah tidak bujang lagi? Saya merasa, diri ini tak pantas untuk engkau jadikan sebagai panutan hidupmu. Apa kata orang nanti bila mengetahui engkau berdampingan bersamaku? Keraguan dan kegelisahan ini acap kali menyergap dalam lamunanku. Sungguh bila malam tiba dan ketika mata ini memandangmu saat engkau tidur, hati ini pun mulai teriris. Engkau sungguh mulia istriku, dan tak pantas berdampingan dengan.....” telunjuk istriku pun secepat kilat membungkam mulut ini, dengan deraian air mata, dan beliau pun berucap terpatah-patah;

“Tidak suamiku, engkau adalah sebaik-baiknya ladang amal yang patut saya hormati, dan akan saya gugu perintahmu, selama itu tidak menyimpang apa yang diajarkan dalam agama kita,” kucium dan kupeluk istriku saat itu, tanpa sadar bergetar tubuh ini seolah mendapatkan sebuah hidayah dari yang empunya alam ini dan tanpa sadar meneteslah air mataku. Rasa haru pun menyelimuti pagi itu, sampai sinar kuning keemasan menembus celah bilik kecil. Saya tetap dalam pelukannya.

Lama sudah saya mengarungi bahtera rumah tangga bersama istriku. Sungguh ini adalah karunia yang patut saya syukuri sekecil apa pun tindakan. Inilah suatu bukti keagungan Allah.

* * *

Bila boleh saya sedikit bercerita tentang pernikahan saya dengan Hamidah, mungkin seperti ini kisahnya;

Saya menikah dengan Hamidah saat diri ini adalah menjadi seorang yang duda yang ditinggal istri. Istriku kabur, pergi meninggalkan saya saat tahu kehidupan diriku tidaklah mencerminkan sebuah  kehidupan yang diidam-idamkan olehnya, dia meninggalkan diriku. Saat diri ini dalam keadaan terpuruk, utang banyak, usahaku bangkrut, ladang panenku gagal, walaupun saat itu saya masih menjadi wartawan, namun hanya wartawan kacangan. Hingga istriku tidak kuat dengan keadaan diriku, dia pun meminta cerai. Beberapa kali saya menasihati, agar semuanya akan baik-baik saja, tetapi tekadnya sungguh bagai seorang pejuang yang mempunyai semangat heroisme yang akan melawan musuh. Hingga akhirnya saya pun mengabulkan permintaannya yaitu perceraian, bercerai. Sungguh perbuatan yang halal namun dibenci oleh Allah. Dan tak lama dari itu, dia pun menikah kembali dengan saudagar kain batik dari Pekalongan. Ah, sungguh mengenaskan bila mengenang masa-masa itu. Ingin rasanya bunuh diri saat itu.
Dipertemukan dengan Hamidah....

Sungguh berat dan sangat lambat perputaran waktu saat itu, saya mengarungi hidup tanpa ada teman. Setengah tahun dari perceraian itu, saya dipertemukan dengan seorang gadis berkerudung yang aktif disalah satu organisasi Islam, saat itu saya sudah bekerja sebagai wartawan di media massa lokal, walaupun gajinya hanya pas-pasan. Dulu beliau menjadi koresponden dari media kami, kemudian  saya sebagai pencari berita lebih sering ke tempat beliau, dari sering bertemunya itu maka tak dapat dipungkiri hati ini pun terpaut dengan asmara. Dan terjalinlah dua asmara menyatu.

Hamidah, nama istriku yang sekarang. Segala perbuatannya sangat jauh berbeda dengan istriku yang pertama. Namun, dari hal itu saya tidak akan membanding-bandingkan dengan sesuatu yang ada pada dirinya atau pun pada istriku yang dahulu. Yang berlalu biarlah berlalu, dia pun sering mengatakan seperti itu, saat diri ini dalam kekacauan. Akhirnya saya pun menikah ala kadarnya, tanpa ramai-ramai, tanpa mengundang artis, tanpa mengundang kawanan pers, hanya kerabat dekat dan tetangga. Pernikahan yang sangat sederhana.

Dalam menjalani hidup rumah tangga amatlah bahagia, walaupun kerikil kecil dan lubang sekecil semut pun sering menyandung keluarga kami, namun semua itu kami anggap sebagai ladang mencari berkah karunia dari-Nya atau sebagai ujian dari yang empunya alam ini.

* * *

Tepat sudah rumah tangga kami berumur kira-kira satu tahun, dan kini istriku sedang hamil tua. O, inilah yang sangat saya tunggu-tunggu, buah hati belahan jiwaku akan lahir beberapa bulan lagi. Dari itu juga saya melonggarkan diri dari pekerjaan, dari pihak media pun mengerti dengan keadaan saya. Pekerjaan sebagai kuli pena adalah semacam menguras pikiran, melelahkan, jenuh dan bisa-bisa kita mempunyai penyakit yang menyerang susah tidur. Namun istrikulah sebagai inspirasi semangat untuk tetap melukis dalam guratan kertas putih ini.
Malam tiba setelah shalat isya....

Suasana hening, angin berhembus menerpa gorden. Istriku datang dari dapur menghidangkan secangkir teh hangat dan duduk di dekatku. Melihat-lihat berkas-berkas, tulisan sewaktu dulu.
Di ruangan tengah saya bersama istri tercinta bercengkerama hanya sekedar berdiskusi atau pun sekedar tukar pikiran. Saya tersenyum, saat pantat istriku duduk di dekat kursi rotan. Kunyalakan sebatang rokok keretek

“Sungguh tidaklah sehat wahai suamiku, bila paru-parumu terkena asap rokok itu,” saya tersenyum dan langsung kumatikan. Ya begitulah bila istriku mengomel hanya untuk menasihati dari kesehatanku. Tak apalah, sebab sayangku sudah melekat bagaikan getah nangka.

“Engkau begitu cantik istriku bagaikan seorang bidadari yang hendak menemaniku,” rayuku, istriku sungguh malu mendengar rayuan gombalku, dan langsung mencubit mesra pahaku.

“Insyaallah, saya akan menjadi bidadarimu kelak di akhirat nanti wahai suamiku,” bibirnya yang kecil tersenyum, dan tangannya sedikit membenarkan kerudungnya.

“Engkau sungguh pandai dalam merangkai kata, suamiku.”

“Sungguh engkau pandai sekali membuat suamimu ini sebagai seorang yang berwibawa. Apakah engkau tidak melihat hidung suamimu ini kembang kempis?”

“Ini sebuah kejujuran dalam kalbuku, suamiku. Engkau pandai menuai benih karangan.”

“Tidak, itu hanya sebuah keisengan belaka, namun tanpa sadar memberikan pengaruh besar terhadap karierku. Dan engkau sungguh sebagai inspirasi terbesarku,” suasana menghening.

Terdengarlah suara pintu terketuk. Kami saling pandang, dengan segera pun saya berdiri menghampiri ke arah suara itu.

“Assalamu’alaikum” jelas kudengar itu suara perempuan. Tapi siapa?

“Walaikumu’salam” kujawab tanpa basa basi. Pintu kubuka terlihatlah seorang perempuan yang sangat kukenal berdiri dengan muka tertunduk, lesu, pucat. Aisyah istriku yang dahulu. Seakan sesak dada ini, tak percaya bahwa beliau akan mengunjungiku. Tapi dari mana dia mengetahui alamatku, dari mana dia tahu ini rumah hunianku. Ah, semua itu tak perlu kupertanyakan.

“Astagfirullah, Aisyah. Ada apa?” saya tergugup, dia tertunduk.

“Aisyah jangan buat Abang bingung, ada apa semuanya? Engkau lari dari suamimu?” lama dia diam terpaku.

“Saya sudah bercerai.”

“Apa? Bukankah engkau bahagia hidup bersamanya?” Aisyah semakin diam dan murung.

“Engkau benar, Abang. Lelaki itu tak ubahnya dengan manusia kotor, dia membuangnya setelah tau bahwa diri ini sudahlah menikah denganmu. Dia hanya ingin jasadku saja.”

“Janganlah engkau berucap seperti itu. Sejelek-jeleknya beliau adalah suamimu sendirikan? Itu mungkin hanya prasangkamu saja.”

“Siapa Abang, suruh masuk saja,” teriak istriku dari dalam.

“Istrimu?”

“Ya. Ayo kita masuk.”

“Terima kasih Imron, saya hanya ingin beri tahu bahwa jasad ini ingin bersanding denganmu kembali.”

“Astagfirullah, saya sudah beristri Aisyah. Janganlah engkau berucap seperti itu, sebaik-baiknya doa adalah ucapan kita sendiri.” 

“Tidak Imron, ini benar-benar jauh dari lubuk hatiku. Saya sungguh-sungguh,” jasad ini pun dipeluknya, saya meronta, Aisyah semakin erat dan kubiarkan saja seperti itu seolah kenangan masa lalu kembali muncul dalam pelupuk ingatanku. Kenanganku bersama istriku Aisyah, kembali mencuat, bahagia. Aisyah adalah kembang desa yang dapat kupersunting dari banyak pesaing pemuda di kampungku yang mengantre untuk meluluhkan hatinya. “Aisyah” saya pun tanpa sadar merasa sesuatu masa lalu kembali lagi, nampak lagi di hadapanku. “Ah, andai engkau tak lari sedari dulu akan saya engkau manjakan dengan kasih sayang yang kupunya, yang terpendam sejak talak itu terlontar dari mulutku sesuai dengan permintaanmu. Sayang sekarang saya sudah bersanding bersama yang lain,” lama saya melakukan seperti itu. Dan tak disangka istriku sudah ada di sampingku dan melihat semuanya. 

“Abang...” getir Hamidah berucap dan tanpa menunggu dari siapapun beliau berlari ke kamar. Dengan segera saya berlari mengejarnya dan kubiarkan Aisyah dengan sendiri.

Hamidah pun menangis.....

“Hamidah, Abang minta maaf. Sungguh ini di luar dugaan Abang. Beliau Aisyah, istriku yang dulu. Sekarang dia membutuhkan pertolonganku, tak Abang bermaksud untuk melukaimu, istriku. Hukumlah andai sekiranya Abang berucap dusta, yakinlah engkau satu-satunya istriku yang ada dalam hatiku, yang lain tak.” suara tangis pun terdengar jelas. Saya merasa berdosa telah membuat istriku yang setia menangis tersedu.

“Hamidah, Abang sayang padamu. Tak secuil pun Abang mempunyai niatan seperti itu. Demi Allah Hamidah, percayalah.... Cobalah kita berpikir jernih dahulu, sebelum kita termakan arus yang tak karuan. Ingat Hamidah bisikan setan lebih terkutuk, lebih menjadi fitnah dari ucapan manusia. Dinginkanlah dahulu perasaanmu, mari kita berucap panjang di sini, demi mencairkan suasana kita.” tertunduklah diri ini. Rasanya sudah tak ada lagi harapan Hamidah untukku. Namun semua itu salah besar. Terasa kepalaku ada yang mengusap, “Hamidah” kupeluk istriku yang mulai buncit itu.
“Maafkan Abang Hamidah.”

“Sudahlah Abang, hapus air matamu. Mana Aisyah?” istriku ke depan menghampiri Aisyah. Terlihat Aisyah wajahnya terembab, seolah telah mencuci muka. Hamidah memapahnya.
“Mari masuk. Maafkan saya, tak pantas saya berbuat seperti tadi.”

“Tak apa Hamidah, justru sayalah yang seharusnya minta maaf terhadapmu, telah mengacaukan malammu ini,” masuklah dua perempuan itu dan duduk saling berdekatan. Hamidah masuk ke dapur dan kembali menyediakan air untukku dan untuk Aisyah. Inilah salah satu yang kurasakan betapa keistimewaan istriku itu, betapa lapang kalbunya itu. Sujud syukur pada-Mu ya Allah saya dikaruniai istri seindah pekerti Hamidah. 

Malam larut, udara gunung semakin membeku. Kampung itu sudah hening dengan sendirinya, orang-orang lebih memilih untuk berada di balik selimutnya ketimbang untuk pergi tak karuan.
“Engkau tak usah pulang Aisyah, tidurlah di sini.”

“Tidak Hamidah, saya segera pulang Emak menunggu di rumah,” saya hanya diam melihat kelakuan istriku dengan Aisyah. Begitu Aisyah berdiri hendak meninggalkan semua, tangan istriku menahannya dengan kalbu lapang.

“Pulang besoklah Aisyah, malam sudah larut. Kuharap engkau tak menampik permohonanku ini,” akhirnya dengan rendah hati pun Aisyah bersedia tidur di rumahku.

“Hatimu sungguh mulia Hamidah. Apakah engkau tak merasa cemburu, dengan adanya diriku ini. Mantan istri suamimu itu?” istriku hanya tersenyum kecil dan sedikit menggeleng kepala. 

“Engkau patut bersyukur, Abang. Istrimu begitu mulia, luhur budi pekertinya.”  masuklah mereka ke dalam kamar. Saya tidur di tengah. 

Udara menyelusup dari celah bilik, dari sela-sela pintu yang renggang. Saya rebahkan tubuhku di atas dipan. Ini sejarah yang tak mungkin saya lupa, keikhlasan rasa kesabaran yang terbesar yang dimiliki istriku itu.

* * *

Seminggu sudah Aisyah berada di rumahku, dan seminggu itu pula Aisyah berubah dalam penampilan, beliau sekarang berkerudung, dan tak hentinya melaksanakan solat lima waktu, tepat. Sungguh ini perubahan yang sangat dahsyat untuknya. Kekuatan apa yang dipengaruhi istriku itu terhadap Aisyah? Ah, memang Hamidah sangat pandai untuk mengubah sifat diri seseorang termasuk diri ini. Walaupun kehendak akan hidayah tetap berada di kekuasaan Allah. Hanya Hamidah-lah sebagai perantara. 

Hari itu terlalu pagi, untuk mengejutkan hati ini. Sesudah melaksanakan sholat subuh Hamidah meminta bermufakat denganku, katanya ada sesuatu yang akan diutarakan olehnya. Di sanalah di ruangan sempit kira-kira dua kali tiga meter, kami bertiga berkumpul. Hamidah duduk dekatku dan Aisyah dekat Hamidah, terlihat dari pandangan masing-masing menyimpan suatu guratan pengharapan yang sangat terhadapku. Tapi saya tak mengerti dengan semuanya

“Sebelumnya saya minta maaf Abang (Hamidah mengawali ungkapannya)  andai sekiranya Hamidah terlalu berani untuk memerintah kepadamu. Mohon sebelum Hamidah berucap Abang tak usah memotongnya (Hamidah terhenti air matanya mulai meleleh pun halnya Aisyah, suasana hening) Saya tak bermaksud untuk mengulang kembali sejarah kenangan Abang bersama Aisyah, hanya saja setelah saya berpikir panjang dan saling menyelami keadaan masing-masing. Pun halnya sholat istikharah sudah saya lakukan. Saya hendak bermaksud menjadikan Aisyah kembali jadi istri Abang. Hamidah Ikhlas, asal semuanya bahagia, dan sepertinya inilah waktunya saya untuk berbakti terhadapmu, Abang sebagai suamiku. Kuyakin engkau adalah khalifah yang saya hormati (Hamidah sesegukan, Aisyah memeluknya mereka berdua tak hentinya berurai air mata). Saya ridlo untuk di madu, sebab saya yakin engkau suami yang adil. Saya mohon Abang tidak menyia-nyiakan kepercayaan Hamidah,” berderailah air mataku tak kuasa menahan kesejukan muatan kalbu Hamidah, tak menyangka semuanya akan berjalan dengan tak kusangka-sangka. Suasana hening sejenak.

“Abang berkenan?” tanya Hamidah. Saya tak menjawab. Kubiarkan mereka berdua, saya pun pergi ke masjid. 

Terdengar mereka sesegukan. Lama saya berpikir panjang, kira-kira setelah salat duhur saya mampu memberikan jawaban.

“Andai kehendak Hamidah seperti itu, dan semua ini adalah suatu langkah sebagai ladang amal, semoga Allah meridoinya,” aku sedikit mengganggukan kepala.

“Alhamdulliah...” Hamidah memeluk jasadku, nyaring sudah tangisan yang kudengar, dan Aisyah hanya diam terpaku tanpa ada kata-kata hanya deraian air mata yang mewakilinya.

“Engkau Aisyah?” Aisyah hanya sedikit mengganggukan kepala.

“Semoga ini adalah langkah paling awal untuk saya berbenah diri sebagai bekal kelak diakherat nanti,” lembut suara Aisyah saat itu. Jingga merah sudah mulai nampak kabut masih menyelimuti, kami berdua masih berbincang-bincang.

* * *

Pernikahanku bersama Aisyah pun dilaksanakan atas restu kedua belah pihak keluarga, hanya sederhana. Suasana cerah secerah suasana hati masing-masing termasuk jasad ini. Di antara orang-orang pun sangatlah tak mengira bahwa Hamidah akan merelakan asmaranya dimadu olehku. Saya yakin bahwa apa yang diucapkan Hamidah adalah sebaik-baik apa yang diucapkannya, semoga surgalah yang akan engkau terima kelak di akhirat nanti.  Setelah selesai ijab kabul sah diucapkan oleh pihak kantor urusan agama yang disaksikan oleh pihak keluarga, saat itu pun Aisyah menjadi istriku kembali. Suasana haru, dari keharuan itulah perut Hamidah pun terasa. Saya tergugup, saya dan orang-orang sekitar segera membawa Hamidah ke rumah sakit dengan kendaraan seadaanya. Gelisah dariku sangat nampak, anak pertamaku akan lahir.

Sesampai di rumah sakit pun saya tak tenang, hati gelisah, rasa kuatir berkecamuk, mondar-mandir tak karuan bak setrika. Sehebat inikah saya mengkhawatirkan Hamidah? Ah, itu sudah memang menjadi kewajaranku dan pantaslah Hamidah mendapatkan perlakuan yang indah oleh tingkahlakuku. Dan tak lama dari setengah jam pun terdengarlah jeritan Hamidah melengking membuat diri miris dan dilanjutkan oleh tangis bayi, sungguh sangat meluluhkan kalbu ini. Dengan tanpa sabar saya pun menghampiri istriku bersama Asiyah.

“Anak kita laki-laki Abang” saya tersenyum. Terlihat Hamidah terlalu lelah untuk seperti itu, mukanya pucat pasi nampak seperti mayat. Dari kejauhan senyumnya yang saya suka ia perlihatkan.

“Mana Aisyah?” satu pertanyaan yang membuat hati ini berdebar, hanya Aisyah yang pertama ia sebut, dan Aisyah pun mendekati.

“Ini anak kita semua, Aisyah. Engkau tak usah ragu-ragu untuk menyebutnya anakmu sendiri, sebab kita telah menyatu oleh ikatan asmara yang direstui oleh Allah,” Aisyah tersenyum, diusapnya kening Hamidah.

“Engkau terlihat cantik Hamidah, setelah melahirkan.”

“Terima kasih, engkau juga harus seperti saya, beranak banyak,” terlinanglah air mata keharuan, kami pun berpelukan. 

Gerbang suci nampak sudah berada di depanku terbuka lebar untuk menjadi garapan ladang kelak di akhirat nanti sebagai petikan buah hasil dari nilai lebih yang diberikan Allah. Hari-hari semakin indah tak ada satupun persoalan yang tak terselesaikan dengan cara mufakat, itu salah satu yang digunakan dalam keluarga kami. Keterbukaan, kejujuran, saling menghargai, saling menghormati, tetap nomor satu yang kami junjung, yang jelas keutamaan ibadah sangatlah diutamakan. Kami tinggal di rumah kontrakan dan rencana setelah mendapat tabungan yang cukup, Insyaallah kami berencana untuk membeli rumah, kecil pun tak apa, tak bagus pun tak masalah yang jelas kebahagiaan haruslah ditampakkan. 

Di antara kami tidaklah ada yang merasa diri lebih dipandang hormat, yang diperjelas bagaimana menjadi yang terbaik untuk tetap menghargai dan menghormati satu dan yang lainnya, saya pun mencoba menjadi seorang suami yang adil dalam memperlakukan kedua istriku itu. Saya banyak belajar di antara mereka, ilmu, kesabaran, kehidupan, keadilan yang sesungguhnya. Ah, betapa indah hidup dengan ridho Ilahi yang agung.

Kupeluk Hamidah, pun halnya Aisyah penuh kasih sayang. Dan saat itu pula terlihatlah pelangi di mata istriku. Semoga untuk selamanya.

Kediri, pertengahan Desember 2009

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pelangi Di Mata Istriku"

Post a Comment